Changyi – (Bab 1 – 5)

Bab 1 (Sepasang Mata Tajam)
Changyi berteriak pilu!  Tepat saat tubuhnya rifleks keluar dari tempat persembunyiannya,  seonggok kepala- berlumuran darah-yang sangat dikenalinya menggelinding tepat di bawah kakinya!
Tanpa berani menyentuh potongan tubuh dari ibu yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu,  Changyi berlutut di hadapannya dan menangis dengan kalap!
“Siapa kau?!” bentak seseorang dengan nada penuh dendam yang terdengar jelas di sana.
Changyi mendongak, menatap sosok yang menghampirinya dengan pandangan kabur.
Pandangan mereka bertumbukan!
Mata hitam itu terlihat sangat tajam dan seperti ingin menenggelamkannya. Meski telah menghancurkan negaranya dan baru saja berhasil menebas kepala ibunya dengan kejam,  Changyi sama sekali tidak menemukan raut kepuasan dari sepasang mata tajam itu.
“Apa yang kau lakukan Changyi?  Bukankah ayah sudah bilang bahwa kau tidak boleh keluar dari tempat persembunyianmu apapun yang terjadi?!” kali ini suara ayah Changyi.
Changyi berbalik kepemilik suara yang berada tidak begitu jauh darinya itu dan mendapati ayah yang dikasihinya tengah dalam keadaan yang menyedihkan. Dipaksa berlutut, rambut berantakan,  penuh luka dan terikat kedua tangannya. Berjejer dengan kedua kakak laki-lakinya yang juga dengan kondisi yang hampir sama.
“Changyi?” gumam sang pemilik mata tajam-si Kaisar muda Xianfeng-menatap pengawal pribadinya Tuoli.
Tuoli menunduk hormat pada junjungannya dan menyatukan kedua tangannya di depan wajah.  “Lapor yang mulia!  Pemuda ini adalah pangeran ketiga dari kerajaan Shu. Karna para pengawal tidak dapat menemukannya dimanapun, jadi kami fikir dia telah melarikan diri… “
“Namun Raja Yongsheng ternyata menyembunyikannya di tempat aman yang bahkan tak bisa kau temukan?” potong Kaisar Xianfeng,  seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Menurutmu,  benda seperti apa yang akan kau sembunyikan paling dalam saat seseorang berniat merebut semua milikmu?” seringai Xianfeng cerdik,  dengan banyak ide penyiksaan yang muncul di kepalanya. “Haruskah aku mencincang tubuh putra kesayanganmu di hadapan matamu Raja Yong?” tanyanya pelan,  lagi-lagi seakan bertanya pada dirinya sendiri. Toh semua keputusan memang berada ditangannya saat ini.
“Jangan coba-coba menyentuhnya!” geram Jianheng-kakak kedua Changyi-berusaha berontak dari kungkungan tongkat dua pengawal yang menekannya disisi kanan kiri.
“Berani sekali kau membentakku dalam posisi seperti itu?!” dalam sekali kedip,  Xianfeng berhasil menebas leher Jianheng hingga terpisah dari tubuhnya dengan pedang yang sejak tadi berada di tangannya.
“TIDAAAK!” teriakan pilu dari Changyi berhasil meredam geraman ayah dan kakak pertamanya.
Changyi segera menghambur membangunkan tubuh tanpa kepala yang sempat terjatuh ketanah dan memeluknya. “Kakak Jian! Bangun kakak Jian! Tolong jangan seperti ini!” rintihnya.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Raja Yongsheng yang mulai putus asa.
“Apa yang kuinginkan?” Xianfeng balik bertanya,  namun dengan nada datar.  “Tentu saja membuatmu merasakan apa yang telah kau perbuat pada kerajaanku. Kau!” Xianfeng menatap Yongseng yang bertekuk lutut dihadapannya dengan penuh dendam dan amarah.  Kejadian mengerikan itu,  kembali terputar ulang di kepalanya. Membuat sekujur tubuhnya meremang meminta nyawa dari Yongseng sendiri.  “Kau menghianati persekutuan kerajaan kita dan membantai kedua orang tuaku tepat di depan mataku!  Kau mengaku bersahabat tapi menusuk mereka dari belakang!  Ambisimu yang memuakkan! Merebut kerajaan sahabatmu sendiri dan membuat anak berusia 8 tahun menyaksikan kematian kedua orang tuanya dengan sadis! Bahkan membunuhmupun tidak akan cukup!  Seratus nyawa seorang Yongseng pun tidak akan pernah cukup untuk menebusnya padaku!” seru Xianfeng, berusaha meredam kemarahan yang telah di tahannya selama bertahun-tahun.
“Kematian adalah hukuman yang terlalu mudah untukmu.” Xianfeng kembali berujar.  “Aku akan membuatmu merasakan kematian orang-orang yang kau sayangi kemudian membunuhmu secara perlahan.”
Kali ini Xianfeng menggerakkan pedangnya secara perlahan ke leher pangeran pertama,  Fengying.  Mencoba menikmati reaksi menyedihkan dari musuh tua bangka yang menatapnya dengan penuh permohonan tanpa harga diri.
“JANGAN! Kau tidak boleh membunuhnya!” cegah Changyi cepat,  meraih bilah pedang Xianfeng dengan tangan kosong. Ia bahkan tak perduli dengan tetesan kental berwarna merah yang menetes deras dari kedua telapak tangannya yang menahan besi tajam yang terasa berat itu.
“Apa kau baru saja memerintahku?” Xianfeng mendesis tajam berbahaya.
Changyi hanya terdiam,  mempertahankan posisinya. Semua perasaan buruk yang menggerogotinya berhasil membungkamnya.
“Mundur!” perintah Xianfeng tajam.
Changyi tetap tidak bergeming.
“Kau akan mendapatkan giliranmu. Karna kau yang paling berharga bagi si tua bangka Yongsheng,  maka kau yang mendapat bagian kematian akhir. Selalu menyenangkan menaruh bagian serunya di akhir. ” seringai Xianfeng penuh penekanan.
“Aku mohon!  Jangan bunuh mereka!  Bunuh saja aku!  Aku yang telah melakukan semua itu!  Bukan mereka!  Kau boleh menyiksaku,  merendahkan,  atau cara apapun yang kau suka.  Tapi aku mohon, jangan bunuh mereka seperti saat aku mengabulkan permohonan terakhir orang tuamu untuk melepaskanmu. ” pinta Yongsheng benar-benar putus asa kali ini.
“Ahh…” Xianfeng bergumam pelan. “Baiklah, semua permohonan dikabulkan.”
Semua yang mendengar penuturan sang Kaisar muda-yang telah berhasil menguasai banyak negara dengan kekuatannya itu-mengerjap tidak percaya dengan pendengarannya.
Benarkah kaisar Xianfeng bersedia mengampuni mereka?
“Jangan membunuh, menyiksa dan merendahkanmu! Aku mengabulkan semuanya.” lagi-lagi Xianfeng menyeringai.  Memancarkan aura yang lebih gelap dari sebelumnya.
