Chapter 3. Mesum Jangan Padaku (2)
Sungguh, ekspresi lelahnya yang dipenuhi keringat terus-menerus teringat dalam pikiran. Bagaimana bibir merah itu nampak begitu menggoda iman, tubuh ramping itu nampak seperti ingin sekali diterkam juga suara rendahnya yang entah bagaimana terus memenuhi isi kepalaku. Tak dapat kualihkan pandanganku dari setiap tetes keringat yang mengalir membasahi leher jenjangnya, turun hingga terhenti pada dada bidangnya yang nampak begitu seksi di mataku.
Ketika anak itu sengaja memberikan sebuah senyuman manis padaku, aku sadar mungkin saja dia sedang menjebakku dalam permainannya karena wajar bila dia bersikap seperti itu setelah tahu apa yang telah aku lakukan padanya dan terutama, dia tahu aku adalah seorang gay.
Bisa saja, dengan memberikanku sebuah reaksi manis baginya adalah hal yang menarik. Meski dia manis, sekalipun aku tidak pernah berpikir jika semua yang ada padanya juga manis. Bagaimanapun manis dirinya, dia tetaplah manusia. Sudah dipastikan, dia memiliki sesuatu di luar dugaan manusia lainnya.
Pikiran sederhana yang menjadikanku tidak terkejut dengan sikapnya padaku. Malah ini menarik. Sebuah tantangan pasti untukku. Akankah aku bertahan atau menyerah pada akhir.
Yang membuatku terkejut hanyalah kenyataan apabila dia adalah seniorku, dengan wajah manis dan nampak kecil itu dia memiliki posisi lebih tua dariku.
Mengejutkan memang dan lagi sepertinya dia anak yang memiliki ketegasan tinggi. Saat bermain voli siang tadi aku menyadari akan satu hal, anak manis itu adalah lelaki sejati.
Apa karena aku jatuh cinta padanya? Jadi semua itu tak nampak di mataku? Khayalanku mengatakan dia adalah sosok yang lembut layaknya seorang putri.
Menyedihkan. Ya, itu aku.
—-
“Bra, bisa beliin gue minuman dingin di minimart?”
Aku yang sedang melamun di dalam kamarku tersadar karena abangku datang.
“Apaan bang?”
“Beliin gue minuman dingin.”
“Di kulkas kan ada bang.”
“Habis. Udah cepet beliin.”
“Heemm.”
Malas aku bangkit dari dudukku di kursi belajarku, sekilas memperhatikan langit malam yang sedikit terlihat dari jendela kamar.
“Gue beli snack ya, bang.” Kataku dengan menyunggingkan deretan gigi rapiku pada abangku yang membalasnya dengan satu pukulan di kepalaku.
“Cepet ya.” Abangku berlalu, kembali ke dalam kamarnya setelah menyerahkan uang satu lembar berwarna merah.
“Besok libur, tapi masih aja kerja.” Batinku. Aku tahu, abangku hanya ingin memberikan yang terbaik hanya terkadang pundak lebarnya nampak begitu lelah dan jelas pundak itu membutuhkan seseorang untuk menghilangkan semua bebannya.
—-
Tidak membutuhkan waktu lama untukku menyelesaikan tugas dari abang tercinta karena kebetulan, rumah kami sangat dekat dengan minimart. Perumahan minimalis yang letaknya sangat strategis dengan apapun. Abangku cerdas sekali dalam memilih tempat tinggal.
“Yoi, bang. Thank you. Selamat menikmati.”
Hanya beberapa langkah di depanku, nampak sosok manis yang sangat kukenal. Menggunakan pakaian pekerja jasa antar makanan, sosok manis itu tersenyum kepada abangku. Di luar dugaanku, abangku nampak begitu akrab dengannya. Bahkan nama yang selalu kujaga dalam hati berulang kali dikeluarkan abangku untuknya.
Diam di tempatku, memperhatikan apa yang sedang terjadi.
“Si Jaegi udah pulang kerja belom, Gri?” Pertanyaan abangku padanya. Sosok manis itu santai membalas.
“Udah, abang pulangnya nggak pernah malem kok.”
“Wooo, enaaakkk!!”
“Hahahah tapi gaji ya nggak naik-naik.”
Abangku tertawa. Setelahnya, mereka saling pamit, abangku masuk ke dalam dan sosok itu berbalik pergi. Keberadaanku tak diketahui ternyata. Syukurlah, aku menjadi tidak harus masuk ke dalam obrolan mereka tadi karena aku akan sangat canggung nantinya.
