Author : Keyikarus O(≧▽≦)O
[Chapter 3: Persiapan Festival]
Prada adalah kerajaan dengan wilayah seperti batu jamrud yang indah. Begitu hijau dan subur. Menyejukkan mata setiap orang yang memandangnya. Ditambah dengan liukan sungai yang memanjang disetiap wilayah kerajaan, Prada hanya bisa digambarkan sebagai negri yang penuh pesona.
Berbeda dengan negeri-negeri tetangga yang merayakan festival pada musim semi, Prada merayakan festival tahunan pada bulan ke sepuluh. Itu bertepatan dengan musim gugur dan musim panen.
Daun-daun yang menguning dan sebagian memerah berjatuhan setiap saat memberikan pemandangan cantik. Setiap orang bergotong-royong memanen padi dan gandum. Anak-anak berlarian bersuka cita diantara para wanita yang mengantarkan makanan untuk suami-suami mereka yang bekerja di ladang.
Di istana suasana lebih indah saat sosok mengesankan itu berdiri diantara dedaunan yang berguguran. Rambut lembutnya berayun bak sutra diterpa angin, wajah yang mendongak menatapi satu persatu daun yang terlepas dari dahannya terlihat seperti lukisan hidup yang diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna.
Sangat disayangkan pemandangan indah itu harus menghilang seperti kabut tertiup angin saat suara ketukan langkah-langkah mendekat terdengar.
Jeha menoleh, matanya menyala melihat sang raja berjalan ke arahnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan setelah menunggu cukup lama.
Berlari pata-pata, Jeha menghampiri ayahnya. Tidak mendengar saat dayang berbisik mengingatkan salam yang harus dilakukannya. Bahkan dayang itu berdehem hingga tersedak namun Jeha masih tak mendengarnya. Atau sengaja tak mau mendengarnya.
Dengan manja dia meraih lengan raja dan menggelayut. Wajahnya mendongak dengan mata berair. Siap melancarkan rayuan.
Kepala dayang milik raja menunduk dan mengingatkan Jeha tentang kesopanan. Namun Jehan justru cemberut dan menatap raja dengan memelas.
“Bahkan aku tidak bisa bermanja pada ayahanda? Apakah aku bukan anak ayahanda?” Ucapnya dengan nada menyedihkan.
Kepala dayang kebingungan menjawab pertanyaan sederhana namun menyakitkan jika menyangkut aturan kerajaan. Pangeran ini terlalu sering mengabaikan hal-hal yang dianggap tatakrama kerajaan.
Raja mengisyaratkan agar kepala dayang itu mundur dan dengan lembut tertawa. Dia memukul pelan kepala putra keduanya yang sangat manja ini.
“Bagaimana kau bisa memiliki pikiran mengerikan semacam itu. Kau adalah putra tersayangku.”
“Lalu kenapa terlalu banyak peraturan untuk bicara dengan ayahanda?” Jeha semakin cemberut.
“Itu adalah peraturan kerajaan. Kenapa sulit bagimu untuk mematuhinya?”
“Ayahanda adalah raja. Bagaimana bisa dikalahkan oleh peraturan? Itu tidak masuk akal.”
Raja Inggeh tak tahu putranya ini terlalu pintar atau terlalu bodoh. Bagaimana bisa dia memberikan pertanyaan yang membutuhkan penjelasan panjang lebar.
Raja tidak akan lupa jika besok adalah hari favorit Jeha setiap tahunnya. Dia juga tidak akan lupa jika tahun lalu Jeha diseret ibunya ke kekaisaran Xu hingga melewatkan hari favoritnya di Prada. Jadi tujuan Jeha melakukan ini sangat jelas.
“Baiklah, berhenti berputar-putar. Katakan keinginanmu.” Ucap raja Inggeh menyerah.
Mendengar ucapan raja, Jeha bersorak riang. Lalu dengan semangat berkata: “Aku akan pergi ke ibukota. Tanpa tandu, tanpa prajurit.”
