[Chapter 1: Pangeran Yang Bodoh]
Kerajaan Prada adalah negri kecil yang makmur dibawah naungan kekaisaran Da Luo Yan. Memiliki perbukitan hijau dan dikelilingi sungai besar. Penduduknya tidak lebih dari dua juta jiwa.
Meski dibawah naungan Da Luo Yan, Prada terletak di bagian paling ujung wilayah kekaisaran memiliki budaya dan tradisinya sendiri. Memiliki banyak hal yang berbeda dengan tradisi dan budaya Da Luo Yan.
Sebagai kerajaan di wilayah terujung, sebelah barat Prada bersinggungan langsung dengan kerajaan Tetrasatya yang berada di wilayah bebas.
Wilayah bebas adalah wilayah luas yang memiliki kerajaan-kerajaan kecil sebagai pemiliknya. Mereka tidak berada pada naungan kekaisaran manapun. Mereka bekerja sama mengusir para penjajah saat dibutuhkan, dan mengurusi kepentingan kerajaan masing-masing saat masa damai.
Disebelah Utara, Prada besinggungan dengan wilayah kekaisaran Xu. Lalu di timur dan Selatan adalah wilayah Kekaisaran Da Luo Yan.
Terkenal sebagai negri kecil yang makmur tentu saja tidak lepas dari peran seorang raja. Bukan hanya rakyatnya yang mengelu-elukan bagaimana bijaksana dan berwibawanya raja mereka, negri tetangga bahkan kekaisaranpun mengakui kemampuan raja negri Prada dalam mengatur pemerintahannya.
Karna begitu dipuja, setiap desas-desus yang keluar dari istana selalu menjadi berita hangat. Bahkan penyair jalanan dengan senang hati menciptakan karya epik dengan tema terbaru tentang berita anggota kerajaan. Terlepas dari itu benar atau salah, semua hal yang terjadi di istana selalu mendapatkan tanggapan positif dari rakyatnya.
Salah satunya tentang putra-putri raja. Djayapati Inggeh, yang terkenal penyayang dan setia hanya memiliki satu permaisuri dan satu selir.
Dari permaisuri, Raja Inggeh memiliki putra mahkota berusia tujuh belas tahun yang diberi nama Djayapati Aris. Seperti namanya, dia adalah orang yang lemah lembut dan baik hati. Sikapnya santun dan berwibawa. Memiliki banyak prestasi dari kunjungan diplomatik antar negri sampai menyelesaikan masalah berbagai daerah di kerajaannya.
Dalam satu tahun, pangeran Aris hanya tinggal di istana kerajaan tidak lebih dari lima bulan. Sisanya dia gunakan melakukan perjalanan diplomasi atau berkeliling negri untuk mengetahui permasalahan rakyatnya. Tentu saja karna kebiasaannya itu ada istana kecil tempat persinggahan disetiap daerah di wilayah Prada.
Selain pangeran mahkota, permaisuri juga melahirkan seorang putri yang masih berusia tiga tahun. Putri pertama kerajaan Prada diberi nama Djayapati Calya. Ini adalah nama pemberian permaisuri sendiri. Dia berharap, saat besar kelak, Putri Calya akan tumbuh seperti namanya.
Berbeda dengan permaisuri yang merupakan orang asli Prada, selir raja adalah putri dari kaisar terdahulu kekaisaran Xu.
Wilayah kekaisaran Xu hanya sedikit lebih kecil dari kekaisaran Da Luo Yan. Namun kondisi alamnya lebih keras. Memiliki hanya sedikit lahan hijau, sisanya adalah lahan tandus yang sulit menumbuhkan tanaman. Wilayah kekaisaran Xu juga hanya sedikit memiliki perairan, jadi ikan adalah barang yang langka.
Kaisar terdahulu kekaisaran Xu adalah seorang yang jujur dan adil. Begitu pemikir dan lurus. Untuk memperbaiki suplai makanan diwilayahnya, dia membuat kerja sama dengan negara sekitar yang lebih makmur.
Kerja sama dan perjanjian membutuhkan ikatan daripada hanya sekedar tinta diatas kertas. Karna kaisar Xu memiliki banyak selir yang menghasilkan lebih banyak putra dan putri, dia menggunakan perkawinan sebagai jaminan kerja sama yang damai dan saling menguntungkan.
Kekaisaran Da Luo Yan tentu saja mendapatkan tawaran itu sebagai yang pertama. Setelah itu, sebagai salah satu negri dengan pemerintahan terbaik di wilayah Da Luo Yan, dan yang memiliki jarak terdekat dengan Kekaisaran Xu, kerajaan Prada adalah satu-satunya kerajaan dalam wilayah kekaisaran Da Luo Yan yang mendapatkan tawaran terhormat itu secara pribadi.
Putri dari selir ke tujuh puluh kaisar Xu, Xu Jin Ni diantarkan untuk menjadi selir raja Prada. Sebagai gantinya, kerajaan diminta menjual lima ratus ton gandum dan lima ratus ton ikan setiap tahunnya pada kekaisaran Xu.
Bukan jumlah yang besar, namun kaisar Xu berpikir tidak ada ruginya memiliki kerjasama yang baik dengan raja yang kepiawaiannya memerintah sudah diakui oleh kaisar Da Luo Yan sendiri. Terlebih wilayah Prada dan wilayah kekaisaran Xu hanya dipisahkan oleh sungai besar dan seribu hektar hutan yang setengahnya sudah masuk wilayah kekaisaran Xu.
Lalu dari selir Jin Ni, raja memiliki seorang putra. Memikirkan dirinya yang telah memberi nama untuk pangeran mahkota dan permaisuri yang telah memberikan nama untuk putri Calya, maka raja membebaskan selir Jin Ni memberikan nama untuk putranya.
Dengan sukacita selir Jin Ni memberi putranya nama Jeha, Djayapati Jeha. Tidak ada arti khusus, selir Jin Ni hanya menyukai nama itu.
Untuk pangeran kedua yang saat ini berusia tiga belas tahun, tidak ada berita yang diketahui rakyatnya selain anggun dan menawan.
Itu benar. Tapi tidak sepenuhnya.
Aris melangkah menyusuri halaman Bramila, istana dimana Jeha dan ibunya tinggal.
Sebenarnya dia sudah kembali dari daerah barat kerajaan sejak tiga hari yang lalu. Namun dia harus mendiskusikan sesuatu dengan raja, menghadiri sidang, juga mengunjungi permaisuri terlebih dulu. Barulah hari ini dia bisa mengunjungi adik tersayangnya yang tidak tahu kepulangannya itu. Jika tahu, dia akan berlari ke Janitra tanpa berpikir panjang. Lalu raja akan mengomel karna tidak memiliki waktu berdiskusi dengannya.
Bramila memiliki taman mawar yang indah. Berbagai warna dari bunga favorit selir Jin Ni dirawat dengan hati-hati dan penuh perhatian. Tidak jarang selir Jin Ni yang lembut merawat sendiri bunga-bunga itu.
Ditengah rumpun mawar yang tertata apik tersebut terdapat kolam besar dengan ikan-ikan yang didatangkan dari negri jauh. Ikan dengan corak merah dan oranye berenang ke sana kemari, sangat menarik perhatian.
Diatas kolam, dibangun sebuah gazebo berukuran tiga kali tiga meter. Memiliki atap berbentuk kubah dengan pot-pot kecil nan cantik digantung mengelilinginya. Disetiap tiang diberi pot dengan tumbuhan merambat yang sulurnya melilit tiang gazebo. Memberi kesan hijau yang cantik pada bangunan berwarna putih tulang itu.
Disana, ditengah gazebo, sosok dengan jubah kuning duduk menghadap meja. Rambut panjangnya yang hanya diikat separuh meliuk-liuk saat angin sepoi-sepoi bertiup. Wajahnya yang putih seperti giok terlihat kontras dengan bibir merahnya. Kelopak mata yang memiliki bulu lentik turun, terlihat serius mengerjakan sesuatu dimeja.
Bukankah itu gambaran pangeran anggun dan menawan sesuai dengan yang rakyat ketahui?
Dilantai papan sekitar gazebo, terlihat tiga dayang dan dua ksatria khusus miliknya berdiri diam menunggu.
Aris diikuti lima dayang dan tiga ksatria miliknya melewati jembatan datar diatas kolam menuju gazebo dimana Jeha berada.
Mendengar suara langkah, Jeha mendongak. Memperlihatkan wajah manis yang menggemaskan khas remaja. Dia tersenyum lebar dan beranjak bangun, berniat menyambut kakaknya.
“Pangeran.” Bisik kepala dayangnya mengingatkan.
Jeha cemberut. Tubuhnya yang tadinya seperti akan melesat bergerak perlahan. Dia berdiri dengan anggun menanti kakaknya tiba didepannya.
“Salam pangeran mahkota, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.” Jeha sedikit membungkukkan tubuhnya. Memberi penghormatan kepada putra mahkota Prada.
Yang diberi penghormatan justru tersenyum geli. Dia melambaikan tangannya, lalu berkata: “Semoga keberuntungan selalu menyertaimu juga adikku. Bukankah aku sudah mengatakan kau tidak perlu melakukannya?”
Mendengar ucapan Aris, Jeha langsung melompat ke pelukannya. Dengan wajah menyedihkan dia mengadu.
“Kakak, kepala dayang menindasku. Dia memelototiku jika aku tak melakukannya. Ayo cepat hukum dia untukku.” Rengeknya.
Sementara Aris tertawa geli sambil mengusap sayang kepala Jeha, kepala dayang yang dibicarakan memucat. Dia menunduk dalam-dalam menyembunyikan ekspresi ketakutannya.
Ini adalah perintah selir Jin Ni agar selalu mengingatkan pangeran Jeha untuk memberi salam dengan benar setiap bertemu anggota kerajaan. Namun pangeran muda ini akan selalu melebih-lebihkan ceritanya saat mengadu pada Baginda raja maupun pangeran mahkota. Itu membuat kepala dayang ketakutan setengah mati.
“Kau akan menangis jika aku melakukannya. Jangan meminta hal-hal yang tak bisa kau tanggung.”
Aris benar. Meski Jeha selalu mengadu dan meminta hukuman untuk kepala dayangnya, sebenarnya dia tak bermaksud benar-benar meminta hukuman itu.
Dulu, ketika Jeha berusia delapan tahun, ada dayang yang lalai membuat Jeha terjatuh dan kakinya terluka. Itu memicu kemarahan selir Jin Ni.
Karna terbiasa dengan hukum kekaisaran Xu yang kejam, selir Jin Ni meminta kematian sebagai hukuman bagi dayang itu. Jeha yang mengetahui itu menangis ketakutan dan memohon pada ibunya agar tidak melakukannya.
Tak tega melihat putranya terus menangis, selir Jin Ni meringankan hukumannya menjadi tiga puluh kali pukulan. Selama dayang itu belum sembuh, selama itu juga Jeha selalu menangis dan mengintip dari pintu saat tabib sedang mengobati.
Setelah sembuh, dayang itu tidak lagi dipekerjakan untuk Jeha. Melainkan dipindahkan ke bagian dapur.
“Tapi…”
“Kenapa kita tidak melihat apa yang kau kerjakan saja?”
Wajah cemberut Jeha segera berubah riang, dia bergegas naik kembali ke gazebo. Tingkahnya itu membuat dayang dan ksatria miliknya memasang wajah terpelintir karna khawatir tanpa sengaja Jeha akan terjatuh dan terluka.
Yang dikhawatirkan sama sekali tidak menyadari pikiran orang-orang. Dia dengan bangga meraih kertas diatas meja dan menyodorkannya pada Aris.
“Tadi pagi aku belajar menggambar kupu-kupu diatas rumpun mawar. Guru bilang gambarku lebih baik dari yang kemarin, tapi kenapa ibu bilang gambarku masih buruk? Bagaimana menurutmu, kakak?”
Jeha menatap Aris penuh harap. Matanya berkilauan saat menunggu jawaban kakaknya yang sedang mengamati gambarnya. Ini gambar ke dua puluh setelah pelajarannya selesai. Gurunya menyuruhnya mengulang-ulang agar lebih baik, karna itu Jeha melakukannya.
Sedangkan Aris meringis dalam hati. Dia tidak bisa mengenali garis absurd ini sebagai kupu-kupu di rumpun mawar. Lebih bisa diterima jika ini adalah wajah monster. Meski begitu dia sama sekali tidak menunjukkannya.
Tersenyum lembut, dia mengusap kepala Jeha. Memilih mengatakan pendapatnya dengan sedikit tidak jelas, “kau sudah mengalami perbaikan. Lain kali aku akan menemanimu belajar menulis dengan baik.”
Jeha tertawa riang. “Lihat. Bahkan kakak yang hebatpun mengatakannya. Ibu hanya tidak menghargai usahaku.”
Aris tersenyum tak berdaya. Adiknya ini entah kenapa sangat sulit jika harus menulis dan melukis dengan baik. Padahal dia selalu bekerja keras.