Yongsheng yang sudah terbiasa dengan keadaan perang,  darah dan pembunuhan.  Baru kali ini merasakan ketakutan yang teramat sangat menjalari tubuh tuanya yang jika dalam keadaan normal,  sebenarnya masih sangat kokoh.
“Pertama-tama aku tidak akan membunuhmu dan kedua putramu.”
Mendengar desisan penuh kekejaman itu,  seakan membuat Yongseng merasa menunggu pengumuman dari sang malaikat maut.
“Kedua,  tentu saja aku akan menyiksamu di penjara kerajaanku dengan senang hati.” Xiangfeng melanjutkan.
Tubuh Changyi langsung meremang, kala sepasang mata tajam itu kini menatapnya dingin.
“Dan ketiga!” Xiangfeng memberi jeda, memberi kesempatan menhambil nafas bagi lawan bicaranya. “Aku akan merendahkanmu dengan cara membuat pangeran kesayanganmu ini, menjadi pemuas nafsuku di istanaku hingga ia bahkan tidak akan pantas memohon untuk kematiannya sendiri! “

Bab 2 (Penuh Luka) 
Bulu mata indah Changyi yang mulai bergerak naik turun, menandakan bahwa kesadarannya sudah mulai kembali.
Dengan rasa sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya,  Changyi berusaha keras mengumpulkan kesadarannya dan membuka matanya secara perlahan.
Memandang berkeliling,  ia hanya mendapati pemandangan asing di sekitarnya.  Membuat rasa sakit yang semula tersebar, menjadi terkumpul pada satu titik di sekitar dadanya.
Sekelebat kejadian buruk yang dialami oleh keluarganya,  kembali terputar ulang di kepalanya.
“Pangeran Changyi!  Anda sudah sadar?!  Anda sadar!” seruan bahagia dari seorang gadis,  membuyarkan lamunan Changyi.
Changyi berbalik, menatap si pemilik suara tersebut.
“Chang! Cong!” seru Changyi tertahan, menatap dua bersaudari-kembar-yang selalu bersamanya dan melayaninya sejak kecil, berdiri tepat di samping tempat tidurnya dengan raut khawatir.
Sebuah harapan bahwa kehancuran negara dan keluarganya hanya sebuah mimpi buruk, mulai tumbuh di dasar hatinya. Melihat Chang dan Cong yang baik-baik saja.
“Pangeran Changyi…  Bagaimana keadaanmu?” tanya Cong pelan, dengan wajah nanar menghampiri Changyi.
“Tempat apa ini? Dimana ibu,  kakak Jianheng, kakak Fengying dan…  Ayah Raja?” tanya Changyi cepat, tidak menghiraukan pertanyaan pelayan yang sudah seperti saudarinya sendiri itu.
Tidak ada jawaban. Hanya isak tangis keduanya yang terdengar mencekam dalam ruangan yang sangat luas dengan desain indah tersebut.
“Chang…  Cong… Tolong… Katakan sesuatu…” Changyi mulai merasa debaran jantungnya tak beraturan, nafasnya tersengal dan fikirannya terasa kacau. “Tolong… Katakan bahwa mereka baik-baik saja…  Tolong…  Katakan bahwa…”
“Pangeran Changyi!” seorang pemuda bertubuh tinggi yang baru saja muncul, memotong perkataan Changyi dan menghambur ke arahnya.  “Bagaimana keadaanmu Pangeran?  Apa yang kau rasakan saat ini?” tanyanya tidak kalah cemas dengan Chang dan Cong.
“Chang! Cepat pergi dan hangatkan obat untuk pangeran Changyi.  Cong!  Segera siapkan bubur Hangat untuk pangeran!” perintah pemuda yang juga adalah pelayannya sejak kecil itu.
Chang, Cong dan zhaoyang adalah pelayan sekaligus teman bermain yang dihadiahkan oleh kedua orang tua Changyi saat masih berusia 4 tahun. Kala itu, Changyi mengeluh kesepian karna kakak-kakaknya selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk menemaninya.
Sejak kecil, Changyi sangat mudah sakit dan punya tubuh yang lemah. Raja Yongsheng dan Permaisurinya sangat menyayangi dan memanjakan Changyi. Hingga mereka bahkan tidak mengizinkan putranya itu melakukan hal-hal yang berat seperti kedua kakaknya.  Tidak ada pelajaran bertarung dan tidak ada latihan perang. Changyi hanya diberi kasih sayang melimpah dan perhatian penuh, agar kondisi tubuhnya tetap terjaga.
Ketiga pelayan itu dipilih untuk menjaga dan menemani Changyi. Perbedaan usia mereka tidak terlampau jauh,  agar mereka bisa bergaul dengan baik.
“Zhaoyang! Dimana ayah Raja? Aku ingin bertemu dengannya.” tanya Changyi lagi,  kali ini mencengkeram kuat tangan Zhaoyang dengan posisi terduduk di ranjangnya dengan tubuh gemetar.
Chang dan Cong sudah tidak lagi di ruangan itu dan telah pergi untuk melaksanakan tugas mereka.
“Hamba minta maaf pangeran.” Zhaoyang menunduk dalam.  “Kami tidak bisa berbuat apa-apa saat Raja Yongsheng mengakhiri hidupnya sendiri dalam perjalanan menuju ke kerajaan ini. Tepat saat anda jatuh sakit dan tidak sadarkan diri, Yang mulia Raja Yongsheng menggigit lidahnya sendiri untuk mengakhiri… hidupnya.”
Changyi terpaku sesaat, mencerna setiap kata dari penuturan pemuda yang duduk menunduk tepat di sampingnya.
Ternyata semua kejadian buruk itu benar-benar terjadi dan bukanlah sebuah mimpi.
Changyi menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangannya yang tampak dibalut perban. Mencoba meredam tangis pilu,  yang saat ini menghancurkan hatinya. Pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan kesedihan sedalam ini. Ia merasa dirinya adalah lelaki tidak berguna yang tidak mampu melakukan apapun saat kerajaannya di serang dan keluarganya dibantai tepat di hadapan matanya.
“Lalu… Bagaimana dengan kakak Fengying?” tanya Changyi beberapa saat, setelah ia mampu untuk sedikit mengendalikan emosinya.
“Sebaiknya pangeran makan terlebih dahulu, anda pasti merasa sangat lemas karna sudah tidak makan selama lima hari dan tidak sadarkan diri.” Cong yang baru saja kembali, meletakkan sebuah meja kecil-dengan semangkuk bubur hangat dan beberapa sayuran-tepat di hadapan Changyi.
“Aku tidak ingin makan apapun.” gumam Changyi,  sedikit mendorong meja kecil yang saat ini berada diantara kakinya.
“Kalau begitu minum obatnya saja pangeran. Tabib bilang tidak apa-apa meski anda tidak makan apapun asal anda mau minum obat,  penyakit sesak nafas anda tidak akan kambuh.” kali ini Chang menyodorkan semangkuk cairan berwarna kehijauan berbau tajam untuk Changyi.
