Author : Keyikarus
[Chapter 19]
Hanya saat Juena hampir menyetujui ajakan bermain Yanzi, dia menghentikan gerakannya lalu menatap Yanzi. Senyum kecil mengembang dibibirnya.
“Kali ini kau datang membawa lebih banyak orang.” Itu adalah pernyataan. Nadanya ringa tanpa sedikitpun tekanan. Yanzi tidak menemukan jejak tidak suka atau semacamnya diwajah mungil Juena.
“Kau keberatan?” Tanyanya.
Dia tak akan mempertanyakan bagaimana Juena tahu. Pengikut tak kasat matanya banyak. Entah siapa saja pasti bisa memberitahunya.
Yanzi baru menyadari hal ini, meski pondok ini kecil dan terbuat dari bambu, jika kau berada didalamnya maka kau tidak akan bisa mendengar keributan apapun diluar. Seolah ini adalah ruang kedap suara.
Cukup aneh, tapi tidak akan terlalu aneh jika itu dikaitkan dengan kemampuan Juena. Pantas saja dia bisa begitu tenang tidur terlepas dari keributan apapun yang terjadi diluar sana.
“Tidak juga. Hanya terasa aneh. Ini pertama kalinya tempat ini memiliki tamu cukup banyak di sekali waktu.” Juena menggelengkan kepalanya.
Dia mengangkat tangannya dan mainan didepannya dengan rapi membereskan dirinya sendiri. Bahkan masuk ke dalam salah satu laci.
Yanzi menatap laci yang tertutup lalu menatap Juena. Dia ingin bertanya bagaimana Juena mendapatkan kekuatan yang menakjubkan seperti itu. Tapi dia pikir mungkin saja itu hanyalah salah satu hantunya yang membereskannya.
Dan Yanzi tidak salah.
“Adiknya adalah orang yang bersama adikku melakukan permainan pemanggil arwah. Jadi dia membutuhkanmu untuk menolong adiknya.”
“Mmn. Persyaratannya masih sama. Dia mungkin akan keberatan.” Gumam Juena.
Saat ini sebuah teko dan gelas muncul dihadapan Yanzi. Dia menatap canggung teko yang menuangkan isinya ke dalam cangkir tanpa ada yang menggerakkannya. Baiklah, dia mungkin harus segera membiasakan dirinya dengan pemandangan seperti ini.
“Terima kasih.” Ucap Yanzi yang tak yakin harus ditujukan pada siapa.
Dia melihat Juena yang sudah menggenggam cangkir susunya. Itu masih seimut pertama kali dia melihatnya. Yanzi merasa dirinya tak tertolong lagi. Hasratnya untuk bercinta dengan Juena semakin besar.
Untunglah coat yang dikenakannya menutupi dengan baik bagian tubuhnya yang paling jujur.
“Mmn.”
Yanzi mengeluh dalam hati mendengar gumaman Juena sebagai jawaban. Bocah ini tidak pernah berhenti membuatnya gemas.
“Bagaimana jika dia tidak menyanggupi persyaratanmu? Kau tidak mau menolongnya adiknya?” Dalam hati Yanzi ingin menjelaskan betapa sebenarnya persyaratannya itu cukup mahal. Dan aneh.
Lagipula siapa yang akan diminta Juena untuk tinggal?
“Aku bukan relawan untuk orang tak dikenal.” Sahut Juena.
Baiklah. Itu hanya seperti kebanyakan sifat manusia. Jadi semuanya sekarang terserah pada Regalih.
Tidak mau terus-terusan membahas orang lain, Yanzi merubah topiknya dengan mempertanyakan apakah Juena menyukai perhiasan?
“Mmn aku suka menghias rumahku.” Sahut Juena.
Dikepala Yanzi langsung terbayang bangunan megah dari ingatan mas Kun. Dia mengakui jika tarif mahal Juena mungkin tidak sia-sia.
“Kemarikan tanganmu.” Yanzi mengulurkan tangannya meminta tangan Juena.
Bocah dukun itu menatap Yanzi penuh tanya. Namun hanya beberapa saat, dia lalu mengulurkan tangannya. Membiarkan tangannya digenggam orang lain.
Yanzi suka melihat Juena yang penurut seperti ini. Lain kali dia akan meminta yang lain. Dia harap Juena akan menurutinya juga.
Dia mengeluarkan gelang dengan bentuk sulur anggur yang ramping dan saling melilit. Daun mungilnya adalah emerald. Dan yang menjadi titik sedikit besar menggantikan buah anggurnya adalah Ruby. Lalu disepanjang sulurnya tertanam berlian berwarna kecoklatan.
Dengan hati-hati dia memasangkan gelang itu pada tangan ramping Juena. Setelahnya, Yanzi semakin terpesona, gelang itu begitu cantik dan menyala saat terpasang di tangan berkulit putih Juena.
Lain kali dia akan memberikan yang lebih baik. Tentu saja setelah dia setidaknya bercinta sekali dengan bocah ini. Yanzi tanpa sadar membuat tarif Juena sangat mahal untuk sekali kencan.
Juena menatap gelang cantik dipergelangan tangannya. Dia tersenyum menatap Yanzi.
“Terima kasih. Ini cantik. Lain kali tolong buat dengan berlian yang berwarna merah. Aku belum memilikinya.” Ucapnya dengan riang.
Yanzi tersenyum geli. Apa bahkan bocah ini tahu jika yang dimintanya adalah yang terbaik dari jenisnya? Yanzi meragukan jika Juena tahu harganya. Dia bahkan meminta emas seperti meminta camilan. Prilakunya mengalahkan para tuan muda generasi kedua.
“Baiklah.” Gumam Yanzi.
