Author : Keyikarus
[Chapter 21]
Belum lima langkah mereka berjalan, tiba-tiba angin bertiup cukup kencang. Membawa hawa dingin yang terasa menggigit. Gesekan ranting dan daun menimbulkan suara berisik di dalam kegelapan.
Regalih merapatkan pakaiannya. Pandangannya fokus mengikuti pengawal didepannya. Sementara dia juga sesekali melirik ke belakang, memastikan dua pengawal lainnya masih ada. Siapa yang tahu jika mereka menghilang tiba-tiba seperti saat berada ditempat Juena.
Regalih mengerang saat wajahnya menabrak tas besar yang dibawa pengawal didepannya. Dia mengusap hidungnya yang nyeri dan akan menggerutu. Namun ucapan pengawal itu menghentikannya.
“Ada orang yang melintas.” Gumam pengawal didepannya.
Regalih mengulurkan lehernya mencoba melihat apa yang dilihat pengawalnya itu. Dua pengawal lainnya mengikuti apa yang dilakukan Regalih.
Namun tiga dari mereka jelas hanya melihat kegelapan. Jarak pandang sangat terbatas mengingat mereka hanya mengandalkan headlamp masing-masing.
“Tidak ada apapun. Apa yang kau lihat sebenarnya?” Tanya Regalih dengan kesal dan cemas.
Dia sudah cukup tegang. Jika pengawalnya ini main-main maka dia tak akan segan menuntutnya jika mereka sampai di kota.
“Seseorang, ku rasa itu adalah anak kecil.” Pengawal itu dengan keras kepala mengedarkan pandangannya ke sana kemari.
Regalih mendengus dan mendorong agar pengawalnya itu tetap bergerak maju. “Jangan pedulikan yang lain. Kita hanya harus cepat keluar dari hutan ini.”
Pengawal itu mengangguk dan mulai melangkah lagi. Namun dia tetap memikirkan apa yang dilihatnya. Meski hanya sekilas, dia yakin jika matanya tidak salah lihat. Dia terbiasa fokus dan waspada karna tuntutan pekerjaan.
Itu seperti seorang bocah yang berusaha mengayuh sepedanya. Namun anehnya, dia jelas menembus semak-semak, bukan jalan setapak yang mereka lewati. Padahal seingatnya jalan setapak yang bisa dilewati hanya satu.
Langkah pengawal itu melambat, dia meragukan sesuatu. Saat dia berhenti lagi, dia tidak mendengar penyewanya mengomel. Lagipula secara tiba-tiba punggungnya terasa dingin.
Perubahan hawa disekitarnya membuat jantung pengawal itu berdegup kencang. Dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Lalu dengan cepat menoleh.
“Aarrhg.” Dia terkejut saat seraut wajah mirip tengkorak muncul tepat didepannya dengan rahang terbuka. Seolah akan memakannya.
Refleks yang sangat baik membuatnya bisa menghindar tepat waktu dengan melompat mundur.
Matanya menyipit waspada mengamati makhluk didepannya. Itu bentuknya jelas tengkorak. Namun alih-alih terbuat dari tulang, itu jelas terbuat dari tanah liat. Atau lebih seperti lumpur, karna sesekali ada satu bagian yang memanjang dan terjatuh seperti adonan.
Perasaan suram dan bahaya itu menyebar, menekannya hingga nyaris ingin menyerah saat rongga mata yang kosong milik makhluk itu menatapnya.
Dia mengedarkan pandangannya, dan kecewa karna tidak menemukan tanda-tanda keberadaan rekannya yang lain. Ini seperti dia berada dalam ilusi.
Perasaan terancam tiba-tiba meningkat, disusul dengan desis angin yang datang dari bagian belakang. Sekali lagi refleksnya yang baik sungguh menyelamatkannya karna melompat ke samping tepat waktunya. Membuatnya lolos dari makhluk aneh itu.
