Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.
***
“Maaf kami…”
Sebelum Yanzi menyelesaikan ucapannya. Suara pemuda itu memotong. “Lemparkan mereka keluar. Bagaimana kalian bisa membiarkan mereka mengganggu tidurku.”
Nadanya sangat santai cenderung malas. Itu seperti hanya ucapan, bukan protesan keras. Namun hanya sedetik setelah dia selesai bicara, tiga tamu asing itu terhempas keluar gubuk.
Yanzi meringis sementara Alan mengerang kuat. Meski Rory tak memperlihatkan reaksi atas hempasan itu, tapi dia jelas lebih kebingungan daripada Yanzi dan Alan.
“Bagaimana kita bisa terlempar? Apa tadi dia bicara dengan seseorang didalam sana?” Gumam Rory.
“Entahlah. Tidak ada orang lain selain kita dan bocah itu.” Yanzi sudah cukup mengalami hal diluar akal sehat. Dia tidak lagi memiliki minat bertanya mengapa dan bagaimana.
Berbeda dengan ketenangan mereka, Alan langsung ingin kembali ke dalam tapi terhempas lagi begitu sampai di pintu. Pelukis itu berguling kesakitan.
“Kau! Bagaimana kau bisa melakukan itu? Itu sangat hebat tapi tidak sopan. Kami tamu mempunyai keperluan!”
Alan yang sudah bangun berteriak dengan lantang. Sementara Yanzi dan Rory meliriknya prihatin. Tidakkah pria ini berpikir sesuatu yang lebih dari terhempas akan terjadi bila bersikap begitu tidak sopan?
Yanzi cukup beruntung bahwa bodyguardnya cepat beradaptasi.
“Pergilah.”
Suara singkat itu menghentikan keributan Alan. Suara serak dan kasar. Terdengar sangat mengerikan. Jelas bukan milik remaja tadi. Mengejutkan tiga orang itu.
“Yanzi, apakah itu suara hantu?” Bisik Alan bersemangat. Tapi tangannya jelas mulai bergetar mengantisipasi bentuk mengerikan apa yang menjadi pemiliknya.
Mengabaikan Alan, Yanzi bertekad ingin masuk. Melihat bagaimana mereka terhempas, dan bagaimana memukaunya tempat ini, jelas pemiliknya memiliki kemampuan.
Siapa yang tahu jika mungkin inilah jalan keluar untuk masalahnya.
“Aku datang ingin meminta bantuan, bukan mengganggu. Jadi bisakah aku masuk?”
Saat suara Yanzi berakhir, keheningan menyelimuti tempat itu. Membuat siapapun berpikir jika mereka di tolak.
“Biarkan aku membujuknya.” Alan dengan wajah mantap akan maju.
Tapi sebuah suara menghentikannya. Suara serak dan kasar tadi.
“Berapa yang kau tawarkan sebagai imbalan?”
“Banyak. Yanzi ini orang kaya. Tolong jangan khawatir!” Alan meyakinkan.
Hening lagi beberapa saat.
“Seberapa banyak?”
Sebelum Alan menjawab lagi, Yanzi mendahuluinya. “Bisakah biarkan kami masuk dan membicarakan didalam?”
Hening lagi sekitar satu menit sebelum akhirnya pintu gubuk itu terbuka dengan sendirinya.
Mereka bertiga saling pandang sebelum masuk. Kali ini lebih hati-hati. Mereka tidak mau kembali dihempaskan keluar.
“Duduklah di mana kalian suka.” Suara malas yang jernih milik pemuda yang berbaring di sofa terdengar.
Diruangan itu hanya ada satu sofa yang digunakan pemuda itu tidur. Berarti satu-satunya tempat duduk adalah di lantai.
Meski beralas karpet tebal, tetap saja pemuda itu memiliki sedikit kesopanan karna membiarkan tamunya duduk di karpet sementara dia di sofa.
Tapi mereka tidak punya pilihan dan enggan membuat masalah. Jadi dengan tenang mereka bertiga duduk dilantai.
