Author : Keyikarus

[Chapter 23]

 

Mereka menghabiskan waktu cukup lama untuk mengantri. Zinan hampir saja menghubungi direktur taman bermain ini karna terlalu tak sabar. Untungnya sebelum dia melakukan itu, giliran mereka telah tiba.

Zino duduk bersama Mio sedangkan Zinan duduk diseberangnya.

Bianglala besar ini akan membutuhkan waktu cukup lama untuk membuat mereka kembali dibawah.

Mio dengan antusias melihat pemandangan diluar yang perlahan mulai mengecil.

“Sudah pernah naik ini?” Tanya Zino padanya.

Gadis cilik itu menggeleng. Mamanya hanya tahu bagaimana menyediakan banyak mainan untuknya. Bukan mengajaknya bermain. Dan papanya… dia tak ingat memiliki kenangan apapun dengannya tentang bermain selain setelah bibinya menyukainya.

“Ini akan bagus jika dimalam hari.” Ucap Zino pada gadis cilik yang antusiasnya hampir memudar disampingnya.

“Benarkah? Kenapa?” Mio menatap Zino sekilas sebelum kembali menatap pemandangan diluar sana.

“Tentu saja karna malam hari yang bisa kita lihat hanya lampu-lampu yang menyala.” Zino ikut memperhatikan pemandangan diluar.

Perlahan yang terlihat bukan lagi hanya kerumunan, tapi juga seluruh taman bermain. Semakin tinggi, mereka bahkan bisa melihat pemandangan kota. Dari atas yang terlihat bukanlah kesemrawutan kendaraan dan manusia, melainkan tatanan gedung, pepohonan, dan jalan yang teratur. Itu sangat menakjubkan.

“Apakah itu cantik?”

“Tentu saja. Sejujurnya aku tidak yakin, tapi ku rasa itu akan seperti melihat bintang di langit namun lebih semarak.” Zino menjelaskan dengan ragu. Dia belum pernah melihat kota dimalam hari dari tempat setinggi ini.

Mio menatap Zino sesaat lalu mengangguk. “Berarti itu cantik. Maka lain kali kita menaiki ini di malam hari ya bibi?”

Gadis mungil itu hanya menyimpulkan menurut pemikiran sederhananya.

Zinan memperhatikan bagaimana keponakan dan bibi itu berinteraksi. Itu cukup membuat orang yang melihat merasa nyaman.

Bicara tentang memperhatikan, mata Zinan menelusuri wajah tunangannya, mengamati detil ekspresi ketika gadis itu dengan sabar menanggapi pertanyaan Mio. Lalu tatapannya turun ke leher jenjangnya dan…. dia menemukan hal yang biasanya hanya lebih menonjol pada pria. Jakun. Itu sangat mungil. Juga garis halus yang langsung diabaikan olehnya.

Penemuan ini membuat Zinan lebih banyak berpikir. Tapi dia pada akhirnya dia hanya bisa yakin jika itu karna gadisnya yang sedikit berbeda. Memangnya apa yang bisa diragukan dari keluarga terpandang kalangan elit seperti Zigan?

“Apa-apaan tatapanmu itu?” Zino mengernyit jijik melihat Zinan menatapnya begitu serius. Itu seperti merencanakan pelecehan padanya lagi.

“Ada apa dengan tatapan ku?” Zinan justru semakin memprovokasi dengan menjilat bibirnya.

Zino merinding dari ujung kaki sampai ujung kepala. Zinan semakin liar. Semakin sulit untuk dihindari. Jika dia terdesak, mau tak mau harus mengungkapkan bahwa dia pria. Konsekuensinya adalah dibunuh Zinan dan dicincang Jean.

Jadi yang mana yang lebih penting? Hidupnya atau harga dirinya?

Tunggu. Bagaimana jika dia memilih meremukkan harga dirinya, saat Zinan menuntutnya berguling diranjang tentu saja Zinan akan membuka pakaiannya dan…. pada akhirnya nasib Zino masihlah dicekik Zinan.

Zino ingin menangis.

Satu-satunya jalan adalah membuat Zinan menahan diri sampai Vivian kembali.

“Tolong simpan tatapan itu untuk beberapa bulan kemudian setelah pernikahan dilakukan.”

Zinan terkekeh melihat mata ngeri gadis didepannya.

“Bukankah kapanpun tidak masalah? Toh pada akhirnya kita akan menikah.”

“Tidak. Harus setelah pernikahan. Kau harus menjadi pria bermoral!” Zino sudah menduga jika otak Zinan terlalu ekstrim. Untunglah dia membawa Mio. Pria itu tidak akan begitu tidak bermoral dengan melakukannya didepan anak-anak kan?

Pada akhirnya mereka hanya memasuki dua wahana. Antri dan kejadian yang tak bisa disebutkan ternyata cukup menyita waktu.

Setelah mengajak bibi dan keponakan itu makan dan membeli beberapa souvenir, Zinan mengantar mereka pulang.

Zino yang merasa dirugikan secara mental saat di bianglala kembali menyempatkan tangannya meraih dompet Zinan. Dia pikir, seandainya pun pria itu akhirnya menyadari tetap tak akan bisa begitu keras. Saat ini dia adalah Vivian. Gadis manis yang dimanjakan.

Saat perjalanan pulang, Zinan memerintahkan supirnya agar berbelok di super market. Dia butuh membeli beberapa bahan makanan.

Zinan sudah membeli apartemen baru. Sudah mengisinya dengan barang-barang bagus, dari yang penting sampai tidak penting.

Sekarang dia akan mengisi kulkasnya. Dia tidak mungkin membiarkan tamunya nanti kelaparan kan?

