Author : Keyikarus

[Chapter 8]

 

Juena melirik mas Kun di sampingnya dengan tatapan menyalahkan. Harusnya kuntilanak sok bangsawan itu memeriksa lokasi pendaratannya lebih dulu.

Yang dilirik hanya menundukkan kepalanya dan bergumam meminta maaf.

Yanzi yang luput memperhatikan interaksi itu mengalihkan tatapannya dan bergumam santai, atau lebih tepatnya berusaha santai.

“Maaf. Seharusnya aku membawa pakaian ganti saat mandi.”

“Mmmn.” Juena hanya bergumam sebagai jawaban.

Yanzi menahan sensasi menggelitik karna bulu-bulu di seluruh tubuhnya meremang. Tapi dia tahu penyebabnya bukan mas Kuntilanak atau mbah genderuwo yang berdiri disamping Juena. Melainkan suara malas Juena.

Yanzi bukanlah orang yang senang mendramatisir keadaan. Namun, dia tidak bisa menyingkirkan reaksi tubuhnya saat melihat Juena. Bahkan dia menjadi sosok impulsif yang ingin memamerkan tubuh idealnya pada Juena.

Yanzi menegakkan punggungnya, mendekati lemari dengan langkah teratur. Dia seolah tiba-tiba menjadi gila saat memakai pakaiannya dengan cara paling maskulin yang menyembunyikan godaan.

Sayangnya yang digoda hanya mengerjap polos memandang prilaku aneh Yanzi sebelum akhirnya mengeluarkan suara.

“Di mana ruangan adikmu berada? Membiarkan roh terlalu lama bersembunyi ditubuhnya bukanlah hal bagus.”

Juena menguap hingga air mata muncul disudut matanya. Gigi taring favorit Yanzi mengintip dari sela-sela bibir merah itu. Seolah tidak cukup, Juena menatap Yanzi dengan mata lembab. Membuat manik heterokrom itu berkilauan dibawah pantulan cahaya lampu.

Yanzi yang semula berniat menggoda diam-diam justru tergoda melihat pemandangan itu. Untuk menutupi bagian paling jujur ditubuhnya, Yanzi dengan cepat memakai pakaian. Tidak selambat sebelumnya.

Mas Kun sangat mengerti apa yang sedang dilakukan sosok tidak masuk akal Yanzi, namun dia tidak mengatakan apapun. Sedangkan Mbah Genderuwo lebih fokus pada gerak-gerik Juena.

“Ayo.” Ajak Yanzi.

Dia memimpin seorang bocah dan dua orang hantu menuju kamar Yumi. Kali ini dia merinding karna baru mengamati sungguh-sungguh penampilan genderuwo disisi Juena.

Tidak seperti Kuntilanak yang memakai pakaian berkibar bak bangsawan jaman kuno, tubuh tinggi besar mbah Genderuwo hanya ditutupi oleh bulu lebat di sekujur tubuhnya. Taringnya tidak imut seperti milik Juena, melainkan besar dan panjang. Hidungnya lebih seperti gorila.

Jadi Yanzi berpikir mungkinkah genderuwo ini campuran antara manusia dengan gorila? Setelah semua, Genderuwo adalah gambaran yang pas untuk kata menyeramkan.

“Tu…aaaaaaaahhhh!” Seorang pelayan yang berniat memanggil Yanzi untuk makan malam berteriak histeris saat melihat genderuwo yang berjalan paling belakang lalu pingsan.

Juena menggosok-gosok telinganya sembari masuk ke kamar Yumi mengabaikan pelayan yang pingsan dan derap langkah kaki yang mendekat. Mungkin itu para pelayan lain yang mendengar jeritan.

Mbah Genderuwo dan mas Kunti mengikuti Juena, membiarkan Yanzi mengurus penghuni rumahnya sendiri.

Melihat itu, Yanzi menghela nafas. Dia menutup pintu kamar Yumi agar tidak ada yang akan melihat mbah Genderuwo lagi. Atau semua pelayan akan pingsan.

“Kalian rawat dia. Aku akan makan malam nanti.” Perintah Yanzi sebelum masuk ke kamar Yumi.

Para pelayan yang tidak sempat menanyakan apa yang terjadi hanya bisa menahan diri dan membawa rekannya turun. Tugas mereka hanya mengurus rumah, bukan mengurus kepentingan majikannya. Tentu saja mereka sadar akan hal itu.

Di dalam kamar Yumi, Yanzi melihat Juena duduk di sisi adiknya yang masih terlelap. Bocah itu memiringkan kepalanya menatap intens wajah Yumi.

Tidak tahu kenapa, Yanzi merasa terganggu dengan adegan itu. Mata Juena terlalu cantik hingga Yanzi dengan serakah ingin memilikinya sendiri. Tanpa berbagi. Tapi bagaimana mengatakannya?

Bisa saja Juena menganggapnya gila karna mengutarakan ketertarikan hanya karna dua kali pertemuan.

Juena mengulurkan tangannya yang putih dan mungil untuk menyentuh bagian diantara alis Yumi dengan ibu jarinya. Perlahan dia menyeret ibu jarinya ke atas meninggalkan jejak ukiran sars, lalu ke samping kanan dan kiri. Hingga dahi Yumi memiliki garis dengan ukiran sars yang membuatnya terlihat seperti putri jaman kuno.

Beberapa saat kemudian, tubuh Yumi berguncang seolah mengalami kejang-kejang hebat. Matanya membeliak dengan urat-urat merah disekitarnya. Erangan kesakitan keluar dari mulut gadis itu. Begitu kasar dan memekakkan telinga.