Dengan gestur malas pemuda itu duduk dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Mengungkapkan tubuh langsing yang dibalut jeans dan sweater kedodoran berwarna putih gading. Karna terlalu besar, jemari tangannya tenggelam, tapi bahu putihnya terpampang.
Secara keseluruhan, pemuda itu terlihat seperti anak polos tak berdaya yang selalu dilayani dan dimanja.
“Dek dek mbahnya mana?” Alan yang tak sabar melihat gerakan malas anak itu bertanya. Dia pikir meski terlihat hebat, namun bukan anak ini yang dicarinya.
Mata heterokrom itu menatap Alan sekilas sebelum menguap, kembali memamerkan dua taring kecilnya yang membuat Yanzi tiba-tiba merasa gatal.
“Mbah siapa?”
“Mbah Juena.” Alan mengingat nama yang disebutkan kakeknya.
“Aku Juena, jadi cepat katakan keperluan kalian. Aku sungguh mengantuk.”
Nada bicara anak itu tidak pernah berubah. Ringan dan malas. Seolah tidak ada apapun yang bisa menarik atensinya.
Yanzi memperhatikan bagaimana anak itu duduk tegak menahan kantuknya. Dia seperti bisa tertidur kapan saja.
“Bagaimana bisa kau mbah Juena si dukun sakti? Menurut cerita kakekku, temannya mengatakan mbah Juena hanya lebih muda beberapa tahun darinya yang berarti hanya beberapa tahun lebih muda dari kakekku. Bukan kau yang jelas terlalu muda!” Alan dengan keras kepala menjelaskan.
“Aku sungguh mengantuk, jika kau hanya ingin ribut, pergi saja.” Juena cemberut. Dia memicingkan matanya tak suka menatap Alan.
Ekspresinya itu sangat imut dan menarik mata Yanzi. Selama tiga puluh tahun usianya, dia tak pernah merasa tertarik pada seseorang pada pandangan pertama. Fakta ini cukup membuatnya terkejut.
Tapi dia harus mendahulukan tujuan utamanya datang ke sini.
“Aku membutuhkan bantuan. Sesuatu yang tak masuk akal meneror kami sejak dua minggu lalu.”
Mendengar ucapan Yanzi, anak itu menatap tepat pada matanya. Tatapannya yang malas terasa menggelitik sesuatu didalam dada Yanzi. Membuat tidak nyaman namun tidak mengganggu.
Setelah menatap Yanzi beberapa saat, Juena mengalihkan pandangannya. Tangannya berayun lalu sedetik kemudian satu teko dan tiga cangkir berisi teh yang masih mengepul tersedia di meja.
Yanzi dan Rory membeku, sedangkan reaksi Alan lebih heboh. Pria itu menjerit dan termundur hingga menempel pada dinding dibelakangnya.
“Aku hanya bersikap sopan. Kenapa ribut sekali.” Juena mengangkat kedua tangannya dan segelas susu muncul di genggamannya.
Caranya memegang gelas susu seperti anak kecil yang belum bisa memegang benda dengan baik. Juga ekspresi puasnya setelah menghabiskan susunya dalam sekali gerakan benar-benar membuat Yanzi gemas.
Bagaimana anak seimut ini bisa hidup dihutan? Terlebih mengambil profesi sebagai dukun.
“Seseorang mungkin akan marah dan memanggang kalian jika kalian mengabaikan teh buatannya.”
Ucapan Juena membuat tiga orang dewasa itu dengan cepat mengambil cangkir teh masing-masing. Mereka tidak mau menanggung kemarahan apapun saat ini.
“Bagaimana kau melakukan ini? Ini terlalu hebat!” Alan dengan semangat memuji. Matanya berkilauan penuh pemujaan menatap Juena.
Mengabaikan Alan, Juena menatap Yanzi. Dan berkata: “Makhluk-makhluk yang ada di rumahmu tipe yang diundang. Jadi kenapa kau membutuhkan bantuanku?”