*******
[Chapter 2: Mendapatkan Banyak Hati]
Jeha bangun dari tidurnya dengan malas. Dia membentangkan tangannya membiarkan kepala dayang membuka pakaiannya sementara dayang lain mengisi bak mandi.
Dia kembali tertidur hanya setengah menit setelah masuk ke bak mandi. Sepenuhnya menyerahkan urusan menggosok dan membersihkan dirinya pada para dayang.
Rambut panjang yang seperti sutra dicuci dengan lembut dan hati-hati. Jika para dayang membuat pangeran ini terbangun karna menggosok tidak hati-hati, mereka harus bersiap dengannya yang merajuk karna kurang tidur. Dengan alasan itu maka Jeha akan bergelung dikasur hingga pagi keesokan harinya. Meninggalkan salam paginya kepada ibunya. Meninggalkan pelajarannya. Bahkan melupakan makannya.
Jika sudah begitu, maka para dayanglah yang akan terkena omelan selir Jin Ni.
Seolah menuruni sifat ibunya, Jeha sangat menyukai aroma mawar. Jadi entah itu cairan di bak mandi atau wewangian untuk pakaian dan ruangannya semuanya beraroma mawar.
Setelah selesai memandikan Jeha, kepala dayang menatap dupa yang terbakar di sudut ruangan. Tepat ketika batang itu habis terbakar, dia membangunkan Jeha dengan suara lembut agar pangeran tidak terkejut.
Merawat Jeha bahkan lebih merepotkan daripada merawat Putri Calya. Tapi karna mereka sudah mengalami ini bertahun-tahun, itu sudah tidak menjadi hal yang perlu diributkan.
Jeha yang terbangun menggosok matanya. Wajahnya yang terlihat lembut dan cantik dengan warna kemerahan menatap kepala dayang dengan linglung.
Pemandangan ini selalu dilihat, namun tetap saja para dayang itu sesak nafas saat melihatnya lagi dan lagi. Pesona pangeran Jeha seolah bisa menjerat dan membunuh mereka.
Jeha beranjak dari bak mandi. Membiarkan dayang mengeringkan tubuhnya dan memakaikan pakaian padanya. Mengikat setengah rambutnya yang telah dikeringkan dengan hati-hati, juga merapikan poninya yang menutupi kulit seindah pualam.
Hiasan disematkan diikatan rambutnya, itu memiliki enam rantai halus panjang yang jatuh selaras dengan rambut bak sutranya. Menjadi warna emas mencolok diantara sutra hitam yang mempesona.
Dayang menjauh setelah selesai mendandani Jeha. Jika tidak membuka mulut dan mengabaikan apa yang terjadi dipagi hari, maka Jeha adalah pangeran dengan keanggunan sempurna.
Sayangnya, berapa lama Jeha tahan tidak membuka mulutnya atau berlari-lari tak jelas?
“Eiii matahari sudah sangat tinggi. Ibunda pasti akan mengomeliku. Bagaimana kalau aku mengunjungi kakak saja?”
Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya hari ini adalah keluhan. Membuat para dayang mendesah dalam hati.
“Baiklah, aku mengunjungi kakak saja.” Putusnya. Lalu dengan langkah riang Jeha menuju Janitra, istana dimana pangeran mahkota tinggal.
Dibelakangnya, para ksatria berjalan waspada, bersiap menangkap jika tanpa sengaja pangeran itu terjatuh. Mereka yang semula bangga bisa menjadi ksatria seorang pangeran harus menguatkan hati saat kecepatan luar biasa mereka hanya dibutuhkan untuk mencegah pangeran terluka saat tak sengaja terjatuh.
“Pangeran, anda akan melewati ruangan Nyonya Astami.” Kepala dayang mengingatkan dengan hati-hati. Langkahnya terseok-seok mengikuti kecepatan Jeha.
Astami adalah julukan yang diberikan Baginda raja pada Selir Jin Ni. Semua abdi kerajaan selalu menyebut selir Jin Ni dengan nama itu.
Mendengar itu, Jeha langsung menghentikan langkahnya dan menggantung kepalanya. Bagaimana dia bisa lupa jika dia berada di satu istana dengan ibunya. Sepertinya dia tidak akan bisa melewati omelan ibunya pagi ini.
Jeha sangat ingin memiliki istana sendiri seperti kakaknya. Namun, itu keistimewaan yang hanya bisa diperoleh putra mahkota Prada. Jeha harus puas hanya dengan menginvasinya sesekali.
Belum sempat Jeha memikirkan untuk kabur lewat Jendela, dia melihat sosok selir Jin Ni bersama para dayang dan ksatrianya berjalan kearahnya dengan senyuman manis. Tapi semua juga tahu, semakin manis senyumnya, semakin panjang omelan bernada lambat yang akan diucapkannya.
“Sepertinya kau berencana meninggalkan rutinitas wajibmu, pangeran.”
Jeha mengangkat wajahnya mendengar ucapan ibunya yang hanya berjarak tiga meter didepannya. Dia memasang wajah tak puas karna tuduhan ibunya dan berniat protes.
“Mana mungkin aku….” Jeha menelan salivanya saat melihat pelototan seram ibunya.
Dia berdehem pelan melonggarkan tenggorokannya sebelum memperbaiki postur tubuhnya dan berkata, “Salam Ibunda, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.”
Tatapan selir Jin Ni melembut melihat putranya melakukan salamnya dengan benar.
“Semoga keberuntungan juga selalu menyertaimu putraku.” Dengan sayang dia mendekat dan mengusap kepala Jeha.
Merasakan ibunya tak lagi garang, Jeha dengan manja menempel. Memasang wajah menyedihkan yang biasanya tidak bisa ditolak siapapun.
“Ibu, biarkan aku mengunjungi kakak.” Rengeknya.
Selir Jin Ni menjetik dahi putra bodohnya itu. Berusaha memasang wajah galaknya lagi.
“Anak bodoh. Kau ingin melewatkan pelajaranmu? Bagaimana kau bisa sepintar pangeran mahkota jika bermalas-malasan?” Tegurnya.
“Karna ibu selalu mengataiku bodoh maka aku jadi bodoh. Jangan khawatir ibu, aku bukan pangeran mahkota, jadi tidak membutuhkan kepintaran untuk hidupku.” Jeha mengeluh sekaligus menenangkan kekhawatiran ibunya.
Bukannya berhenti khawatir, selir Jin Ni merasa otaknya mendidih mendengar jawaban putranya. Darimana dia berpikir jika hanya putra mahkota yang harus pintar?
Pangeran yang hanya tahu makan dan minum akan cepat ditendang keluar dari istana. Dengan otak kecil Jeha, Selir Jin Ni khawatir putranya akan mati kelaparan dan ketakutan dengan hanya hidup dua hari diluar sana.
Setidaknya dia harus bisa mengerjakan tugas kecil agar kehidupannya dapat terus ditopang.
“Baiklah, teruslah menjadi bodoh dan ibu akan mencarikanmu istri dari kekaisaran Xu.”
Itu adalah solusi yang cukup baik. Meski keluarganya hanya berada diperingkat rendah, itu masih mampu memberi Jeha makan untuk seumur hidup.
Wajah Jeha seketika pucat mendengar ucapan ibunya. Dalam bayangannya, semua wanita Xu itu seperti ibunya. Cerewet, pemaksa, tukang ancam dan suka menakutinya. Dia merasa pasti akan mati tanpa jasad jika benar-benar menikah dengan wanita Xu.
Jika selir Jin Ni tahu bagaimana pemikiran putranya, mungkin dia akan muntah darah lalu memukuli putra bodohnya sampai mati.
Dia tahu Jeha tidak mau menikah dengan wanita Xu, tapi dia tidak pernah tahu alasannya.
Keluarga kerajaan Prada memiliki tradisi mendapatkan istri saat berusia enam belas atau tujuh belas tahun. Jadi biasanya para anak-anak akan diperkenalkan pada lawan jenis secara berkala sejak berusia sepuluh atau sebelas tahun. Itu memberi waktu bagi mereka untuk saling mengenal dan memilih yang paling cocok. Karna kebanyakan pria Prada hanya memiliki satu istri. Hanya sedikit yang memiliki dua istri dan sangat langka yang memiliki tiga istri.
“Aku akan belajar ibu. Berhentilah menjodohkanku dengan wanita Xu. Aku masih kecil.” Rajuk Jeha. Dia berbalik dan melangkah ke ruang belajar dengan kesal.
“Tidak ada anak kecil yang mengaku anak kecil.” Sahut selir Jin Ni yang masih bisa didengar Jeha.
Sejujurnya dia masih ingin mengomeli Jeha, tapi sekarang adalah waktu belajarnya. Dia tidak ingin mengganggu. Jadi dengan berat hati membiarkan Jeha hilang dari pandangan.
Guru kali ini sangat kesulitan karna Jeha hanya belajar dengan setengah hati. Sedangkan belajar sepenuh hati saja Jeha membutuhkan empat kali waktu bagi anak biasanya untuk menyerap pelajaran, bagaimana dengan setengah hati?
Itu hanya membuat gurunya nyaris terserang tekanan darah tinggi karna terus-menerus menahan amarah. Bagaimanapun yang diajarnya adalah seorang pangeran, dia bahkan tidak boleh mengeluarkan sedikit keluhan.
Ketika dia baru berniat memelototi pangeran ini, tiga ksatrianya dipojok ruangan lebih dulu memelototinya. Sangat menakutkan.
Beruntung Aris datang sebelum kepala guru itu benar-benar meledak.
“Salam pangeran mahkota, semoga keberuntungan selalu menyertai anda.” Guru itu dengan sukacita menunjukkan rasa hormatnya.
“Salam guru. Anda bisa pergi, aku yang akan mengajari pangeran Jeha hari ini.”
Mendengar ucapan Aris, si guru merasa dibebaskan dari hukuman. Dengan wajah cerah dia memberi hormat sekali lagi sebelum pergi. Meninggalkan Jeha dan Aris diruangan itu.
Para dayang dan ksatria menunggu dengan patuh disisi ruangan.
Aris mengangkat tangannya saat kepala dayang Jeha akan mengingatkan pangeran itu untuk memberi salam. Melihat itu, dayang kembali mundur dengan patuh.
“Apa yang membuatmu begitu cemberut?”
Aris duduk diseberang Jeha. Dia menatap kertas yang tersebar dimeja, melihat tulisan Jeha membuatnya merasa ngeri. Kenapa keindahan wajah sama sekali tak berpengaruh pada keindahan tulisan?
“Hari ini ibu manyebutku bodoh lagi. Kakak, apa menurutmu aku bodoh?” Tanya Jeha menuntut.
Ini bukan pertama kalinya Jeha bertanya padanya. Aris tersenyum lembut, mengumpulkan kertas dimeja dan mengamatinya dengan hati yang berusaha tabah.
“Bagaimana menurutmu?” Satu trik yang mampu membuat Aris terbebas dari beban kemungkinan menyakiti hati adiknya.
“Aku bodoh.” Gumam Jeha lesu. Dia merebahkan kepalanya dimeja.
Prilakunya itu membuat Aris tak nyaman. Dia mengusap kepala Jeha dengan sayang. “Kau mungkin bodoh dalam seni tulis dan lukis, tapi aku yakin kau memiliki kelebihan di bidang yang lain.”
Mendengar penghiburan Aris, Jeha dengan semangat mengangkat kepalanya. Matanya mengerjap berkilauan, begitu hidup dan menakjubkan. Seketika Aris tahu apa kelebihan Jeha.
“Benarkah? Berikan aku contoh kelebihanku.” Desaknya tidak sabar.
Aris tertawa kecil. Mengulangi hobinya mengusap kepala Jeha sebelum berkata, “Kau memiliki wajah yang sangat menawan dan sifat menggemaskan. Itu akan dengan mudah mendapatkan hati siapapun.”
“Baiklah, aku akan mendapatkan banyak hati dan membuat mereka menopang hidupku. Jadi ibu tidak perlu cemas aku akan kesulitan dimasa depan.” Jeha mengepalkan tangannya dengan tekad sementara Aris tertawa senang melihat semangatnya.
Dia tidak akan menyangka jika ucapannya akan membuat penyesalan besar baginya. Adik polosnya benar-benar akan mengumpulkan banyak hati.
Itu cerita di masa depan. Untuk saat ini nikmati saja senyum ceria dan menawan pangeran Jeha.
************
[Chapter 3: Persiapan Festival]
Prada adalah kerajaan dengan wilayah seperti batu jamrud yang indah. Begitu hijau dan subur. Menyejukkan mata setiap orang yang memandangnya. Ditambah dengan liukan sungai yang memanjang disetiap wilayah kerajaan, Prada hanya bisa digambarkan sebagai negri yang penuh pesona.
Berbeda dengan negeri-negeri tetangga yang merayakan festival pada musim semi, Prada merayakan festival tahunan pada bulan ke sepuluh. Itu bertepatan dengan musim gugur dan musim panen.
Daun-daun yang menguning dan sebagian memerah berjatuhan setiap saat memberikan pemandangan cantik. Setiap orang bergotong-royong memanen padi dan gandum. Anak-anak berlarian bersuka cita diantara para wanita yang mengantarkan makanan untuk suami-suami mereka yang bekerja di ladang.
