Author : Keyikarus
[Chapter 17]
Kepala Zino keliyengan setelah menghabiskan dua mangkuk es krim. Dia tidak sadar jika dirinya menjadi pusat lirikan orang-orang disekitarnya.
Seorang gadis manis berpakaian anggun menghabiskan dua mangkuk es krim dengan cara makan ala bar-bar. Belum lagi kakinya yang bergoyang-goyang dibawah meja tidak mengenakan sepatu. Itu pemandangan langka.
Sedangkan Mio sudah tak berdaya setelah menghabiskan satu mangkuk es krim.
Bibi dan keponakan itu merosot dengan gaya yang sama dikursi. Membuat orang-orang yang melihatnya ingin berteriak gemas.
Bagaimana tidak jika wajah keduanya memasang ekspresi puas yang kekanak-kanakan.
“Kita pulang, oke?” Zino dengan lesu meraih tasnya.
Disisinya Mio mengangguk meraih heels Zino. Mereka bergandengan tangan meninggalkan tempat itu diiringi pandangan takjub orang-orang yang mereka lewati.
Taxi hanya mengantarkan mereka sampai depan pintu pagar. Sekuriti yang melihat mereka dengan cepat membuka pintu pagar.
Dia pernah melihat sekali Zino datang dan dengan santai berlari-lari dihalaman. Karna itu sekarang dia dengan diam mengikuti dua orang besar dan kecil itu yang berjalan santai. Hanya berjaga jika sesuatu terjadi.
Saat memasuki ruang tamu, Zino dan Mio berhenti. Jean dengan pelan meletakkan majalah yang dibacanya ke meja dan menatap mereka.
Jean dengan tak berdaya berkata: “Kau membuatku tak bisa berkata-kata.”
Zino menggaruk tengkuknya dengan canggung. Dia tertawa hambar karna tidak tahu harus berkata apa. Zino sadar dia adalah seorang pengacau.
Yang sedikit aneh, Mio justru hanya diam saja menatap papanya. Seolah dia tidak memiliki kerinduan atau kesenangan saat bertemu dengan Jean.
“Mio, kemarilah.” Jean berucap tenang.
Meski Mio tak berombak saat bertemu Jean, tapi dia masih menurut. Dengan pelan gadis cilik itu melangkah ke arah Jean.
Jean memeluk putrinya, lalu melotot pada Zino dibalik punggung putrinya.
“Ku pikir aku akan pergi mandi.” Ucap Zino canggung.
Mendengar suara Zino, Mio menggeliat dipelukan ayahnya dan memandang Zino yang berjalan pergi.
“Bibi aku ikut!” Jeritnya yang semakin membuat Zino canggung.
Dia yang seorang pria bagaimana bisa memandikan gadis kecil.
Beruntung Jean membujuk putrinya sebelum Zino bisa memikirkan alasan yang bagus untuk menolak.
“Papa yang akan memandikanmu.”
Mio dengan cemberut menatap Zino yang menghilang ke kamarnya.
Jean tidak tahu bagaimana bisa putrinya melekat dengan sosok yang baru dua kali ditemuinya.
Namun Jean sepertinya lupa jika dimata Mio, Zino adalah Vivian. Bibi yang tidak menyukainya tiba-tiba menyukainya. Bahkan menggendongnya. Menghilangkan kesan ‘tidak ada orang yang dekat dengannya’ dihati Mio.
Mio memilih Kamilla karna menurutnya wanita itu yang paling peduli padanya. Dan sekarang bibinya lebih peduli daripada mamanya.
Selesai mandi, Mio segera berlari ke kamar Zino. Membuat Jean merasa jengkel bercampur iri. Saat putrinya memilih ikut mamanya, baginya itu wajar. Tapi saat putrinya memilih orang yang baru dua kali ditemuinya daripada dia, itu sangat menjengkelkan.
Di sisi lain Zino yang kedatangan Mio nyaris berteriak histeris. Dia mendorong gadis itu keluar kamar dan dengan buru-buru mengumpulkan dada palsunya dan memasang pengubah suaranya.
Melihat Mio dengan manis naik ke ranjangnya, Zino memiliki dorongan ingin menangis. Dia kehilangan satu-satunya waktu dimana dia bisa menjadi dirinya sendiri.
