[Chapter 29]
Author : Keyikarus
Yanzi menggendong Juena. Membawanya ke kamarnya tanpa menyadari ada yang berubah dirumahnya. Meski begitu bukan berarti bahwa Juena juga tidak akan menyadarinya.
Dia yang digendong seperti koala oleh Yanzi membuka mata heterokromnya. Pupil vertikalnya melebar dengan warna keemasan.
Seringai Juena muncul bersamaan dengan taring kecilnya yang menyembul dari bibir sewarna darahnya. Dia menjilat bibirnya dengan sensual, menatap keremangan di setiap ruangan yang dilaluinya.
Pupilnya memantulkan bayangan sosok yang mengamatinya dari sudut tergelap. Dia jelas melihat bagaimana wajah itu menegang waspada. Berpikir dia akan menyerangnya pada pandangan pertama.
Sayangnya Juena bukan orang yang akan menghabiskan tenaga untuk sosok rendahan yang bahkan tidak bisa menyentuh ujung rambutnya.
Pupil keemasan itu menyusut kembali ke ukuran semula. Perlahan kelopak matanya kembali terpejam. Membiarkan Yanzi membuka pintu kamar lalu membaringkannya di ranjang dengan seprai lembut.
Pria itu melangkah ke luar menuju dapur. Dia meraih baskom dan berniat kembali ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat melihat ibunya datang.
Wanita itu menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya. Setelah selesai tatapannya beralih pada Yanzi. Dia tersenyum alami.
“Darimana saja? Kau tidak ada dikamarmu tadi.” Ucapnya.
Yanzi mengamati sosok ibunya. Selain wujudnya yang sama persis, dia merasa ada perubahan nyata. Dari gerak-geriknya, nada bicaranya, dan caranya tersenyum. Dia paling mengenal ibunya. Senyum itu seharusnya tidak ada saat mengeluarkan pertanyaan seperti ini.
“Bukankah ibu tahu aku mengunjungi keluarga Wijaya?” Sahutnya pada akhirnya. Dia mengabaikan pikirannya karna tidak menemukan alasan masuk akal.
“Kau pulang hampir pagi hari. Apakah begitu penting?” Marina memasang wajah cemas yang didominasi ketidaksukaan. Tangannya terulur berusaha meraih tangan Yanzi.
Entah kenapa Yanzi justru menghindari sentuhan itu secara refleks. Matanya menyipit mengamati sosok ibunya sekali lagi.
“Ya. Tentu saja. Kembalilah tidur ibu. Besok aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang.” Gumam Yanzi lalu meninggalkan sosok Marina.
Wanita itu menatap tajam punggung Yanzi. Dia tersenyum dan menjilat sudut bibirnya. Namun hanya sedetik kemudian senyumnya lenyap berubah menjadi cemberut mengingat siapa yang dibawa pulang pria itu.
Siapa yang mau menemui bocah gadungan itu?
Sementara itu, Yanzi sudah melupakan tentang prilaku Marina yang menurutnya aneh. Dia masuk ke kamar mandinya dan menuang air hangat ke dalam baskom. Setelah itu dia mengambil handuk kecil dan mulai menelanjangi Juena. Dia mengelap tubuh bocah yang terlelap itu dengan hati-hati. Saat sampai pada bagian bokong, Yanzi mengelapnya lebih lama. Membersihkan belahannya dengan telaten sebelum akhirnya memilih mempercepat pekerjaannya.
Dia sangat mudah terangsang jika melihat tubuh Juena.
Memilih menyelesaikan urusannya di kamar mandi sekaligus membersihkan diri, Yanzi melirik jam saat keluar. Itu sudah pukul setengah lima pagi.
Dia menatap Juena yang bergelung didalam selimut dengan nyaman. Yanzi menghela nafas dan memutuskan tidur dua jam sebelum berangkat kerja. Melewatkan malam tanpa tidur lagi akan membuatnya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan apapun.