Di istana suasana lebih indah saat sosok mengesankan itu berdiri diantara dedaunan yang berguguran. Rambut lembutnya berayun bak sutra diterpa angin, wajah yang mendongak menatapi satu persatu daun yang terlepas dari dahannya terlihat seperti lukisan hidup yang diciptakan oleh Tuhan dengan sempurna.
Sangat disayangkan pemandangan indah itu harus menghilang seperti kabut tertiup angin saat suara ketukan langkah-langkah mendekat terdengar.
Jeha menoleh, matanya menyala melihat sang raja berjalan ke arahnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan setelah menunggu cukup lama.
Berlari pata-pata, Jeha menghampiri ayahnya. Tidak mendengar saat dayang berbisik mengingatkan salam yang harus dilakukannya. Bahkan dayang itu berdehem hingga tersedak namun Jeha masih tak mendengarnya. Atau sengaja tak mau mendengarnya.
Dengan manja dia meraih lengan raja dan menggelayut. Wajahnya mendongak dengan mata berair. Siap melancarkan rayuan.
Kepala dayang milik raja menunduk dan mengingatkan Jeha tentang kesopanan. Namun Jehan justru cemberut dan menatap raja dengan memelas.
“Bahkan aku tidak bisa bermanja pada ayahanda? Apakah aku bukan anak ayahanda?” Ucapnya dengan nada menyedihkan.
Kepala dayang kebingungan menjawab pertanyaan sederhana namun menyakitkan jika menyangkut aturan kerajaan. Pangeran ini terlalu sering mengabaikan hal-hal yang dianggap tatakrama kerajaan.
Raja mengisyaratkan agar kepala dayang itu mundur dan dengan lembut tertawa. Dia memukul pelan kepala putra keduanya yang sangat manja ini.
“Bagaimana kau bisa memiliki pikiran mengerikan semacam itu. Kau adalah putra tersayangku.”
“Lalu kenapa terlalu banyak peraturan untuk bicara dengan ayahanda?” Jeha semakin cemberut.
“Itu adalah peraturan kerajaan. Kenapa sulit bagimu untuk mematuhinya?”
“Ayahanda adalah raja. Bagaimana bisa dikalahkan oleh peraturan? Itu tidak masuk akal.”
Raja Inggeh tak tahu putranya ini terlalu pintar atau terlalu bodoh. Bagaimana bisa dia memberikan pertanyaan yang membutuhkan penjelasan panjang lebar.
Raja tidak akan lupa jika besok adalah hari favorit Jeha setiap tahunnya. Dia juga tidak akan lupa jika tahun lalu Jeha diseret ibunya ke kekaisaran Xu hingga melewatkan hari favoritnya di Prada. Jadi tujuan Jeha melakukan ini sangat jelas.
“Baiklah, berhenti berputar-putar. Katakan keinginanmu.” Ucap raja Inggeh menyerah.
Mendengar ucapan raja, Jeha bersorak riang. Lalu dengan semangat berkata: “Aku akan pergi ke ibukota. Tanpa tandu, tanpa prajurit.”
Jeha selalu menginginkan ini. Ke ibukota menggunakan tandu dan membawa banyak prajurit sangat tidak menyenangkan. Saat dia mengunjungi satu kios, maka dalam radius sepuluh meter itu dibersihkan dari orang-orang. Saat dia ingin menaiki wahana lontar, maka pengunjung lain akan diusir dan pengecekkan keamanan peralatan yang menghabiskan waktu satu dupa.
Masih banyak lagi hal-hal yang membuat Jeha sangat tidak menikmati festival yang seharusnya menyenangkan.
“Pangeran….”
Jeha menggelengkan kepalanya saat melihat raja justru akan menasehatinya. Dengan sedih dia berkata: “Aku adalah pangeran negri yang katanya indah ini, namun aku sama sekali tidak tahu sebenarnya seberapa indah negeriku karna tidak pernah merasakan secara langsung hal-hal yang diadakan. Aku tidak sepintar kakak yang bisa ke sana kemari berbaur dengan banyak orang, tidak bisakan aku hanya bersenang-senang setahun sekali?”
Ini adalah pertama kalinya Jeha bicara tidak dengan cara merengek, melainkan seolah memendam kesedihan yang membuat perasaan raja sangat tidak nyaman. Dia mengusap wajah menakjubkan pangerannya.
“Aku hanya selalu memikirkan keselamatanmu, pangeranku.” Ucap raja dengan menyesal. Dia tidak berharap perlindungannya justru menyakiti putranya.
“Tapi tiga ksatriaku sudah cukup untuk melindungi anak sekecil aku.”
Mendengar itu, raja tak bisa menahan senyumnya. Anak ini terlalu menggemaskan. Membuatnya selalu khawatir jika Jeha tanpa sengaja menarik masalah dan tak bisa mengatasinya.
Jika saja dia tahu kata-kata menyedihkan itu adalah trik meluluhkan hati yang baru dipelajarinya dari sebuah buku, mungkin raja akan menyesali kekhawatirannya yang sia-sia.
“Tidak ada anak kecil yang mengaku kecil.” Raja menepuk kepala pangeran dengan sayang.
“Tapi aku memang masih kecil.” Keluh Jeha.
“Baiklah, pangeran kecilku, kenapa kau tidak ikut mengunjungi permaisuri? Bukankah sudah lama kau tidak melakukannya?” Tawar Inggeh.
Mempertimbangkan raja sudah berbaik hati memberi ijin secara tidak langsung dirinya pergi ke ibukota, dia hanya bisa mengangguk.
“Ayahanda, terimakasih. Tolong jangan beritahu Ibunda, atau aku akan dikurung.”
Raja hanya tertawa. Dia tidak akan bisa tidak memberitahu selir Jin Ni. Wanita itu akan menghebohkan seantero istana jika tidak dapat menemukan pangeran Jeha sehari saja.
Hanya saja, mungkin raja akan memberitahunya saat Jeha sudah pergi. Itu mencegah selir Jin Ni menghentikannya dan membuatnya memasang raut kecewa yang menyedihkan.
Meski dia menyetujui keinginan Jeha untuk hanya membawa ksatria pribadinya, raja akan secara diam-diam memerintahkan beberapa ksatria bayangan miliknya untuk memastikan keselamatan pangeran nakal itu.
Ksatria bayangan adalah kelompok beranggotakan tiga puluh orang yang hanya memprioritaskan keselamatan raja Prada. Untuk beberapa kasus, tentu saja ksatria bayangan bisa diperintahkan melindungi anggota kerajaan. Selama itu tidak mengendurkan keamanan raja.
Saat mereka sampai di Awanta, istana dimana permaisuri dan putri Calya tinggal, kepala dayang permaisuri menyambut mereka dan membawa ke ruangan dimana permaisuri berada.
Permaisuri adalah wanita anggun yang menyukai lukisan. Tidak hanya menyukai lukisan, tapi juga sangat pandai melukis. Karyanya tidak kalah jika dibandingkan dengan pelukis ternama kekaisaran Da Luo Yan. Bahkan selir Jin Ni selalu memujinya setiap melihat lukisan-lukisan karya permaisuri saat berkunjung.
Saat ini permaisuri sedang berada diruang favoritnya, dimana setiap karyanya ditata dan dipajang dengan cantik.
Dia menempatkan putri Calya disampingnya dan mengajari sekaligus mencontohkan cara memberi salam pada raja.
“Salam Baginda raja, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.” Ucapnya yang diikuti putri Calya dengan suara kekanakan yang menggemaskan.
“Semoga keberuntungan selalu menyertaimu juga permaisuri ku dan putri tercantikku.” Sahut raja lalu beralih ke kursi khusus dirinya diruangan itu dan membiarkan pangeran nakalnya bertatap muka langsung dengan permaisurinya.
Permaisuri adalah satu-satunya orang dimana Jeha tidak akan bertingkah nakal dihadapannya. Alasannya, auranya membuat Jeha merasa akan ditelan jika dia bertindak tidak masuk akal sedikit saja.
“Salam yang mulia permaisuri dan putri Calya, semoga keberuntungan selalu menyertai kalian.” Ucap Jeha dengan gugup.
“Semoga keberuntungan selalu menyertaimu juga pangeran Jeha. Lain kali, Putri Calya lah yang seharusnya memulai salam padamu.” Tegur permaisuri.
Prada adalah kerajaan yang menegaskan perhormatan bagi yang lebih tua. Hierarki ini jelas namun tidak kejam. Yang lebih tua selalu memiliki kesempatan untuk memanjakan yang lebih muda.
Lagi-lagi dengan gugup Jeha mengiyakan ucapan permaisuri.
Tingkahnya itu membuat raja ingin tertawa. Dia tidak pernah tahu kenapa pangeran nakal ini begitu takut pada permaisuri. Padahal tidak sekalipun permaisuri bersikap kasar pada siapapun. Bahkan selir Jin Ni memiliki hubungan yang akrab dengan permaisuri.
Keluarga mereka hanyalah keluarga kecil jika dibanding kekaisaran Xu atau Da Luo Yan. Jadi tidak ada persaingan atau permusuhan yang terjadi.
Setelah Putri Calya dengan manis memberi salam pada pangeran Jeha, raja meraihnya dan menciumnya dengan gemas.
Sementara itu Jeha hanya duduk tenang, sebenarnya tegang. Dia melirik sekitarnya mengamati setiap lukisan dengan diam-diam.
“Ku dengar guru seni lukis pangeran mengatakan bahwa pangeran mengalami kemajuan?”
Ucapan permaisuri yang tiba-tiba membuat Jeha tersentak dan hampir terjungkal dari kursi. Mengabaikan raja dan putri Calya yang menertawakannya, Jeha dengan kaku memperbaiki posisi duduknya.
“Kenapa pangeran begitu terkejut?”
Permaisuri memerintahkan dayang membawakan kertas dan kuas. Lalu menempatkannya didepan Jeha.
“Tidak, hanya berpikir bagaimana yang mulia permaisuri mengetahui hal itu?”
“Aku mengetahui beberapa hal, terutama jika nyonya Astami selalu mengeluhkan putranya.”
Sementara Jeha merutuki ibunya didalam hati, Baginda raja yang sedang bermain dengan putri Calya menahan tawa.
“Tolong jangan dengarkan ibunda. Dia hanya memiliki terlalu banyak keluhan. Padahal jelas guru seni lukis ku mengatakan pekerjaanku lebih baik.” Ucap Jeha berusaha meyakinkan dengan hati-hati.
“Maka mulailah melukis dan biarkan aku menilai.”
Permaisuri menunjuk ke arah kertas dan kuas didekat Jeha.
Menatap permaisuri, semangat juang Jeha menyala. Dia akan membuktikan jika ucapan ibunya terlalu berlebihan. Bahkan kakaknya mengatakan pekerjaannya lebih baik. Maka seharusnya itu bukan masalah.
*********
[Chapter 4: Festival Prada]
Istana kerajaan Prada dan ibukota kerajaan prada tidak terletak di satu tempat. Itu hanya berdekatan. Sementara istana terletak dipuncak bukit, ibukota terletak di kaki bukit tepat didepan istana.
Ketinggian bukit hanya berkisar dua ratus meter dengan kemiringan sekitar enam puluh lima derajat. Kondisi ini membuat istana sebagai satu-satunya bangunan diatas bukit.
Untuk mencapai ibu kota, mereka harus melewati jalan yang melingkari bukit. Itu dibuat agar menurunkan tingkat kecuraman dan lebih aman.
Sebenarnya ada lift khusus yang berada didalam gua dan bisa langsung mengangkut sampai ke halaman depan istana. Lift itu ada dua, satu pengangkut barang dan satu pengangkut manusia. Ini hanya untuk keadaan dan orang-orang tertentu.
Lalu ada tembok setinggi lima meter yang mengelilingi keseluruhan kaki bukit. Itu hanya memiliki satu pintu utama di bagian depan dan satu pintu kecil dibagian belakang bukit.
Meski begitu, penjagaan dikedua pintu sama ketatnya.
Gerbang depan memiliki pos pemeriksaan bagi siapapun yang masuk atau keluar. Tentu saja mereka akan mengenali orang-orang penting kerajaan Prada hingga tidak akan menyulitkan.
Setelah keluar dari gerbang depan, maka akan ada dataran seluas hampir lima puluh hektar. Dengan sedikit pohon dan sepenuhnya berisi rumput, ilalang, dan bebungaan.
Jeha dengan lesu menunggangi kuda manisnya yang berwarna cokelat terang dengan bintik-bintik putih. Dia menamainya Joan. Karna ini, ibunya sering mengejek jika nama kudanya lebih bagus dari namanya. Sangat jahat.
Bicara tentang lesu, itu karena kemarin dia mendapatkan ceramah dari dewi lukisan, permaisuri. Dengan lugas wanita terhormat itu menyebut lukisannya sebagai monster. Membuat hati Jeha terhempas ke bumi.
Dia sangat menyarankan Jeha untuk mengalihkan fokus pada hal lain yang lebih mudah dilakukan dan lebih cepat membuat kemajuan. Sangat diutamakan hal-hal yang disukai Jeha.