“Bagaimana kalian bertiga bisa ada bersamaku saat ini?  Bukankah mereka menangkap kalian waktu itu?” tidak menghiraukan obatnya, Changyi menatap ketiga pelayannya bergantian dengan tatapan kosong yang dipenuhi rasa sakit.
Betapa kurus dan lemahnya tubuh pangeran mereka saat ini. Bahkan Chang yakin bahwa untuk berdiri saja akan sulit untuk pangerannya itu.  Kulitnya yang putih,  kini terlihat semakin pucat,  bibirnya yang saat ini pecah-pecah, bahkan tidak kemerahan lagi seperti biasanya.
“Kaisar Xianfeng membawa kami kemari untuk melayani anda. Hanya kami yang sangat mengetahui kondisi dan keadaan pangeran. Kami rela mengabdi padanya dan kerajaan Tang asal bisa tetap berada di sisi anda dan menjaga anda, pangeran.” jelas Chang dengan pipi yang telah basah.
“Ahh…  Begitukah?” gumam Changyi pelan,  sedikit merasa lega karna ketiga sahabat sejak kecilnya tidak dibantai oleh sang pemilik mata kejam dan penuh dendam itu.
Mengingat ia-yang menyebutkan namanya saja Changyi tak berani-membuat tubuh Changyi meremang dalam ketakutan. Bagaimana jika… ‘laki-laki itu juga merenggut nyawa satu-satunya keluarganya yang tertinggal?’
“Bagaimana kondisi kakak Fengying?! Apa yang terjadi padanya?! Apakah dia baik-baik saja?!” tandas Changyi mulai kembali panik. Tubuh yang semula sangat sulit digerakkannya,  tiba-tiba memiliki kekuatan untuk menggoyangkan bahu Zhaoyang.  Menuntut pemuda itu agar segera menjawab pertanyaannya.
“Pangeran Fengying… “
“Dia masih baik-baik saja! Setidaknya,  kepalanya masih belum terpisah dari lehernya!”
Suara muram yang memotong ucapan Zhaoyang, membuat Changyi gemetar hebat. Ketika kepalanya bergerak sendiri untuk melihat si pemilik suara yang baru saja masuk ke dalam kamarnya dengan jubah kuning berukiran naga, mata mereka bertumbukan.

Bab 3 (Hukuman) 
Changyi semakin tak sanggup mengendalikan tubuhnya yang gemetar hebat, kala sepasang mata elang itu memerangkapnya dalam diam.
Marah, benci, takut, bingung, sedih, sakit dan frustasi terasa menggerogoti  jiwa Changyi saat ini. Mulutnya terasa kelu, meski sebenarnya ia sangat ingin meneriaki pria yang saat ini masih berdiri di ambang pintu itu dengan berbagai pertanyaan.
“Tidakkah kalian melayani majikan kalian yang sakit dengan baik? Seharusnya beri dia makan dan obat terlebih dahulu, sebelum menghabiskan waktu untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting!” tuding Xianfeng langsung, menatap tidak puas pada ketiga pelayan pribadi Changyi.
Dengan langkah mantap yang dimiliki seorang penguasa, Xianfeng mulai melangkah masuk melewati ambang pintu.
Empat orang pengawal lelaki yang sejak tadi mengekor di belakangnya, tampak berhenti di tiap sisi ambang pintu sementara dua orang lagi-seorang lelaki yang wajahnya tak asing bagi Changyi dan seorang wanita berparas cantik-tetap mengekori di belakangnya.
Ketiga pelayan Changyi membungkuk dalam, saat Xianfeng telah berdiri di hadapan mereka.
“Maafkan atas ketidak becusan kami, Yang Mulia.” ucap Zhaoyang hormat, tidak mampu menyembunyikan wajah tak nyamannya.
Tentu saja ia tidak akan semudah itu merasa nyaman dengan orang yang telah membantai keluarga junjungan lamanya dengan cara sadis seperti itu. Meskipun Kaisar diktator ini telah berbaik hati mengembalikannya-dan kedua bersaudari-pada pangeran Changyi, tapi tetap saja Zhaoyang merasa tidak setuju saat pangerannya dijadikan seorang selir, sementara majikannya itu jelas-jelas adalah seorang lelaki. Tentu saja itu adalah sebuah penghinaan besar, bagi pangeran yang sangat dihormatinya itu.
Xianfeng hanya berdecak kesal menanggapi Zhaoyang.
“Mulai saat ini, aku menugaskan Fei zi untuk membantu Kalian mengurusi kediaman Changyi.” Xianfeng kembali berkata, membuat seorang wanita yang sejak tadi setia berdiri di belakangnya,  maju selangkah dan membungkuk hormat di hadapan Changyi. “Tentu saja aku membiarkan kalian, namun tidak untuk mempercayai kalian sepenuhnya. Aku hanya memberi peringatan, agar jangan sampai ada tindakan bodoh apapun yang akan memprovokasiku selanjutnya.” Xianfeng menyipitkan matanya, dengan nada penuh ancaman. Bagaimanapun,  orang-orang yang berdiri di hadapannya ini adalah bekas pelayan dari musuh yang telah dibantainya.  “Apa kalian mengerti?!” tanyanya tegas, pada ketiga pelayan Changyi, yang masih menunduk dalam di hadapannya.
“Ya! Yang mulia!” jawab ketiganya serempak, dengan suara yang hampir menggema di seluruh ruangan.
“Kalau begitu, apalagi yang kalian berempat tunggu? Haruskah aku sendiri yang turun tangan untuk memberi makan pada majikan kalian?” tukas Xianfeng tak sabar, membuat Zhaoyang, Chang, Cong dan-tanpa terkecuali-Fei zi, jadi kelabakan.
Keempatnya langsung bergegas menghampiri Changyi untuk melaksanakan tugas mereka.
“Sepertinya buburnya sudah dingin pangeran,  aku akan mengambilkan makanan yang baru untukmu.” kata Chang gugup, mengambil meja kecil berisi makanan yang belum tersentuh oleh Changyi.
“Tidak perlu, aku sedang tidak berselera.” ucap Changyi cepat, dengan suara lemah yang malah terdengar seperti bisikan namun tetap mampu menghentikan langkah Chang.
“Aku tidak sedang memintamu, aku ‘memerintahkanmu’ untuk segera makan dan pulihkan kondisimu!” tegas Xianfeng tajam, menatap tepat ke arah Changyi. Kondisi putra dari orang yang paling dibencinya itu, benar-benar tidak sedap dipandang mata saat ini. Wajahnya tampak pucat, bibirnya bahkan bisa disamakan dengan tanah yang tandus, rambutnya yang hitam dan panjang tampak tergerai tak beraturan, tubuhnya kurus dan kecil seperti tubuh seorang gadis, tampak sangat lemah dan benar-benar rapuh. “Apa kau fikir aku akan senang memiliki seorang selir yang sakit-sakitan sepertimu? Kau bahkan tidak bisa melayaniku dengan kondisi seperti itu!”
Mendengar kalimat yang penuh penghinaan yang jelas ditujukan padanya, kemarahan Changyi seakan langsung naik satu oktaf ke kepalanya.