“Yumi!” Yanzi ingin mendekati adiknya karna khawatir. Namun Mbah Genderuwo menghadangnya.

Yanzi ingin mengeluh saat dadanya yang bersentuhan langsung dengan tangan Genderuwo saat dia didorong ke belakang seperti ditekan beban berat. Dia menahannya tentu saja. Yanzi terbiasa dipandang sempurna oleh setiap pasangannya, jadi dia sama sekali tidak mau merusak imejnya didepan Juena.

Sejujurnya Mbah Genderuwo bahkan tidak mengeluarkan tenaga, dia hanya menahan Yanzi selayaknya manusia yang menahan manusia lainnya. Namun perbedaan kekuatan antara dia dengan manusia jelas terlalu besar.

Yanzi tidak ingin ribut meski hatinya gelisah. Dia memiliki kepercayaan jika Juena hanya berniat menyadarkan Yumi. Mengenai prosesnya yang menyakitkan, itu mungkin tidak dapat dihindari.

Refleksnya tadi murni karna kekhawatiran seorang kakak yang melihat adiknya kesakitan.

Perlahan kejang-kejang Yumi berhenti. Matanya kembali terpejam namun nafasnya masih tersengal-sengal. Seolah telah melakukan sesuatu yang membuatnya sangat kelelahan.

Dengan mata telanjang, Yanzi bisa melihat sebuah gelembung keluar dari mulut Yumi. Gelembung transparan itu semakin besar hingga menyamai ban truk. Setelah seluruh gelembung keluar dari tubuh Yumi, Yanzi menggeleng tak percaya saat melihat seorang anak perempuan yang memegang boneka meringkuk didalamnya dan menatap Juena dengan mata memerah. Anak itu jelas akan menangis.

“Jangan menangis.” Juena dengan ringan menusukkan jarinya pada gelembung.

Aksara sars merambat melingkari gelembung. Anak didalamnya mencebik sebelum terisak-isak tanpa suara.  

Jika Banaspati disini, dia pasti dengan sukarela menjelaskan fenomena ini pada Yanzi. Sayangnya disini hanya ada orang-orang minim bicara. Tidak ada pertanyaan maka tidak ada jawaban.

Yanzi dengan tenang melihat bagaimana aksara indah itu melilit keseluruhan gelembung. Lalu perlahan menekan gelembung, memaksanya mengempis hingga anak didalamnya menjerit dan memukul-mukul dinding gelembung. Lagi-lagi tanpa suara.

Semakin lama kecepatan menekan aksara itu semakin kuat hingga hanya butuh kurang dari satu menit untuk membuat gelembung dengan roh anak didalamnya lenyap.

Gulungan aksara itu memudar dengan sinar putih menyilaukan sebelum akhirnya menghilang.

Juena menoleh, matanya mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk kecil pada mas Kun dan mbah Genderuwo.

“Pekerjaan sudah selesai. Kami akan pergi. Silahkan tepati janjimu untuk separuh kesepakatannya lagi.”

Mbah Genderuwo bertindak sebagai juru bicara selagi Juena dan mas Kun sudah berjalan terlebih dahulu menuju kamar Yanzi. Mereka masih membutuhkan sofa kesayangan Juena.

Hanya begini saja?

Yanzi menatap bagian belakang mbah Genderuwo. Dia bahkan tidak lagi memikirkan betapa menyeramkannya penampilan hantu satu itu. Didalam kepalanya saat ini berputar berbagai hal yang mengatakan seharusnya tidak hanya seperti ini.

Bukankah seharusnya mereka mengobrol dulu beberapa hal meski pekerjaan sudah selesai?

Yanzi lupa jika dia adalah tipe tanpa basa-basi saat bekerja dengan para kliennya. Bahkan dia tanpa basa-basi saat meninggalkan partner satu malamnya.

Memikirkan Juena yang akan segera pergi, kaki Yanzi bergerak cepat menyusul ke kamarnya. Dia merasa tak boleh hanya seperti ini saja.

“Tunggu.” Panggil Yanzi tepat ketika mas Kun nyaris memunculkan lubang teleport-nya.

Juena yang sudah duduk manis disofa kesayangannya menoleh menatap Yanzi. Dia tidak mengatakan apapun, tapi matanya yang berkedip bingung jelas melontarkan pertanyaan.

“Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana dengan makan malam disini?”

Juena menggaruk pipinya lalu tersenyum malas, “Ucapan terima kasihmu sudah ku dapatkan berupa kesepakatan. Jadi tidak perlu repot.”

Melihat Juena tak tertarik, pikiran Yanzi menjadi kelabakan meski dia berhasil mempertahankan citra tenangnya.

“Baiklah. Bagaimana dengan Alan?” Tanya Yanzi.

Meski pertanyaan itu wajar untuk seorang yang mengkhawatirkan temannya yang ditahan dukun, tapi selain Juena yang malas berpikir, yang lain tentu tahu bagaimana Yanzi berusaha menahan bocah dukun itu.

“Mmmn… ku rasa dia menikmati waktunya. Kan mas Kun?”

Yang ditanya mengangguk lalu berkata, “Dia sangat menikmati waktunya.”

“Jadi jangan khawatir.” Juena melambaikan tangannya lalu menarik selimut menutupi tubuhnya. Bocah itu meringkuk seperti kucing pemalas dan bergumam.

“Ayo pergi. Aku masih harus mandi.”

Mengabaikan Yanzi yang ingin mengatakan sesuatu, mas Kun sudah memunculkan lubang teleport yang menelan mereka bertiga.

*****

<< Juena 7

Recommended Articles

0 Comments

  1. Baru dua kali pertemuan tapi yanzi sudah benar – benar terpesona dengan mbah juena…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!