Author : Keyikarus
[Chapter 16]
Setelah mengucapkan beberapa kata lagi, Yanzi akhirnya pulang. Dia mengabaikan Rory yang dengan tegas mengatakan akan menolak pekerjaan selanjutnya dari Yanzi.
Begitu tiba dirumah, itu sudah sore hari. Yanzi disambut Ersa dan beberapa pelayan yang membungkuk hormat. Membantunya membawa barang-barangnya.
“Dimana ibu?” Tanya Yanzi sembari melepaskan coatnya dan memberikannya pada Ersa.
“Nyonya pergi ke salon, tuan.”
“Yumi?”
“Nona sedang berada diruang baca, tuan.”
Yanzi mengangguk dan langsung menuju ruang baca. Baginya cukup aneh mengetahui Yumi diruang baca. Gadis itu bukanlah seperti gadis yang suka membaca. Dia bahkan mengeluh saat melihat buku terlalu lama. Jadi apa yang membuatnya menjadi begitu sering berada diperpustakaan akhir-akhir ini?
Saat membuka pintu, dia melihat Yumi sedang duduk tenang dengan sebuah buku ditangannya. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Yanzi memperhatikan Yumi lekat-lekat lebih dulu sebelum masuk.
Karna itu dia bisa dengan jelas melihat jika tangan gadis itu mencengkeram bukunya terlalu kuat hingga gemetar samar. Wajah pucatnya sama sekali tidak membaik meski sudah tidak ada teror dalam beberapa hari terakhir. Matanya dengan nyalang bergerak ke sana kemari dengan waspada, namun luput menyadari kehadiran Yanzi yang berada dititik butanya.
Yanzi akhirnya yakin jika ada yang salah dengan adiknya karna bahkan setelah sepuluh menit Yanzi memperhatikannya, halaman yang dibaca sama sekali tidak berubah. Jika ditambahkan dengan sebelum Yanzi datang, entah sudah berapa lama.
Akhirnya dia melangkah mendekati Yumi. Saat dia menyentuh bahu gadis itu dengan ringan, dia bisa merasakan jika tubuh Yumi menegang, nafasnya tersengal-sengal seolah telah berlari beberapa kilo meter.
“Yumi, ini aku.” Ujar Yanzi lembut.
Dengan perlahan Yumi memutar kepalanya menatap Yanzi. Matanya yang terbelalak sekarang menyipit, seolah memastikan itu benar-benar Yanzi atau bukan. Lalu dia menghembuskan nafas lega dan sedikit rileks setelah yakin.
Melihat adiknya lebih baik, Yanzi duduk disampingnya. Dengan hati-hati dia menepuk-nepuk kepala gadis itu.
“Katakan padaku, apakah kau masih melihat hantu dirumah ini?” Tanyanya sembari menatap Yumi.
Dia dengan lembut menepuk-nepuk punggung gadis yang wajahnya semakin pucat. Bahkan bibirnya gemetar. Tapi menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Yanzi.
“Lalu apa yang masih membuatmu ketakutan?”
Yumi menatap Yanzi, lalu perlahan dia membuka mulutnya. Mengeluarkan suara bisikan lembut, “Mereka pergi, tidak terdengar suaranya lagi. Tapi ada yang tetap tinggal. Sesuatu ini tidak pernah terlihat, mereka hanya berbisik, sangat lembut sampai aku tidak bisa mengerti apa yang dikatakan. Mereka seperti sedang menunggu sesuatu, seseorang atau apapun itu. Mereka bahkan terasa lebih berbahaya. Aku menggigil setiap bisikan itu terdengar.”
Yanzi menatap ekspresi adiknya yang terpelintir, matanya melebar penuh antisipasi, bibirnya berbicara dengan gemetar. Jelas adiknya tidak mungkin berbohong.
Dia jadi berpikir mungkinkah Juena melewatkan sesuatu? Jika seperti yang dikatakan Yumi tentang mereka tidak pernah terlihat, mungkin itu bersembunyi saat hantu milik Juena datang.
Tanpa sadar hatinya membela bocah itu.
Sepertinya dia harus membicarakan hal ini dengan Juena lagi. Tapi sungguh merepotkan karna Yanzi harus menunggu akhir pekan atau pekerjaannya akan terbengkalai. Mungkin lain kali dia harus mengusulkan agar Juena memasang telepon.
“Dengar, aku kan mencari solusi untuk makhluk apapun itu. Selama dia tidak mengganggumu, abaikan saja. Liburan sudah berakhir dan kau harus masuk sekolah. Kau tidak perlu memikirkan hal ini lagi. Kau bisa?” Tanya Yanzi.
Dia tidak bermaksud kejam dan tidak mau mengerti kesulitan Yumi. Hanya saja gadis itu mungkin bisa gila jika terus memperdulikan hal-hal seperti hantu. Dan besok sekolah sudah dimulai, Yumi akan memiliki banyak kegiatan yang membuatnya bisa melupakan hal ini.
Yumi menatap Yanzi ragu, tapi lalu mengangguk. Dia menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kecemasannya saat suara samar itu terdengar lagi.
“Baiklah, aku akan ke ruang kerja. Yumi, yakinlah semuanya akan baik-baik saja.” Yanzi mengusap kepalanya dan beranjak meninggalkan perpustakaan.
Setelah Yanzi menutup pintu, Yumi merasakan seseuatu bergerak dibelakangnya. Tangannya yang memegang novel bergetar hebat. Dia bahkan nyaris tidak bisa bernafas karna degup jantungnya terlalu cepat.