“Bukankah kau juga mengalaminya?! Bukankah kau juga menyaksikan kematian keluargamu di hadapan matamu?  Apakah kau masih bisa memakan sesuatu saat bayangan mayat orang-orang yang kau sayangi masih terulang jelas di kepalamu?” desis Changyi geram, entah memperoleh keberanian dari mana hingga ia bisa berbicara tanpa menggunakan bahasa sopan pada penguasa paling berpengaruh di dinasti ini.
Sepasang alis hitam itu saling bertaut marah, menatap Changyi. “Kalian semua! Pergilah!” perintah penguasa beberapa kerajaan, yang baru berusia dua puluh delapan tahun itu pada para pelayannya. Matanya masih menatap lekat ke arah Changyi yang tampak terduduk lemah di atas tempat tidur luasnya.
“Yang mulia! Tolong ampuni pangeran kami! Dia masih sakit, pikirannya masih kacau. Tolong jangan menghukumnya!” Cong yang tidak rela meninggalkan pangerannya sendirian di kandang singa bersama singanya sekaligus, langsung menghambur berlutut di hadapan Xianfeng dengan air mata yang telah mengalir deras.
“Siapa kau berani memerintahku?! Aku paling tidak suka jika seseorang berani mengatur tentang apa yang harus aku lakukan dan tidak lakukan.” Xianfeng mulai mendelik tak suka, biasanya ia akan langsung merenggut nyawa lawan bicaranya jika mereka adalah orang yang dibencinya.
“Bawa dia keluar dari sini!” perintah Tuoli-pengawal setia Xianfeng yang sejak tadi berdiri di belakang Xianfeng-dengan cepat. Ia yang sudah mengikuti Xianfeng sejak kecil, mengerti betul dengan perangai buruk kaisarnya jika sudah dalam keadaan seperti ini. Ia hanya tidak ingin ada pertumpahan darah di sini.
Meskipun merasa tak rela, Chang dan Zhaoyang tetap terpaksa harus menuruti perintah untuk segera membopong Cong berjalan keluar ruangan. Bagaimanapun, mereka tidak boleh bertindak gegabah, jika masih ingin tetap tinggal di sisi Changyi.
“Satu hal lagi!” ucap Xianfeng tiba-tiba, menghentikan langkah mereka. “Mulai sekarang, aku tidak ingin mendengar kalian memanggilnya pangeran Changyi lagi. Semenjak sampai di kediaman ini, dia sudah resmi menjadi selir kerajaanku. Jadi panggil dia sesuai statusnya, jika kalian tak ingin mendapat hukuman dariku.” ucap Xianfeng masih dengan nada dinginnya, sebelum semua pelayan itu meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang luas dan pintu yang tertutup rapat.
“Jadi? Apakah kau benar-benar ingin mendengar apa yang aku lakukan setelah ayahmu yang rendahan itu menghancurkan hidup orang-orang yang kusayangi?” sambar Xianfeng dalam, kembali dipenuhi aura dendam di sekitarnya.
Ia melangkah mendekati Changyi, sementara Changyi yang masih dikuasai kemarahan dan rasa takut karna aura iblis yang ditujukan padanya hanya bisa menggeser tubuhnya mundur, hingga terantuk kepala tempat tidurnya.
Xianfeng menatap beberapa saat tubuh kurus dan seputih salju dihadapannya. Tubuh kecil dan lemah itu, sepertinya memang hanya pantas diperlakukan seperti seorang wanita dari pada seorang lelaki.
Changyi terkesiap! Tidak sanggup kabur lagi saat kedua tangan kokoh itu memerangkap di atasnya hingga membuat jarak wajah mereka begitu dekat.
“Apakah aku masih bisa makan setelah ayahmu yang tidak tau diri itu membantai keluargaku?” Desis Xianfeng tajam, mengulang pertanyaan Changyi.
“Asal kau tau saja, setiap kali kejadian itu terulang di kepalaku, aku semakin bersemangat untuk makan dan menghabiskan semuanya. Meskipun yang kutelan adalah makanan basi, tidak layak makan atau makanan binatang sekalipun, aku selalu bersemangat memakannya setiap kali mengingat perbuatan ayahmu pada orang-orang yang aku sayangi. Setiap suap makanan yang aku telan,  kejadian itu terus terulang di kepalaku.” Xianfeng diam sejenak,  seakan butuh sangat banyak tenaga untuk melanjutkan kalimatnya. “Kau tau apa yang dilakukan ayahmu pada keluargaku dua puluh tahun yang lalu?” tanyanya dengan nada membentak berang.
Changyi tidak menjawab, tubuhnya yang merasakan bahaya besar sedang mengancamnya hanya bisa bergerak sendiri untuk terus mendorong tubuh Xianfeng yang kini menghimpitnya untuk menjauh, tanpa hasil.
Xianfeng merenggut dagu Changyi dengan sebelah tangannya agar pemuda itu bisa menatap tepat ke manik matanya. Kepedihan yang bersembunyi dibalik kemurkaan, lagi-lagi bisa tertangkap oleh pandangan Changyi pada mata hitam itu.
“Pertama-tama, laki-laki rendahan itu merebut kerajaan ayahku dengan penghianatannya! Terlebih dahulu menyiksa mereka sebelum membunuh para paman dan ayahku dengan cara tersadis yang pernah kusaksikan.” lanjut Xianfeng, penuh penekanan dalam setiap kata. “Lalu? Kau tau apa yang ia lakukan pada para bibi, ibu, dan kakak perempuanku?” Xianfeng tampak memejamkan mata sejenak, mencoba meredam perasaan marah teramat sangat di dadanya. Ingin rasanya ia menghancurkan nyawa kotor Yongsheng, lagi-lagi-dan lagi saat itu juga. Ia bahkan tak rela jika orang itu tenang meskipun ia telah berada di neraka saat ini. “Ayah yang sangat kau hormati itu bersama para pengikut rendahannya, melucuti pakaian orang-orang yang aku hargai di hadapan mataku! Melecehkan dan menyiksa mereka di hadapan bocah yang masih berusia 8 tahun meski mereka memohon pengampunan dengan tangis yang mengeluarkan darah! Mereka tidak memperdulikan teriakan kemarahanku dan terus menyiksa dan melecehkan ibu dan kakak perempuanku tepat di hadapan mataku! Aku kembali mendengarkan teriakan pilu dan kesakitan mereka setiap kali memasukkan makanan ke dalam mulutku! Apa kau mengerti?!”
Tubuh Changyi tersentak oleh bentakan keras Xianfeng. Matanya melebar dengan tubuh gemetar hebat. Benar-benar tidak ingin mendengar dan memercayai setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. Ayahnya yang penuh kasih sayang padanya itu, tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
“Tidak… Tidak… Ayah Raja… Tidak mungkin… ” gumam Changyi terbata, mencoba menutup kedua telinganya dengan tangannya namun tentu saja hal itu tidak bisa mencegahnya untuk terus mendengar penuturan Xianfeng selanjutnya.
