Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.
Yanzi duduk tenang di kursi penumpang sembari nengutak-atik laptopnya. Biarpun dia bilang memiliki waktu, bukan berarti dia bisa benar-benar melepaskan pekerjaannya.
Perusahaan dan klien tidak akan peduli dia diteror hantu atau apapun, pekerjaan adalah pekerjaan.
“Tolong simpan benda memusingkan itu. Sepertinya dari sini kita harus jalan kaki.” Ucap Alan mengamati peta yang dibuat ala kadarnya oleh kakeknya.
Yanzi mengangkat kepalanya mendengar nada mencibir Alan. Dia melihat hamparan hutan. Rupanya mereka sudah sampai diujung desa.
Menyimpan pekerjaannya, Yanzi turun dari mobil. Dia melihat ke arah belakang, disana ada perumahan dengan dinding bambu dan atap ilalang. Rumah-rumah itu dibentuk dengan serupa. Dia seperti berada di masa lampau.
“Bukankah mereka terlihat cantik dan primitif?” Alan dengan riang berlari ke arah rumah-rumah beratap ilalang.
Yanzi mengikutinya, dia melihat bagian pintu yang hanya berupa tirai yang terbuat dari untaian batu warna-warni.
Dia meraih satu untaiannya dan mengamatinya. Ternyata disetiap batu memiliki ukiran aksara kuno. Jantung Yanzi tiba-tiba mengencang, aksara kuno di batu itu terlihat menggeliat dan berputar-putar. Seolah mencari jalan keluar dari batu.
“Itu aksara sarsvayvi.”
Jantung Yanzi melonjak karna Alan tiba-tiba muncul di bahunya dan berbicara. Dia bersyukur terbiasa mengatur emosinya hingga tidak berteriak histeris. Wajah datarnya sangat menguntungkan.
“Aku menyingkatnya sars, itu digunakan para Virstyisva pada masa dulu. Beberapa bukunya masih ada sampai sekarang.” Alan dengan senang hati menjelaskan saat Yanzi menatapnya. Dia tiba-tiba merasa lebih superior dibanding Yanzi.
“Bagaimana kau tahu?”
“Internet. Saat mendengar nama suku itu aku langsung mencarinya di internet. Kau tahu, aku ini orang dengan rasa keingintahuan yang sangat besar!”
Yanzi mengangguk. Dia mempercayai itu. Bahkan jika Alan ingin mengetahui komposisi kotoran, maka dia akan mencari tahu dengan sangat baik.
“Lalu, kemana para penghuni rumah ilalang ini?”
“Tsk. Tsk. Tsk.” Alan menggoyang-goyangkan jarinya dengan ekspresi paling menyebalkan yang dia punya. “Ini namanya bukan rumah ilalang tapi Bead, begitulah para Virstyisva menyebutnya. Oke mulai sekarang aku singkat VTS. Keturunan mereka sudah membangun rumah modern di utara desa, kita sudah melewatinya tadi. Sementara Bead ini hanya untuk para turis.”
Yanzi mengangguk mendengar penjelasan panjang lebar Alan. Dia sungguh tak tertarik. “Jadi, dimana kita bisa menemukan dukun yang diceritakan kakekmu?”
“Menurut peta, kita harus menemukan jalan setapak menuju pedalaman hutan tidak jauh dari ujung jalan desa. Jangan khawatir, kita pasti menemukannya.” Ekspresi Alan sangat serius, seolah pria itu sungguh siap berperang.
Mengabaikan Alan yang masih menyemangati dirinya sendiri, Yanzi mendatangi supir yang dia sewa. Sebenarnya merangkap bodyguard.
“Bawa perlengkapannya, kita akan masuk hutan.”
“Baik tuan.” Pria itu mengambil ransel besar berisi keperluan Yanzi. Pekerjaan tambahannya adalah pembawa barang.
Satu-satu pekerja itu mengikuti langkah Yanzi yang menyusuri tepi hutan mencari jalan setapak yang dimaksud.
“Bagaimana bisa kau tidak membawa apapun? Ini petualangan! Kau harus membawa perlengkapan dan merasakan sensasinya!” Alan dengan menggebu-gebu memprotes Yanzi.
