Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.com
Zino mengetuk-ngetuk jarinya ke lantai yang dingin. Para pelayan itu benar-benar tidak meninggalkan apapun diruangan ini. Hanya ada seonggok Zino yang merenungkan entah apa.
Zino mendesah sebelum membaringkan tubuhnya dengan santai. Santai ala anak lelaki. Sungguh tidak memperhatikan roknya yang tersingkap memperlihatkan dalamannya. Untung saja diruangan ini hanya ada dia sendiri. Jika tidak…. bisa saja Zino mengundang kekhilafan.
Pemuda yang biasa hidup miskin itu sama sekali tidak tertekan seperti yang diharapkan Jean. Dia justru dengan sangat nyaman mendengkur dalam tidur. Seperti anak kucing.
Ketika terbangun dan melihat Jean belum membukakan pintu, Zino menguap besar lalu menekuk tubuhnya. Melanjutkan tidur. Dia cukup kelelahan membantu Mei membereskan barang dagangan. Jika dipikir-pikir, mungkin itu karna sebagai Vivian hidupnya sangat amat santai. Jadi saat dia sedikit mengeluarkan tenaga, dia akan cepat kelelahan.
Sementara Zino dengan nyaman tertidur, Jean kedatangan tamu menjengkelkan yang tak diundang.
“Bagaimana kabarmu Jean?” Zinan tersenyum basa-basi.
“Katakan saja, kenapa kau ke sini. Aku sudah melemparkan mobilmu ke rumahmu.”
Zinan tertawa kecil, berpura-pura tak tahu nada malas dan kesal Jean. Dengan santai dia mempersilahkan dirinya sendiri duduk disofa.
Melihat itu, Jean merasa sakit kepalanya bertambah. Dia tak tahu bagaimana dia bisa membiarkan ayahnya menjodohkan adiknya dengan orang seperti ini. Meski ayahnya tidak begitu memandang adiknya, tapi memberinya tunangan seperti ini terlalu berlebihan.
“Ah benar. Terima kasih. Aku akan segera menyuruh supir mengantarkan mobilmu ke sini.” Ucap Zinan menyesal. Sayangnya ekspresinya sama sekali tidak mendukung.
“Tidak usah. Aku akan menjadi orang aneh jika menggunakan barang bekasmu.”
Zinan tertawa mendengar ucapan Jean. Dia kira hanya Vivian yang lucu, ternyata abangnya juga cukup lucu.
Dia menyesal karna Leihan yang sering berbisnis dengan Jean dan bukan dia, jika tidak dia akan memiliki hal-hal menyenangkan dengan Jean dan Vivian lebih awal.
“Apa kau akan membuang sofa ini? Bagaimana dengan lantai yang sudah ku injak? Jika kau membuangnya, aku sarankan ke rumahku saja.”
Jean merasa berurusan dengan Zinan membuat umurnya semakin pendek. Betapapun menjengkelkannya Leihan yang penggila kecantikan, setidaknya tidak menyusahkan dirinya.
Oh sepertinya akan menyusahkan semenjak dia memunculkan ketertarikan pada Vivian. Atau lebih tepatnya Zino.
“Apa kau semiskin itu sampai menampung barang bekas?”
Zinan hanya tersenyum manis menatap betapa sinisnya Jean. “Aku menerima apapun yang menguntungkan. Terutama darimu.”
Jean ingin mengangkat sofa dan melemparkannya ke Zinan hingga pria perhitungan itu sekarat. Dia bahkan lebih perhitungan dari Jean dikalikan sepuluh!
Pria ini sudah merugikannya sangat banyak hanya beberapa kali pertemuan. Sangat menjengkelkan!
Sekarang Jean bahkan mendukung jika Zino ingin membuat pria ini bangkrut!
“Ah aku ke sini untuk mengundang Vivian makan malam…”
“Tidak usah, terima kasih. Vivian akan makan dirumah saja. Gratis. Tidak perlu ganti rugi apapun.” Potong Jean dengan sinis.
Kali ini Zinan sama sekali tidak menahan tawanya. Dia kehilangan kontrolnya karna Jean benar-benar selucu Vivian.
“Jangan khawatir. Yang mengundangnya adalah tuan Diwan dan nyonya Ellie. Makan. Dirumah Arkanda.”
Jean mendengus sinis melihat bagaimana Zinan berusaha meredakan tawanya. Sepertinya pria itu sudah gila. Tertawa saat tidak ada hal yang lucu.