“Tidak cukup dengan itu, si rendahan Yongsheng memenggal kepala ibu dan para bibiku di hadapan mataku. Mereka mengampuni nyawaku dan nyawa kakak perempuanku namun menjualku sebagai budak dan menjual kakakku di tempat perempuan penghibur setelah puas menyiksa kami hingga kakakku kehilangan penglihatannya! Apakah menurutmu, hukuman yang diterima ayahmu sudah setimpal dengan perbuatannya?! Si pengecut sialan itu mengakhiri hidupnya karna dia takut menerima hukuman atas dosa-dosanya!” menyelesaikan penuturannya, Xianfeng menatap Changyi dengan pandangan kosong.  Kemarahannya sudah sampai pada puncak ledakan, namun tak punya wadah yang cukup besar untuk menampungnya.
Changyi menangis tersedu-sedu. Untuk beberapa lama, hanya itu yang bisa ia lakukan setelah mendengarkan cerita Xianfeng.
“Maaf… Aku… Maaf… Benar-benar… Maafkan aku…” Lirih Changyi berulang kali dengan bahu yang bergetar hebat. Dia bahkan mulai merasa bersalah pada perbuatan buruk yang tidak dilakukannya namun dilakukan oleh ayah tercintanya.
“Maaf? Apakah kau benar-benar ingin mendapatkan maaf dariku?” tanya Xianfeng akhirnya, setelah bosan mendengar kata ‘maaf’ yang terus terucap dari bibir kecil Changyi.
“Maafkan aku… Maaf… ” jawab Changyi seperti orang yang kehilangan akal sehat.
“Lakukan apa yang aku perintahkan jika kau benar-benar merasa bersalah! Terima semua yang kukatakan meskipun itu menyiksa atau menyakitimu! Teruslah hidup seperti itu untuk mengikis dendam yang kumiliki, dengan penderitaanmu. Biarkan Yongsheng keparat itu menangis tersedu di neraka menyaksikan putra kesayangannya menerima hukuman atas perbuatan kejinya! Dengan begitu, kau baru bisa memperoleh maaf dariku.” tandas Xianfeng, kemudian segera bangkit berdiri untuk meninggalkan Changyi yang masih saja tersedu meratapi nasib buruk yang menimpanya dan keluarganya.
Semuanya benar-benar terlalu tiba-tiba, padahal seperti baru kemarin ia masih tertawa bersama keluarga yang dicintainya. Ia berharap yang menimpanya saat ini hanyalah mimpi buruk yang akan menghilang ketika ia terbangun esok harinya.

Bab 4 (Berhati Dingin)
Sekali lagi, Changyi menghela nafas menatap pantulan dirinya yang terbalut jubah indah di depan cermin.  Kini kondisinya sudah membaik. Tidak lagi seperti saat ia baru saja tersadar di istana barunya seminggu yang lalu.
Kulit putihnya yang mulus tak lagi sepucat saat itu, warna bibirnya kini kembali telah tampak hampir menyamai buah kesemek merah yang matang, rambutnya telah terurai indah setengah terikat dengan jepitan emas ala bangsawan yang menghiasinya. Namun semua itu sama sekali tidak membuat Changyi bahagia.
Seminggu belakangan, yang mulia kaisar yang dingin itu mengunjunginya hampir setiap hari untuk memeriksa keadaannya. Memaksanya meminum banyak jenis obat dan memberi peringatan keras agar dirinya tidak menolak untuk makan lagi dan memastikan kesehatannya.
Sayangnya, perbuatan yang terdengar membuat haru itu,  bukan karna yang mulia Xianfeng menghawatirkan Changyi atau hal apapun semacam itu.
Changyi jelas sangat mengetahui alasan kenapa kaisar yang dingin itu begitu menginginkan kepulihannya. Itu hanya agar ia bisa kembali disiksa seperti yang telah dijanjikan untuknya.
Dan jika boleh jujur, Changyi merasa benar-benar tidak ingin melalui saat itu!
Sekali lagi Changyi menghela nafas berat,  dan menunduk sedih. Jika dulu alasan Xianfeng untuk tetap hidup adalah untuk membalas dendam pada orang tuanya, maka alasan Changyi tetap bertahan hidup adalah keberadaan kakak tertuanya yang saat ini masih ditahan dalam penjara yang entah berada di sudut bagian mana istana yang luas ini.  Ia benar-benar ngeri membayangkan apa yang akan sanggup dilakukan kaisar Xianfeng yang dipenuhi dendam itu saat dirinya memutuskan mengakhiri hidupnya seperti ayahnya! Mungkin saat itu, penguasa muda itu akan melampiaskan segala kemarahannya pada kakak Fengyingnya dan membuat keluarganya yang tersisa satu-satunya itu semakin menderita.
Bahkan saat ini Changyi sudah menjamin bahwa kondisi kakak tertuanya itu sudah sangat menderita saat ini. Kemungkinan besar kakaknya ditempatkan dalam ruangan kotor-sempit yang gelap dengan banyak luka siksaan saat ini.
Saat itu Changyi berfikir benar-benar tidak ingin membayangkan jika penderitaan kakak tercintanya ditambahkan lagi. Satu-satunya cara adalah terus menerima kemarahan dan pembalasan Xianfeng hingga dirinya mencapai batasnya sendiri.
“Hamba Fei zi, menghadap selir Changyi.” kehadiran Fei zi yang baru saja memasuki ruangan,  membuyarkan lamunan Changyi.
“Dimana Chang dan Cong?” tanya Changyi pelan, menatap muram pada gadis cantik yang kira-kira seusianya itu.
Bukannya Changyi membenci gadis bernama Fei zi ini, hanya saja keberadaannya yang jelas-jelas ditempatkan sebagai mata-mata oleh Xianfeng untuk mengawasi gerak-geriknya membuatnya merasa benar-benar tak nyaman.
Changyi akui bahwa pelayan yang diutus Xianfeng ini melayaninya dengan sangat baik dan begitu menghormatinya. Hanya saja, gadis ini juga tidak pernah lupa untuk melaporkan setiap gerak geriknya pada Xianfeng hingga nantinya Changyi akan menemui kehadiran yang mulia bermulut tajam itu untuk menghardik dan menyiksanya jika ia melakukan sebuah kesalahan.
Entah ini sebuah keberuntungan atau kemalangan, tapi selama ini Xianfeng masih hanya memberinya siksaan batin saja dan ‘belum’ menyiksanya secara fisik. Dalam hati Changyi bahkan pernah berdo’a. Semoga saja jika siksaan fisik itu datang menghampirinya, dia berharap agar itu tidak bersifat untuk melecehkannya atau semacamnya. Atau jika hal itu terjadi,  maka dirinya akan…
“Sementara Zhaoyang sedang pergi untuk beberapa urusan, Chang dan Cong sedang menyiapkan keperluan anda untuk menuju ruang perjamuan.” lagi-lagi ucapan Fei zi berhasil membuyarkan lamunan Changyi.
“Perjamuan?” tanya Changyi, dengan kening yang sedikit mengerut.
“Iya yang mulia. Malam ini anda diperintahkan oleh kaisar Xianfeng untuk menghadiri acara perjamuan makan, bagi para selir dan permaisuri.” tutur Fei zi, memberi penjelasan.