Dia menoleh ke segala arah dengan waspada, namun tetap saja kegelapan membuat ruang gerak makhluk itu begitu sempurna.
Saat dia berpikir untuk memilih berlari, semuanya sudah berakhir. Geliat tanah liat sudah mencapai tubuhnya, menahan setiap gerakannya dan perlahan membungkusnya secara sempurna.
Satu detik kemudian, tubuh pengawal itu kembali seperti sediakala kala.
Di tempat yang berbeda. Regalih terengah-engah menatap sekitarnya. Dia mulai panik. Entah bagaimana kini dia sendirian. Pertama pengawal yang berada didepannya hilang hanya sekejap setelah dia memalingkan pandangannya. Lalu satu persatu pengawal yang lainnya menyusul hilang.
Dia berkedip cepat berusaha terus menyusuri jalan setapak. Berharap segera sampai ke tempat dimana mobilnya berada.
Namun hingga dia kelelahan, pada kenyataannya dia masih dalam hutan gelap dan berkabut. Regalih merasa tidak kuat lagi melangkah dan dia memilih duduk sebentar.
Sementara mengistirahatkan tubuhnya, matanya mengamati sekitar. Kelebatan cahaya tunggal membuatnya merasa semakin terancam. Dia berharap bisa melihat cahaya headlamp dari para pengawalnya. Kemana mereka pergi sebenarnya?
Regalih setengah frustasi. Dia ingin menghubungi Yanzi, tapi dia juga tahu jika itu tak akan berhasil. Yanzi sudah memberitahunya jika didalam hutan ini minim sinyal. Dia menunduk, namun saat itulah dia menyesalinya seketika.
Dia menemukan tas yang seharusnya dibawa oleh salah satu pengawalnya.
Otak Regalih macet. Bukankah dia hanya berjalan terus maju? Dia sama sekali tidak kembali untuk mencari para pengawalnya. Jadi kenapa barang bawaan itu ada disini?
“Halo! Ada orang?!” Teriaknya penuh harapan.
Hanya satu kali teriakan, karna begitu dia merasakan desis angin yang nyaris membuatnya menggigil, tubuhnya justru membeku.
Otaknya berjalan lambat. Jika dia merasa tak berjalan kembali ke arah pondok Juena, maka masalahnya hanya satu. Dia berputar-putar saja selama ini.
Regalih mulai bergetar hebat saat dugaan ini muncul. Matanya dengan nyalang melirik sekitar, dia ingin segera berlari pergi, namun tubuhnya dengan keras kepala menolak bergerak seolah terpaku ditanah.
Nafas Regalih seperti berhenti saat dia merasakan seseorang melangkah dari arah belakangnya. Bukan, tepatnya meloncat.
Matanya melirik saat menangkap sosok dibungkus kain putih. Itu meloncat dengan santai dan acuh tak acuh disampingnya.
Regalih seolah merasakan nyawanya melayang saat sosok yang dikenal sebagai pocong itu berhenti tepat disampingnya. Bahkan itu memutar kepalanya ke samping, menyempatkan diri menatapnya dengan mata penuh lingkaran hitam disekelilingnya.
“Popo, dia bisa mati terkena serangan jantung jika kau seperti itu?”
Regalih tersentak saat melihat sosok langsing, botak, putih dan hanya menggunakan celana dalam bergambar tokoh kartun yang menghampiri pocong itu. Dengan santainya dia mengalungkan lengannya ke leher si pocong.
Pocong yang dipanggil Popo itu mendengus dan memilih melanjutkan loncatannya dengan membawa bocah botak yang menggantung di punggungnya. Bocah itu cekikikan saat tubuhnya tersentak-sentak karna loncatan si Popo.
“Bukankah mereka terlihat lucu bersama?” Juena yang muncul dari udara tipis disamping Regalih berkata dengan nada riang.
Dia selalu menyukai tuyul dengan penampakan seusia dengannya itu yang selalu sengaja mengganggu Popo. Baginya mereka berdua seperti tokoh komedian yang sangat menghibur.