Jeha selalu menginginkan ini. Ke ibukota menggunakan tandu dan membawa banyak prajurit sangat tidak menyenangkan. Saat dia mengunjungi satu kios, maka dalam radius sepuluh meter itu dibersihkan dari orang-orang. Saat dia ingin menaiki wahana lontar, maka pengunjung lain akan diusir dan pengecekkan keamanan peralatan yang menghabiskan waktu satu dupa.
Masih banyak lagi hal-hal yang membuat Jeha sangat tidak menikmati festival yang seharusnya menyenangkan.
“Pangeran….”
Jeha menggelengkan kepalanya saat melihat raja justru akan menasehatinya. Dengan sedih dia berkata: “Aku adalah pangeran negri yang katanya indah ini, namun aku sama sekali tidak tahu sebenarnya seberapa indah negeriku karna tidak pernah merasakan secara langsung hal-hal yang diadakan. Aku tidak sepintar kakak yang bisa ke sana kemari berbaur dengan banyak orang, tidak bisakan aku hanya bersenang-senang setahun sekali?”
Ini adalah pertama kalinya Jeha bicara tidak dengan cara merengek, melainkan seolah memendam kesedihan yang membuat perasaan raja sangat tidak nyaman. Dia mengusap wajah menakjubkan pangerannya.
“Aku hanya selalu memikirkan keselamatanmu, pangeranku.” Ucap raja dengan menyesal. Dia tidak berharap perlindungannya justru menyakiti putranya.
“Tapi tiga ksatriaku sudah cukup untuk melindungi anak sekecil aku.”
Mendengar itu, raja tak bisa menahan senyumnya. Anak ini terlalu menggemaskan. Membuatnya selalu khawatir jika Jeha tanpa sengaja menarik masalah dan tak bisa mengatasinya.
Jika saja dia tahu kata-kata menyedihkan itu adalah trik meluluhkan hati yang baru dipelajarinya dari sebuah buku, mungkin raja akan menyesali kekhawatirannya yang sia-sia.
“Tidak ada anak kecil yang mengaku kecil.” Raja menepuk kepala pangeran dengan sayang.
“Tapi aku memang masih kecil.” Keluh Jeha.
“Baiklah, pangeran kecilku, kenapa kau tidak ikut mengunjungi permaisuri? Bukankah sudah lama kau tidak melakukannya?” Tawar Inggeh.
Mempertimbangkan raja sudah berbaik hati memberi ijin secara tidak langsung dirinya pergi ke ibukota, dia hanya bisa mengangguk.
“Ayahanda, terimakasih. Tolong jangan beritahu Ibunda, atau aku akan dikurung.”
Raja hanya tertawa. Dia tidak akan bisa tidak memberitahu selir Jin Ni. Wanita itu akan menghebohkan seantero istana jika tidak dapat menemukan pangeran Jeha sehari saja.
Hanya saja, mungkin raja akan memberitahunya saat Jeha sudah pergi. Itu mencegah selir Jin Ni menghentikannya dan membuatnya memasang raut kecewa yang menyedihkan.
Meski dia menyetujui keinginan Jeha untuk hanya membawa ksatria pribadinya, raja akan secara diam-diam memerintahkan beberapa ksatria bayangan miliknya untuk memastikan keselamatan pangeran nakal itu.
Ksatria bayangan adalah kelompok beranggotakan tiga puluh orang yang hanya memprioritaskan keselamatan raja Prada. Untuk beberapa kasus, tentu saja ksatria bayangan bisa diperintahkan melindungi anggota kerajaan. Selama itu tidak mengendurkan keamanan raja.
Saat mereka sampai di Awanta, istana dimana permaisuri dan putri Calya tinggal, kepala dayang permaisuri menyambut mereka dan membawa ke ruangan dimana permaisuri berada.
Permaisuri adalah wanita anggun yang menyukai lukisan. Tidak hanya menyukai lukisan, tapi juga sangat pandai melukis. Karyanya tidak kalah jika dibandingkan dengan pelukis ternama kekaisaran Da Luo Yan. Bahkan selir Jin Ni selalu memujinya setiap melihat lukisan-lukisan karya permaisuri saat berkunjung.