Meninggalkan Zinan yang gila, Jean menghampiri Zino digudang. Bagaimanapun dia tidak bisa mengabaikan undangan makan malam dari keluarga Arkanda.
Saat membuka pintu, dia melihat betapa nyamannya Zino tidur. Tubuhnya melingkar, bahkan suara lembut dengkurannya terdengar samar-samar. Pemuda itu benar-benar seperti kucing menggemaskan.
Masalahnya Jean justru semakin jengkel. Dia menendang-nendang pintu dengan kesal. Bagaimana bisa dia menghukum Zino tapi dia yang merasa tertekan. Akhir-akhir ini Jean seperti di penghujung kewarasannya.
Zino yang mendengar kebisingan terbangun. Dengan wajah polos khas bangun tidur, Zino mengucek matanya.
“Kau! Jangan pasang wajah seolah aku orang berdosa karna membangunkanmu! Cepat bersiap! Zinan menjemputmu!”
Sepertinya Jean memang kehilangan kewarasannya.
Zino yang masih linglung hanya menatap polos kemarahan Jean.
“Pelayan!” Jerit Jean tak sabar.
Saat beberapa pelayan datang, Jean menyuruh mereka menyeret Zino dan melemparkannya ke kamar. Bahkan memerintahkan para pelayan menyiapkannya yang akan makan malam dengan keluarga Arkanda.
Zino yang kesadarannya sudah terkumpul langsung mengusir para pelayan dari kamarnya. Dia bisa mempersiapkan dirinya sendiri. Pemuda itu tak bisa membayangkan reaksi para pelayan saat melihat dadanya bisa dilepas!
“Apa ada kemungkinan kau akan muntah?” Tanya Zinan tepat sebelum Zino memasuki mobil.
Zino menatap pria itu jijik tapi masih tersenyum manis. “Tubuhku tidak selalu tidak baik. Aku bisa diantar supirku jika kau keberatan.”
Zinan mengangguk. “Itu bagus, aku hanya bertanya.”
Pria itu segera mendorong lembut Zino memasuki mobil. Dia khawatir Zino benar-benar akan menaiki mobil lain. Itu bukan hal bagus.
Beberapa saat kemudian, Zino dan Zinan sudah berada dirumah Arkanda. Duduk cantik mengelilingi meja makan bersama tuan dan nyonya Arkanda. Juga Leihan dan Rua.
“Bagaimana kabar Loraine?” Tanya Ellie sembari dengan perhatian meletakkan sepotong kecil daging angsa dipiring Zino.
“Mama baik. Dia menitipkan salam untukmu saat menghubungiku terakhir kali.” Zino tersenyum berterima kasih atas kepedulian Elli.
Sejujurnya setelah pertunangan, Loraine hanya menghubungi rumah sekali. Mengatakan dia memiliki pekerjaan dan memintanya menunggu hingga pertemuan berikutnya. Sungguh mama yang mengesankan. Zino jadi bertanya-tanya bagaimana perasaan Vivian selama ini?
Diwan tertawa renyah menyambung pembicaraan, “Loraine begitu perhatian. Saat Ellie mengatakan kami akan mengundangmu makan, dia memberikan daftar makanan yang baik-baik saja untukmu.”
“Paman benar. Mama adalah yang terbaik.”
“Dia juga mengatakan kau tidak bisa makan terlalu banyak. Jadi perhatikan porsimu. Akan sedikit canggung jika kau sakit setelah makan malam disini.”
Zino tertawa hampa mendengar ucapan Ellie. Sungguh dia ingin makan banyak. Sangat melelahkan saat ada banyak makanan tapi Zino hanya bisa makan banyak jika tidak ada yang tahu. Jean dan Vivian membuatnya menjadi pencuri waktu demi makanan.
“Ibu, biarkan Vivian makan. Kapan dia memasukkan makanan ke perutnya jika terus diajak bicara.” Rua dengan manis mengingatkan.
Karna kata-kata Rua, mereka menyelesaikan makan dengan tenang.
Setelah makan, Ellie mengusulkan agar Vivian melihat-lihat kamar Zinan.
Zinan yang setuju dengan mudah meraih tangan Zino dan membawanya ke kamarnya. Kamar dengan desain sederhana itu sebenarnya bukan benar-benar miliknya. Dia tinggal disini hanya untuk tidur. Bahkan terkadang dia menginap dihotel.
Zino menatap sekeliling dan merasa tidak ada yang menarik. Pemuda itu cemberut. Apa yang bisa dia ambil jika kamar Zinan terlihat selengang ini.
