Author : Keyikarus
[Chapter 11]
Dengan alasan memeriksa Alan, Yanzi pergi mengunjungi Juena pada akhir minggu. Dia dengan keras kepala mengerjakan pekerjaannya di mobil. Kebiasaan yang baru mulai dibangunnya ini menghasilkan sedikit sakit kepala.
Tentu saja dia tidak akan pergi sendiri. Dengan alasan sudah kenal tujuannya, dia menyewa Rory lagi dan satu temannya untuk menemaninya.
Rory yang entah kenapa tak bisa menolak jadi sedikit menggerutu. Hanya sedikit. Karna bagaimanapun dia masihlah bodyguard profesional. Karna takut dianggap berhalusinasi dan tidak rasional, Rory sama sekali tidak menginformasikan apapun hal aneh ditempat tujuan mereka pada rekan kerjanya kali ini, Devon.
Perjalanan mereka kali lebih cepat satu jam dari yang pertama. Karena tidak ada Alan, tidak ada yang merecoki mereka untuk beristirahat lebih dulu, atau merasakan camilan di hutan lebih dulu demi mendapatkan sensasi petualangan.
Pukul tiga sore, Yanzi yang sudah absen tiga hari tidak melihat Juena dengan langkah tegap namun tidak sabar merangsek masuk ke pondok bobrok itu.
“Tuan tunggu!” Rory dengan cemas memanggil Yanzi.
“Apa yang kamu cemaskan?” Belum dua detik Devon selesai bicara. Mereka berdua sudah jatuh tertimpa tubuh Yanzi.
“Ini yang aku cemaskan. Tuan, kenapa begitu impulsif?” Kalimat pertama dia tujukan pada Devon sedangkan kalimat kedua adalah keluhan pada Yanzi.
Sebagai seorang berpengalaman seharusnya mereka bisa lebih berhati-hati. Tempat ini sama berbahayanya seperti lapangan penuh ranjau darat.
Dan sebagai orang yang tidak memiliki gambaran apapun pada tempat ini, Devon dengan cepat bangkit. Menempatkan Yanzi dibelakangnya. Dan memasang pose siaga. Bahkan pria dengan cambang bauk itu mengeluarkan revolver-nya.
Rory menatap Devon dengan kasihan.
Sedangkan Yanzi hanya memperbaiki penampilannya dan menarik nafas. Di dalam hati dia menggerutu betapa hantu itu kurang ajar. Mengapa menghalanginya untuk bertemu Juena-nya.
“Hanya karna bertemu beberapa kali, tolong jangan anggap kau dekat dengan tuan dan datang tanpa sopan santun.” Suara serak ini seperti milik mbah Genderuwo.
Sementara Rory merinding dan Devon kebingungan mencari asal suara, Yanzi lebih ke tersinggung mendengar ucapan sembrono hantu itu.
Jika dia tidak bisa menganggap mereka dekat. Maka biarkan dia berusaha membuat mereka dekat.
Sebelumnya dia bisa masuk dengan mudah ke gubuk itu, kenapa sekarang dipersulit?
Yanzi tidak tahu jika sebelumnya yang menjaga adalah si teledor dedek tuyul. Namun karna Juena bersuara dengan tak senang, mbah Genderuwo yang paling sensitif dengan suara tuannya itu seketika datang dan melemparnya keluar.
“Siapapun itu, dia cerdik karna menggunakan pengeras suara. Kita harus menemukan sumbernya.” Devon yang siaga, melangkah dengan waspada menuju gubuk itu.
Rory hanya berdiri ditempatnya memandang Devon dengan kasihan. Bagaimana bisa rekannya itu membohongi keadaan dengan menganggap musuh mereka menggunakan pengeras suara? Bukankah seharusnya dia membandingkan kecocokan gubuk bobrok ini dengan peralatan modern?
“Biarkan aku bertemu Juena.” Ucap Yanzi.