“Jika aku tak ingin?” tantang Changyi kesal, benar-benar benci mendengar panggilan ‘selir’ yang ditujukan pada laki-laki sepertinya.
Ia akui jika dirinya tidaklah ahli perang maupun tentang pedang, tapi itu tidak memberi mereka alasan untuk memperlakukan atau menempatkannya seperti seorang wanita.
“Maka maafkan hamba, jika Fei zi harus melaporkannya pada yang mulia kaisar.” jawab Fei zi mantap, tanpa takut sedikitpun.
“Apa kau sedang mengancamku?” tanya Changyi, dengan nada tak suka. Sedikit menerawang ke masa lalu, dulu tidak ada yang berani memperlakukannya seperti ini, mengingat statusnya sebagai pangeran kesayangan yang paling dimanja dan selalu dipenuhi apapun keinginannya.
“Hamba tidak berani yang mulia! Hamba hanya menjalankan perintah saja.” jawab Fei zi sungguh-sungguh, dengan kepala tertunduk dalam. “Tolong mengertilah posisi pelayan yang malang ini, yang mulia.” tambahnya lagi, dengan nada memelas.
Changyi menarik nafas dalam, kemudian kembali menghela nafas berat. “Aku tau. Maafkan aku karna melampiaskannya padamu Fei zi. Aku tau kau tidak salah apa-apa, hanya saja akhir-akhir ini perasaanku sedang sangat kacau, dan mungkin juga akan sering seperti itu. Jadi aku harap, kau juga bisa memakluminya. Jujur saja, aku sedang sangat banyak fikiran saat ini.”-ah..  Atau mungkin sejak ia datang di istana ini! Lanjutnya dalam hati.
Fei zi mengangguk kecil menanggapi Changyi. “Hamba mengerti, yang mulia.”
“Baiklah, aku akan pergi. Aku tau bahwa itu sebuah keharusan.” putus Changyi muram. Meninggalkan Fei zi, untuk sekedar menyiapkan mentalnya agar selanjutnya dirinya bisa menghadapi Xianfeng yang berhati dingin dan berperangai buruk itu.
***
Changyi baru saja melangkah memasuki ruangan itu diikuti Chang dan Cong di belakangnya, ketika semua mata di sana tertuju padanya.
Saat itu Changyi mengenakan jubah biru yang menjuntai, dengan hiasan tusuk rambut bercabang dua yang terhias gantungan tali merah yang tersulam menjadi bunga di bagian ujungnya. Rambut hitamnya yang tebal, tampak tergerai setengahnya.
Changyi memandang berkeliling sesaat, mendapati para wanita berpenampilan anggun dan berparas cantik yang telah berbaris rapi pada sisi kiri dan kanan ruangan. Tanpa perlu dijelaskan, Changyi sudah mengerti bahwa wanita-wanita tersebut adalah para selir dari Kaisar Xianfeng itu sendiri.
Yang membuat hati Changyi merasa miris, bahwa dirinyalah satu-satunya pria dalam status ‘selir’ di sini.
“Kau sudah tiba?” tegur suara berat berwibawa, ketika Changyi sudah berdiri di hadapan meja makan untuk kaisar. Seringaian merendahkan, langsung muncul di wajah Xianfeng.
“Changyi menghadap pada Kaisar.” gumam Changyi tanpa semangat, menyatukan kedua tangan di depan dada dan sedikit membungkuk.
“Baiklah. Sekarang duduklah di sini!” perintah Xianfeng, menepuk tempat di sebelah kirinya yang kosong.
Mata indah Changyi yang besar, tampak langsung membulat tak percaya dan refleks mengangkat kepalanya untuk menatap Xianfeng tak yakin.
Tentu saja saat itu Changyi juga sadar bahwa bertepatan dengannya, semua mata di tempat itu juga membulat kaget dan langsung memandangnya dengan tatapan tidak suka. Terutama oleh sepasang mata yang pemiliknya saat ini duduk tepat di sebelah kanan Kaisar. Changyi langsung mengenali bahwa wanita yang memandangnya dengan tatapan penuh benci yang kira-kita berusia sedikit lebih tua darinya itu, adalah seorang permaisuri.
Uh!  Sekarang Changyi mengerti. Selain untuk menghina dan merendahkannya, alasan Xianfeng mengundangnya ke pesta perjamuan makan malam ini adalah hanya untuk mengucilkan dan membuat mentalnya tersiksa oleh tatapan benci yang penuh iri dari para wanitanya. Benar-benar hal yang sangat memalukan!
“Maafkan hamba yang mulia. Tapi… Tempat di sisi anda seharusnya di isi oleh orang kesayangan anda saja.” tolak Changyi halus, dengan penuh kesabaran.
Xianfeng berdecak kesal. “Aku paling tidak suka dibantah.” tegasnya.
Lagi-lagi perangai buruk itu! Dia tidak suka dibantah, tidak suka diperintah atau tepatnya diberi saran, tidak suka jika sesuatu tidak sesuai kehendaknya dan tidak suka ini-itu. ‘Memangnya apa yang kau sukai jika itu berhubungan denganku?’ keluh Changyi dalam hati. Namun tetap mengikuti perintah, dan berjalan mendekati Xianfeng.
Beberapa saat kemudian, banyak makanan sudah terhidang dalam ruangan luas itu di masing-masing meja mereka.
“Kau harus mencicipi makanan kesukaan permaisuri Han Xian!” kata Xianfeng pada Changyi, bertepatan dengan semangkuk sup wonton yang diletakkan di hadapannya oleh pelayan istana perempuan.
Dengan menurut, Changyi menyendokkan sedikit kuah makanan itu ke dalam mulutnya. Menghiraukan mata-mata jahat yang jelas sedang menyumpah serapahnya saat ini.
Ketika perasaan tak asing itu mencapai lidah dan tenggorokannya, Changyi mengerutkan keningnya dalam.
“Ada apa? Apakah itu tidak sesuai selara selir Changyi?” sindir permaisuri Han Xian, jelas tampak tersinggung.
“Tidak, yang mulia. Hanya saja… “
“Makanlah, meski kau tak menyukainya.” potong Xianfeng dingin, kemudian menyodorkan sumpitnya ke arah Changyi untuk menyuapi pria yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu.
“Aku bisa sendiri.” tolak Changyi cepat, dan langsung saja menyumpit benda putih bulat berisi itu kedalam mulutnya. ‘Sepertinya sudah waktunya untuk penyiksaan secara fisik itu.’ gumam Changyi dalam hati.
Strategi yang mulia Kaisar Xianfeng untuk menyiksanya benar-benar hebat. Strategi ini di sebut sekali tepuk, dua lalat mati. Pertama ia berhasil membuat Changyi menerima banyak pandangan penuh benci, kedua Xianfeng juga berhasil membuatnya menelan makanan yang seharusnya tidak bisa dicernanya.
Changyi merasa, Xianfeng sengaja menyiapkan makanan itu untuk menyiksanya.
Setelah perjamuan makan selesai, acara hiburan di mulai.