Saat ini permaisuri sedang berada diruang favoritnya, dimana setiap karyanya ditata dan dipajang dengan cantik.
Dia menempatkan putri Calya disampingnya dan mengajari sekaligus mencontohkan cara memberi salam pada raja.
“Salam Baginda raja, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.” Ucapnya yang diikuti putri Calya dengan suara kekanakan yang menggemaskan.
“Semoga keberuntungan selalu menyertaimu juga permaisuri ku dan putri tercantikku.” Sahut raja lalu beralih ke kursi khusus dirinya diruangan itu dan membiarkan pangeran nakalnya bertatap muka langsung dengan permaisurinya.
Permaisuri adalah satu-satunya orang dimana Jeha tidak akan bertingkah nakal dihadapannya. Alasannya, auranya membuat Jeha merasa akan ditelan jika dia bertindak tidak masuk akal sedikit saja.
“Salam yang mulia permaisuri dan putri Calya, semoga keberuntungan selalu menyertai kalian.” Ucap Jeha dengan gugup.
“Semoga keberuntungan selalu menyertaimu juga pangeran Jeha. Lain kali, Putri Calya lah yang seharusnya memulai salam padamu.” Tegur permaisuri.
Prada adalah kerajaan yang menegaskan perhormatan bagi yang lebih tua. Hierarki ini jelas namun tidak kejam. Yang lebih tua selalu memiliki kesempatan untuk memanjakan yang lebih muda.
Lagi-lagi dengan gugup Jeha mengiyakan ucapan permaisuri.
Tingkahnya itu membuat raja ingin tertawa. Dia tidak pernah tahu kenapa pangeran nakal ini begitu takut pada permaisuri. Padahal tidak sekalipun permaisuri bersikap kasar pada siapapun. Bahkan selir Jin Ni memiliki hubungan yang akrab dengan permaisuri.
Keluarga mereka hanyalah keluarga kecil jika dibanding kekaisaran Xu atau Da Luo Yan. Jadi tidak ada persaingan atau permusuhan yang terjadi.
Setelah Putri Calya dengan manis memberi salam pada pangeran Jeha, raja meraihnya dan menciumnya dengan gemas.
Sementara itu Jeha hanya duduk tenang, sebenarnya tegang. Dia melirik sekitarnya mengamati setiap lukisan dengan diam-diam.
“Ku dengar guru seni lukis pangeran mengatakan bahwa pangeran mengalami kemajuan?”
Ucapan permaisuri yang tiba-tiba membuat Jeha tersentak dan hampir terjungkal dari kursi. Mengabaikan raja dan putri Calya yang menertawakannya, Jeha dengan kaku memperbaiki posisi duduknya.
“Kenapa pangeran begitu terkejut?”
Permaisuri memerintahkan dayang membawakan kertas dan kuas. Lalu menempatkannya didepan Jeha.
“Tidak, hanya berpikir bagaimana yang mulia permaisuri mengetahui hal itu?”
“Aku mengetahui beberapa hal, terutama jika nyonya Astami selalu mengeluhkan putranya.”
Sementara Jeha merutuki ibunya didalam hati, Baginda raja yang sedang bermain dengan putri Calya menahan tawa.
“Tolong jangan dengarkan ibunda. Dia hanya memiliki terlalu banyak keluhan. Padahal jelas guru seni lukis ku mengatakan pekerjaanku lebih baik.” Ucap Jeha berusaha meyakinkan dengan hati-hati.
“Maka mulailah melukis dan biarkan aku menilai.”
Permaisuri menunjuk ke arah kertas dan kuas didekat Jeha.
Menatap permaisuri, semangat juang Jeha menyala. Dia akan membuktikan jika ucapan ibunya terlalu berlebihan. Bahkan kakaknya mengatakan pekerjaannya lebih baik. Maka seharusnya itu bukan masalah.
*********
[…] Bab 3 – Persiapan Festival […]
[…] << Ignorant Prince 3 […]