Chapter2. Mesum jangan padaku (1)
Tubuh kecil nan ramping itu berulang kali menggeliat dalam dekapanku. Nafasnya memburu karena terus berusaha mengambil udara untuk memenuhi parunya, sedikitnya keringat mengalir di tubuh putihnya. Saliva terus mengalir indah dari sudut bibirnya karena kuat dan lamanya ciuman kami.
Desahannya merdu sekali kudengar, semakin meningkatkan gairahku akan dirinya. Anak manis yang telah pasrah di bawahku, anak yang sudah membebaskanku melakukan apapun padanya.
Nakal tanganku tergerak menyentuh nipple kecil berwarna pink miliknya yang berulangkali mampu menegakkan Abrahah Junior.
Seringaiku mengembang, karena anak manis di bawahku mulai bereaksi menggoda. Bagaimana manis dan menggodanya makhluk milik Tuhan dalam dekapanku ini. Ketika aku akan memasukkan Abrahah Junior ke dalam hole hangat miliknya, kurasakan adanya jemari kecil dan mungil menyentuh wajahku, jemarinya perlahan meraba bibirku. Senyum manis terukir di wajah cantiknya.
Cantik sekali,
“… Sayang kamu, Abraa.”
Iya, aku juga sangat menyayangimu, Semesta…
Ya, aku sangat menyayangimu.
Sangat dan sangat menyayangimu.
Tunggu!!!?
Apa itu?! Mimpi?! Mimpi basah dengannya?!!! Sial! Karena kejadian kemarin pikiranku menjadi sangat liar semalaman bahkan hingga terbawa ke dalam mimpi. Memalukkan. Makhluk apa aku ini?! Bejat sekali aku. Bagaimana jika dia tahu apa yang kupikirkan tentangnya.
Jijik.
Sudah dipastikan akan seperti itu.
Haahhh, lemah sekali aku. Hanya karena itu saja, aku terbangun dengan celana basah.
Sekarang, aku sendiri merasa jijik dengan diriku.
“Wajar kok cowo setiap bangun tidur basah begitu hahahahah! Mantep nggak semalem adegannya?! Brengsek mantap-mantap nggak ngajak gue.”
Hening.
“AIIISSHHH BANG!! KAGET GUE! LO KENAPA BISA DI SINI PAGI-PAGI?!” Segera kututupi celanaku yang basah karena sperma. Memalukan sekali.
“Cepet bangun woii! Sekolah kan lo?!”
Dalam kekacauan karena ucapan abangku yang sangat frontal, masih dalam rona malu perlahan aku bangun. Mencoba menghilangkan rasa maluku pada abangku yang terus menerus memperhatikan anuku yang basah dengan senyum mesum menjijikan. Abangku yang tadi diam perlahan kembali mengutak-atik laptop di atas meja belajarku.
“Abang ngapain disini?”
“Minjem laptop lo bentar.”
“Nyari film bokep ya?”
“Hahahahah gila adek gue!!”
“Biasanya abang kan gitu.”
“Hahahah enggak bangsat. Gue Cuma minjem buat naroh file.”
“Hooo.”
“Mandi sana, sekolah. Udah gue masakin omlete tuh buat sarapan.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Masih memperhatikan bagaimana abangku sigap mengerjakan berbagai hal dalam hidupnya.
“Bang?”
“Hhhmm?”
“Nggak tidur semaleman ya?”
“Tidur kok, terus kebangun gara-gara denger lo ngedesah kenceng banget.”
“APA?!!! KALO NGOMONG JANGAN NGACO LO BANG!!”
“HAHAHAHAH SERIUS BANGSAT. MALAH GUE REKAM SEMALEM. GILAA! PANASS BENER KEKNYA MIMPI LO!!”
Mungkin lama-lama aku akan gila jika terus meladeni abangku ini.
Lebih baik pergi mandi dan berangkat sekolah.
Memalukan. Jika apa yang abangku katakan adalah kebenaran, separah apa aku semalam sampai bisa menghasilkan situasi berbahaya seperti itu?!
—–
Jumat, hari paling membahagiakan karena kegiatan sekolah hanya setengah hari. Meski ini sekolah menengah atas namun sekolahku sangat tidak menyiksa muridnya dengan jam belajar yang lama.