Dia menyusup ke dalam selimut. Menarik Juena ke dalam pelukannya dan mendesah nyaman. Jika dipikir lagi, dia tidak pernah begitu nyaman memeluk teman tidurnya. Biasanya dia hanya akan bergulat diranjang dan memilih pergi setelahnya.
Tubuh Juena yang mungil terasa pas, seperti dia sedang memeluk guling yang paling lembut dan nyaman.
Dua jam kemudian, Yanzi terbangun karna alarm dari ponselnya. Dia menggeliat dan membuka matanya. Mendesah ringan saat menyadari sosok dipelukannya benar-benar telah berubah menjadi bantal guling.
“Bukankah tidak sopan meninggalkan teman kencannya saat sedang tidur?” Gerutu Yanzi.
Padahal dia dengan baik hati menggendong Juena dan membersihkan tubuhnya. Bersikap lembut sepanjang kebersamaan mereka. Dan kemudian ini yang diterimanya?
Yanzi lupa jika prilakunya dulu sama saja dengan Juena sekarang. Meninggalkan teman kencannya yang sedang terlelap.
Memperbaiki moodnya, dia bersiap ke kantor. Yanzi melihat ibunya sudah menunggunya dimeja makan seperti biasa. Itu membuatnya berpikir jika keanehan tadi malam hanyalah salah persepsi.
“Selamat pagi ibu.” Yanzi membungkuk dan mencium pipi ibunya.
Mata marina menyala, senyumnya terukir penuh godaan. Sayangnya Yanzi yang sudah menarik kursi dan rotinya sama sekali tidak menangkap pemandangan ganjil itu.
“Pagi.” Sahut Marina dengan suara lembut.
Tangannya terulur lebih dulu mengambil roti yang akan diraih Yanzi. Dengan cekatan dia mengoleskan selai diatas lembaran roti sebelum meletakkannya di atas piring Yanzi.
Yang dilayani berkedip menatap foto di piringnya dalam diam. Meski wajahnya tidak mengalami perubahan sedikitpun tapi isi kepalanya jelas berputar.
“Terima kasih, ibu.” Gumamnya.
Yanzi memasukkan roti ke mulutnya. Tanpa melirik, dia bisa melihat bagaimana ibunya mengamatinya yang sedang makan. Apa yang salah?
“Kau bilang akan mempertemukan dengan seseorang?” Sebenarnya Marina sudah merasakan jika tekanan orang itu mereda. Namun entah bagaimana seperti masih ada yang tertinggal. Dia hanya ingin memastikan apakah dia masih ada atau sudah pergi.
“Dia sudah pergi. Lain kali aku akan melakukannya.” Yanzi berucap dengan nada kecewa samar. Dia kembali teringat kekesalannya karna Juena pergi begitu saja.
“Tidak perlu buru-buru.” Ucap Marina melambaikan tangannya seolah ingin membuat Yanzi tidak merasa cemas.
Sayangnya justru tindakan itu membuat Yanzi semakin berpikir jika terlalu banyak perbedaan antara ibunya kemarin dan hari ini.
Nada riang dan senyum merekahnya terlalu asing dimata Yanzi.
Hingga jam makan siang, Yanzi merasa tidak bisa menemukan apa yang salah dengan ibunya. Perubahan itu terlalu jelas, tapi alasannya sama sekali tidak bisa ditemukannya.
Terlebih dia mulai merindukan Juena-nya. Membuat pikirannya semakin sumpek. Lain kali dia tidak boleh lupa menekankan agar Juena memiliki ponsel. Atau sekalian saja tinggal dirumahnya, alih-alih sendirian didalam hutan saja.
Tangannya berhenti memberi tanda bagian yang perlu diperbaiki dari dokumen yang diperiksanya saat mendengar ketukan di pintu.
“Masuk.” Gumamnya.
Aini masuk dengan hati-hati. Senyumnya merekah dengan manis seperti biasanya. “Saya membawakan makan siang anda, tuan.”