Yang diprotes hanya mengangguk. “Aku tak masalah dengan kehilangan sensasi.”
“Kau sangat menyedihkan!”
Mengabaikan wajah prihatin Alan, Yanzi berjalan lebih dulu menyusuri jalan setapak yang ditemukannya tidak jauh dari mobil berada. Tapi itu hanya sesaat, karna Alan dengan semangat kompetisi melewatinya dan berperan sebagai pemimpin. Pelukis itu seperti binatang yang terlepas dari sangkarnya.
Yanzi ingat jika tadi malam Alan masih gemetar hebat dan tertawa antara senang dan takut saat menginap dirumahnya.
Setiap ada suara, Alan akan memeriksanya meski kakinya tak setegap biasanya. Tapi yang dia temukan hanya bekas, bukan objek yang membuat bekas.
Puncaknya, pada pukul dua dini hari, Alan menemui penampakan yang sangat dicarinya. Menurut deskripsinya, Itu jelas seperti wanita yang dilihat Yanzi.
Alan pingsan. Bahkan terkencing dicelana. Tapi begitu bangun, dia bisa dengan antusias menceritakan penemuannya itu. Sungguh pria dengan mental mengerikan.
Kesadarannya tertarik kembali saat dia mendengar suara gedebuk. Alan terjatuh didepannya.
“Jangan bantu aku, biarkan aku merasakan sensasi petualangan.” Jerit Alan.
Sejujurnya, Yanzi tidak berniat membantunya sama sekali. Tapi dia diam saja demi kebaikannya sendiri. Mengatakannya sama dengan memicu urat bicara Alan yang tak bisa berhenti.
Yanzi tidak tahu seberapa jauh lagi mereka harus berjalan dan dia sama sekali tidak ingin bertanya. Penjelasan Alan akan menghabiskan kesabarannya.
Jalanan yang mereka lalui bisa dibilang cukup sulit. Berbatu dan menanjak.
Meski tidak terguyur hujan, lumut-lumut yang tumbuh cukup membuat licin beberapa tempat. Menandakan betapa jarangnya jalan ini dilewati.
Semakin dalam masuk ke hutan, semakin tebal lumut dan sulur disepanjang jalan setapak. Bahkan sudah mulai muncul kabut.
“Alan.” Panggil Yanzi.
“Apa?”
“Kau yakin ini jalan yang benar?”
“Tentu saja. Lihat saja jalan setapaknya! Menurut penjelasan Kakek di peta, kemungkinan ini bekas si mbah dukun bolak balik antara desa dan rumahnya. Dia juga kan pasti butuh sesuatu diluar hutan. Kenapa? kau mulai takut? Jangan khawatir, makhluk halus hanya menyerang psikologi kita. Tidak akan bisa membunuh secara langsung. Yang ada dia membuat kita ketakutan sampai memilih bunuh diri. Jadi jangan sampai kau bunuh diri, oke.”
Yanzi mengangguk. Tidak ingin lagi mengatakan apapun.
Saat Jam dipergelangan tangannya menunjukkan pukul empat sore, mereka akhirnya melihat sebuah gubuk bobrok. Itu terlihat bisa rubuh setiap saat, bahkan hanya dengan angin sepoi-sepoi.
Menghitung waktu, berarti mereka menghabiskan empat jam perjalanan dengan mobil, dan enam jam jalan kaki termasuk lima kali istirahat.
Tas Alan yang tadinya besar kini mengempis karna camilan dan air minumnya terkuras habis. Para tuan muda ini tak pernah jalan kaki sejauh ini, jadi tolong dimaklumi.
Mereka bertiga mendekati gubuk bobrok itu. Sungguh mencengangkan saat mereka sedikit menoleh, akan ada pohon buah yang berjajar rapi mengelilingi gubuk itu.
Dari mulai pohon jeruk, mangga, apel, durian, kelengkeng, pepaya, pisang, alpukat dan lainnya. Lalu pada gubuknya sendiri dirambati pohon anggur.
Ini sungguh pemandangan mencengangkan. Terlebih semua pohon sedang berbuah. Mereka seolah melawan musim.