Lagi pula, sepanjang hari ini aku tak dapat berpikir dengan jernih. Kepalaku selalu dengan sialnya mengingat hal-hal mesum yang kulakukan bersamanya dalam mimpi semalam.
Harusnya aku bersujud dan meminta maaf padanya.
Ya, harusnya.
Bukan malah senang dan meneruskannya.
Setidaknya, biarkan aku meminta maaf terlebih dulu kepada Tuhanku.
Lagi, takdir mempertemukan kami. Baru saja aku tiba di depan gereja sekolah kami, kulihat tak jauh di dalam gereja sosoknya sedang fokus berdoa pada Tuhan. Mengurungkan niatku untuk masuk dan berdoa.
Rasanya semakin besarlah dosaku.
Jika aku nekat masuk, kira-kira apa yang akan terjadi? Apa anak itu akan mengejekku karena kebodohanku kemarin?
Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing.
Haaaahhh.
“Hei, Tuhan itu nggak suka sama makhluknya yang ragu-ragu. Masuklah, Tuhan udah nunggu tuh.” Suara yang sama seperti kemarin, rendah dan sedikit serak di sana. Cepat aku berpaling kepada arah suara dan bagaimana terkejutnya aku. Anak itu sekarang berdiri tepat di depanku. Mata besarnya menatapku seperti menyelidik. Membuatku malu dan merasa bersalah atas diriku sendiri.
Perlahan kulangkahkan kaki mundur, menjauh. Namun langkahku terhenti karena ucapannya.
“Ngerasa bersalah sama kejadian kemarin?”
Satu pertanyaan yang mampu membelalakkan mataku.
Aku tak dapat membalas apapun. Lama kami saling diam, hingga anak itu mendekat dan berbisik,
“Kalo mau mesum sorry, lo salah pilih target, maniak penis.”
Huh?
Apa yang baru saja kudengar?
Saking kagetnya, aku hanya mampu diam terpaku. Tanpa menyadari anak itu telah menghilang dari pandanganku.
Sial. Maniak penis?
Aaarrrgggh!!! Kesal sekali rasanya. Anak itu memang tidak bersalah mengatakan hal seperti padaku karena jelas saat itu aku memperhatikan penis lucunya dengan wajah mesum. Sialan!
Malu sekali aku.
Sial
Sial
Siaaaalllllllll !!!!!
Lalu bagaimana ini Tuhan?!!! Bagaimana ini?!!! Namaku sudah jelek sekali baginya.
MANIAK PENIS?!!! MANIAK PENIS SIAPA MANIAK PENIS?!!!!
YA, TENTU SAJA AKUUU!! IYA AKUUU!!
SIAAAALLLLLLLL!!!!
Di bawah Tuhan, kukeluarkan semua keluh kesah yang sangat memalukan ini.
Aku tahu Tuhan mendengar tetapi sudah dipastikan keluh kesahku tidak akan dipedulikan karena akulah makhluk hina yang dengan berani bertindak mesum pada orang lain.
—-
“Bra, kok berapa hari ini lo kayak manusia stress gitu?” Levi merangkul pundakku, kami berjalan santai menyusuri koridor sekolah. Sudah sekitar satu jam dari waktu kepulangan sekolah kami. Kami memilih berlama-lama dulu di sekolah bermaksud bermain voli namun, lagi-lagi takdir seperti mempermainkanku. Di tengah lapangan voli, nampak sosok bersih nan cantik yang sedang bermandikan keringat karena buasnya bermain voli.
Cobaan apalagi ini?!
Diberkatilah aku olehmu ya Tuhan, berkatku sendiri aku telah menuai hasil dari kebodohanku yang hina.
Baiklah, jika ini adalah caramu untukku dapat memperbaiki keadaan aku akan menerimanya dengan baik.
Oke, santai dan bersikaplah normal.
“Lo kenapa keringet dingin gini, Bra? Lo sakit?” Kurasakan Levi menaruh telapak tangannya di keningku. Aku hanya diam dengan terus memperhatikan anak manis itu yang entah bagaimana begitu lincah berlari, melompat dan memblock lawan berulang kali dengan tubuh kecilnya.
“Bra? Lo nggak apa?” Ada sedikit nada kekhawatiran dalam pertanyaan Levi. Segera aku mengangguk, berusaha menenangkan diri.