Juena tersenyum lucu sebelum melambai-lambaikan tangannya tanpa arah. Dia lalu berkata, “Buka saja, ini tidak seperti kami sedang melakukan hal serius.”
Yanzi mendesah dalam hati. Sebenarnya dia bahkan tidak memiliki kesempatan berduaan dengan Juena. Selalu ada hantu didekat bocah ini.
Pintu pondok itu terbuka, menampakkan Regalih dan dua bodyguardnya yang berdiri celingukan.
Regalih tertegun melihat pintu yang terbuka sendiri, namun segera memperbaiki ekspresinya saat melihat Yanzi duduk nyaman didepan seorang bocah.
Dia harus mengakui jika dirinya cukup terkejut melihat penampilan menarik cocah yang hidup ditengah hutan. Terutama kedua matanya.
Bukan hanya pada penghuninya, Regalih tidak bisa menahan diri dari kejutan melihat isi pondok yang dari luar terlihat bisa roboh kapan saja. Itu terlalu timpang dengan bagian luar.
“Yanzi.” Regalih menghampiri Yanzi lalu memandang ke sekitar.
Tidak ada yang lain selain bocah ini. Dia menebak jika usia bocah itu kurang lebih sama dengan Arlene. Jadi seharusnya ada kerabatnya yang lebih dewasa tinggal disini.
“Kemana orang tuamu?” Celetuk Regalih.
Regalih menduga jika dukun yang dimaksud Yanzi adalah orang tua bocah ini. Jika tidak, bagaimana bisa Yanzi terlihat cukup dekat dengannya.
“Mmn. Aku tidak yakin.” Gumam Juena.
Yanzi memperhatikan ekspresinya yang masih ringan. Sepertinya tidak ada topik yang membuat Juena merasa terganggu. Sebenarnya dia juga memiliki sedikit rasa ingin tahu tentang ini.
Sedangkan Regalih tentu saja merasa aneh mendengar jawaban itu. Dia yang sudah duduk di sisi Yanzi kembali bertanya: “Apa mereka pergi ke suatu tempat?”
Juena yang merasa bingung mendengar Regalih menanyakan orang tuanya menatap Yanzi. Bukankah pria ini datang karena ingin menemuinya?
Jika dia ingin menemui orang tuanya maka dia harus pergi ke alam baka. Juena mungkin bisa membantunya.
“Abaikan saja.” Gumam Yanzi pada Juena sebelum menoleh ke arah Regalih. “Orang yang kau butuhkan berada didepanmu.”
Ucapan itu tentu saja mengejutkan Regalih. Sekali lagi dia mengamati bocah didepannya. Dukun seharusnya sudah paruh baya, berjenggot lebat dan berpenampilan kusam. Apa-apaan dengan bocah ini adalah dukun yang dimaksud?
“Apakah ini bentuk penipuan lainnya?” Regalih setengah menuduh. Melihat Yanzi tidak berniat menanggapinya, Regalih melanjutkan, “Dia terlalu kecil untuk menjadi dukun. Darimana dia mendapatkan kemampuan menyembuhkan Arlene? Dia bahkan terlihat seperti anak belum lulus sekolah.”
Tidak mengherankan. Sebelum melihat kemampuan Juena, dia juga sangat meragukan hal itu. Sebelum dia bisa mengucapkan kalimat meyakinkan, Juena mengusap ujung hidungnya dengan malu-malu.
“Ah aku tidak mendaftar sekolah, jadi tidak mungkin lulus.”
Seketika hati Yanzi gatal melihat tingkah imut itu. Dia dengan rakus menatap detil gerakan Juena, melupakan niatnya meyakinkan Regalih. Matanya berkilat-kilat penuh pemujaan.
Sementara wajah Regalih sedatar papan saat mendengarnya. Dia mengkritik orang tua yang tidak mementingkan pendidikan anak. Kecuali bocah didepannya sudah tidak punya orang tua. Mungkinkah itu yang membuatnya memilih menjadi dukun? Tunggu, sepertinya fokusnya bergeser.
“Kau sungguh-sungguh bisa membantu?.” Ucap Regalih penuh keraguan.
“Mmn. Sebelumnya, bisakah kau memenuhi imbalan yang ku minta?” Tanya Juena.
Hari ini dia tidak terlalu mengantuk. Setiap enam bulannya, satu hari disaat teman indigonya datang adalah hari terlarang para hantunya untuk memakan energinya. Dia hanya memiliki satu teman untuk waktu beberapa tahun, jadi dia akan meluangkan waktunya mengobrol dan bermain dengannya.
Dia bahkan menekan harga dirinya dengan mengabaikan rentang umur mereka.
“Kau sungguh memiliki kemampuan?” Regalih memicing curiga. Mengingat ucapan Yanzi beberapa saat lalu dan ucapan bocah ini yang dengan percaya diri meminta imbalan, membuat Regalih mulai ragu.
“Mmn.” Juena menjawab dengan ringan.
“Buktikan.” Tuntut Regalih. Dia tak mau membawa bocah tanpa kemampuan pulang. Jadi harus ada buktinya.
Juena menyangga pipinya dengan sebelah tangannya, matanya menatap Regalih dengan kesombongan yang belum pernah Yanzi lihat. Wajah polos itu seketika menyunggingkan seringai malas penuh ejekan. Matanya berkilat-kilat menyamai gelang pemberian Yanzi yang terpapar karna lengan bajunya merosot ke arah siku.
Siapa sangka bocah polos nan imut itu mampu mengeluarkan aura menindas didepan dua pebisnis yang terlihat jauh lebih dewasa darinya.
*****
[…] Chapter 19 […]
[…] << Oh! Juena 19 […]