Kabut hitam tipis menggeliat dibelakang Yumi, ujungnya membentuk runcing seolah bersiap menyerang gadis itu.
Perlahan kabut itu bergerak mendekat, mendesiskan hawa dingin yang membuat Yumi semakin gemetar.
“Haaah… haaa…” Nafas Yumi terputus-putus.
Bola matanya berusaha melirik ke belakang meski kepalanya tetap diam. Dia berharap bisa melihat sesuatu yang membuatnya merasa terancam dibelakangnya.
Air mata gadis itu menggenang karna terlalu takut. Semua bulu ditubuhnya meremang. Dia datang. Sesuatu itu datang padanya. Seolah akan membekukannya dengan hawa dingin yang disebarkan.
Tepat saat ujung kabut itu nyaris mengenai belakang kepala Yumi, gadis itu menoleh cepat. Membuatnya melihat bayangan kabut hitam yang berada tepat didepan matanya.
Itu menggumpal, tipis. Tidak terlihat, tapi Yumi merasa sedang menatap matanya. Tidak kentara, tapi Yumi merasa itu memiliki senjata yang siap menikamnya.
Bibirnya bergetar hebat namun terlalu kelu untuk mengeluarkan sepatah katapun.
Perlahan Kabun itu menyusut, menjauh dari Yumi dan menghilang disudut gelap perpustakaan.
Yumi mengerjapkan matanya. Setelah getaran tubuhnya sedikit mereda. Dia berlari cepat keluar dari perpustakaan. Menutup pintu dengan bantingan kuat, lalu bersandar dan merosot terduduk dilantai.
Yumi menangis.
Setelah ketegangannya mereda, air matanya mengalir seolah tak terbendung. Dia terisak-isak dan tersedak.
Abangnya bilang hantu itu sudah pergi. Sudah diusir. Yumi percaya. Karna yang kali ini sangat berbeda dengan hawa yang dikeluarkan para hantu sebelumnya.
Yumi tidak tahu lagi harus kemana, di merasa tidak ada tempat sembunyi dirumah ini. Memikirkan hal ini, Yumi pikir dia harus tinggal di asrama sekolah.
Tidak seperti hantu sebelumnya yang menempel padanya dan tidak membiarkannya pergi. Yang ini terasa tidak menargetkannya tapi memiliki tujuan padanya. Jika dia pergi, Yumi pikir itu tidak akan mengikutinya.
Lalu, saat makan malam tiba, Yumi mengutarakan niatnya tinggal di asrama sekolahnya mulai besok.
Lagi-lagi ucapannya mengejutkan Yanzi, Yumi adalah pribadi yang sulit berbagi ruang privasi dengan orang lain dalam waktu lama. Jadi, jika dia tiba-tiba mengutarakan hal itu, tentu adalah hal salah. Namun Yanzi tidak menanyainya. Dia pikir itu akan bagus bagi perbaikan mentalnya.
“Kenapa seperti itu sayang, saat ibu pulang, kau pergi. Apa kau membalas ibu?”
Sementara Yanzi menerima keputusan itu dengan mudah, Marina justru keberatan. Dia hanya bersama dengan putrinya sebentar dan sudah akan ditinggal. Rasanya dia masih rindu.
“Ibu, aku tidak berpikir begitu. Hanya saja, aku ingin mencoba merasakan berbagi ruang kamar.” Yumi tersenyum kaku.
Sebenarnya itu adalah pernyataan konyol. Gadis seperti Yumi hanya akan berbagi kamar jika terpaksa.
“Jangan khawatir ibu, Yumi akan pulang seminggu sekali atau ibu bisa mengunjunginya kapan saja.” Ucap Yanzi.
Karna sudah seperti ini, tentu saja Marina tidak bisa melarang. Yanzi adalah putra kebanggaannya yang selalu bisa diandalkan. Jadi dia terbiasa mempercayai putranya itu secara penuh.
Karna sudah sepakat, keesokan harinya Yanzi mengantar Yumi ke asrama dan mengurus segala keperluan adiknya itu. Dia menghabiskan setengah hari dan berniat kembali ke kantor setelah jam makan siang habis.
Saat dia sedang diperjalanan, ponselnya berbunyi. Yanzi menjawab panggilan dan memasang handsfree ditelinganya.
“Yanzi, bagaimana kabarmu?”
Yanzi melirik nama yang tertera di ponselnya. Seharusnya tadi dia tidak usah angkat.
“Baik.”
Mendengar jawaban singkat Yanzi, suara diseberang sana menggerutu sebentar sebelum berkata.
“Aku dirumah makan favorit ibumu. Bagaimana kalau kita makan bersama?”
“Aku sibuk. Nikmati makanmu.” Yanzi berniat memutuskan sambungan namun suara gerutuan diseberang sana menghentikan gerakannya.
“Kita sudah lama tidak bertemu dan itu jawabanmu?! Kita ini sepupu, kenapa kau membuat kita hanya bisa bertemu setahun sekali?! Betapa menjengkelkan. Kau ingin memutuskan hubungan kekeluargaan kita?”
Tuduhan itu selalu digunakan saat dia tak senang. Yanzi sudah terbiasa. Tapi juga tidak bisa mengabaikannya. Daren adalah satu-satunya sepupu yang tidak memusuhinya diantara banyak anggota keluarga ayahnya.
“Aku akan sampai dalam sepuluh menit.” Gumam Yanzi sebelum memutuskan sambungan.
******
[…] Chapter 16 […]
[…] << Juena 16 […]