“Kau tidak suka?” Tanya Zinan melihat Vivian mengerutkan wajahnya.
“Ini terlalu kosong. Bagaimana bisa tidak ada barang berharga.”
Zinan tersenyum. Ternyata Vivian masihlah nona muda yang memikirkan kemewahan. Karna Zinan sedikit tertarik, lain kali saat Vivian berkunjung dia pasti akan memenuhi ekspektasinya.
Zino harus bersyukur Zinan tidak mengerti arti kata-katanya dengan benar.
“Bagaimana jika kau berkunjung lagi saat aku membeli apartemen?”
Zino menatap Zinan bingung.
“Untuk apa? Bukankah kau sudah punya rumah?”
Zinan tanpa sadar mengusap kepala Zino. Ekspresi bingung Zino sungguh menggemaskan dimatanya.
“Bukan hal aneh membeli apartemen. Lagipula ini bukan rumahku.”
Zino semakin bingung mendengar ucapan Zinan. Tapi dia diam saja. Apapun yang terjadi dengan Zinan bukan urusannya.
Zinan baru akan mengatakan sesuatu untuk menghilangkan keheningan diantara mereka, namun ponselnya berbunyi.
Dia melirik si penelepon. Sambil tersenyum, Zinan berpamitan meninggalkan Zino sebentar untuk mengangkat telepon. Zino hanya mengangguk sebagai persetujuan.
“Kau menyukainya?”
Zino menoleh dan melihat Leihan bersandar dipintu. Kedua tangannya terselip disaku celana. Dua kancing atas kemejanya terbuka dengan lengan kemeja tergulung hingga siku. Secara keseluruhan, penampilan Leihan terlihat seperti aktor drama favorit Mei. Membuat Zino iri.
“Tidak. Disini terlalu kosong.” Bahkan kamarnya di kontrakan lebih penuh pernak-pernik seperti replika motor dan mobil. Poster band rock. Dan beberapa lainnya. Sekarang benda-benda itu sudah raib digusur Jean bersama pakaiannya.
“Kau benar. Lalu bagaimana perasaanmu tentang Zinan?” Leihan berjalan mendekati Zino. Membenarkan maksud pertanyaan sebelumnya.
Zino memperhatikan bagaimana tangan pria itu menyentuh beberapa benda yang dilewatinya dengan teliti. Seolah dia tertarik.
“Zinan orang yang baik.” Sebagai Vivian dia tersenyum cantik.
Lalu sebagai Zino, dia merasa harus memukul mulutnya. Bagian mana dari Zinan yang baik? Tapi dia tak mungkin mengatakan hal buruk dihadapan kakaknya.
Leihan tertawa kecil. “Aku yakin Zinan tak memperlakukanmu dengan baik. Kau tidak perlu bersikap sopan.”
Zino tak mengerti. Jika itu Jean, pasti akan marah saat dia mengatakan hal buruk tentang Vivian. Tapi mengapa Leihan justru seolah ingin mendengarnya mengatakan hal buruk tentang Zinan?
“Ku dengar kau sangat baik saat bermain piano. Ada piano diruang baca, mau memainkannya untukku?”
Zino berusaha tidak terlihat panik. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana bermain piano. Tapi dia tidak bisa menolak tanpa alasan, atau Jean akan semakin marah padanya.
Pemuda itu dengan cepat memutar otaknya dan berkata: “Aku mempelajari gitar baru-baru ini, bagaimana jika aku memainkan gitar untukmu?”
Zino sangat memuji otak pintarnya. Dia memang tidak bisa bermain piano, namun dia sangat baik saat bermain gitar dipinggir jalan bersama Doni dan yang lainnya.
Leihan tertegun namun dengan cepat mengangguk. “Tidak ada gitar dirumah ini. Bagaimana jika kita membelinya bersama besok?”
Zino menimbang-nimbang harus menjawab apa. Jean sudah memperingatkannya untuk menjauhi Leihan meski dia tidak tahu alasannya.
“Jangan terlalu banyak berpikir. Meski wajah bingungmu menggemaskan, aku lebih menyukai senyummu.”
Zino tersentak saat Leihan dengan ringan mengusap dahinya yang sedikit berkerut.
Sebelum Zino bisa mengatakan sesuatu, Zinan sudah kembali. Tunangannya itu dengan ringan merangkul bahu Zino, menjauhkannya dari Leihan.
“Kau bisa menyentuh siapapun, kecuali tunanganku.” Zinan tersenyum penuh peringatan.
*****