Tapi bagaimana dia bisa tega mengusir keponakan manisnya. Maka dia berakhir menghabiskan malam dengan Mio.
Keesokkan paginya dengan sangat tumben Jean mengetuk pintu kamar Zino. Dia pikir karna weekend dan Mio ada di sini, dia akan memanfaatkan waktu untuk lebih dekat dengan putrinya.
Zino dan Mio keluar kamar dengan rambut seperti sangkar burung dan wajah lesu. Saat Zino menguap, Mio meliriknya dan melakukan gerakan yang sama.
Jean baru tahu jika putrinya yang biasanya begitu pasif bisa bertingkah menggemaskan.
Dengan gemas dia menggendong Mio dan mencium pipinya. Lalu dia berkata: “Bagaimana tidurmu?”
Mio tertawa geli.
“Bibi tidurnya seperti kucing, rrrr rrrr rrrr….”
Zino: “…….”
Jean: “……”
Tidak tahu harus menjawab apa, Jean hanya membawa putrinya untuk mencuci muka sebelum sarapan.
Setelah membersihkan diri, Zino juga menyusul untuk sarapan.
Karna permintaan Mio, mereka sarapan dihalaman samping. Ada kolam kecil berisi ikan koi dan sepetak kandang kelinci. Batu-batu disusun menjadi jalan setapak menuju kolam dan kandang kelinci. Pohon-pohon yang dipangkas rapi berjajar teratur. Bahkan rumpun bunga mawar berbagai warna tertata cantik.
Meski Zino pria, dia tetap menyukai setiap kali melihat pemandangan ini.
“Apa yang kau lakukan hingga Mio bisa begitu lengket padamu?” Tanya Jean. Matanya tidak menatap Zino, melainkan menatap Mio yang memberi makan kelinci.
Zino menggeleng sebagai jawaban karna mulutnya sedang penuh. Jarang-jarang Jean tidak melarangnya makan banyak. Dia diet omelan Jean.
Jean menghela nafas sebelum meneruskan ucapannya. “Sejujurnya aku senang kau bisa membuatnya betah berada dirumah ini. Kau tahu, ini pertama kalinya.”
Jean menoleh dan kecewa melihat Zino sibuk makan. Pemuda itu tidak mendengarkan curhatan penuh perasaannya. Apa dia tidak tahu jika seorang Jean curhat itu sangat langka?!
Merasakan tatapan Jean, Zino mengangkat kepalanya dan memiringkannya menatap Jean.
“Apa?” Tanyanya polos.
“Lupakan.” Jean meluruskan bibirnya, kesal.
Ternyata bukan hanya Jean yang berpikir menghabiskan akhir minggu dengan hal tidak biasa.
Seorang pelayan datang mengatakan jika Zinan datang berkunjung.
“Pergilah temui si brengsek itu. Pastikan saja dia tidak merusak hariku bersama Mio.”
Zino dengan cemberut melangkah pergi untuk menemui Zinan. Kenapa pria itu harus merusak harinya tenangnya.
Yang disebut perusak hari tenang sedang duduk santai. Posturnya tegak dengan kaki ditumpuk, menyiratkan keanggunan.
Saat melihat Zino, Zinan berdiri dan tersenyum manis.
“Senang melihatmu.”
Zino tersenyum kecut dan menjawab: “Aha ha aku juga cukup senang melihatmu.”
“Itu bagus. Aku membawakanmu ini.” Zinan menunjukkan benda yang dibawanya.
Zino menjulurkan lehernya dan melihat kotak gitar. Itu terlihat mahal. Membuat matanya berkilauan.
Melihat mata yang hidup itu, Zinan tersenyum puas. Tidak sia-sia dia bergerak cepat setelah mendengar pembicaraan Vivian dan Leihan. Sepertinya gadis itu lebih mencintai gitar dibanding piano.
“Ini terlihat bagus.” Zino dengan semangat mengambil kotak gitar dari tangan Zinan. Dia cukup puas saat memainkan gitar butut Doni, tapi dia sangat puas mendapatkan gitar dari Zinan.
“Kau mau mencobanya?”
Zino mengangguk penuh semangat. Biasanya kualitas benda mahal selalu bagus. Dia tak sabar ingin mencobanya.
