Chapter 4. Pecel (1)
Hari cepat sekali berlalu, dan rindu semakin tidak menentu. Rinduku pada sosok manis namun kasar yang sangat menggetarkan rasa. Indahnya hidup jika saja aku mampu dengan mudah mendekat dan mengajaknya mengobrol layaknya teman. Ah, salah. Harusnya, layaknya seorang pacar.
Hahah, malu sendiri aku memikirkannya. Sial.
Ini hari Sabtu, libur sekolah dan saatnya memprioritaskan diri dalam ketenangan dunia. Tentu saja, waktu untuk menikmati lezatnya pecel yang disandingkan dengan rempeyek udang khas kedai sederhana di dekat rumah Levi.
Mumpung abangku juga sedang berlibur bersama temannya, aku juga akan menikmati hari libur bersama dengan temanku.
“Anjiirrr!! Lo nyamper gue pagi-pagi cuma mau ngajak makan pecel?! Sumpah, gue nggak ngerti lagi sama otak lo, Bra!!”
Levi memakiku penuh emosi, waktu liburnya ku ganggu dengan sempurna. Anak itu baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya karena tentu saja aku yang membangunkannya penuh rasa sayang.
Orangtua Levi sudah mengenalku dengan sangat baik, itulah sebabnya meski aku mengunjungi rumah mereka di pagi hari seperti ini kedua orangtuanya malah dengan senang hati menerima. Menawariku sarapan dan menganjurkanku membangunkan si malas Levi.
Levi merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakaknya perempuan dan sedang melanjutkan pendidikan di luar kota. Menjadikan si malas ini anak manja, meski begitu Levi bisa bersikap dewasa di waktu yang tepat. Misalnya, ketika bertemu dengan sang pujaan hati yang selalu berganti hampir di setiap bulan.
“Udah ah! Gue mau lanjut tidur dulu” Levi menarik selimut membungkus semua dirinya. Sejak awal anak itu memang masih ada di atas ranjang, matanya nampak begitu sayu karena menahan kantuk. Merekahkan tawaku,
“Gue denger, si Iliana sering ke kedai pecel itu lho, Vi kalo hari libur gini” kataku, santai sembari menyesap secangkir susu yang tadi dibuatkan ibunda Levi. Sembari memperhatikan isi kamar Levi yang nampak begitu klasik. Elegan. Sangat tidak cocok dengan kepribadian Levi yang brutal.
Duduk santai menikmati pagi seperti ini rasanya menyenangkan sekali. Andai saja, orangtuaku juga masih ada disini, betapa menyenangkannya hari.
Sekilas, kulirik Levi. Perlahan anak itu membuka selimut yang menutupi wajahnya, matanya melirikku meminta penjelasan.
“Serius, gue nggak bohong” kataku meyakinkan.
Levi masih bertahan diam, namun tidak lama anak itu menyerahkan jari kelingking tangan kanannya padaku.
Memalukkan. Adegan macam apa ini?!
“Iya, kalo bohong gue yang traktir pecelnya” balasku dengan menerima jari kelingkingnya serta menautkan jari kelingkingku disana.
“Ayo cepet bangun!”
“Sabar sat!! Baru aja gue beneran bisa melek!”
“Ayo buru sebelum target lo ilang”
“Anjiirrr Abraa!!! Ini baru juga jam 9!”
“Halaaahh, bodo. Nggak peduli gue”
“Emang. Bangsat. Lo.”
Bangsat? Kata yang seketika mengingatkanku padanya. Hahah.
Si manisku, ternyata memang laki-laki.
—-
Akhirnya, aku bisa menikmati pecel yang sangat aku cintai. Beruntunglah aku karena kedai ini selalu buka tepat waktu di pagi hari dan itu berlangsung setiap hari. Terkadang aku iri pada Levi, rumahnya sangat dekat dengan tempat enak seperti ini.