Changyi mulai merasa tak nyaman pada sekujur tubuhnya. Darahnya terasa panas, nafasnya terasa sulit untuk ditarik,  keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuhnya, jantungnya berdetak sangat cepat dan perutnya terasa melilit menyiksanya.
“Kudengar kau pandai memainkan alat musik seruling. Bisakah kau memperagakannya di sini,  selir Changyi?” samar-samar, Changyi mendengar suara Xianfeng.
Tidak cukupkah penderitaannya saat ini? Bagaimana bisa ia memainkan seruling saat dalam kondisi seperti ini? Keluh Changyi lagi dalam hati, namun lagi-lagi hanya menuruti, karna saat ini dirinya bahkan tidak punya tenaga untuk berdebat.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Changyi berjalan ketengah ruangan dengan langkah hati-hati dan mengambil seruling yang disodorkan padanya.
Changyi memainkan sebuah lagu merdu ciptaannya yang dulu sering dimainkannya untuk kedua orang tuanya yang telah tiada. Seiring mengalunnya lagu itu, kenangan indahnya bersama keluarganya yang dulu bahagia, kembali terputar di kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit, tapi tidak sesakit perasaan tersayat di hatinya.-
Xianfeng mulai mengernyit memerhatikan, merasa ada sesuatu yang tak beres di sini.
-Setetes air bening jatuh dari mata Changyi ketika ia merasa pandangannya menjadi gelap. Ia tidak ingin perduli lagi. Tubuhnya terjatuh kelantai tanpa tenaga. Ia merasa sangat lelah dan ingin beristirah sejenak saat ini.
“Yang mulia Changyi?!” Chang menghampiri Changyi dengan raut khawatir. “Apakah tadi makanannya berisi udang?!” teriak Cong panik. “Astaga! Kenapa anda menelannya?! Seharusnya anda tau kalau tubuh anda alergi pada udang!” tangis kedua pelayannya pilu.

Bab 5 (Seruling Dan Belati) 
“Changyi, kau sakit lagi nak? Apa yang harus ibunda lakukan untuk mengurangi penderitaanmu? Tubuhmu lemah dan mudah sakit sejak lahir, jadi ibunda dan ayahandamu ingin menjagamu dengan baik. Tapi pada akhirnya, kau tetap menderita seperti ini. Apa itu karna kami tidak becus menjagamu nak?” lirih sosok wanita cantik berwajah lembut, dengan air mata yang membanjiri pelipisnya,  menggenggam jari jemari kecil putra tercintanya yang tampak terbaring lemah di atas ranjang besarnya.
Changyi yang saat itu masih berusia 6 tahun, tampak tersenyum menghibur ibunya. “Ibunda Ratu, jangan bersedih. Bukankah pangeran Changyi punya banyak pelindung?!” celotehnya riang, menampilkan raut polos pada wajah pucat kecilnya. “Ibunda membawa Chang dan Cong sejak aku masih berusia 3 tahun untuk menemaniku. mengirim Zhaoyang yang mahir beladiri untuk menjagaku. Ditambah lagi, Ayahanda Raja memberiku dua benda pelindung bersejarah yang selalu menyertaiku. Jadi apa lagi yang ibunda takutkan?”
Tangan kecil Changyi tampak merogoh dan mengeluarkan dua benda paling berharga miliknya yang selalu dibawanya kemanapun.
“Jangan khawatir ibunda Ratu, Changyi akan baik-baik saja.” Memperlihatkan seruling dan belati kecil kesayangannya yang diberikan oleh ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya, Changyi kembali tertawa riang khas kanak-kanak dan kembali bercerita. “Ayahanda Raja bilang, seruling dan belati kecil ini akan selalu menjaga dan menghibur Changyi. Meskipun sedang sakit, tapi Changyi bahagia dan merasa akan segera baik-baik saja jika sepasang hadiah dari ayahanda ini masih di tangan Changyi. Tahukan ibunda?! Changyi bahkan berhasil mendapatkan teman baru setelah memainkan permainan seruling ini untuknya!”
Ibunda Changyi tampak tersenyum kecil, menanggapi celotehan panjang lebar pangeran kesayangannya. Melihat gigi-gigi putih kecilnya yang berderet rapi tersenyum lebar, ibunda Changyi bisa merasa sedikit lega kali ini. “Teman baru? Kau pasti sangat menyukainya sampai segembira ini, putraku?” tanya ibunda Changyi penuh minat, mengelus sayang pada puncak kepala putranya.
Changyi mengangguk bersemangat. “Meski awalnya ia tidak mau bermain bersama Changyi, tapi pada akhirnya Changyi bisa membujuknya.” gumam Changyi tampak bangga pada dirinya sendiri.
“Ah… Tentu saja putraku! Mana ada orang yang bisa menolak pesona pangeran pandai ibu ini?” tawa ibundanya sayang, dan menggelitiki kecil putranya kemudian memberi kecupan ringan di dahinya. “Cepatlah sembuh pangeran kecilku. Ibunda dan ayahandamu sangat menyayangimu.”
***
Changyi tampak mengerjapkan matanya berulang kali, memandang berkeliling ruangan untuk mengembalikan kesadarannya yang saat itu baru terkumpul setengah.
Seperti dejavu, lagi-lagi dirinya tersadar-di atas tempat tidur yang dikelilingi tirai putih tembus pandang yang terikat di setiap sudutnya yang menjulang tinggi itu-dengan sekujur tubuh yang terasa sakit dan lemas.
Sedikit menerawang. Changyi kembali mengingat mimpi yang baru saja dialaminya! Kejadian itu, sudah lama berlalu namun masih terasa segar dalam ingatannya. Kasih sayang yang begitu melimpah! Bagaimana mungkin Changyi mampu melupakan mereka?
Mimpi itu benar-benar indah baginya, namun juga terasa sakit ketika terbangun dan menyadari bahwa semuanya hanya serpihan kenangan masa kecilnya saja.
“Kau sudah sadar?” teguran sebuah suara berat yang pemiliknya telah tampak berdiri tepat di sebelah tempat tidurnya, membuyarkan lamunan Changyi.
Dengan berat hati, Changyi menatap wajah yang paling tidak ingin ditemuinya itu dengan helaan nafas berat. Saat itu ia baru menyadari bahwa lagi-lagi dirinya tengah terkurung dalam satu ruangan dengan kaisar Xianfeng yang berhati dingin ini.
“Sayang sekali.” gumam Changyi pelan, membuat Xianfeng mengerutkan dahinya dalam.
“Apa maksudmu?” tanya Xianfeng tajam, tampak tersinggung.
“Aku baru saja melewatkan kesempatanku untuk mati dengan mudah.” jawab Changyi sekenanya, dengan wajah murungnya.
Xianfeng mendengus dan mendudukkan dirinya tepat di sebelah Changyi. “Jangan coba bermimpi. Kau baru bisa mati, jika aku yang mengizinkannya. Bukankan aku sudah pernah bilang? Aku tidak akan pernah membiarkanmu, meski kau yang meminta kematianmu sendiri. “
Changyi berbalik menatap Xianfeng dengan mata yang membulat tak percaya. “Maaf jika anda lupa, yang mulia. Tapi bukankah yang mulia yang telah sengaja memberikan makanan itu untuk meracuniku?”
