Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.
Saat kembali ke rumah, Yanzi langsung masuk ke kamarnya. Melemparkan pakaian kotornya ke keranjang dan menyalakan shower. Dia mendongak, membiarkan wajahnya merasakan butiran air membasahinya.
Matanya yang terpejam membuat pikirannya kembali ke tengah hutan sana. Pada bocah dukun yang memakai pakaian kebesaran, memamerkan bahu putih pucatnya.
Dia membayangkan bagaimana rasanya saat mulutnya menelusuri tempat itu. Bahkan tempat-tempat lainnya dibalik pakaian kebesarannya.
Yanzi merasakan darah mengalir deras ke pangkal pahanya. Menghela nafas, dia mencengkeram dan menuntaskan keinginannya. Dia berjanji, lain kali bukan tangannya sendiri yang memanjakan hasratnya.
Dia menggeram setelah beberapa saat. Dia menatap cairan putih yang terguyur air dengan linglung. Baiklah, dia bahkan sudah merindukan bocah itu meski belum dua puluh empat jam meninggalkannya.
Yanzi merasa kembali ke masa remajanya. Saat dia pertama kali merasakan tidur dengan seseorang, lalu keesokan harinya dia akan sangat ingin melakukannya lagi dan lagi.
Hanya saja saat itu Yanzi tidak memikirkan dengan siapa dia melakukannya. Dia hanya berpikir menemukan seseorang dan menuntaskan hasratnya. Bahkan saat dia sama sekali tidak merasa tertarik dengan orang itu, Yanzi tidak keberatan.
Masa sekolah menengah atas dia habiskan dengan naik dari ranjang satu ke ranjang lainnya. Tapi Yanzi sama sekali tak bersedia menjalin hubungan yang mengikat dirinya dengan siapapun. Dia adalah pria bebas yang bisa memilih tidur dengan siapapun.
Hal itu berlanjut hingga perguruan tinggi. Lalu, saat memasuki dunia kerja, entah kenapa dia sudah tidak lagi mudah merasakan hasrat saat melihat wanita cantik. Hanya sesekali saja dia melakukannya jika benar-benar ingin. Itu bisa dihitung dengan jari dalam setahun. Dan hanya beberapa orang yang bisa membuatnya tertarik. Tapi tentu saja tidak pada pandangan pertama seperti Juena.
Mungkin kebosanannya pada wanita yang membuatnya tertarik pada sosok yang terlihat enak seperti Juena.
Pria itu mendesah dan mematikan shower. Meraih handuk lalu keluar kamar mandi.
Setelah berpakaian, Yanzi mencari keberadaan Yumi.
Melihat keluar jendela, matahari sudah meredup tertutup pepohonan. Malam akan segera tiba. Jika bisa, dia ingin memastikan Yumi bersamanya selagi Juena menyelesaikan masalah dirumah ini entah dengan cara apa.
Yanzi membuka pintu kamar Yumi, namun adiknya tidak ada. Setelah memeriksa didalam lemari dan dibawah ranjang, Yanzi keluar dan menutup pintu kamar Yumi.
Dia melirik ke pintu kamar Yumi dibelakangnya dengan tak nyaman. Sejak kapan dia berpikir mencari adiknya didalam lemari dan kolong ranjang seperti mencari hewan peliharaan?
“Di mana Yumi?” Tanya Yanzi pada salah satu pelayan yang lewat.
Pelayan itu membungkukkan tubuhnya sedikit sebelum dengan sopan menjawab. “Nona berada diperpustakaan, tuan.”
Yanzi mengangguk lalu menuju perpustakaan di bagian paling ujung dari lantai dua.
Membuka pintu, dia mendesah lega melihat gadis itu duduk nyaman membaca buku sembari menikmati teh dan camilan.
Yanzi luput menyadari jika Yumi hanya membuka buku tanpa bisa fokus membacanya. Matanya bergerak gelisah mengamati sekeliling diam-diam. Gadis itu selalu merasa ada yang mengawasinya dan siap menerkam saat dia lengah.
“Apa yang kau baca?”
Yumi mendongak mengikuti gerakan Yanzi yang duduk disisinya. Gadis itu tersenyum kecil, mengangkat bukunya agar Yanzi melihat covernya. Itu sebuah novel horor berjudul ‘Terowongan maut’.
Yanzi tidak tahu bagaimana pemikiran Yumi. Tidakkah gadis itu merasa cukup dengan teror yang mereka dapatkan setiap malam? Kenapa masih membaca buku dengan genre menyebalkan itu?
“Aku sudah menemui seseorang…”
Yanzi memandang Yumi yang tidak tertarik dengan ucapannya. Matanya yang memiliki lingkaran hitam tebal tetap terarah pada buku di pangkuannya. Wajahnya tirus dan pucat. Sepertinya dia kehilangan banyak bobot tubuhnya.
“Dia bisa mengusir apapun sebutannya yang mengganggu rumah kita.” Sampai sekarang Yanzi masih tidak nyaman menyebut kata ‘hantu’, ‘setan’ dan sejenisnya.
Kali ini Yumi mengangkat wajahnya, bukan karna tertarik namun lebih karna takut. Dengan gemetar dia mencengkeram tangan Yanzi.
“Abang… hentikan itu. Mereka kuat… jahat… mereka akan menyiksaku…. abang… kau tidak bisa membiarkan siapapun mengusiknya.” Rengek Yumi yang hanya ditanggapi Yanzi dengan wajah datar.
Ketakutan Yumi jelas beralasan. Mungkin gadis itu merasa dukun yang akan didatangkannya tidak sekuat roh, hantu atau apapun yang meneror rumah mereka. Yumi takut mereka akan semakin marah setelah mendapatkan gangguan dari pihak luar dan mencelakakannya.