Yanzi baru membuka mulutnya untuk bertanya, namun Alan menduluinya: “Apa maksudnya diundang? Apa seperti film jelangkung? Mereka sepertinya berbahaya. Yanzi kenapa kau mengundang makhluk jelek dan berbahaya seperti itu. Lain kali cobalah undang peri dan biarkan aku melukisnya.”
“Aku tidak mengundang mereka.” Ucap Yanzi ditujukan pada Juena mengabaikan Alan.
“Mungkin itu Yumi? Bukankah katamu dia tidak mau meninggalkan rumah?” Pertanyaan Alan kali ini membuat Yanzi berpikir itu mungkin terjadi. Adiknya adalah orang yang mudah terbawa arus dan melakukan hal-hal aneh.
Yanzi melirik Alan yang terlalu cepat tanggap. Melihat semangatnya membuat Yanzi khawatir. Dia hanya bisa berharap Alan tak akan melakukan hal aneh.
Juena semakin mengantuk karna perutnya yang terisi susus hangat. Jadi dia ingin segera menyelesaikan hal ini.
“Lalu apa yang bisa kau berikan padaku sebagai imbalan?”
Yanzi tidak berpengalaman dalam hal ini. Jadi dia mengembalikan pertanyaan pada Juena.
Juena menatap terdiam beberapa saat sebelum menatap Alan. Yang ditatap memiliki ekspresi berubah-ubah, antara takut dan senang.
“Tinggalkan pria itu disini selama tiga bulan dan berikan aku beberapa Batang emas akan cukup.”
Tiga tamu itu tertegun mendengar permintaan Juena yang tak masuk akal. Bukankah biasanya para dukun dan paranormal meminta sejumlah uang?
“Apa maksudmu?” Yanzi bertanya dengan curiga. Anak ini terlalu muda untuk menjadi dukun. Tapi Yanzi tidak bisa meragukannya setelah apa yang mereka alami beberapa saat lalu. Hanya saja permintaannya adalah eksploitasi sekaligus pemerasan. Apakah biaya dukun lebih mahal daripada dokter?
“Penuhi permintaanku dan dua malam setelah ini, tidak akan ada lagi gangguan di rumahmu.”
“Kenapa aku?” Alan berdiri untuk memprotes. Tapi sedetik kemudian dia mendekati meja dan bertanya dengan antusias. “Sungguh hanya tiga bulan? Apa itu berarti aku akan bertemu hantu? Ada yang cantik? Bisakah aku melukis mereka?”
Juena mengangguk dan sekali lagi menguap sebelum menjawab. “Kau akan. Seperti ini salah satunya.”
Dengan satu lambaian tangan Juena, sosok yang memakai gaun putih muncul. Kulitnya pucat selayaknya mayat, matanya hanya berwarna putih, dan rambutnya yang sepanjang mata kaki di kucir ekor kuda.
Yanzi dan Rory tersentak mundur. Mereka yang tadinya sangat tidak mempercayai hal tak kasat mata mulai gemetar. Anak kecil ini lebih berbahaya dari yang terlihat.
Sedangkan Alan sudah pingsan.
“Dia…”
“Mas kuntilanak.” Juena membantu melanjutkan ucapan Yanzi yang tercekat.
“Bagaimana bisa…?” Kali ini Rory yang mengeluarkan suara seperti tercekik. Bodyguard ini memiliki rasa takut pada hal mistis semenjak berada disini.
“Kenapa? Tidak terima ada kuntilanak laki-laki?” Mas-mas yang lebih terlihat seperti mayat bangsawan tapi mengaku kuntilanak itu dengan sinis berkata.
Rory dengan cepat menggeleng. Dia yakin kuntilanak ini lebih berbahaya daripada sekawanan perampok.
“Jadi, kau menerima syaratku?” Suara Juena yang hampir tak sadarkan diri karna kantuk kembali terdengar.
*****