“Kita bisa melakukannya di kamarmu.”
Senyum Zino luntur mendengar ucapan Zinan. Matanya yang berkilauan kini memiliki kilat kecurigaan.
“Kenapa?”
Melihat Vivian yang memandangnya curiga, Zinan dengan cepat menjelaskan: “Pertama, kau sudah melihat kamarku. Maka aku harus melihat kamarmu. Kedua, aku sudah memberimu hadiah, maka kau harus memainkannya pertama kali untukku. Lalu aku akan mengambil hadiahku sebagai gantinya nanti.”
Mendengar ucapan Zinan, Zino merasa ada yang salah. Terlebih Zinan ini terlalu pemaksa. Zino bahkan tidak meminta hadiah, tapi dia harus memberi hadiah sebagai balasan. Ini pemerasan!
Tapi Zino tidak bisa begitu saja mengembalikan gitar itu. Kapan lagi dia bisa mendapatkan barang gratis yang terlihat mahal.
Jadi dia dengan berat hati mengangguk. Dia bisa memberi Zinan hadiah sangat murah nanti.
Mereka berdua masuk dengan damai ke kamar Vivian.
Selagi Zino menyetel gitar barunya, Zinan memutar kepalanya mengamati kamar gadis tunangannya.
Ranjangnya berwarna putih gading, gordennya juga berwarna senada. Meja riasnya tidak seperti gadis pada umumnya yang penuh produk perawatan kecantikan. Hanya ada beberapa barang saja.
Zinan mengernyit saat melihat tumpukan boneka berbagai ukuran disudut kamar. Seolah-olah tak terpakai. Sebenarnya tipe gadis seperti apa tunangannya ini?
Bunyi petikan gitar mengalihkan perhatian Zinan.
Zino yang tersenyum lembut menyenandungkan sebuah lagu mellow. Lagu tentang seorang yang kesepian.
Ekspresinya begitu melankolis dan menawan. Di tambah cahaya samar sinar matahari yang masuk dari jendela seolah menyiraminya, menciptakan pemandangan cantik yang menenangkan.
Zinan tanpa sadar mengamati detil wajahnya yang terlihat lembut, hidung mungilnya, juga bibir merah yang terbuka tertutup menyenandungkan lagu. Penampilan itu begitu menggoda. Membuat Zinan menelan salivanya.
Saat Zino menyelesaikan lagunya, Zinan tersenyum tulus dan bertepuk tangan.
“Permainanmu sangat bagus.”
Mendengar pujian Zinan, Zino mengangkat dagunya. Dengan sombong dia berkata: “Tentu saja. Jika aku sedikit lebih beruntung, aku akan menjadi penyanyi yang populer.”
Zinan tertawa. Entah kenapa dia sama sekali tak terganggu melihat kesombongan gadis didepannya. Justru itu terlihat sangat imut.
“Apa yang membuatmu kurang beruntung?”
“…” Jawaban yang nyaris keluar tersangkut ditenggorokan saat Zino mengingat perannya sebagai Vivian.
Tersenyum lemah, Zino mengubah jawabannya: “Tentu saja karna tubuhku begitu lemah.”
Zinan mendekati gadis yang terlihat tak berdaya itu. Secara naluriah dia menariknya ke dalam pelukannya.
*****
Ohooooo…. Hadiah Apakah yg nanti akan diminta zinan pada zino…
[…] Chapter 17 […]
OMG dipeluk-DI-PE-LUK OMG 😳😳
Aduh g sabar nuggu kelanjutanx ikut dag dig dung htku 😂😂
Zino yg dipeluk aja biasa aja, malah aku yang baper itu gimaanaaa?!! 😂😂
Ahh, zinan!! Kapan kamu bakal ‘lari’??? Kok ‘ngesot’ mulu sihh?? Ntar ‘vivian’ keburu jadi zino lohh~~~
Zino udah kaya magnet menarik banyak org 🤣🤣
Q deg2an,,klo pe zinan liat smua dompetnya gimana????
Aaaaaaaa cia cia cia. Sukakkk
Berikan dirimu seutuhya pada Zinan sbg hadiah wkwke 😂😂
[…] << Peran Pengganti – Chapter 17 […]