“Ini hebat. Seperti di negri dongeng bukan!” Alan dengan semangat memeriksa buah-buah itu, bisa dimakan atau tidak.
Seandainya itu buah aneh, Alan pasti sudah mati karena rasa ingintahunya.
“Yanzi, ku rasa kita ada ditempat yang tepat. Mbah dukun ini pasti sangat sakti. Lihat saja betapa mengesankan tempat ini.” Alan merentangkan kedua tangannya, menunjukkan betapa dia mengagumi tempat ini.
“Maksudmu gubuk yang nyaris rubuh ini?”
“Tolong abaikan yang itu.”
Yanzi justru mengabaikan Alan dan memilih menaiki undakan tangga, saat tangannya ingin mengetuk, pintu itu terbuka dengan suara derit lembut.
Yanzi terdiam merasa sesuatu seperti melewatinya. Udara yang bergerak itu terasa dingin dan mengigit. Membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kenapa diam saja, pintu sudah terbuka, ayo masuk!” Lagi-lagi Alan dengan antusias mendahuluinya.
Sepertinya indera perasa pria itu sudah rusak karna tidak merasakan hal janggal yang menguar dari dalam.
Yanzi mengikuti Alan masuk, dibelakangnya bodyguardnya yang bernama Rory mengikuti mereka.
Tidak seperti bagian luar yang bobrok dan mengenaskan. Bagian dalam terlihat rapi, bersih dan menyilaukan.
Perabot seperti lemari, nakas, cermin dan hal lainnya memiliki ukiran warna emas. Lantainya dilapisi dengan karpet berbulu tebal, hingga kau merasa kakimu bisa tenggelam didalamnya. Satu set peralatan makan keramik dengan motif ukiran aksara sars melingkarinya.
Tiap jendela memiliki tirai dari untaian batu seperti di Bead. Dinding bambu berwarna hijau alami membuat perasaan nyaman. Sungguh aneh, dari luar jelas dinding bambu itu berwarna kuning kecoklatan layaknya telah lama ditebang dan dijadikan dinding, namun didalam warna bambunya masih hijau seolah baru kemarin ditebang dan dijadikan dinding.
Di ruangan itu juga ada dupa dengan cawan emas yang menguarkan wangi mawar sedikit menyumbat pernapasan.
“Kenapa bukan wangi melati?” Alan berbisik ingin tahu namun tak ditanggapi Yanzi.
Dia justru melihat ke tengah ruangan dimana sofa ekstra besar berwarna putih gading dengan hiasan emas berada. Selain sofa dan meja mewah ada seonggok tubuh berselimut tebal disana.
“Ini emas sungguhan!” Alan menjerit tertahan saat memastikan ukiran pada lemari.
Yanzi menoleh dan mengerutkan keningnya menatap Alan. Pria dewasa yang kekanak-kanakan itu sepertinya lupa tujuan mereka ke sini.
“Bagaimana bisa rumah bobrok ini bagian dalamnya sangat mewah?” Kali ini Alan tak menahan decakan takjubnya. Dan mengganggu sosok yang tidur diatas sofa.
Sosok itu menggeliat sedikit mengangkat kepalanya melihat sumber keributan. Selimut terjatuh dari kepalanya saat dia mengucek mata.
Tiga orang dewasa itu menahan nafas melihat wajah kekanakan yang menyembul. Remaja yang terlihat sekitar enam belas tahun itu menguap, memamerkan dua gigi taringnya yang lebih panjang dari orang kebanyakan.
Wajah bulatnya terlihat imut dan menggemaskan dengan bibir semerah darah. Matanya yang besar menatap tiga orang didepannya terganggu.
Setelah diamati, mata bocah itu memiliki dua warna, kanan merah dan kiri hijau dengan pupil vertikal. Itu terlihat menyala karna kulitnya yang bahkan lebih pucat dibanding Alan.
“Siapa orang yang tidak memiliki sopan santun ini?” Lagi-lagi tiga orang itu terpaku mendengar suara serak khas bangus tidur yang seharusnya mengganggu justru terdengar seperti melodi.
*****