Jeha sendiri tidak mengerti kenapa dia disarankan seperti itu, dia yakin dia menyukai seni lukis. Jadi bukankah itu berarti sebaiknya dia terus melakukannya? Ah, Jeha juga menyukai menulis kaligrafi, membaca, berkuda, berlatih pedang, memanah dan banyak hal lainnya.
Hahhh. Pada akhirnya dia menyukai semuanya.
“Pangeran, tolong lebih fokus.” Tegur salah satu ksatrianya yang berkuda dengan waspada disisinya.
Jeha melambai-lambaikan tangannya. Ksatrianya yang satu ini sangat cerewet. Lebih cerewet dari dua lainnya. Sebentar-sebentar bilang tolong fokus, hati-hati, perlahan saja, dan semacamnya. Terkadang itu membuat Jeha bingung, dia ini ksatria atau pengasuh?
Setelah memasuki ibu kota, Jeha turun dari kudanya. Meletakkan kudanya ditempat penitipan. Festival membuat kota akan penuh sesak, berjalan-jalan menggunakan kuda sangat tidak praktis.
“Joan, berprilaku baik dan tunggu aku kembali, oke. Kau tidak diijinkan menjadi nakal.”
Jeha menepuk-nepuk lembut kepala kudanya, lalu menyisiri rambut kuda itu dengan jemarinya sebelum pergi bergabung dengan kerumunan.
Saat ini Jeha mengenakan pakaian yang lebih sederhana. Dia terlihat seperti anak bangsawan pada umumnya. Tiga ksatrianya benar-benar waspada dan berjaga di kedua sisi dan belakangnya.
Selain menjaga serangan menyelinap, mereka juga menjaga agar Jeha tidak terlalu terdesak dan terhimpit.
Tidak menyadari kerja keras ksatrianya, Jeha dengan antusias menatap lampion yang digantung dengan tatanan cantik, pita-pita yang berkibar, tenda-tenda penjual makanan dan segala jenis barang.
“Seharusnya aku menyeret kakak ke sini. Apa asiknya menikmati festival dari istana yang tinggi itu? Huh, kakak benar-benar sama seperti ayah. Tidak punya rasa keindahan.” Gerutu Jeha.
Tiga pangeran disekitarnya hanya bisa meluruskan mulut demi menjaga agar tidak secara spontan menjawab. Pangeran Aris jelas lebih sibuk dan memiliki banyak tanggung jawab. Dan lagi, sisi mana dari pangeran Aris yang tidak memiliki rasa keindahan dibanding pangeran Jeha?
Jeha merasakan kepadatan orang semakin menjadi-jadi. Festival di Prada memang selalu memiliki daya tarik kuat untuk orang-orang dari luar. Ibu kota akan memiliki panggung utama dimana tarian dari wanita-wanita berbakat akan diadakan sepanjang malam. Pertunjukan musik, keterampilan seni lukis, bela diri dengan gerakan indah, bahkan drama akan ditampilkan satu persatu.
Pada puncaknya, akan ada kembang api dan lelang hasil panen tahun ini. Meski dikatakan lelang hasil panen, kenyataannya yang dilakukan hanya memilih yang terbaik lalu mengemasnya dalam beberapa bagian dan melelangnya. Ini adalah simbol rasa syukur, karna hasil lelang akan digunakan untuk rumah yatim piatu yang tersebar di kota.
Daya tarik lelang sebenarnya terletak pada para wanita cantik yang memegang kemasan, mereka akan secara otomatis menemani pemenang lelang barang ditangan masing-masing dimalam berikutnya. Memberikan tarian indah dan permainan musik yang menakjubkan sebagai tawaran.
Kali ini, Jeha tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Tahun-tahun yang lama, pengawalan ketat dan umur membuatnya tidak bisa mengikuti lelang. Kali ini dia yang sudah besar dan tanpa pengawalan ketat tentu saja akan ikut, dia sudah membongkar tabungannya untuk ini. Benar-benar tidak boleh ketinggalan.
Setelah berjalan ke sana sini tanpa henti, akhirnya Jeha kelelahan. Satu ksatrianya membawa banyak kantong berisi souvenir khas festival Prada, satu ksatria lainnya membawa kotak-kotak makanan dan satu ksatria yang tersisa membawa Jeha yang dengan lesu menyangkutkan diri padanya. Kakinya terasa membengkak dan seperti akan patah.
Tiga ksatrianya hanya bisa menghela nafas dan mencari tempat yang sedikit lapang untuk membiarkan pangeran mereka beristirahat.
Dua orang pria yang berdiri didepan kios minuman menatap empat orang yang menjauh itu. Satu dari mereka tersenyum sembari menjauhkan gelas dari bibirnya.
“Dia terlihat manis.” Komentar Yan Tian Ye.
Meski Jeha sudah memakai pakaian untuk anak-anak bangsawan biasa, kecantikannya dan daya tariknya sama sekali tidak pudar. Itu masih terlalu mencolok dibandingkan nona muda dan tuan muda dengan berbagai perhiasan dan pakaian mewah.
Tian Ye sudah memperhatikannya diam-diam sejak pertama kali melihat Jeha yang membeli pernak-pernik dengan semangat. Seperti tuan muda yang biasanya terkurung dan akhirnya miliki kebebasan. Benar-benar mengambil semua yang dilihat.
“Hm. Tapi lain kali, kau harus meminta yang mulia kaisar agar membuat Prada memberlakukan perawatan yang tepat untuk orang-orang khusus.”
Prada membuka akses seluas-luasnya untuk wisatawan luar saat festival yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Namun mereka tidak memberikan pelayanan khusus, membiarkan siapapun melepaskan tandu mewah dan kereta mewah mereka di pintu masuk dan membaur sebagai pejalan kaki. Tidak peduli apapun statusnya.
Karna pada dasarnya Prada tidak pernah memberikan undangan resmi pada siapapun.
Seandainya ada yang menginginkan undangan itu, Prada akan lebih merasa nyaman mengundang beberapa penari dan pedagang terbaik ke istana sebagai gantinya. Itu akan menjamin keselamatan bagi tamunya.
Karnanya, jika para wisatawan menginginkan perawatan khusus raja, mereka akan berakhir merayakan festival di istana yang membosankan.
Hanya beberapa kali orang-orang pernah melihat perawatan khusus Prada saat festival. Itu untuk kedua pangerannya yang saat itu masih dibawah umur. Tentu saja mereka tidak bisa melihat secara jelas dua pangeran itu karna pembersihan. Sangat disayangkan.
Namun beberapa tahu belakangan ini, tidak pernah lagi pangeran atau keluarga kerajaan turun dan membuat pemandangan canggung seperti itu.
“Entahlah. Kerajaan Prada terlalu dimanjakan oleh yang mulia kaisar.” Gumam Tian Ye. Di dalam hati dia berpikir mungkin sama dimanjakannya dengan tuan muda yang sampai digendong itu.
Tian Ye dan temannya berjalan santai mengikuti Jeha yang duduk di sebuah undakan tangga rumah penduduk. Tangannya memegang minuman hangat dan menyesapnya sedikit demi sedikit. Malam di musim gugur cukup dingin untuk membuat Jeha bergetar.
“Pangeran, lebih baik kita kembali ke penginapan.” Bujuk salah satu ksatrianya.
“Tidak bisa begitu. Aku harus ikut lelang. Bagaimana bisa aku melewatkannya?” Komentar Jeha sambil cemberut.
Wajah merah karena kedinginan, mata besar yang penuh keluhan, dan bibir merah yang cemberut. Itu tak lepas dari perhatian Tian Ye. Dia tidak tahu jenis keluhan apa yang bocah lelaki itu ucapkan pada orang-orang yang seperti pelayannya. Hanya jelas bahwa mereka sedang berusaha membujuk dan membuat bocah itu semakin kesal.
“Tatapanmu bisa melubangi wajahnya. Meski dia memiliki kecantikan yang menarik, dia terlihat masih bayi. Jadi berhentilah melihatnya seperti penjahat mesum.” Gerutu Qian Tong yang hanya ditanggapi dengan tawa ringan oleh Tian Ye.
Sementara disisi lain, pengawalnya yang menyerah membuat senyum Jeha melebar, menampakkan deretan gigi putihnya yang mungil, wajahnya terlihat puas dan riang.
“Qian Tong, selidiki dia. Namanya, usianya, keluarganya, semuanya.” Mata Tian Ye menyipit. Menurutnya, jika wajah itu terekspos di kalangan bangsawan kekaisaran, maka akan membuat kegemparan. Bukan tidak mungkin akan ada perselisihan karnanya. Kecantikan benar-benar bisa mengguncang negri.
Jeha yang di amati dengan intens sama sekali tidak memiliki kesadaran. Sementara tiga pengawalnya berkali-kali tegang dan waspada. Tempat ini terlalu ramai. Mereka sulit menentukan darimana ancaman ini berasal. Bujukan agar Jeha kembali ke penginapan sama sekali tak digubris. Sepertinya mereka harus meregangkan otot lebih lagi, agar selalu siap dengan kemungkinan apapun yang bisa terjadi.
Setelah satu pengamat, masih ada pengamat lainnya. Dengan pakaian ketat serba hitam, sabuk kulit berukiran emas dan rambut terikat rapi menyerupai ekor kuda, dia berdiri dibalik jendela dengan pola ukiran. Mengamati Jeha dan Tian Ye dalam diam.
Jika di perhatikan maka akan terlihat Jika dia lebih lama mengamati Jeha dari pada Tian Ye. Berkali-kali pupilnya berkontraksi melihat bocah itu.
“Ayo! Lelang akan segera dimulai. Kita harus mengambil tempat dibagian depan.” Ucap Jeha penuh semangat. Sepertinya dia telah melupakan rasa sakitnya.
Tiga ksatrianya saling lirik dan semakin waspada. Insting mereka benar-benar buruk. Sementara satunya diam-diam mencari diantara kerumunan, yang lainnya berusaha memastikan Jeha tetap dalam jangkauan mereka.
Meski sudah berusaha, pada akhirnya Jeha masih tidak bisa mendesak mendekati panggung dan mendapatkan tempat duduk. Karna terlalu banyak orang, tempat duduk yang tersedia tidak mencukupi dan petugas keamanan mengatur mereka yang berdiri menjadi tiga bagian panjang. Tidak ada barisan, itu hanya tiga kerumunan yang memanjang dari baris akhir tempat duduk.
“Ini tidak adil. Kenapa aku begitu pendek?” Keluh Jeha. Dia berjarak lima orang dari kursi terakhir.
“Anda akan tumbuh tinggi dalam beberapa tahun.” Hibur salah satu ksatrianya.
“Kenapa itu datang dalam beberapa tahun sedangkan aku butuhnya saat ini. Bagaimana kalau aku mengangkat tanganku dan mereka tidak bisa melihat?”
Orang-orang yang mendengar itu tak bisa menahan senyum. Begitu juga Tian Ye yang berada dibelakangnya dengan dua orang asing diantara mereka.
Tiba-tiba gumaman memudar saat seorang pemandu acara menaiki panggung besar yang memiliki lima puluh wanita dengan kemasan besar hasil panen ditangan mereka.
************
[Chapter 5: Yang tercantik]
Setelah lima puluh gadis cantik berbaris, tiga puluh lima lainnya masuk kembali. Mereka terbagi menjadi tiga kali pelelangan untuk tiga malam. Meski begitu, tentu saja kelima puluhnya akan ditampilkan setiap malam demi menarik minat pengunjung.
Seperti pengunjung yang satu ini. Wajah bayinya tak menghalanginya memberi komentar-komentar ambigu ditelinga pendengarnya.
“Ah bagaimana ini bisa terjadi? Yang tercantik memegang barang lelang nomor empat puluh dua. Ini penipuan! Kenapa aku harus menunggu malam terakhir untuk memenangkannya?”
Gerutuan Jeha tidak hanya terdengar aneh ditelinga orang-orang disekitarnya tapi juga aneh ditelinga ksatrianya. Meski sudah mulai diperkenalkan dengan lawan jenis sejak tiga tahun lalu, tapi pangeran mereka jelas masih kecil untuk mengatakan hal-hal seperti ini.
“Anda bisa memilih yang manapun tanpa harus menunggu malam ke tiga. Ibunda Anda tidak akan senang melihat anda terlalu lama berada diluar.”
Karna mereka tanpa pengawalan khusus dan ketat, para ksatria itu diperintahkan tidak menyebutkan apapun yang berhubungan dengan istana demi keamanan pangeran Jeha.
“Hmmp. Aku hanya mau yang tercantik.” Dengus Jeha.
Dia bersidekap, jelas tidak tertarik mengangkat tangannya saat pembawa acara mulai penawaran untuk nomor lelang pertama.
“Baiklah, anda bisa memilih yang tercantik dari lima belas gadis didepan.”
Mendengar bujukan itu, Jeha menoleh, menatap ksatria disebelah kirinya dengan serius. Dari ketiganya, yang satu ini sepertinya yang paling banyak bicara.