Yanzi tidak menampakkan ekspresi apapun. Dia menatap Aini yang meletakkan kotak makanan di meja. Wanita itu terlihat canggung saat masih berdiri, menatap Yanzi yang belum beranjak dari meja kerjanya.
Bagi orang lain gestur itu akan membuatnya terlihat menggemaskan dan tak bisa ditolak. Sayangnya Yanzi selalu berbeda dengan orang lain. Pria incarannya ini masih terpaku pada satu sosok yang dimatanya jauh lebih menggemaskan dan menarik daripada dirinya.
“Lain kali tidak perlu melakukan hal yang sia-sia.”
Hanya satu kalimat bernada datar itu yang Yanzi keluarkan sebelum kembali berkutat dengan pekerjaannya lagi.
Aini yang diabaikan menggigit bibirnya gelisah. Dia tidak tahu jika akan dipermalukan seperti ini. Seharusnya tidak seperti ini. Dia membuka tutup mulutnya namun tidak menemukan satu katapun yang bisa dikeluarkan.
Merasakan kegelisahan wanita itu, Yanzi mengangkat wajahnya lagi. “Akan lebih baik kau pergi makan siang daripada berdiri diam disini.”
Aini tidak bisa lagi menahan perasaan malunya karna diabaikan. Dia berbalik berniat keluar dari ruangan Yanzi, namun panggilan Yanzi menghentikannya. Harapannya melambung. Dengan hati-hati dia kembali menatap Yanzi. Sayangnya pria itu hanya mengisyaratkan agar dia membawa kotak makanan yang tadi dibawanya.
“Tapi, anda bisa memakannya….”
“Bukan peranmu untuk mengkhawatirkanku.” Potong Yanzi.
Kali ini Aini membungkuk dengan sopan, mengambil kotak makanannya dan keluar. Isyarat halusnya selama ini entah bagaimana dia merasa itu sia-sia. Yanzi jelas tidak memiliki ketertarikan padanya.
Yanzi mengabaikan wanita itu. Seperti yang Yanzi bilang, selama pekerjaannya memuaskan, dia bisa mentoleransi prilaku seperti itu. Dengan catatan tidak sampai melewati batasnya.
Saat jam sembilan malam, Yanzi baru sampai ke rumah. Sudah ada mobil Daren terparkir disana. Kurang lebih dia tahu tujuan sepupunya itu datang. Tidak akan jauh dari pembicaraan tentang ulang tahun Kakek mereka.
“Sepupu, kau terlalu bekerja keras. Bagaimana baru pulang saat jam makan malam sudah lewat.” Komentar Daren yang duduk santai menonton TV diruang tengah.
“Kau benar. Seharusnya aku makan malam diluar dan bertahan di kantor sampai tengah malam.”
Yanzi membiarkan Ersa membantu membawakan tas dan jasnya ke kamarnya. Sementara dia melonggarkan dasinya dan duduk disamping Daren.
Hanya berselang sesaat, Marina datang membawakan camilan. Kali ini, Yanzi benar-benar mengangkat alisnya melihat Prilaku ibunya. Seumur hidup, ibunya tidak pernah melayani seseorang seperti ini. Bahkan ayahnya.
“Kenapa kau baru pulang? Daren sudah menunggumu sejak tadi.”
Bahkan suara ibunya yang menegurnya menjadi manis. Meskipun Yanzi seolah mengabaikan hal itu, nyatanya dia begitu memikirkan hal ini. Apa yang salah?
“Biarkan dia menunggu selama yang dia mau. Aku akan menemuinya saat aku bisa.” Sahut Yanzi acuh seolah tidak ada Daren disisinya.
“Betapa tidak sopan. Kau harus memperbaiki perilakumu itu.”
Yanzi merasa tidak nyaman mendengar cara bicara ibunya. Mengabaikan Daren yang melotot tidak terima, dia beranjak menuju ruang kerjanya.
*****