Benar, Zinan memiliki niat membawa Vivian ke apartemen barunya. Dia ingin gadis itu berkeliaran di area privasinya dan menyadari jika Zinan bersungguh-sungguh dengannya. Bukan lagi hanya karna kepentingan bisnis.

Sayangnya dia harus mengumpat saat berniat membayar barang yang dibelinya. Dompetnya raib.

Dengan tak sabar Zinan menghubungi direktur supermarket dan menjelaskan masalahnya. Tak butuh waktu lama untuknya membawa pulang belanjaannya. Mereka akan mengirimkan tagihannya nanti. Sungguh merepotkan.

Bersyukurlah Zinan cukup belajar dengan hanya menyimpan uang tunai di dompetnya.

Zinan menutup pintu mobil dengan kesal. Setelah supir menjalankan mobilnya, dia mengetikkan nomor orang kepercayaannya di perusahaannya sendiri.

“Cari tahu berapa banyak uang bulanan Vivian sampai dia begitu miskin!”

Statusnya sebagai pimpinan perusahaan IT bukanlah omong kosong. Meski dia tidak mahakuasa dibeberapa bidang, dia memiliki anak buah yang bisa melakukannya. Mencari tahu apa yang diinginkannya bukanlah hal sulit.

Pengaturan ayahnya akhir-akhir ini terlalu menuntut hingga Zinan hanya bisa memeriksa laporan perusahaannya. Bukannya terjun langsung dalam pekerjaan seperti yang dilakukannya sebelumnya. Hanya bagian-bagian yang sangat penting saja yang diperiksanya secara langsung.

Saat dia baru saja membuka pintu, ponselnya berdering. Dia meletakkan belanjaannya dan menjawab panggilan.

“Nona Vivian mentransfer sejumlah besar uang ke rekening seseorang sekitar dua bulan yang lalu. Setelah itu tidak ada transaksi besar apapun dari rekeningnya. Tapi….”

“Lalu bagaimana dengan orang ditaman itu?” Zinan memotong ucapannya.

Jika dia mau mendengarkan sedikit lagi, dia akan mengerti jika ada yang janggal. Hanya saja pikirannya justru menyalahkan Jean dan Zigan yang membuat Vivian kekurangan uang hingga bertindak begitu nakal.

Entah sejak kapan Zinan luput menyadari jika dia mulai berubah menjadi idiot jika berhubungan dengan Vivian. Terlalu impulsif dan mudah membuat kesimpulan.

“Itu sama sekali tak ada hubungannya dengan nona Vivian. Tapi…”

“Bagus. Itu sudah cukup.” Zinan memutuskan sambungan dengan perasaan lega.

Namun entah bagaimana masih ada hal yang mengganjal dipikirannya.

Terkadang pebisnis yang baik bisa begitu emosional bila menghadapi masalah perasaan. Tindakannya menjadi tak masuk akal dan tak sabaran.

Terlebih, ini adalah pertama kalinya dia begitu tertarik pada seorang gadis. Yang mengejutkan adalah statusnya yang disetujui oleh kedua keluarga. Membuatnya sama sekali tak mengkhawatirkan kesulitan apapun menuju pernikahan.

*****

 

Zino membiarkan baby sitter memandikan Mio. Gadis kecil itu sepertinya kelelahan karna langsung tertidur di ranjang Zino.

Melihat situasi aman, Zino juga bergegas mandi. Dia selalu harus mengalihkan perhatian Mio lebih dulu sebelum bisa melakukan hal pribadi.

Zino dengan manis duduk diranjang dan menghitung uang yang didapatkan dari Zinan.

Dia memasang pose berpikir saat melihat isi dompet Zinan hanya uang saja. Tidak ada yang lain. Apa orang kaya juga akan mengalami kesulitan mengurus kartu-kartu itu?

Zino memilih mengabaikan hal tidak penting itu dan menyimpan uangnya di tas. Dia harus menghela nafas melihat tas cantiknya. Itu membuatnya sudah terlihat seperti seorang gadis sungguhan.

Zino bergerak turun dari ranjang untuk menyelipkan dompet Zinan ke laci bersama yang lain.

Namun sepertinya kesialan Zino sedang mencintainya. Jean yang baru pulang kerja mencari Mio ke kamarnya.

Saat membuka pintu, mata Jean menyipit begitu menangkap dompet ditangan Zino. Dengan wajah galak dia menghampiri Zino dan merebut dompet itu. Membuat Zino terkejut setengah mati.

“Milik siapa?” Tandas Jean.

“Tentu saja milikku.”

Melihat Zino dengan keras kepala tidak mengakui kejahatannya, amarah Jean tersulut.

Dia lelah karna masih harus bekerja saat akhir pekan, hanya ingin melihat wajah manis putrinya sebagai gantinya. Namun justru mendapati hal yang sangat menjengkelkan dari pemuda tanpa aturan yang dipungutnya.

Dia sangat tahu pasti barang-barang Zino dirumah ini. Tentu saja dia tak akan tertipu meski Zino dengan keras kepala mengakui jika dompet ditangannya adalah miliknya.

“Kau sangat berani. Maka kau akan menerima hukumanmu sampai kau menyadari kesalahanmu!” Jean menggeretakkan giginya dan memanggil pelayan. Menyuruh mereka menyeret Zino keruangan yang sama dengan hukuman kurungan sebelumnya.

*****


<< PP 22

Recommended Articles

0 Comments

  1. Cinta itu buta by Zinan -_-

  2. wkwkwk,,, sudahlah, zinankan oranh kaya, jadi gak masalah kalo uangnya hilang :’v

  3. Ah…. menanti dia ketahuan 😁😁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!