“Mmm apa kau pemimpin dari kalian bertiga?”
Pertanyaan Jeha tentu saja membuat ketiga ksatria itu tercengang. Mereka adalah ksatria pangeran. Tidak ada atasan dan bawahan. Memiliki posisi setara. Bagaimana bisa pangeran tidak tahu pengaturan ini padahal mereka sudah menjaganya sejak pangeran berusia delapan tahun?
Sesungguhnya, usia sepuluh tahun adalah saat bagi pangeran bisa memilih ksatrianya sendiri. Itu adalah usia dimana kerajaan Prada memberi kebebasan keluar dari istana untuk beberapa waktu.
Hal ini juga berkaitan dengan pengenalan terhadap lawan jenis. Tidak semata-mata karena seorang pangeran, maka para putri bangsawanlah yang harus selalu mengunjungi istana. Ada waktu-waktu disaat para pangeranlah yang akan keluar dari istana untuk mengunjungi mereka.
Berbeda dengan pengawal khusus yang biasanya berhenti dan menunggu diluar, ksatria selalu mengikuti kemanapun pangeran pergi. Bahkan jika itu ke kamar mandi. Jadi perlindungan mereka lebih baik dibanding pengawal khusus.
Berbicara tentang usia, Jeha mendapatkan lebih cepat dari seharusnya karna selir Jin Ni menuntut keamanannya setelah insiden pangeran terluka. Hal ini sungguh memaksimalkan kemampuan bergerak cepat tiga ksatria itu karna Jeha terlalu sering hampir terjatuh.
Yah setidaknya kemampuan itu sangat bermanfaat.
“Kenapa Anda menanyakan hal itu?”
“Karna kau yang paling banyak bicara. Jadi aku pikir kau pemimpinnya. Bicara tentang itu, siapa namamu?”
Bukan hanya jawabannya, bahkan pertanyaan Jeha membuat tiga ksatria itu merapatkan bibirnya. Lima tahun bersama bagai kembar siam bahkan tidak bisa membuat pangeran Jeha mengingat namanya, atau mungkin nama mereka.
Yang dikatakan paling banyak bicara itu hanya karna dia yang paling pandai bicara diantara ketiganya, maka dia yang berinisiatif. Bukan karna dia pemimpin atau semacamnya!
Ksatria khusus seperti mereka tidak dilatih kecuali untuk memastikan keselamatan tuannya. Jadi kemampuan berkomunikasi dan menghibur anak-anak adalah nyaris nol.
Lalu selain saat perkenalan, jelas mereka nyaris selalu memanggil nama satu sama lain saat berkomunikasi. Itu terjadi disekitar pangeran Jeha, jadi bagaimana mungkin pangeran ini masih tidak mengetahui nama mereka? Betapa tidak perhatian.
Jika Jeha mengetahui pikiran mereka, maka dia akan dengan cepat membantah, para ksatrianya bisa dikatakan jarang berkomunikasi selain untuk hal-hal yang perlu. Dan dari hal-hal yang perlu, berapa banyak kalimat yang membutuhkan menyebutkan nama?
Sangat jarang. Tentu saja Jeha tidak akan ingat!
Lagipula, saat perkenalan dia masih kecil dan cemas karna hukuman yang dijatuhkan ibunya pada dayangnya. Dimana dia memiliki waktu untuk mendengarkan nama ksatrianya!
“Nama saya Hastu.” Ucap ksatria disebelah kiri Jeha. “Lalu dia Banu, dan dia Gana.” Lanjutnya dengan pahit.
“Baiklah, namaku Jeha.”
Mendengar nada riang pangeran yang mereka jaga, para ksatria itu tak bisa tidak meluruskan bibir mereka. Dimana ada perkenalan dilakukan setelah beberapa tahun bersama?
Pelecehan yang dilakukan pangeran ini pada mereka tidak semata-mata pada kemampuan mereka, tapi juga psikologis mereka. Sungguh pangeran yang mengerikan.
Sementara itu, Yan Tian Ye mengerutkan dahinya. Diantara kebisingan dia memusatkan pendengarannya pada percakapan bocah mungil yang dikuntitnya.
Saat mendengar nama yang disebutkannya, Yan Tian Ye merasa pernah mendengarnya. Tapi dia tidak yakin itu dimana. Yang pasti, jika dia pernah mendengarnya, maka sedikit banyak bocah itu memiliki orang-orang yang berhubungan dengan istana kekaisaran.
Jika benar, seharusnya bukan hal sulit untuk menemukannya lagi dimasa depan.
Sementara Jeha dan Yan Tian Ye sibuk masing-masing, pelelangan sudah mencapai nomor ke empat.
Jeha menatap ke depan dengan putus asa. Dia ingin yang nomor empat puluh dua. Itu terlihat imut dan menarik. Sangat baik untuk kakaknya.
Ya, Jeha ingin membuat kakaknya bersenang-senang untuk satu malam dengan gadis itu. Sebentar lagi sudah saatnya kakaknya itu melakukan perjodohan dan pernikahan. Jadi dia ingin kakaknya lebih banyak bergaul dengan para gadis. Bukan hanya yang dari kalangan bangsawan.
Bagi Jeha, gadis dari kalangan bangsawan itu semua prilakunya sama. Dia bahkan tidak bisa membedakan lima gadis yang diperkenalkan padanya sejak tiga tahun lalu.
Karna itulah, dia ingin kakaknya mengenal gadis menarik diluar lingkaran mereka. Dia pikir sifat gadis yang mengikuti lelang itu pasti lebih menarik daripada yang sering ditemui kakaknya.
Sayang sekali, besok pagi dia sudah harus kembali ke istana. Kesempatannya memberikan gadis menarik pada kakaknya hanyalah malam ini. Jadi dia hanya bisa menelan kekecewaan dan memilih satu dari yang tersisa didepan sana.
Memperhatikan satu persatu, dia menilai. Terlihat galak seperti ibunya, terlihat serius seperti permaisuri, terlihat ramah seperti kakaknya, terlihat baik hati seperti ayahnya, terlihat gugup…. Jeha merasa tidak ada yang lebih bagus dari nomor empat puluh dua.
Menghela nafas pasrah, Jeha memilih nomor sembilan yang memiliki wajah galak seperti ibunya. Tidak apa-apa kan jika dia ingin kakaknya yang baik hati sekali seumur hidup mendengarkan lagu dari gadis galak.
Setelah memutuskan, pada saat giliran nomor sembilan yang dilelangkan, Jeha dengan semangat mengangkat tangannya. Sayangnya, yang ditakutkannya benar-benar terjadi, bahkan lebih.
Bukan saja karna dirinya pendek hingga tidak terlihat, tapi juga terlalu banyak orang yang mengangkat tangannya hingga pembawa acara mengutamakan yang bisa dilihat.
Beberapa kali dia mengangkat tangannya hingga tawaran melonjak, dia masih tenggelam oleh banyak orang lain. Wajah Jeha merah padam karna kesal. Dengan ganas dia menoleh pada ksatrianya dan berkata, “Cepat angkat tanganmu! Aku harus mendapatkan yang ini! Angkat tangan! Angkat tangan!”
Gana tanpa daya mengangkat tangannya.
“Kalian juga, cepat! Cepat! Yang tinggi!”
Hastu dan Banu juga mengangkat tangan. Mereka mendesah dalam hati. Tidak tahu bagaimana menjelaskan pada pangeran mereka jika tidak akan berguna melakukan hal ini. Selama mereka memiliki uang, selalu akan ada kesempatan mendapatkan hal itu pada detik terakhir. Ini adalah lelang.
Hanya sesaat kemudian, Jeha segera tercengang. Tawaran melonjak hingga menghabiskan uang yang ada di kantongnya. Bagaimana bisa terjadi?
“…. ada penawar lagi?” Suara pembawa acara itu terdengar ceria.
Jeha yang mendengarnya langsung merengek, “Bagaimana bisa harganya bisa seperti itu?! Itu hanya sepaket kecil hasil panen! Sangat tidak masuk akal!”
Suaranya yang tidak besar namun tidak bisa dibilang kecil menyebar ke setiap telinga karna suasana sedang hening menunggu keputusan apakah akan ada yang menawar lagi atau tidak.
Kini semua mata menatap Jeha dengan berbagai macam pendapat. Saat mereka melihat itu hanya seorang bocah, mereka secara alami memaklumi. Tapi tentu saja ada beberapa orang yang lebih senang untuk merendahkan orang lain.
“Nak, sebaiknya kau ikut lelang jika sudah bisa mendapatkan uang sendiri.” Ejek orang yang menjadi penawar terakhir lalu dia tertawa bersama teman-teman disekitarnya.
Jeha cemberut, sementara tiga pengawalnya memelototi orang itu. Hanya saja yang dipelototi sama sekali tidak memperhatikan. Dia tersenyum senang melihat ekspresi Jeha.
Jeha bukan orang yang bisa berbohong dengan mudah. Jadi, meskipun dia ingin mengatakan memiliki uang, dia tidak bisa. Nyatanya uang yang dibawanya sudah habis setengahnya untuk membeli apapun yang dilihatnya sebelum mengikuti lelang.
Dia tidak menyangka hanya paket kecil hasil panen akan begitu mahal saat lelang. Jika dia tahu maka dia akan mengambil uang di kotak penyimpanan ibunya atau meminta lebih banyak dari kakaknya. Bukannya pergi hanya dengan sedikit uang yang dimilikinya dari pemberian ibunya saat dia akan mengunjungi putri bangsawan beberapa kali.
Tanpa disadari, diantara banyaknya mata yang memandang Jeha, ada beberapa pasang mata yang memiliki kilatan tersembunyi. Salah satunya berasal dari atas panggung.
Puas mempermalukan orang lain, pria penawar terakhir itu mengatakan pada pembawa acara agar memutuskan dirinya sebagai pemenang nomor sembilan.
“…. Baiklah, karna tidak ada yang menawar lagi, hasil panen nomor sembilan jatuh pada….”
“Tunggu.” Sebuah suara menginterupsi pembawa acara.
Yan Tian Ye tersenyum menawan saat pandangan semua orang jatuh padanya. Dia tidak tertarik pada gadis-gadis didepan sana. Namun bocah yang diperhatikannya tertarik.
Meski tak menyenangkan membiarkan Jeha bersama gadis itu, tapi itu bisa menjadi jalan baginya untuk berkenalan. Masalah lain selalu bisa diatasi setelahnya.
“Aku menawar lima puluh perak dan lima puluh tembaga.” Ucap Yan Tian Ye ringan.
Tawarannya lebih banyak lima puluh tembaga dibanding pria yang mengejek Jeha.
*************
[Chapter 6: Perkenalan]
Alat pembayaran yang sah terbagi menjadi tiga. Koin tembaga, perak dan emas. Satu koin emas bernilai seribu koin perak, dan satu koin perak bernilai seratus koin tembaga. Sebagai gambaran, satu koin tembaga bisa untuk membeli satu roti kukus sebesar telapak tangan.
“Baik. Lima puluh perak dan lima puluh tembaga dari tuan….”
“Qian Tong.” Ucap Yan Tian Ye.
Yang digunakan namanya mengerutkan kening. Meski namanya tidak seterkenal Yan Tian Ye, tapi tidak bisakah dia menggunakan nama lain?
“Lima puluh perak dan lima puluh tembaga dari tuan Qian Tong, ada yang menaikkan tawaran lagi?”
Pembawa acara itu jelas bersemangat melihat nilai yang melonjak tinggi. Lelang selalu menjanjikan harga berkali-kali lebih tinggi dari harga pasaran. Sungguh menyenangkan.
“Lima puluh satu perak.” Pria semula menggeretakkan giginya dengan marah menatap Yan Tian Ye.
“Lima puluh satu perak dari tuan Li Hong Fei.”
Pada akhirnya persaingan yang terjadi pada dua orang itu terus melonjak. Pembawa acara tentu dengan senang memandu mereka. Sementara Li Hong Fei selalu menggeretakkan giginya setiap kali akan mengajukan tawaran, Yan Tian Ye justru dengan ringan selalu membantingnya ke bawah.
Hanya sekejap saja harga hasil panen nomor sembilan melambung hingga tujuh puluh delapan koin perak dan lima puluh koin tembaga.
“Tujuh puluh delapan perak dan lima puluh tembaga dari tuan Qian Tong…..”
Li Hong Fei mendengus dengan wajah jelek. Harga ini sudah terlalu jauh. Sepertinya lawannya adalah orang yang bisa menabur koin dengan mudah. Dia tidak bisa lagi maju.
Setelah beberapa saat, akhirnya pembawa acara memutuskan nomor sembilan jatuh pada Yan Tian Ye. Tatapan sombong dari gadis pembawa paket tidak bisa disembunyikan. Dia adalah gadis pertama di malam pertama dengan nilai tawaran tertinggi. Bahkan celahnya hingga setengah dari gadis dengan penawaran tinggi sebelumnya.
“Eiii kelihatannya dia sangat kaya. Ketika sudah besar maka aku akan menjadi sepertinya.” Gumam Jeha sembari menoleh untuk menatap Yan Tian Ye.