“Kalo lo sakit, yaudah ayo balik.”
“Enggak kok, gerah aja tadi.”
“Beneran lo?”
“He eh.”
“Yaudah ayo gabung maen voli, hari ini juga banyak senior pada ikut maen, tumbenan.”
“Apa Vi? Senior?”
“Iyalah, itu kan yang lagi duel senior kita. Anak anak ips tuh.”
Sejenak aku diam berpikir, senior? Memang, semua yang sedang bermain voli di sana anak-anak tahun akhir namun, apa anak manis itu juga termasuk?
“Vi.” Lirihku.
“Apaan?”
“Lo tau anak yang kecil putih itu?” Aku menunjuk anak manis itu yang sedang melakukan passing.
“Huusshh, nggak sopan lo asal manggil anak kecil aja! Dia tuh senior kita bego!” Levi kuat menoyor kepalaku.
“Lo nggak tau emangnya? Semesta Agrizama namanya. Kelas 3 IPS 3.”
“Apa?”
“Lo sekolah 2 tahun kemana aja sih, Bra?!! Sampe nggak tau senior sendiri!”
Aku diam. Levi masih saja mengoceh tentang anak manis yang ternyata adalah seniorku di sini. Senior, ya senior.
Senior manis yang telah berulang kali mengharumkan nama sekolah dengan beragam prestasinya dan aku tidak tahu itu.
Kurasa, aku memang telah ditakdirkan Tuhan untuk melalui proses memalukkan ini.
—-
“HOIIIII ABRAAAAA!!! SINI GABUNG! DIEM AJA KAYAK TAI NYANGKUT LO!!”
Teriakan salah seorang senior yang cukup akrab denganku, Andha, terdengar begitu menyenangkan untuk teman-temannya karena entah bagaimana mereka tertawa dan ikut memanggilku seolah aku adalah seorang babu.
Aku hanya melambaikan tangan dibarengi dengan senyum miris, kulihat anak manis itu juga nampak tertawa karena ucapan senior Andha. Sialan.
“Kuy, Bra! Gue duluan ya!” Levi menepuk pundakku sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam lapangan dan mulai ikut bergabung.
Aahh, baiklah. Hilangkan rasa malu dan waktunya bermain.
Baru saja beberapa menit berjalan, mentalku sudah mati karena betapa menggodanya anak manis itu dalam balutan kaos putih yang basah dipenuhi dengan keringat. Berulang kali aku harus menahan saliva karena libidoku yang mendadak meningkat.
Anak itu sangat ceria, tawanya selalu merekah di setiap gerakan yang dia lakukan. Beberapa kali, mata kami beradu dan sialnya dia dengan santainya menyunggingkan sebuah senyum manis padaku. Seperti sengaja membuatku lemah.
Lebih sialnya, kami berada dalam satu tim. Semakin membuatku mati akan dirinya.
Senior Andha menyadari keanehan yang ada padaku, cepat dia menghentikan laju permainan.
“Lo kenapa, Bra?!” Serunya dari balik net, ya dia berada di pihak lawan.
“Kalo sakit, udahan aja nggak apa.” Lanjutnya.
Pelan sekali aku menggeleng. Namun kembali suara itu datang dan mampu menghentikan duniaku untuk sesaat.
“Gue aja yang keluar, mau cabut habis ini.” Anak manis itu menyeka keringat di wajahnya sembari berjalan meninggalkan lapangan voli.
“Lah? Kok Bang Agri udahan?” Levi seperti tidak rela dan anak manis itu hanya mengangkat tangan kirinya sebagai salam.
“Gue cabut ya.”
“Yoi! Hati-hati, Griii!” Semua membalas, hanya aku yang masih saja terdiam dalam keterpakuanku.
“Bra, lo mau lanjut main nggak?” Pertanyaan Levi hanya ku balas dengan satu gelengan kepala.
“Gue pusing, udahan deh.” Kataku.
“Gue pamit pulang duluan ya bang, sorry nggak bisa main sampe habis.” Kataku lagi.
“Istirahat lo! Jangan ngebolang!” Senior Andha memperingati, aku hanya tertawa dan berlalu. Tentu saja, Levi juga ikut pulang bersamaku.
Cinta semestaa 😍