“Berani sekali kau menuduhku sembarangan?! Kau seperti ini karna kebodohanmu sendiri. Kau menghabiskan makanan itu meski kau tau bahwa tubuhmu alergi terhadapnya! Bagaimana bisa kau menyalahkanku setelahnya?” gerutu Xianfeng dingin, dengan kemarahan yang terpancar jelas darinya.
“Bukankah yang mulia yang memerintahkanku untuk memakannya?!”
“Setidaknya otak bodohmu bisa digunakan untuk berfikir memberitahuku! Beruntung bagimu karna tabib-tabib kerajaan Tang sangat mahir dalam mengobati. Jika tidak, mungkin kau sudah kehilangan nyawamu karna ketololanmu sendiri.”
Changyi berdecak kesal dengan sikap buruk Xianfeng. “Mana kutahu jika yang mulia tidak sengaja melakukannya? Lagipula, bukankah anda tidak suka jika dibantah?”
“Dan kau baru saja melakukannya!”
Teguran Xianfeng membuat Changyi tersentak sadar. Dirinya terlalu terbawa emosi karna kata-kata menyakitkan Xianfeng yang dilontarkan dengan nada dingin untuknya.
Kali ini Changyi memilih diam dan menunduk dalam untuk menghindari tatapan mengerikan Xianfeng.
“Aku baru tahu bahwa kau sangat pandai berdebat. Dari mana kau belajar membantahku seperti itu?” tanya Xianfeng dingin, dengan mata memicin tajam.
“Aku hanya berusaha menjawab semua pertanyaan yang yang-mulia lontarkan. Bukankah anda juga tidak suka ketika merasa di abaikan… “
“Apa kau sengaja ingin membuatku kesal?!” sambar Xianfeng tiba-tiba, memukulkan kedua tanyannya di kedua sisi kepala Changyi untuk memerangkap pria itu.
Dengan gerakan cepat, Xianfeng menunduk dan melumat bibir lembut changyi dengan kasar untuk membuatnya diam.
“Apa yang anda lakukan?!” seru Changyi tertahan. Dengan nafas tersengal ketika berhasil melepaskan diri dari Xianfeng dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Saat itu posisi kedua tangannya tertempel di dada bidang Xianfeng. Menyanggah tubuh pria bertubuh kokoh itu, agar tak lagi menempelinya.
Perasaan Changyi yang telah kacau, kali ini bertambah kacau.  Rasa takut tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya ketika matanya bertumbukan langsung dengan mata hitam yang berjarak sangat dekat dengannya itu. Upaya terakhir yang bisa ia lakukan hanyalah memalingkan wajahnya agar nafasnya yang memburu tidak menerpa wajah Xianfeng dan memperburuk keadaan.
“Kau tidak perlu khawatir, aku hanya ingin membungkam mulut pembangkangmu itu. Aku pastikan tidak akan melakukan apapun yang ada di kepalamu saat ini, dengan tubuh orang yang sedang sakit.” gumam Xianfeng cepat, ketika mendapati tubuh lemah Changyi yang gemetar hebat dalam ketakutan.
Pernyataan itu berhasil membuat Changyi kembali menatap Xianfeng. Dengan penuh harap mencari kesungguhan yang memang terdapat pada wajah yang sebenarnya sangat tampan di hadapannya itu. Jika Changyi adalah seorang wanita, mungkin saja saat ini dirinya sudah terjerat dalam pesona ketampanan dan kharisma luar biasa yang dipancarkan kaisar muda di hadapannya ini. Hanya saja kondisinya kali ini sangatlah bertolak belakang.
‘Syukurlah jika Xianfeng memang tidak akan melecehkannya lebih jauh lagi dalam keadaan lemah seperti ini. Apalagi dirinya benar-benar tidak punya tenaga untuk melawan saat ini. Tapi bagaimana jika dirinya telah pulih? Changyi yakin ia tetap tidak akan sanggup melindungi dirinya sendiri untuk melawan tenaga besar Xianfeng. Atau… Haruskah ia terus dalam keadaan sakit agar bisa terhindar dari pelecehan Xianfeng? Haruskah ia kembali menelan makanan yang meracuninya itu setelah kondisinya membaik agar tubuhnya tetap lemah seperti ini agar Xianfeng tidak menyentuhnya?’
“Jangan coba-coba berfikiran sempit! Aku sudah menyuruh para pelayanmu untuk menjaga makananmu kali ini.” sambar Xianfeng cepat, seakan dirinya bisa membaca fikiran Changyi dengan sangat jelas.  “Hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi kecuali para pelayanmu lalai melaksanakan tugasnya dan ingin mendapatkan hukuman dariku.” ancamnya dingin, kemudian segera bangkit dari duduknya dan meninggalkan Changyi dalam diam.
Beberapa detik setelah kepergian Xianfeng, keempat pelayan setia Changyi muncul dari tempat menghilangnya Xianfeng dan menghampirinya.
“Bagaimana dengan tugas yang kuberikan padamu Zhaoyang? Apakah kau berhasil menemukan kedua benda itu?” sebelum para pelayannya membanjirinya dengan berbagai pertanyaan, Changyi memutuskan untuk bertanya lebih dulu.
Zhaoyang tampak terdiam sejenak, dan menatap Fei zi dengan ragu.
“Fei zi! Bisakah kau meninggalkan kami sejenak?” tanya Changyi pelan, ketika berhasil mendudukkan dirinya.
Fei zi segera menunduk dalam. “Maafkan pelayanmu yang lancang ini yang mulia. Tapi tugas hamba memang adalah untuk mengawasi anda.”
Changyi berdecak kesal, namun tetap tak bisa melakukan apa-apa. “Katakan saja di hadapannya! Lagipula kita tidak sedang melakukan hal yang pantas dicurigai. Aku hanya meminta Zhaoyang untuk mencari benda peninggalan ayahku yang tertinggal pada pakaianku saat peperangan itu!” gerutu Changyi frustasi, memutuskan bahwa tindakannya tidak akan membahayakan siapapun. Setidaknya itulah yang ada dalam fikirannya saat ini.
“Jadi?  Apa kau menemukannya, Zhaoyang?” tanya Changyi lagi, beberapa saat kemudian.
Zhaoyang tampak merogoh ke dalam kantung bajunya dan mengeluarkan sepasang benda yang sangat dikenali Changyi tersebut.
“Hamba menemukannya pada tumpukan jubah yang mulia yang telah dibuang ke tempat sampah.” jelas Zhaoyang singkat, kemudian segera memindahkan seruling dan belati di tangannya kepada sang pemiliknya.
Changyi segera merangkul kedua benda peninggalan almarhum ayahnya itu dengan sayang. Dalam hati ia mulai berharap, semoga saja saat dimana belati kecil miliknya itu terlepas dari sarungnya tidak akan pernah terjadi.
‘Semoga saja!’

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!