Author : Keyikarus
[Chapter 27]
Zinan mengantar Zino pulang setelah makan malam. Karna kebencian Zino muncul lagi pada Zinan, dia mengabaikan pria itu sepenuhnya.
Dalam pikirannya dia berniat mengambil kompensasi kelelahan mentalnya dengan cara mencopet Zinan. Tapi memikirkan pria itu telah baik hati dengan membelikannya barang-barang yang memikirkannya saja membuat Zino tertawa hingga wajahnya hampir terbelah dua, Zino mengurungkannya.
Dia mengusap gelangnya menenangkan hatinya. Kali ini, dia akan membiarkan dompet Zinan lewat begitu saja.
Zino akan berterima kasih pada keputusannya itu jika dia tahu kenyataannya Zinan sama sekali tidak pernah lagi menyimpan dompetnya disaku belakang celana saat bersamanya.
Saat Zino membuka pintu mobil, Zinan menarik tangannya. Dia dengan sigap menyatukan tangan gadis itu dibelakang tubuhnya. Hanya jaga-jaga atas pengalaman sebelumnya saat dia menuntut cicilan ganti ruginya.
“Apa yang kau lakukan?!” Tanya Zino panik.
Zinan tersenyum manis.
“Mengambil cicilan ganti rugi, apa kau ingat?” Sahut Zinan.
Tak membiarkan gadis itu protes lagi, Zinan mendekatkan wajahnya dan meraih bibir yang selalu dirindukannya sejak dia menyadari jika dia menyukai gadis ini.
Zinan yang akan protes tak bisa melakukan apapun saat benda lunak memasuki mulutnya, menghisap dan menelusuri mulutnya hingga dia merasa sesak.
Berbagai bulu di tubuhnya merinding merasakan sensasi ciuman Zinan. Dia masih berpikir dia mual, tapi kenyataannya yang dia rasakan hanya suhu tubuhnya yang meningkat dan oksigen yang berkurang drastis.
Zino melengkungkan punggungnya agar wajahnya bisa menghindari Zinan, mulutnya terbuka demi mengais oksigen dengan menyedihkan. Tapi reaksinya itu justru dimanfaatkan Zinan dengan baik untuk mengecup dan menggigit lehernya.
Sebelum Zino bisa mengatur nafas dan mengomel lagi, Zinan sudah kembali memakan mulutnya itu.
Setelah puas menghisap dan menjilat, Zinan melepaskan Zino yang tersengal-sengal. Mengamati wajah merah padam gadis didepannya dengan puas.
Sedangkan Zino melotot penuh dendam. Melihat wajah puas Zinan sungguh membuatnya tak rela. Jadi dia mengatakan hal kejam: “Itu… kau sesat! Menjijikkan!”
Zinan tak menyangka dia akan memiliki lebih banyak kelonggaran untuk sifat urakan Vivian. Atau dia memang sudah menduga reaksi Vivian akan seperti ini. Jadi dengan senyum licik andalannya dia berkata: “Maka aku putuskan cicilanmu menjadi dua kali lipat. Kita bisa melakukannya sampai kau tidak merasa menjijikkan.”
Zino yang sudah bebas, keluar dari mobil dan membanting pintu. Dia mengomel dan memaki sembari menendangi mobil Zinan. Dia tak bisa melakukan hal brutal ditempat sempit seperti didalam mobil.
Melihat hal itu, Zinan menurunkan kaca jendela dan tersenyum riang. “Aku akan dengan rajin mengambil cicilan ku.”
Zino semakin meradang. Kalimat ini terlalu familiar dan membuatnya kesal.
Bahkan meski mobil Zinan sudah pergi, dia masih belum bisa berhenti menghentakkan kakinya. Dia sungguh ingin meninju wajah pria itu lebih kuat dan membuatnya menyebrang ke alam lain.
“Bibi!”
Zino menoleh dan melihat Mio berlari ke arahnya seolah terbang. Dengan sigap Zino menangkapnya karna khawatir gadis itu terjatuh.
“Bibi, kenapa lama sekali pulangnya? Aku cemas!” Rengek Mio.
Gadis cilik itu dengan manja meletakkan kepalanya di bahu Zino.
“Maaf. Apa kau sudah makan malam?”
“Hn.” Mio mengangguk.
“Baiklah, karna ini sudah malam kita akan mandi dan tidur.”
Mio mengangkat kepalanya dan menggeleng dengan kuat.
“Aku sudah mandi bibi. Tapi aku akan tidur bersama bibi. Kita akan tidur bersama Mimi juga.”
“Baiklah, jadi siapa Mimi ini?”
“Hello Kitty besar yang dibawa Paman jahat.”
Zino tertawa mendengar julukan Mio pada Zinan. Tapi dia menyukainya. Pria itu memang penjahat licik dan sesat.
“Mio yang ditengah, oke? Bibi tidak menyukai boneka.”
“Tapi dulu bibi selalu membeli boneka.”
“Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang.”
Mio mengangguk mendengar penjelasan tak jelas Zino. Bersyukurlah Mio adalah gadis kecil yang sangat patuh padanya.
Sebelum Zino mencapai kamarnya, dia melihat Jean yang duduk di sofa dengan aura menindas. Tatapan tajamnya seolah menguliti Mio.
“Bawa Mio ke kamarnya.” Perintah Jean pada baby sitter Mio.
Nadanya penuh tekanan. Jelas bahwa Jean sama sekali tak mau dibantah.
Dengan buru-buru baby sitter itu meraih Mio dari Zino. Mio yang ingin merengek langsung mengkerut takut saat melihat betapa ganasnya cara Jean mengancam dengan matanya.