Jeha tersentak ketika tatapannya bertemu dengan Yan Tian Ye. Sementara pria itu tersenyum, Jeha justru cepat-cepat berpaling. Itu hanya gerakan refleks karna malu ketahuan mengamati seseorang.
“Dia menatapku. Coba kau lihat, apakah dia masih menatapku?” Bisik Jeha pada Hastu.
“Tidak pangeran, dia menatap ke arah panggung.” Hastu kembali berbisik. Memastikan hanya mereka yang mendengar ucapannya.
Sebenarnya ketiganya mulai curiga. Orang itu hanya diam dan beberapa kali menatap pangeran mereka. Tersenyum lalu berbicara dengan orang disampingnya. Seharusnya itu bukan hal aneh, dikeramaian tak terhindarkan melihat dan mengomentari sesuatu. Hanya saja, orang itu terlihat tertarik pada pangeran mereka. Terlebih ketika dia melakukan penawaran tinggi pada nomor yang diinginkan pangeran Jeha.
Entah itu suatu kebetulan atau memang disengaja, yang pasti mereka benar-benar waspada dan mengawasi gerak-gerik orang yang sama sekali tidak menyembunyikan pandangannya itu.
Yan Tian Ye memang tidak menyembunyikan rasa tertariknya pada Jeha. Dia pikir akan bagus jika tiga pengawal bocah itu melihatnya. Setidaknya tidak akan menjadi hal aneh ketika dia mulai berinisiatif bicara dengan bocah itu.
Karna nomor sembilan sudah menjadi milik pria lain, Jeha hanya bisa menawar yang manapun yang bisa didapatkannya. Selain nomor empat puluh dua yang terlihat baik, dan nomor sembilan yang terlihat cukup galak, semua yang didepan sana baginya sama saja.
Tapi dia tetap ingin memberikan kakaknya malam menyenangkan. Jadi meski tidak mendapatkan yang bagus, dia tetap berkeras. Toh kakaknya tidak akan menikahi gadis ini. Hanya mendapatkan pengalaman satu malam bersenang-senang saja.
Berpikir begitu, Jeha mengangguk puas. Lalu karena sedikit mengerti cara bermain ditempat lelang, dia akhirnya mendapatkan nomor empat belas. Harganya hanya setengah dari nomor sembilan.
Setelah lelang berakhir, para pemenang lelang diundang memasuki sebuah ruang perjanjian. Itu untuk menyerahkan paket yang mereka menangkan, juga memperkenalkan gadis dan tuan yang memenangkan mereka agar malam selanjutnya berjalan dengan baik.
Jeha memasuki ruangan pada gilirannya. Setelah membayarkan jumlah yang disepakati dan berkenalan dengan gadis bernama Gu Liu yi, dia berniat pergi. Tapi seseorang masuk dan menghentikannya.
“Halo, namaku Yan Tian Ye. Bisakah kita berbicara?” Sapa Yan Tian Ye ramah. Dia bahkan memamerkan pesonanya demi membuat Jeha terkesan.
“Oh,….” Jeha refleks memutar kepalanya dan menatap Hastu. Lalu setengah berbisik, “Bolehkah?”
Meski nakal dan pembangkang, untuk urusan berkenalan dengan orang baru Jeha tidak memiliki penilaian. Ini adalah pertama kalinya. Biasanya selalu ada kakak juga ibunya sebagai perantara. Sekarang, dia hanya bisa meyakini pendapat ksatrianya.
Tiga ksatrianya menatap Yan Tian Ye yang masih tersenyum ramah. Sebenarnya cenderung geli. Bagaimana tuam muda didepannya meminta pendapat pada pengawalnya hanya untuk berkenalan?
Yakin tidak akan ada hal buruk terjadi di tempat ramai, Hasti mengangguk setelah sepakat demgan dua lainnya. Mereka tidak bisa begitu mencurigakan dengan membatasi Jeha.
Karna mendapat persetujuan Jeha pun tersenyum lebar. Menyenangkan untuk mendapatkan kenalan baru, ini adalah kenalan pertamanya tanpa pengaruh keluarganya. Tentu saja dia antusias.
“Halo juga. Aku Jeha. Kau tahu, kau hebat bisa membuat paman tua tadi kalah. Aku mengagumimu!” Ucap Jeha tanpa malu-malu.
Yan Tian Ye senang dengan antusias Jeha saat mereka berkenalan, tapi senyumnya kaku ketika mendengar sebutan ‘paman tua’ dari Jeha untuk pria tadi.
Li Hong Fei jelas sekitar seumuran dengan Qian Tong yang dua tahun lebih tua darinya, jadi bagaimana itu bisa menjadi paman tua di mata Jeha? Bagaimana dengan dirinya?
“Begitu, terima kasih Jeha.”
“Lalu, mau bicara apa tuan Yan Tian Ye…” Jeha berhenti sejenak karna merasa ada yang salah. Dia menatap Yan Tian Ye beberapa saat sebelum tersentak, “…ah namamu tadi bukan ini!”
Yan Tian Ye tertawa renyah melihat Jeha yang ekspresif. Itu menyenangkan mata.
“Tadi aku menggunakan nama temanku, Qian Tong.”
Jeha membulatkan mulutnya tanda mengerti saat Yang Tian Ye menunjuk pria dibelakangnya. Lalu kembali tersenyum lebar dan bertanya, “lalu tuan Yan Tian Ye ingin berbicara apa padaku?”
“Aku memiliki kondisi yang membutuhkan kesepakatan denganmu.”
“Hm?” Jeha memiringkan kepalanya menatap Yan Tian Ye dengan bingung.
Mata besar itu seperti permata yang berkilauan. Begitu memikat dan menggelitik hati Yan Tian Ye. Syukurlah dia memutuskan pergi ke festival ini, atau dia tidak akan menemukan makhluk secantik ini.
“Aku sebenarnya ingin menghadiahkan malam yang baik pada temanku, tapi dia tidak menyukai gadis nomor sembilan. Dia ternyata menyukai gadis milikmu, bagaimana jika kita bertukar?”
Yan Tian Ye mengemukakan alasannya dengan baik. Sementara Jeha terkejut. Ekspresinya itu terlihat sangat menggemaskan. Sebentar kemudian dia tertawa riang dan berkata, “ah kebetulan sekali. Aku juga ingin menghadiahkan malam yang baik untuk kakakku. Sayang sekali aku tidak bisa mendapatkan yang nomor sembilan. Jika seperti ini, maka seharusnya kita bertukar kan? Ayo bertukar!”
Kali ini giliran Yan Tian Ye yang cukup terkejut namun bisa mengatur ekspresinya dengan baik. Siapa yang tau jika ide dadakan dan tak berbobot dari Qian Tong sama dengan ide Jeha. Terlebih, ternyata bocah ini mengikuti lelang bukan karna menyukai gadis itu. Sungguh melegakan.
Karna seperti itu, kesepakatan dengan mudah mereka capai. Setelah mengurusnya ke meja panitia, mereka berpisah. Kini gadis Jeha dari Gu Liu Yi berubah menjadi He Chan Juan.
“Tiga pengawalnya sepertinya tidak mempercayaimu.” Ucap Qian Tong saat mereka berjalan menuju penginapan yang mereka sewa setelah berpisah dengan Jeha dan lainnya.
Yan Tian Ye tersenyum menatap jalanan dibawahnya yang masih ramai.
“Itu tidak masalah. Pendapat mereka tidak penting.”
Qian Tong berbalik saat mendengar ketukan pintu. Ketika dia membukanya, seorang prajurit menyerahkan gulungan padanya. Setelah Yan Tian Ye memintanya menyelidiki bocah itu, tentu saja dia langsung memberi perintah pada bawahannya.
Bagaimanapun Yan Tian Ye adalah pangeran ketiga kekaisaran Da Luo Yan. Keamanannya adalah yang terutama, jadi sebagai pengawal yang ditugaskan, Qian Tong tentu saja mengorganisir banyak prajurit dengan baik disekitar.
Qian Tong mengulurkan gulungan itu pada Yan Tian Ye setelah menutup pintu.
“Siapa yang menyangka Aris akan memiliki adik semanis itu. Benar-benar sulit dipercaya.” Kekeh Yan Tian Ye setelah membaca informasi didalam gulungan.
“Apanya yang sulit? Aris juga manis. Dia jelas disukai para orang tua.”
“Yah. Tapi aku sangat tidak menyukainya.”
“Itu karna pemalas sepertimu selalu dibandingkan dengan yang rajin sepertinya. Bersikap baiklah, jika kau menginginkan Jeha, bukankah Aris akan menjadi kakak iparmu? Atau kau hanya ingin bermain-main dengan Jeha?”
Qian Tong menggelengkan kepalanya. Jangankan berniat bermain-main dengan Jeha, bahkan saat Yan Tian Ye berniat serius pun akan sulit mendapatkan persetujuan Aris.
Pria lembut itu selalu terlihat mudah, namun kenyataannya dia selalu dengan pintar menjaga jarak aman. Mengingat Yan Tian Ye yang selalu memprovokasinya, bukan hal aneh Jika Aris tidak akan menyetujui hubungannya dengan Jeha. Untuk orang-orang yang mengenal Aris dengan baik, pria itu adalah pendendam sejati.
Dia pasti akan menggunakan kesempatan dengan baik untuk membuat Yan Tian Ye kesulitan. Prinsipnya adalah tidak menyukai yang tidak menyukainya.
“Aku semakin tidak menyukainya.” Gerutu Yan Tian Ye.
Jika bisa, dia harus membuat Jeha menyukainya sampai Aris bahkan tidak bisa meletakkan larangannya pada bocah itu.
Di tempat lain, beberapa orang mengamati Jeha dan tiga ksatrianya yang memasuki penginapan. Salah satu dari mereka adalah He Chan Juan, gadis cantik dengan paras tegas. Gadis yang memegang hasil panen nomor sembilan.
“Kirim orang untuk selaku mengawasinya. Kita akan bergerak saat mereka keluar dari ibukota.” Gumam He Chan Juan.
Ibukota Prada selalu memiliki petugas keamanan yang sangat baik. Dan jumlahnya meningkat disaat festival dilangsungkan seperti ini. Menghindari mereka akan menjadi pilihan yang bijak.
********************
[Chapter 7: Serangan]
Jeha butuh waktu hingga matahari setengah tinggi baru bisa beranjak dari tempat tidur. Karna dia bersikeras hanya pergi dengan tiga ksatrianya, maka tidak ada pelayan. Jadi dia hanya mencuci wajahnya lalu berganti pakaian.
Gana sudah memesankan makanan. Mereka menolak keinginan Jeha agar makan di restoran yang berada dibawah penginapan ini. Tadi malam dia memeriksa situasi dan menemukan beberapa orang yang jelas mengawasi pergerakan mereka.
Menyelesaikan sarapan dan bergegas pergi akan lebih baik. Istana tidak jauh, tapi juga tidak terlalu dekat. Jika bisa, mereka harus menyiapkan rencana untuk hal-hal tak terduga.
Meski bersungut-sungut dan tak berhenti mengeluh, Jeha masih menuruti mereka. Setelah sarapan yang terlambat, mereka membawa Jeha ke tempat penitipan kuda.
“Joan, aku merindukanmu!” Jeha memeluk kepala kudanya.
Dengan riang dia mengeluarkan hiasan yang diletakkan dikepala Joan seperti mahkota. Itu cantik dan mengeluarkan bunyi gemerincing setiap kali Joan bergerak.
“Ya ampun. Betapa cantiknya. Lebih cantik dari Putri Ambar.” Jeha tertawa.
Sementara dibelakangnya tiga ksatrianya mengeluh. Bagaimana kuda bisa menjadi lebih cantik daripada putri jenderal tingkat dua Prada? Lagipula Joan adalah kuda jantan. Sama sekali tidak layak untuk sebutan cantik.
“Uuh seharusnya aku berada disini hingga akhir.” Keluh Jeha.
Matanya menatap keramaian yang mulai terbentuk. Festival hanya akan semakin dan semakin ramai hingga malam terakhir. Terutama pertunjukan kembang api di malam terakhir setelah lelang. Benar-benar disesalkan dirinya justru harus pulang.
“Jeha.”
Panggilan itu membuat mereka menoleh. Yan Tian Ye bersama Qian Tong berjalan mendekat. Yang menarik perhatian Jeha tentu saja Yan Tian Ye yang ramah. Sedangkan Qian Tong yang nyaris tidak mengatakan apapun tidak terdeteksi oleh Jeha.
“Tuan Yan Tian Ye, apa kau akan pulang juga? Ah benar. Kau tidak bisa berasal dari Prada, jadi darimana kau berasal?” Tanya Jeha.
Yan Tian Ye senang melihat nada antusias Jeha. Membuatnya berpikir jika bocah itu senang bertemu dengannya. Informasi yang tercatat tentang pangeran ini tidak terlalu banyak. Berbeda dengan pangeran Aris yang populer, kebanyakan orang hanya tahu Jeha adalah pangeran yang anggun.
Jadi, sepertinya itu sedikit tidak tepat.