Sedikit dibelakang Juena, mbah Gen berjalan santai mengikuti bocah yang menjadi tuannya itu.
Juena hampir bicara lagi, namun dia hanya bisa mendesah saat menoleh dan melihat Regalih sudah tergeletak pingsan.
“Apa kemunculan kita sedikit berlebihan?” Tanya Juena dengan wajah polos pada Mbah Gen.
“Maka lain kali biarkan salah satu dari kami yang mengambilnya.” Ucap mbah Gen tanpa riak. Seolah dia sedang membicarakan benda tak penting, bukannya sosok manusia.
“Mmn.” Juena mengangguk. Lalu dia meringis sebelum berkata, “Kalau begitu ayo kita bawa dia pulang.”
Mbah Gen mencubit bagian belakang kerah pakaian Regalih. Menentengnya seperti menenteng anak kucing. Dia bertanya sebelum mereka benar-benar pergi.
“Apa mereka tak butuh bantuan?”
Juena membiarkan mbah Gen mengambilnya dengan lengannya. Kecepatan mbah Gen tidak akan bisa dibandingkan dengan jin botol atau yang lainnya. Tapi dia jelas masih lebih cepat dari pelari manusia yang tercepat.
Juena dengan tenang duduk di lengan mbah Gen seperti hantu itu menggendong anaknya.
“Mereka berdua sudah cukup. Itu hanya beberapa saudara Banaspati yang belum mencerna energi manusia selama beberapa dekade. Bukan masalah. Bukan masalah.”
Mendengar ucapan Juena, mbah Gen bergerak cepat dengan satu lengan diduduki Juena dan satu tangan menenteng Regalih.
Sebenarnya itu bukan seperti seolah Genderuwo itu peduli dengan hantu lainnya. Nyatanya para hantu adalah makhluk individu. Dia hanya mengkhawatirkan jika dominasi Juena melemah saat ada salah satu hantunya binasa.
Membuat kontrak dengan hantu baru selalu tidak bagus untuk Juena. Terlalu banyak memakan energinya.
Tapi itu tidak berlaku lagi Jika Juena sendiri yakin. Karna sebagai pemberi energi tetap pada para hantunya. Juena selalu bisa merasakan apa yang dirasakan hantunya dalam pertempuran.
Bahkan jika Juena mau, dia bisa mengetahui semua pikiran setiap hantu miliknya. Hanya saja Juena menolak menggunakan kekuatan itu. Dia selalu mengatakan, ‘terlalu tahu banyak hal juga akan membosankan.’
Tidak ada hantu yang tidak mengerti maksud tuan mereka. Juena tidak suka berpikir terlalu banyak, dia adalah orang yang berpikir sesuai situasi yang sudah terjadi. Bisa membaca pikiran para hantunya berarti beban tambahan baginya.
Hantu pada umumnya bukanlah sosok setia. Mereka akan menjadi budak selagi masih ada keuntungan yang bisa didapat, namun mereka bisa menjadi tiran dalam sekejap saat merasa tidak ada lagi keuntungan yang bisa didapat.
Ini sudah banyak terjadi pada dukun-dukun diluar sana.
Itulah sebabnya Juena tidak mau membaca pikiran para hantunya. Jika seandainya ada yang berpikiran berencana mengkhianatinya dan mengeksploitasinya, tentu dia akan memikirkan hal-hal penanggulangan saat itu tiba.
Tentu saja itu hanya satu diantara beberapa alasan. Tapi cukup memberikan fakta jika Juena malas berpikir. Namun itu juga bisa berarti Juena sangat percaya diri tidak ada satu bentuk konspirasi pun dari para hantunya yang bisa memojokkannya. Betapa sombong.
******
[…] Chapter 21 […]
[…] << Juena 21 […]
Juena dabes .. kesian amat si Regalih .. saya masih penasaran sama kawannya Yanzi yang dibawa hantunya Juena waktu itu ..