Setelah semua orang pergi. Zino dengan tak nyaman bergeser. Dia ingin menghindari Jean. Ini bukan pertama kalinya Jean memarahinya, tapi ini pertama kalinya dia menggunakan aura menindas yang parah. Bahkan wajahnya terlihat sangat angker.
Zino khawatir.
“Katakan padaku sejak kapan kau mengambil dompet Zinan?” Tanya Jean dengan nada sedingin kutub utara.
Zino mengkerut. Tapi didalam hati dia memaki dirinya kenapa begitu takut pada Jean. Tak ada satu orangpun didunia ini yang boleh menindasnya.
“Apa maksudmu?”
Jean menyeringai melihat betapa pintar pemuda ini. Dia tak akan mengaku dengan mudah. Jadi Jean melemparkan dompet-dompet yang ditemukannya dilaci kamar Zino saat bermain dengan Mio ke meja.
Zino tertegun. Sebelum dia bisa mengatakan apapun untuk menyangkal, Jean sudah berdiri dan menyemburkan kata-kata berwarna-warni padanya.
“Jangan menyangkal lagi! Aku tak tahu bagaimana otak busukmu bekerja. Aku memberimu kehidupan yang layak namun kau sama sekali tak meninggalkan pekerjaan rendahanmu! Aku bahkan dengan bodohnya menoleransi setiap ulah bar-barmu! Membiarkanmu menyingkirkan hal-hal yang disukai Vivian dari kamarnya, memberikanmu uang tambahan, bahkan membiarkanmu mempengaruhi Mio! Dan sekarang aku melihatmu pulang dengan mengenakan gelang ratusan juta! Kau mencurinya?! Mau berapa lama lagi kau begitu serakah dengan uang! Kau…”
“Cukup!” Zino berteriak dengan wajah merah padam. Apa yang Jean lalukan hingga berhak menghakiminya?! Seberapa Jean mengenalnya hingga bisa melontarkan apapun yang dia mau katakan?!
“Kau yang dari lahir ditakdirkan hidup dengan banyak uang sama sekali tak berhak menghakimiku! Kau bilang memberiku kehidupan yang layak?! Kau membeli jasaku!! Ini akan berakhir. Saat kau tak perlu khawatir tentang hari esok, aku harus memikirkan bagaimana caranya menopang hidupku! Aku harus memikirkan bagaimana agar aku tidak mati menyedihkan tanpa perawatan! Aku hanya sendiri maka aku yang harus mengurus hidupku sendiri! Aku bahkan mempertaruhkan nyawaku hanya untuk uang beberapa ratus ribu saja. Jika tidak, kau pikir untuk apa aku merendahkan harga diriku dengan menjadi perempuan seperti ini?! Jika aku tidak boleh iri dan menghakimi Vivian, maka kau tidak berhak menghakimiku dan mengkritik ku!! Kau….”
“Itu pilihanmu! Masih banyak pekerjaan selain melakukan hal kriminal. Jika kau tidak terlalu tamak pada uang maka kau akan bersyukur untuk hasil sesedikit apapun! Kau hanya mencari pembenaran pada setiap kesalahanmu!” Kali ini Jean memotong ucapan Zino dan membuat pemuda itu tertegun.
Zino melangkah mundur dengan sakit hati. Bahkan air matanya menggenang. Dia tidak ingin menangis, tapi itu sungguh menyakitinya.
Apa Jean tahu usia berapa dia sudah harus memikirkan uang untuk merawat dirinya dan neneknya? Apa Jean tahu bagaimana dia berusaha keras namun tak ada yang menghargainya? Apa Jean tahu jika hanya tindakan kriminal itulah pilihannya saat itu agar neneknya bisa meminum obat dengan teratur?
Zino tak butuh Jean mengalami apa yang dialaminya. Jika dia hanya seperti Mei yang mengomel tanpa menghakiminya, jika dia mengerti jika Zino juga ingin menjadi lebih baik…
“… aku berhenti.” Ucap Zino dengan gemetaran.
Pemuda itu dengan cepat pergi meninggalkan Jean yang tertegun. Berlari kencang mengabaikan para bodyguard yang mengejarnya.
Gelapnya malam membuat Zino dengan lincah menghindari bodyguard itu. Sebagai orang yang biasa kabur, ini bukanlah hal sulit. Untungnya dia memakai sendal pemberian Zinan alih-alih memakai heels. Karna saat pria itu menculiknya, dia tak memakai sendal.
Zino terengah-engah. Sekarang dia duduk di sebuah gang sempit. Dia adalah pria, tapi itu tak bisa membuatnya menahan diri dari menangis. Ini adalah tangisan pertamanya sejak dia berjuang hanya untuk hidup. Dulu, tak ada orang terdekatnya yang menghakiminya. Tapi sekarang orang yang setiap hari bertemu dengannya benar-benar memakinya.
Di maki oleh orang asing dan di maki oleh orang yang kita kenal itu rasanya berbeda.
Zino mengerti pekerjaannya tidak akan dimengerti orang lain, tapi setidaknya, bisakah memilih kata yang lebih baik untuk diucapkan? Dia juga bisa diajak bicara serius jika dibutuhkan.
Pemuda itu lupa jika nyaris setiap orang cenderung membela diri dengan berbagai alasan. Bagaimanapun sadarnya mereka terhadap kesalahan mereka.
Zino menghapus air matanya dan mendongak saat mendengar suara langkah seseorang mendekat.
“Wah… ada anak cantik kabur dari rumah?”
Zino cemberut mendengar nada menggoda itu.
*****
[…] Chapter 27 […]
*nyantet jean*
Argh Jean jahat sekali! Aku sumpahin jatuh cinta sama Zino baru tau rasa -3-
Setujuuuuuu
[…] << Peran Pengganti 27 […]