“Aku berasal dari Dong jia…”
Yan Tian Ye sengaja menyeret ucapannya saat melihat mata Jeha berkilauan. Bocah itu seperti sengaja mengumpulkan seluruh bintang dan meletakkannya dimatanya. Sangat menyilaukan.
“Bukankah itu ibu kota kekaisaran? Aku belum pernah ke sana. Tuan Yan Tian Ye, kau harus memanduku berkeliling saat aku berkunjung ke sana suatu hari nanti!”
“Tentu. Tapi… bisakah kau hanya memanggil namaku saja?”
Panggilan tuan membuatnya tidak nyaman dan tidak akrab. Yang seperti ini harus dihilangkan terlebih dahulu.
“Mmm? Baiklah.” meski awalnya bingung, pada akhirnya Jeha bisa menerima pengaturan itu dengan mudah.
Meski untuk peraturan istana hal seperti itu tidak sopan, tapi karna pemilik nama yang meminta, Jeha sama sekali tidak perlu mempertimbangkan peraturan. Dia cukup suka melanggar hal-hal kecil.
“Tuan, kita harus segera kembali.” Hastu menyela dengan sopan.
“Ah ya. Sampai jumpa Yan Tian Ye.”
Jeha melambai-lambaikan tangannya. Lalu dia menaiki Joan dengan dibantu Banu. Sekali lagi Jeha melambaikan tangannya dan tersenyum lebar sebelum menghentak kudanya agar jalan.
Yan Tian Ye menoleh saat hanya ada debu berterbangan yang terlihat. Istana itu bahkan terlihat mencolok dari sini, tapi pasti akan butuh waktu untuk ke sana. Diantara Da Luo Yan, istana Prada adalah yang paling merepotkan sekaligus rentan karna didirikan diatas bukit.
“Dia sangat manis. Bagaimana dengan perburuan rutin bulan depan?”
“Kau ingin mengundangnya?”
“Ya, daripada Aris, ku pikir lebih baik dia yang datang.”
Yan Tian Ye tertawa sementara Qian Tong cemberut. Orang ini sepertinya akan mulai berusaha menggantikan hal-hal yang dilakukan Aris di acara kekaisaran dengan Jeha.
Qian Tong menoleh ke arah Jeha dan rombongannya pergi. Bagaimanapun dia masih terlalu kecil. Tidak akan menjadi sepintar Aris. Bahkan kepribadian mereka jelas berbeda.
Aris adalah seorang yang tenang dan cenderung tidak akan mengekspos apapun. Sementara Jeha, terlalu ceria dan ramah. Memiliki kecenderungan besar mengekspos banyak hal.
Yang disebut tidak akan sepintar Aris itu sedang menegakkan punggungnya dan memacu Joan dengan kecepatan tinggi. Membuat tiga ksatrianya tegang.
Tidak jauh setelah mereka meninggalkan gerbang ibu kota, Jeha melihat rombongan yang kelihatannya bertengkar. Ada gerbong kereta yang melintang menghalangi jalan.
“Joan Joan berhenti!”
Jeha menarik tali kekang sekuat tenaga. Membuat kuda itu mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi hingga tubuh Jeha terlempar.
Hastu yang berada paling dekat dengan Jeha melompat dan menangkap tubuh pangeran itu. Mereka berguling satu kali sebelum Hastu menstabilkan posisinya.
“Pangeran, apakah anda terluka?”
Gana dan Banu segera turun dan membantu Jeha berdiri. Mereka cemas memeriksa ada luka atau tidak ditubuh Jeha.
Sedangkan Jeha menatap Hastu takjub. Biasanya para ksatrianya hanya menangkapnya saat dia tersandung kakinya sendiri atau tersandung batu. Kali ini bahkan bisa melompat dan menyelamatkannya yang terjatuh dari kuda.
“Kau keren!” Puji Jeha dengan sangat tulus. Dia bahkan mengacungkan dua jempolnya.
Sayangnya para ksatrianya sama sekali tidak menginginkan pujian pangeran mereka.
“Pangeran, lain kali kita akan menggunakan kereta. Sama sekali tidak boleh menunggangi Joan.” Ucap Hastu. Membiarkan Jeha menunggang Joan terlalu berbahaya.
“Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu?! Aku akan mengadukanmu pada kakak!” Protes Jeha.
Sebelum Hastu menyahuti, Gana sudah menyela, “Hastu, ini bukan waktunya berdebat.”
Mereka saat ini sudah dikelilingi beberapa orang. Dari penampilannya seperti perampok jalanan dengan cambang bauk lebat yang membuat Jeha menggigil. Dia sangat tidak menyukai wajah yang semak seperti itu. Terlihat menyeramkan dan galak.
Jeha tidak akan memikirkan apapun selain penampilan mereka, tapi tiga ksatrianya tahu jika ini sudah direncanakan. Berpura-pura bertengkar adalah niat untuk menghentikan mereka. Dan itu semakin mudah saat Jeha terjatuh dari kudanya. Mereka hanya perlu langsung menyerang tanpa basa-basi.
Jika seperti ini, apa tujuan mereka? Uang? Atau yang lain?
Tidak ada kata yang sempat terlontar lagi karna serangan segera dilakukan. Dengan pemahaman diam-diam, Gana yang paling dekat dengan Jeha memastikan pangeran mereka sama sekali tidak lepas dari jangkauan. Sementara Banu dan Hastu mencoba membuka jalan lari mereka.
He Chan Juan yang mengamati dari sudut lain mengernyitkan dahinya melihat yang terdesak justru orang-orangnya. Setelah tiga orang tumbang, He Chan Juan menjadi tidak sabar.
“Chen Ge, bawa orang-orangmu. Ambil bocah itu segera.”
He Chan Juan selalu mengerjakan sesuatu dengan cepat. Dia sangat tidak sabaran dengan hal berlarut-larut seperti ini. Dia terlalu paranoia rencananya akan gagal, maka semakin cepat selesai semakin baik.
“Baik.”
Pria yang dipanggil Chen Ge itu mengangkat tangannya, membiarkan sepuluh orang lagi turun bersamanya untuk membantu.
Pengawal bocah itu sepertinya bukan orang sembarangan karna bisa mendesak sepuluh orang. Tapi jika ditambahkan sepuluh orang lagi, tidak akan ada kesempatan untuk lari.
Tiga ksatria Jeha menggeretakkan giginya mendapati bantuan bagi penyerang mereka datang. Hastu dan Gana membabi buta membuka jalan. Meski begitu, mereka kalah jumlah. Setiap orang akan sibuk, jadi mereka menjebak Jeha diantara ketiganya.
Keributan ini membuat kuda mereka berlari menjauh. Tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk membuat jalan keluar bagi Jeha.
Istana tidak jauh. Ini hanyalah dataran luas dengan sedikit pepohonan. Seharusnya, ada salah satu penjaga gerbang yang melihat keributan.
Sayangnya mereka lupa, jika mereka berada tepat di cabang antara arah istana dan kota lain. Sama sekali tidak akan ada yang berpikir jika mereka berhubungan dengan istana.
Meski begitu, keributan seharusnya tetap menarik perhatian dari penjaga gerbang istana jika melihat. Tapi dengan jarak lebih dari empat puluh hektar, itu hanya bisa menjadi harapan yang mewah.
Wajah Jeha pucat, keringatnya tidak lebih sedikit dari tiga ksatrinya. Ini kah yang ditakutkan ayahnya? Apa setelah ini dia akan dibunuh?
Matanya berkedip menatap tiga ksatrianya. Mereka jelas terdesak. Dan ini karna kekeraskepalaannya. Rasa bersalah itu menjalar di jantungnya dan meremas hingga terasa menyakitkan.
Dengan kelompok pertama perampok itu datang, tiga orang sudah kewalahan. Dan Jeha bisa melihat kerumunan orang dengan pakaian serupa datang lagi dari sebuah sudut.
Sementara di kanannya adalah lahan luas arah ke istana, dikirinya adalah arah ke kota lain yang memiliki pepohonan lebih banyak. Cocok dijadikan persembunyian untuk menyergap.
Jeha tidak merasa mahir bermain pedang. Tapi dia yakin dia bisa. Hanya saja, dia pikir dirinya tak akan sanggup menusukkan benda tajam itu ke perut seseorang seperti yang dilakukan ksatrianya.
Jeha berdiri kaku dalam perlindungan tiga orang itu, tangannya bergetar hebat. Dia tidak bisa berpikir apa yang akan dilakukannya.
Selama keragu-raguannya itu, satu persatu ksatrianya jelas mulai kehabisan tenaga dan jatuh. Ini lebih dari setengah jam mereka bertengkar. Bukan latihan, melainkan pertengkaran sesungguhnya yang membahayakan nyawa.
Hanya bertarung akan baik-baik saja. Tapi bertarung sambil melindungi seseorang itu membutuhkan kerja keras.
Disisi lain, He Chan Juan bisa sedikit menghela nafas lega. Akhirnya ada tanda-tanda kemenangan di pihaknya. Ini sudah terlalu lama. Bagaimana bisa butuh banyak orang dan waktu hanya untuk melumpuhkan tiga orang?
“Berhenti!”
*************
[Chapter 8: Bantuan]
Jeritan Jeha dengan suara bergetar saat seorang perampok akan menusukkan pedangnya pada Hastu yang sudah dijatuhkan entah bagaimana bisa membuat pertengkaran mereka semua berhenti. Jeha menarik nafas panjang.
“Apa yang kalian inginkan?” Tanyanya dengan suara bergetar.
Ini adalah pertama kalinya Jeha mengerti jika kehidupan diluar istana begitu bahaya. Hanya sebentar dia berada diluar perlindungan ayahnya dan dia langsung terjebak dalam situasi seperti ini. Semuanya nyata. Luka nyata, darah nyata dan pembunuhan nyata.
Terbiasa hidup tanpa melihat pertumpahan darah membuat Jeha berpikir yang brutal seperti itu hanyalah dongeng. Bahkan dia tidak pernah tahu betapa rumitnya masalah-masalah pemerintahan.
“Kami menginginkanmu ikut dengan kami, anak baik.” Sahut pemimpinnya.
Jantung Jeha melonjak saat mendengar ucapannya. Kenapa dia harus ikut? Apa ini akan mengancam ayahnya? Apakah mereka tahu dia adalah pangeran?
Berbagai pikiran buruk berkeliaran di kepala Jeha. Sekarang dia merasa bersalah menjadi anak nakal. Dibawa oleh para pria dengan cambang bauk sangat menakutkan.
Tapi akan lebih menakutkan melihat ksatrianya terluka atau bahkan mati seperti beberapa orang yang terbujur kaku bersimbah darah karna ksatrianya.
“Itu…”
“Baiklah.” Jeha memotong ucapan Hasti yang perut dan lengannya mengalirkan darah.
Jeha mengangkat wajahnya menahan agar tidak menangis ketakutan. Apa ayahnya akan cemas? Apa ibunya akan menangis? Tapi Jeha tidak bisa membiarkan ksatria yang dilihatnya tiap hari mati.
Pria bercambang baik lebat itu tertawa keras mendengar jawaban Jeha. Betapa bocah menawan ini sangat penurut. Jika bukan untuk ketua pertama mereka, dia pasti tidak keberatan untuk memeliharanya.
Menahan getaran tubuhnya, Jeha berkata, “Aku ikut. Aku akan ikut tapi tinggalkan ksatriaku!”
Hastu dan dua lainnya jelas tercengang melihat keputusan Jeha. Bagaimana bisa pangeran memutuskan hal itu?
Meski sudah memutuskan seperti itu, tapi Jeha melupakan satu hal. Mereka adalah ksatria yang yang ditugaskan menjaganya dengan nyawa mereka. Jadi tidak akan ada kata menyerahkan Jeha sebelum mereka kehabisan darah.
Tawa pemimpinnya kembali menggelegar. Mengabaikan mata nyalang tiga ksatria Jeha, dia mendekat. Mengulurkan tangannya untuk meraih Jeha.
Hampir He Chan Juan tersenyum riang mendapatkan yang diinginkannya, tapi dia harus terkejut melihat Gana tanpa ampun menusuk perut pemimpin perampok yang akan menyentuh Jeha.
Semua yang melihat terkejut. Terutama Jeha. Matanya yang membeliak bergetar. Gana jelas sudah terluka disana-sini untuk melindunginya. Kenapa begitu keras kepala hingga akan membuang nyawanya?
Melihat saudaranya yang memimpin kelompok pertama mati, Chen Ge marah. Tentu saja dia memimpin orang-orang ini berbuat semakin membabi buta. Satu teriakan memicu pertarungan dimulai lagi.
Empat belas orang lawan tiga. Seharusnya jelas siapa yang akan mati sia-sia. Namun tanpa terduga empat orang pria berpakaian hitam seperti muncul dari udara tipis untuk membantu Hastu dan lainnya.
Kemampuan mereka jelas sangat baik. Lebih baik daripada Hastu dan lainnya. Hanya sekejap, keadaan berbalik. Para perampok ditekan hingga hanya menyisakan tiga orang yang dipaksa berlutut.