Tapi Yanzi lebih suka mempertaruhkan sedikit harapan daripada duduk manis dan menerima gangguan begitu saja. Siapa yang akan membiarkan gangguan semacam ini bertahan bertahun-tahun?
Teror nyaris dua minggu sudah terlalu berlebihan.
“Yumi, dengar. Aku akan di sini menemanimu. Jangan khawatir.”
Yanzi meraih tubuh Yumi yang gemetaran ke pelukannya.
Melihat Yumi seperti ini, Yanzi tidak sampai hati untuk bertanya apakah dia yang melakukan pemanggilan arwah, hantu atau apapun sebutannya itu atau bukan. Bahkan mungkin sebenarnya Yanzi sama sekali tidak ingin membahas masalah ini lagi. Namun dia akan mengingatkan Yumi agar tak mengulanginya lagi tentu saja.
Beberapa saat kemudian, setelah Yumi merasa sedikit tenang. Yanzi mengajaknya makan malam.
Itu sudah jam delapan malam. Suasana yang begitu sunyi membuat bunyi denting peralatan makan terlalu jelas.
Gerakan Yanzi menyuapkan makanan ke mulutnya terhenti saat lampu di atas mereka berkedip-kedip.
“Abang….” Bisik Yumi.
Yanzi meletakkan sendoknya dan membersihkan mulutnya. Dia meraih tangan Yumi berusaha menenangkan gadis itu dengan sentuhan.
Ini tidak biasa. Sebelumnya selalu dimulai jam sebelas malam. Jadi kenapa sekarang teror ini dimulai terlalu dini?
“Pergilah ke ruangan kalian.” Perintah Yanzi pada para pelayan yang berdiri tak jauh dibelakang mereka.
Ersa membuka mulutnya ingin bicara namun Yanzi sudah melambaikan tangannya mengisyaratkan agar mereka pergi.
Melihat itu, tentu saja dia tak bisa membantah dan mengajak yang lain untuk pergi. Menunda membereskan sisa makanan majikannya.
Sebenarnya mereka justru bersyukur. Setiap keadaan menjadi menyeramkan, mereka biasa berkumpul di satu tempat dan berdoa bersama. Itu membuat mereka lebih tenang. Karna meski sangat takut, mereka tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja setelah bekerja bertahun-tahun.
Sebelum Yanzi sempat berbicara untuk menenangkan Yumi yang mulai gemetaran, derit samar pintu pagar terdengar. Bahkan dilanjutkan dengan bunyi ‘clang’ seolah pintu pagar kembali ditutup dengan sedikit kasar.
Sunyi.
Terlalu sunyi.
Lampu masih berkedip-kedip tak jelas antara hidup dan mati.
Mata Yanzi melirik sekelilingnya dengan waspada. Terutama ke arah pintu ruang tengah. Jika sesuatu yang membuka pintu pagar itu masuk dari depan, tentu saja akan melewati ruang tengah.
“Abang…” Yumi beringsut ke arah Yanzi.
Suaranya nyaris selembut angin. Sementara matanya dengan nyalang menatap ke segala arah. Wajahnya yang pucat pasi membuat lingkaran hitam disekitar matanya semakin terlihat. Membuat perasaan Yanzi terenyuh.
“Kita kembali ke kamar.” Yanzi merangkul Yumi. Berniat membawanya ke lantai atas. Namun sebelum mereka bisa menjauh dari meja makan, semua lampu dirumah itu benar-benar padam.
“Abang!” Jerit Yumi ketakutan.
Tubuhnya menggigil hebat. Jika saja lampu menyala, akan terlihat tangannya mencengkeram baju Yanzi terlalu kuat hingga memutih.
“Tenanglah.” Yanzi menepuk-nepuk lembut punggung Yumi.
Kegelapan yang menyelimuti membuatnya merasa tak aman. Seolah ada seseorang yang mengamatinya dari suatu tempat. Terlebih dia juga tidak bisa sembarangan bergerak karna terlalu gelap, tidak ada apapun yang bisa dilihatnya meski matanya sudah menyesuaikan dengan kegelapan.
Yanzi merasakan bulu-bulu halus di tengkuknya meremang saat desir angin melewatinya. Bukan angin biasa. Itu terlalu dingin hingga terasa menusuk tulang.
Brak!
Yanzi tersentak mendengar suara benturan yang sepertinya dekat dengan mereka.
Sedangkan Yumi sudah menjerit histeris. Dia berusaha menjejalkan tubuhnya ke tubuh Yanzi demi mencari perlindungan.
Karna gerakan acak Yumi, akhirnya mereka berdua jatuh terduduk. Satu tangan Yanzi menopang ke lantai sementara tangan lainnya berusaha tetap memeluk Yumi.
“Abang! Abang! Aku menyentuh sesuatu… Abang!” Suara panik Yumi membuat Yanzi khawatir.
Dia juga merasa takut. Tapi kebiasaannya mengontrol diri sungguh membantu.
Namun Yumi berbeda, dia hanyalah gadis belia yang terbiasa bersenang-senang dan mengekspresikan semua yang dirasakannya.
“Ini menjijikkan! Abang! Benda lunak ini mengerumuniku!” Jerit Yumi semakin histeris.
“Tenang sedikit, oke. Aku disini.” Yanzi menepuk-nepuk punggung Yumi dipelukannya. Namun gerakannya terhenti saat dia menyadari sesuatu.
Suara Yumi tidak jauh, namun tidak sedekat seperti dipelukannya.
Yumi histeris seolah ketakutan akan sesuatu. Tapi tubuh dipelukannya masih diam dan tenang.
Yanzi membeku. Dikepalanya, dia mempertanyakan siapa yang dipeluknya.
*****