Nadanya sedikit kesal namun masih bermartabat. Devon menatap Yanzi dengan linglung. Tidak ada permusuhan dalam nada bicara tuanya itu. Namun, Devon tidak menemukan dengan siapa Yanzi berbicara.
Apakah tempat ini bahkan lebih canggih dari perusahaannya yang membutuhkan interkom atau telepon dan sejenisnya untuk menerima suara dari ruangan berbeda? Tapi dimana dia bisa menemukan peralatan seperti itu di gubuk yang terlihat nyaris roboh seperti ini? Bahkan disini tidak ada listrik!
“Tunggu sampai tuan bangun, atau dia akan merasa kesal.” Mbah Genderuwo menyahut tanpa wujud.
Yanzi sebenarnya tidak senang dengan pengaturan ini. Tapi dia tidak memiliki pilihan selain mengangguk. Bagaimana dia bisa menyingkirkan para hantu ini agar hubungannya dengan Juena berjalan lancar? Apakah dia harus bertapa di suatu tempat untuk mendapatkan ilmu tinggi? Itu sungguh tidak masuk akal. Alih-alih mendapatkan ilmu tinggi, siapa yang tahu jika akhirnya Yanzi akan mati kelaparan.
Devon yang masih siaga kebingungan melihat Yanzi mengambil selimut yang disatukan dengan tas kemping dipunggung Rory.
Dengan tenang Yanzi menggelar selimut sementara Rory membangun tenda kecil. Benar, persiapan mereka sangat cukup kali ini.
Devon dengan linglung menatap Yanzi yang duduk tenang dan melambai padanya. Meski ragu, Devon akhirnya menghampiri Yanzi tanpa mengendorkan kewaspadaan pada gubuk dibelakangnya.
Sementara Rory membawa peralatan kemping, Devon membawa makanan, air dan laptop beserta perlengkapannya milik Yanzi.
Yanzi memasang beberapa penangkap signal dan dengan tenang mengerjakan pekerjaannya. Dia memang ingin bertemu Juena, namun jika itu tidak bisa terjadi dengan cepat, dia hanya bisa memilih mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya lebih dulu.
Dengan linglung Devon mendekati Rory yang duduk tenang tak jauh dari Yanzi.
“Apa yang terjadi disini? Bagaimana bisa mereka membiarkan tuan menunggu entah siapa itu yang sedang tidur. Sungguh tidak sopan.” Dengus Devin jengkel. Yang bisa membayarnya bukanlah orang biasa, jadi perlakuan seperti ini sungguh sulit diterima.
“Apa kau tidak melihat keanehan ditempat ini?” Rory melirik Devon yang mengamati sekitarnya.
“Ya. Terlalu aneh. Bagaimana bisa mereka bersembunyi di tempat seperti ini. Gubuk itu akan hancur bahkan dengan satu granat. Tidak aman dijadikan markas.” Ejeknya.
Rory semakin merasa kasihan pada Devon. Sebenarnya dia tidak terlalu menyalahkannya. Mereka hanyalah bodyguard biasa, kemampuan berkelahi biasa dan dengan senjata yang biasa. Siapa yang akan berpikir jika Yanzi akan menyewa mereka ke tempat yang terlihat tidak berbahaya namun sangat berbahaya ini?
Musuh tak terlihat adalah yang paling menakutkan.
“Tidak melakukan apapun akan membuat kita pulang dengan aman.” Rory tidak mau mengatakan lebih dari ini. Dia sangat meragukan Devon akan percaya jika dia menceritakan yang melemparkan Yanzi adalah hantu.
“Bagaimana bisa? Tuan Yanzi menyewa kita yang berarti kondisi tidak aman.”
Memang tidak aman. Rory tak menyangkal. Dia menyalahkan Yanzi yang terlalu pemaksa dan kembali membawanya ke tempat ini.
“Baiklah, selama tuan Yanzi baik-baik saja maka kita tidak perlu melakukan apapun.” Rory mengubah kalimatnya.
Kali ini Devon setuju. Dia adalah bodyguard berpengalaman yang memiliki reputasi baik. Dia tidak akan membiarkan reputasinya rusak begitu saja.
“Apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh seperti ada seseorang mengamatimu atau tengkuknya merinding?” Bisik Rory penasaran.
Devon mengerutkan keningnya mendengar bisikan Rory. Dia dengan diam mengamati sekitarnya lagi lalu kembali menatap Rory.
“Aku memang merasa ada yang mengawasi. Ku pikir, orang-orang disini begitu profesional. Terasa mengancam namun sulit dideteksi. Sepertinya yang tinggal disini juga bukan orang biasa, dia bahkan mengembangkan tanaman yang bisa berbuah diluar musim. Lalu, pondok itu terlalu tenang. Seolah tidak ada kehidupan di dalamnya.”
Itu karna pemiliknya sedang tidur. Ujar Rory dalam hati dengan putus asa sekaligus takjub. Jika dia memiliki pemikiran seperti Devon, maka dia tidak akan khawatir pergi kemanapun.
Selagi mereka berdua membicarakan hal-hal seperti itu, matahari mulai tenggelam. Kegelapan mulai turun dan Yanzi menutup laptopnya. Membereskan perlengkapannya dan memberikan pada Devon untuk disimpan.
Rory berusaha membuat api unggun. Namun baru menghidupkan korek api, apinya sudah mati seolah ada yang meniup. Itu terjadi beberapa kali hingga Rory nyaris mengamuk.
“Apa tidak ada yang memberitahu jika disini dilarang menghidupkan api?”
Suara bisikan yang terdengar sedikit riang itu membuat tubuh Rory membeku. Jantungnya berdetak keras kehilangan ritmenya.
Devon yang melihat gelagat aneh Rory mendekatinya untuk menegur.
“Kenapa tidak membuat api unggun?” Tanyanya.
“Sudah dibilang disini tidak boleh membuat api…”
“Siapa disana?!” Devon mengeluarkan senjatanya dengan waspada.
“…kenapa begitu galak? Padahal aku hanya mengingatkan dengan baik hati. Jika butuh api, aku bisa membantumu.”
Blar. Sosok penuh api disekujur tubuhnya muncul.
“Berlindung!” Devon reflek berlindung dibalik pohon menyangka itu adalah senjata sejenis granat atau yang seperti itu.
Sedangkan Rory dengan menyedihkan sudah menjadi batu yang dibalut keringat dingin.
Yanzi menatap kekonyolan Banaspati dan dua bodyguardnya dengan datar. Dia senang memiliki kecepatan beradaptasi dengan keberadaan para hantu, atau jika tidak dia akan kesulitan mendekati Juena. Mengabaikan mereka, dia memilih menuju gubuk Juena.
Tepat saat dia akan mengetuk pintu, pintu lebih dulu terbuka. Juena yang sedang mengucek matanya menghentikan gerakannya dan menatap Yanzi.
Mata heterokrom dengan pupil vertikal itu memiliki kilatan terkejut sekilas, lalu menatap Yanzi cukup lama. Cukup untuk membuat suhu tubuh Yanzi meningkat. Dia menyukai mata cantik Juena yang terfokus padanya seperti ini.
Dengan canggung Juena menggaruk pipinya, lalu tersenyum kecil pada Yanzi.
“Kau di sini.” Gumamnya.
“Mereka tidak memberitahumu?” Yang dimaksud Yanzi adalah para hantu. Bukankah biasa bagi dukun untuk mengetahui hal-hal di sekitar mereka dengan cepat?
“Ah mereka tidak berkewajiban memberitahuku apapun jika aku tidak bertanya.”
Yanzi memiringkan tubuhnya saat melihat Juena ingin melewatinya. Dia tidak memiliki aroma yang disukainya secara spesifik. Tapi sepertinya dia akan mulai menyukai aroma mawar seperti yang menguat dari tubuh mungil Juena. Itu terlalu manis dan memabukkan.
******
[…] Chapter 11 […]
[…] << Juena 11 […]