Seperti, saat ini.
Selamat dari obrolan, tetapi mendapat hal yang lebih menegangkan karena harus berhadapan langsung dengan sosok manis yang entah bagaimana memperhatikanku dalam senyumnya.
“Jadi, ini rumah si maniak penis?” Sosok manis itu tertawa, lebih mendekat padaku.
Benar, tingginya memang jauh di bawahku namun saat ini akulah yang seperti manusia kerdil di hadapannya.
“Nggak nyangka lo adiknya bang Ibra.” Sosok itu makin tertawa. Aku hanya diam. Tak mampu melakukan apapun bahkan, ketika jemari mungilnya tergerak menyentuh bibirku.
Tuhan, kelembutannya sangat mirip seperti yang ada di dalam mimpi.
“Kok diem? Kaget? Ini kan yang sering lo bayangin.”
“Kasian bang Ibra, adiknya homo.”
“Udah gitu otaknya ngeres.”
Jemari mungilnya perlahan bergerak menurun menuju leherku, kulihat sosok manis itu mengulum senyum.
“Abra.” Lirihnya, lalu melanjutkan.
“Berhenti nyari perkara sama gue.”
“Gue nggak pernah nyari perkara sama lo.” Refleks aku membalas, dapat kulihat sosok manis itu terdiam. Setelahnya, seringai tipis terukir di wajah manisnya.
“Berhenti jadiin gue objek pikiran ngeres lo.”
Aku terdiam. Ucapannya benar.
“Atau jangan-jangan, lo sering onani sambil ngebayangin gue?”
Hening.
Senyum kemenangan jelas terukir di wajah manisnya.
“ Sialan juga lo.” Sosok manis itu tertawa.
“Gue nggak bermaksud.” Baru saja pembelaan diri ingin kukeluarkan, sosok manis itu keburu menepisnya.
“Udah gue bilang kan, berhenti nyari perkara sama gue.”
Sosok itu berlalu, namun aku malah menahannya. Hal bodoh apa lagi yang telah kulakukan?!!!
“Lepas.” Lirihnya, cukup sinis kudengar. Cepat aku melepas cengkraman tanganku padanya.
“ Lo harusnya nggak kerja sambilan kayak begini, fokus aja sama ujian…”
Tuhan, apa lagi yang aku perbuat?!!!!
Benar saja, sosok itu dengan cepat kembali mendekat dan berbisik…
“Lo itu, bener-bener bangsat ya.”
Ada emosi di dalam bisikannya.
“Hidup gue bukan urusan lo, maniak penis bangsat.” Sosok manis itu berlalu meninggalkanku dengan menunjukkan jari tengan tangan kirinya padaku.
Namun entah bagaimana, aku tertawa dan tidak merasa menyesal sama sekali atas apa yang terjadi barusan.
Aku gila. Ya, aku pasti gila.
Tidak masalah, jika memang aku harus menjadi gila karenanya. Apa yang dikatakannya memang benar, tak ada sedikitpun kesalahan di sana. Pribadinya menarik sekali, sepertinya aku harus sangat bekerja keras untuk mendekatinya. Sejenak, aku termenung. Mengingat kembali kejadian beberapa saat lalu, ketegangan luar biasa dan sekarang semuanya seolah berganti menjadi suatu hal menyenangkan yang mampu merekahkan tawaku dengan mudah.
Tuhan, bagaimana bisa kau membuat makhluk semenarik itu?
Sepertinya, rasaku semakin menjadi…
“Belinya lama banget sih, Bra?! Sampe pizza pesenan gue nyampe.” Abangku mengoceh setelah aku menyerahkan pesanannya, aku hanya tertawa.
“Bang? Abang kenal sama pengantar pizza tadi?” Tanyaku sembari mengambil sepotong pizza dari meja kerja abangku.
“Huh? Maksud lo si Agri?” Balasnya sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Iya, Semesta Agrizama.”
“Kenal lah bego, dia itu adeknya temen gue pas di univ.”
“Lah? Temen abang yang mana?”
“Itu lho, si Jagat Raya.”
“Heh? Bang Jaegi?!”
“Lah, gimana sih? Kan adeknya Jaegi sekolahnya bareng lo, bego.”
“Gue baru tau.”
“Gue kira kalian saling kenal, ternyata enggak toh.”
“Dulu, sekarang udah kenal kok.”
“Oh, bagus lah.”
“Heem.”
“Tapi si Agri lebih tua dari lo, cuma mukanya tuaan lo.” Abangku tertawa,
Hahah, sial.