Melihat keadaan membaik, ketegangan Jeha mengendur. Tubuhnya terhuyung dan menabrak seseorang dibelakangnya. Tepatnya dia ditangkap ke dalam pelukan seseorang.
Jeha tak peduli. Dia menenggelamkan wajahnya di dada entah siapa dan mencengkeram erat pakaiannya. Nafasnya memburu. Akumulasi ketakutannya berubah menjadi tangisan diam. Dia tidak mau ada yang melihat sama sekali. Jadi dia semakin menenggelamkan wajahnya ke pelukan orang ini.
Pria berpakaian hitam itu menunduk. Menatap tubuh bergetar bocah dipelukannya. Anak manja ini sepertinya mendapatkan pukulan yang lumayan.
“Urus sisanya.” Gumam pria itu.
“Baik.”
Shu Xi Mu menggendong Jeha yang kini menenggelamkan wajahnya dilehernya. Dia melirik tempat dimana He Chan Juan bersama beberapa orang tadinya berada. Shu Xi Mu pikir, seharusnya gadis itu belajar sesuatu tentang hari ini.
Meninggalkan kesibukan orang-orang, Shu Xi Mu membawa Jeha ke atas kuda yang berkeliaran satu kilo meter dari lokasi keributan dan pergi ke istana lebih dulu.
Hastu dan lainnya tidak mengatakan apapun selain bersyukur pangeran mereka selamat. Tapi juga sedikit menyesal karena ksatria bayangan milik raja datang begitu lambat.
Jika mereka bertiga tahu bahwa Shu Xi Mu sengaja, sepertinya mereka akan memuntahkan darah karena kesal.
Setelah melewati gerbang, Shu Xi Mu membuat kudanya berjalan lebih lambat. Tempat ini jelas keamanannya lebih baik dibanding diluar tembok. Akan selalu ada petugas patroli yang berkeliling tiap jamnya.
Jeha yang sudah tenang mengangkat wajahnya. Tatapannya jatuh pada rahang tegas dan hidung mancung. Lalu pada raut wajah datar dengan mata setajam elang.
“Siapa kau?” Tanya Jeha dengan suara serak.
Dia membersihkan wajahnya dengan kedua tangan kecilnya. Tidak ingin ada yang tahu bagaimana dia ketakutan sampai menangis. Ini memalukan sebagai seorang pangeran.
“Shu Xi Mu. Pangeran, dalam kondisi terburuk, kau adalah satu-satunya yang harus selamat. Hilangkan pemikiran menyerah untuk melindungi ksatriamu. Yang bertugas melindungi adalah mereka.”
Shu Xi Mu tidak tahan melihat Jeha akan mengorbankan dirinya demi pelayannya. Pola pikir seperti itu salah dan sudah seharusnya dirubah. Tidak boleh ada lain kali bagi Jeha untuk melakukan hal seperti ini.
Jeha cemberut. Bagaimana bisa dia diceramahi pada pertemuan pertama. Dia bahkan tidak tahu siapa orang ini selain namanya.
“Kenapa? Itu mengerikan untuk melihat orang yang setiap hari bersamaku mati. Aku tidak bisa mengabaikannya.”
“Maka kau harus mulai mengabaikannya.”
Jeha jadi jengkel mendengar nada datar yang menyerupai perintah itu. Dia mendongak, memelototi pria yang sama sekali tidak menatapnya. Hanya fokus mengendalikan kudanya.
“Kau ini siapa sih? Kenapa begitu cerewet?!”
Shu Xi Mu menunduk. Menatap mata besar yang penuh ketidaksenangan itu. Lalu wajah mungil dengan bibir merah muda. Sangat enak dilihat.
Jarak mereka yang hanya beberapa senti membuat bisa merasakan nafas masing-masing. Karna Jeha mendongak, dia yang duluan pegal dalam adu tatap itu. Jadi dia memalingkan wajahnya dengan kesal.
Dia tidak menyadari Jika Shu Xi Mu cukup lega karna sudah bisa kesal. Dia tidak menyukai melihat pemandangan bocah ini menangis ketakutan dengan tubuh menggigil. Sepertinya kecuali diruangan tertentu bersamanya.
Jeha memutar tubuhnya yang tadinya menghadap Shu Xi Mu menjadi menghadap depan. Tapi, karna kondisi diatas kuda, bagaimanapun dia ingin menjauh dari pria dibelakangnya, pada akhirnya dia menyandar di dada bidang Shu Xi Mu.
Tidak ada yang bicara diantara mereka hingga mencapai istana.
Jeha akan melompat turun, namun Shu Xi Mu turun lebih dulu dan membantunya. Memperlakukannya seperti anak kecil. Membuat kekesalan Jeha meningkat.
Para ksatrianya saja jika membantu hanya memegang tangannya. Kenapa pria ini menyelipkan tangannya dikedua ketiaknya. Sangat tidak bisa diterima.
Kejadian tadi rupanya tidak menyebar di istana, hanya beberapa orang yang tahu. Jika tidak, bisa dipastikan selir Jin Ni akan berlarian dengan panik menyambut Jeha.
Saat Jeha melihat Aris berjalan mendekat dengan para dayang dan ksatria dibelakangnya, dia berlari dan melompat ke pelukan kakaknya itu. Mengadukan semua perlakuan tidak menyenangkan Shu Xi Mu.
Sementara Jeha mengoceh, Aris menepuk-nepuk punggungnya menenangkan. Saat Jeha kelelahan dan menyandarkan kepalanya ke bahu Aris, pria itu menatap tajam Shu Xi Mu.
“Seharusnya kau mempertimbangkan psikologi Jeha.” Gumam Aris.
“Dia akan mengalaminya cepat atau lambat.” Sahut Shu Xi Mu acuh tak acuh.
“Kalau begitu, kau tidak layak.”
Aris berbalik dan meninggalkan Shu Xi Mu yang hanya diam hingga dua kakak adik itu menghilang dari pandangannya. Setelah itu, dia masih harus pergi untuk melapor pada raja.
Tentu saja Aris kesal. Apa gunanya dia membiarkan pria itu mengikuti Jeha jika pada akhirnya adiknya masih merasakan ketakutan. Jika ingin memberi peringatan pada ksatria Jeha, bukan itu caranya.
Setelah memastikan Jeha tidur, Aris keluar dari kamar. Dibanding ayahnya, Aris lebih sibuk jika memperhatikan masalah keluarga mereka. Tidak ada satu hal pun tentang kedua adiknya yang luput dari pengetahuannya.
“Pangeran, pangeran ketiga Yan Tian Ye melakukan kontak dengan pangeran Jeha. Sepertinya dia menyukai pangeran Jeha.”
Neptu, salah satu ksatria Aris melaporkan saat mereka sudah berada diruang kerja Aris.
Aris membuka gulungan catatan detil yang dilakukan Yan Tian Ye saat bersama Jeha. Dia menutup gulungan dan menghela nafas. Sepertinya adiknya itu mulai menarik ngengat.
“Perburuan kekaisaran bulan depan, kau akan ikut Jeha ke sana.”
“Baik.”
Sebagai Ksatria Aris, baik Neptu atau tiga lainnya tidak akan mempertanyakan keputusan Aris. Dibanding dengan ksatria Jeha, Ksatria Aris jelas lebih multifungsi.
Dikamar Jeha, pangeran muda itu terbangun dengan keringat bercucuran. Dia baru saja mengalami kejadian menakutkan dan sekarang dia memimpikan hal itu lagi. Jeha mengusap dahinya dan mendesah. Berusaha menenangkan debaran jantungnya.
“Dayang.” Panggilnya.
Seorang wanita datang dan membungkuk menghadap Jeha.
“Ksatriaku belum kembali?” Tanyanya.
Dia melirik keluar jendela, jelas hari sudah kembali malam. Cahaya samar yang lembut mengintip dari celah-celah jendela kamarnya. Begitu cantik. Tapi tidak mengobati perasaan takutnya.
“Mereka sedang menemui pangeran mahkota, pangeran.”
**************
[Chapter 9: Tugas dan tanggung jawab]
Jeha menarik pakaiannya yang ternyata sudah diganti dengan pakaian bersih lalu berlari ke Janitra. Melihat itu, tentu saja para dayang langsung tergopoh-gopoh mengikuti langkah cepat Jeha.
Sesampainya didepan Janitra, Jeha langsung menuju ke ruang kerja Aris. Tempat dimana kakaknya itu menghabiskan lebih banyak waktu.
Langkah cepatnya terhenti saat mendengar suara tenang Aris. Namun Jeha tahu, kakaknya itu jelas marah. Pada siapa?
“Kegagalan adalah kegagalan. Apapun alasannya. Kalian bahkan membuat Jeha berniat mengorbankan diri demi kalian? Betapa tak berguna sebagai ksatria.”
Suara dingin itu jelas suara kakaknya. Tapi Jeha justru merasa asing. Yang menyeramkan seperti ini, Jeha tidak pernah melihatnya. Kakaknya jelas selalu lembut dan baik hati saat bersamanya.
“Mulai besok, setiap malam Bajra dan Neptu yang akan menjaga Jeha. Kalian kembali ke ruang pelatihan. Itu akan berlaku hingga satu bulan.” Putus Aris.
“Baik.”
Tiga ksatria Jeha merasa kemampuan merek sangat menyedihkan sehingga Jeha berniat mengorbankan dirinya. Itu adalah hal paling memalukan.
Ruang pelatihan adalah sumber dari segala siksaan fisik yang bertujuan meningkatkan kemampuan. Mereka berniat melakukan yang terbaik untuk memasuki ruang pelatihan. Di masa depan, tidak boleh ada lagi pangeran yang berniat menyerah demi ksatrianya.
Jeha terdiam mendengar jawaban patuh dan tegas dari para ksatrianya saat mendengar ucapan kakaknya. Dia tidak tahu seperti apa itu ruang pelatihan. apakah itu sama dengan lapangan berlatih yang biasa dia dan kakaknya gunakan didalam istana?
Mendengar nada dingin dan marah kakaknya, seharusnya itu bukan tempat sesepele lapangan berlatih. Seketika pikirannya kembali pada kejadian penyerangan itu.
Jeha menunduk saat para ksatrianya melewatinya dan menyapanya dengan hormat. Perasaan tak enak itu menggelayutinya. Dia hanya mengangguk, sama sekali tidak memandang mereka dan lebih memilih masuk ke ruangan Aris.
Kepala dayang tidak sempat mengingatkan Jeha agar memberi salam. Akhirnya dia hanya bisa menatap kepala dayang pangeran Aris yang memelototinya dengan canggung lalu memilih menunduk, menunggu pangeran mereka keluar.
Ruang kerja Aris tidak membiarkan siapapun masuk tanpa seijinnya. Kebanyakan hanya Aris dan para ksatrianya yang berada didalam. Dan tentu saja yang melanggar peraturan itu tanpa mendapat masalah adalah Jeha.
Karna itulah kepala dayang Aris selalu menatap Jeha tidak senang. Dibandingkan Aris yang lembut dan teratur, Jeha terlalu kekanakan dan ceroboh.
Tidak mengetahui kecanggungan diluar, Aris mengangkat sebelah alisnya melihat Jeha yang biasanya langsung berceloteh kini hanya berdiri diam sembari memainkan ujung kakinya.
Dia mendesah dan beranjak mendekati adik manisnya. Senyumnya terlihat memanjakan saat menepuk kepala yang menunduk itu dengan lembut. Melihat tidak berpengaruh apapun, Aris mengangkat dagu Jeha, memaksanya menatapnya.
“Apa yang membuat wajahmu berlipat-lipat seperti ini?”
Jeha menatap tepat pada mata Aris yang selalu lembut. Tidak pernah sekalipun dia melihat mata ini begitu tajam. Membuatnya berpikir Aris adalah pribadi baik hati yang tidak akan pernah marah. Tapi, malam ini dia mendengar suara menyeramkan milik kakaknya.
“Apa kakak marah pada ksatriaku?” Tanya Jeha dengan lirih.
“Ya.” Sahut Aris.
Nadanya lembut namun tegas. Tidak ada sedikitpun keraguan saat mengatakan itu. Membuat perasaan Jeha semakin tak nyaman.
“Apa kakak akan menghukum mereka?”
“Tidak.”
“Eh?”
Sahutan Aris membuat Jeha menatapnya dengan bingung. Bukankah jika seseorang marah maka akan membutuhkan hukuman? Bagaimana kakaknya bisa tidak.
Melihat kebingungan adik kecilnya, Aris menghela nafas dan berkata, “Aku sama sekali tidak menghukum ksatriaku. Aku hanya memerintahkan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka terlihat terlalu santai. Kau tidak bisa memiliki ksatria tanpa kemampuan yang baik.”
Jeha cemberut dan mengulurkan tangannya memeluk Aris. Dia meletakkan kepalanya di bahu pria yang selalu diandalkannya ini.
“Aku yang nakal. Karna berkeras tidak mau membawa banyak pengawal sekarang ksatriaku terluka. Dan kakak memarahi mereka padahal aku yang salah.”
Mendengar nada sedihnya, