Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.com
Saat baru saja melewati pintu samping, Zino tersentak saat melihat sosok kecil berdiri diam didekat pot besar.
Zino bukan orang yang takut hantu. Tapi tetap saja melihat sosok kecil berdiri di tempat remang-remang membuatnya terkejut.
Berpikir memprioritaskan barang berbahaya lebih dulu, Zino menjaga jarak beberapa meter saat melewati sosok itu.
Dia akan memeriksa sosok itu nanti ketika kembali. Toh sosok itu berada ditempat yang aman.
Tolong jangan mencaci sikap tak terpuji Zino. Dia sudah cukup memiliki banyak sikap tak terpuji. Bertambah satu bukanlah masalah.
Saat merasa cukup jauh masuk ke dalam hutan, Zino meletakkan kotak kardus lalu menutupinya dengan dedaunan dan beberapa ranting kering. Setelah itu dia membersihkan daun-daun kering disekitarnya, menyulut api dan meninggalkannya begitu saja.
“Ah!!” Zino memekik tertahan saat melihat sosok kecil didepannya ketika berbalik.
Jantungnya berdebar kencang sementara matanya berkeliaran mencari senter kecilnya yang terlempar. Zino meraih senter kecilnya yang beruntung tidak mati hingga mudah ditemukan.
Pemuda itu mengarahkan senternya ke sesuatu yang membuatnya terkejut.
Zino mendesah saat melihat Mio memiringkan kepalanya mengintip api dibelakangnya.
“Mio, apa yang kau lakukan disini?” Tanya Zino dengan ngeri. Ini balita kenapa suka gelap-gelapan? Sejak kapan dia berada disini?
Gadis kecil itu mengalihkan pandangannya dari api ke Zino. “Apa yang bibi bakar?”
“Itu hanya sampah. Kau belum mengatakan mengapa kau disini? Nanti ibumu mencarimu.”
Zino menggandeng tangan anak itu dan membawanya kembali ke villa. Apa sebenarnya yang dilakukan orang tuanya hingga gadis kecil ini lepas?
Mio menatap tangannya yang digandeng Zino. Lalu mendongak menatap Zino. Ini pertama kalinya bibinya menggandeng tangannya.
“Tidak. Mama sedang berbicara dengan papa. Karna Mama sedang berbicara, mama menyuruhku meninggalkannya sebentar. Lalu aku melihat bunga. Lalu aku melihat bibi pergi ke tempat gelap. Aku mengikuti bibi. Apa bibi marah?”
Zino menatap bocah digandengannya, anak ini sangat berbahaya. Bagaimana jika dia hilang lalu Zino yang disalahkan? Masa depan Zino akan berada dalam kesuraman.
Lagipula darimana keberanian bocah ini berasal?
“Kenapa aku harus marah?” Tanya Zino sembari menenangkan rasa shocknya.
“Bibi bilang tidak suka aku dekat-dekat. Bibi tidak mau bicara denganku kalau tidak ada mama atau papa. Tapi sekarang, sekarang bibi menggandengku. Aku senang.”
Zino tersenyum menatap mata berkilauan Mio. Betapa menyenangkannya saat ada seseorang menatapmu dengan begitu antusias.
Zino terbiasa dengan mata-mata yang jujur. Biasanya orang menatapnya dengan pandangan jijik, sombong, menghina, meremehkan, atau beberapa pandangan yang jelas menyukai wajahnya namun berpaling saat tahu betapa miskinnya dia.
Zino tidak membenci mereka. Mereka berhak menatap Zino seperti apapun, tapi Zino juga berhak melakukan apapun pada mereka. Seperti mencopet dompet mereka misalnya.
Tapi melihat mata polos yang riang ini, Zino bangga. Biarpun anak kecil tetap saja ada orang yang dengan antusias menatapnya.
Karna seperti itu tentu saja Zino akan lebih antusias menatap Mio. Mulai sekarang Mio adalah keponakan favoritnya.
“Begitukah? Lalu bagaimana dengan ini? Apa kau senang?” Zino mengangkat tubuh mungil Mio dan menggendongnya.
Wajah mungil dihadapannya terpana selama beberapa detik sebelum berteriak riang. “Ya aku senang!”
Mereka berdua tertawa riang tanpa menyadari Zinan yang berdiri diam diatas balkon menatap mereka.
Awalnya Zinan hanya ingin melihat-lihat. Siapa yang menyangka dia melihat dua sosok besar dan kecil tertawa ditengah jajaran bunga taman.
Mengalihkan tatapannya dari dua sosok yang sudah masuk ke dalam villa, Zinan melihat cahaya berkedip ditengah kegelapan dihutan sana. Hanya beberapa saat sebelum menghilang.
Ditengah hutan tidak akan ada hantu kan?
Berkedip beberapa kali, Zinan memilih masuk kembali ke kamarnya. Ini sebabnya dia sama sekali tak menyukai acara-acara ditempat terpencil.
*****
“Vivian?” Kamilla menatap Vivian dengan pandangan aneh. Gadis ini telah mengatakan dengan jelas jika dia tidak nyaman bersama anak kecil, jadi kenapa sekarang dia menemukannya sedang menggendong Mio?
“Kak Milla.” Zino tersenyum mengikuti cara Vivian memanggil Kamilla. Ini juga Jean yang memberitahunya tepat saat melihat Kamilla datang.
Jean benar-benar abang yang berdedikasi.
“Darimana kalian?” Kamilla mengambil alih Mio dari gendongan Zino.
“Hanya berjalan-jalan diluar. Aku menemukannya sedang melihat bunga.” Zino dengan lancar setengah berbohong.
Zino menatap Mio yang sama sekali tak menyela kebohongannya. Anak pintar. Lain kali dia akan memberinya es krim.
“Sudah terlalu malam. Aku akan tidur, Mio juga harus tidur kan?” Ucap Zino sebelum meninggalkan Kamilla yang masih memandanginya dengan aneh.
“Selamat malam, bibi.” Ucap Mio dengan ceria.
“Selamat malam.” Zino melambai lalu masuk ke kamarnya.
Pemuda itu langsung menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Dia tidak peduli dengan kecurigaan Kamilla. Bayarannya kurang mahal untuk membuatnya berakting setiap detiknya.
Pagi harinya, Zino dengan malas bangun. Dia selalu cemberut saat melakukan ritual merubah diri. Memasang dada palsu, memasang pengubah suara, merawat rambut panjangnya, memoles bedak lalu lipgloss, setelah itu dia masih harus memakai bulu mata palsu.
Menjadi wanita sungguh merepotkan!
Karna sudah melakukannya berkali-kali, tentu saja Zino semakin mahir melakukan kegiatan itu. Terlebih akan merepotkan jika terus mengandalkan Alice sedangkan wanita jejadian itu tidak selalu ada.
Zino sama sekali tidak bangga. Dia justru ingin menangis. Bagaimana bisa pria setampan dia mahir melakukan hal-hal yang biasa dilakukan para gadis!
Saat Zino selesai berdandan, seorang pelayan datang dan mengaturnya ke ruang makan kecil didekat dapur.
Disana sudah ada para nyonya, menantu, mantan menantu dan Mio.
Zino semakin ingin menangis. Sebagai pria kenapa dia harus berkumpul dengan para wanita ini? Bukankah dia seharusnya berada diruang makan utama bersama para pejantan tangguh?
“Vivian, kemarilah. Kau terlambat, kau tahu. Kami sudah selesai.” Rua dengan ramah menyapanya.
Pagi ini juga istri Leihan itu terlihat seksi. Dengan gaun santai berwarna peach yang hanya sejengkal dibawah pinggul. Meski tidak memamerkan dua asetnya, bagian itu masih terlihat menonjol dan menarik mata.
Ini seperti penghiburan untuk Zino.
“Maaf.” Zino tersenyum malu-malu ala Vivian. Zino pikir menjadi pemalu bukan hal bagus. Jika ini dia, tentu akan dengan senang hati mengajak Rua berkencan.
Tunggu, mungkin tidak. Zino tidak mau bersaing dengan Leihan.
Bukannya apa-apa, mendapatkan Mei atau Mayu yang tanpa saingan saja Zino kesulitan. Apalagi harus bersaing dengan pria sematang Leihan. Zino kalah telak!
Maaf, ini bukan pesimis. Tapi realistis.
“Bibi!” Mio dengan riang menghampiri Zino.
“Halo cantik. Bagaimana tidurmu? Kau bermimpi indah?” Zino dengan senang menggendong Mio.
Tapi beberapa saat kemudian dia tersadar. Sekitarnya tiba-tiba hening. Zino tidak tahu apa yang dipikirkan Ellie dan Rua. Tapi kurang lebih memiliki dugaan bagaimana isi pikiran Loraine dan Kamilla tentangnya. Tepatnya tentang Vivian yang sedang diperankannya.
Ups. Sepertinya Zino melakukan kesalahan.
“Sayang, mama tidak tahu kau bisa begitu baik bersama Mio.” Loraine tersadar lebih dulu.
“Benar. Aku bahkan berpikir jika aku berhalusinasi tadi malam.” Sambung Kamilla.
“Apa ada sesuatu yang salah?” Kali ini suara Ellie terdengar acuh tak acuh.
“Benar, apa ada yang salah?” Zino memutuskan memasang wajah tanpa dosa dan mengulang pertanyaan Ellie.
Rua tertawa senang melihat betapa manisnya sikap Zino. Dengan cepat dia menarik Zino dan mendudukkannya disalah satu kursi.
“Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Tapi membiarkan anak semanis ini menunda sarapan bukankah hal buruk?”
Zino mengangguk senang. Terpujilah Rua yang menyelamatkannya.
Membenarkan posisi Mio dipangkuannya, Zino meraih roti yang sudah diolesi selai nanas oleh Rua.
“Sayang, kau alergi nanas. Kau lupa?” Loraine menghentikan tangan Zino yang hampir meraih roti dengan lembut.
Meski lembut, itu sangat menyakiti Zino. Dia menyukai nanas!
*****