“Udah lo jangan ngeratapin nasib nggak guna lo, Bra.” Levi mendengus, sedari tadi matanya mencari-cari sosok pujaan hatinya yang tak kunjung kelihatan.
“Sabar, vi. Ntar juga dateng kok. Santai aja sih” kataku. Levi sepertinya kesal, membuatku tertawa.
“Lo pasti bohongin gue kan, Bra?” selidiknya. Aku menggeleng sembari menyesap es teh manis. Segarnyaaaaa. Suasana pagi hari yang selalu kuidamkan. Makan pecel bersama es teh manis.
“Lagian mana mungkin Iliana suka makan pecel” baru saja Levi menyelesaikan dialognya, datang seorang gadis cantik bertubuh ramping dengan gaya kasual memesan dua porsi pecel lengkap di meja pemesanan. Kebetulan, tempat duduk kami sangat dekat dengannya, menjadikan kami bisa dengan mudah mendengar apa yang gadis itu katakan.
Kulihat Levi diam mematung, akan kutebak, pasti dia malu. Bukan malu karena dia menyukai gadis itu melainkan malu karena saat ini dia sedang duduk di kedai pecel sembari menikmati pecel dengan khidmatnya.
Kesombongan anak itu memang cukup aneh, makanan lezat seperti ini bisa-bisanya dianggap memalukkan.
Tawaku hampir saja pecah ketika gadis itu menyadari ada seseorang yang dikenalnya tepat disamping dirinya. Ceria gadis itu menyapa Levi, cantik memang, tubuhnya juga sekal dan yaahhh, payudara dan bokongnya terlihat padat berisi meski anak itu ramping.
Iliana, ramah sekali sikapnya. Tanpa kami meminta, dia sudah ikut duduk bergabung bersama kami. membuat Levi semakin terpaku diam. Bodoh sekali anak itu. Ada seekor mangsa di depan mata malah dianggurkan.
“Lo kelas 11 IPA 2 kan?” aku mencoba mengakrabkan diri, sembari menunggu Levi untuk bisa kembali bersikap normal. Iliana tersenyum,
“Kalian suka makan pecel juga?” tanyanya. Aku mengangguk antusias.
“Lo juga suka? Berapa kali gue liat lo makan pecel disini.”
“Emm, yah. Kayak yang lo liat. Enak lho pecel, nggak bikin bosen”
“Naaahh!! Sehat juga lagii”
Aku dan Iliana tertawa, nampak akrab. Sengaja aku melakukannya, agar si malas Levi tergerak dari diamnya. Benar saja, kecemburuan memang mampu membutakan sesuatu. Hilanglah rasa malu, datanglah rasa percaya diri.
“Iliana sendirian kesini?” Levi memulai obrolan, Iliana mengangguk dalam senyum. Nampak Levi tersipu malu, aiiihhh menjijikan sekali.
Baru beberapa menit kami mengobrol, pesanan Iliana datang.
“Lah? Nggak dimakan disini?”
“Enggak,Vi. Makan di rumah aja sama ibu. Yaudah gue duluan ya, byee”
Gadis cantik itu berlalu, Levi kecewa. Menghela nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
“Gue nggak bohong kan” kataku dengan menaikkan satu alis. Levi malas mengiyakan.
“Eh, Bra! Gue janji, mulai detik ini gue bakal cinta sama pecel!”
Matanya bersinar, semangat sekali si malas ini.
“Halah, besok ditolak Iliana juga balik lagi ngeremehin pecel”
Tak ada reaksi, Levi hanya tertawa untuk dirinya sendiri. Persis seperti manusia gila di RSJ sana. Mengkhayal hal menyenangkan bersama Iliana yang belum tentu menyukainya.
Menyedihkan.
Aaahh, lebih menyedihkan aku tentunya.
Sudah seorang gay.
Cinta sepihak.
Dan, sepertinya anak manis yang aku sukai adalah jelmaan dari seorang iblis.
jadi suka kata “bangsat ” 😢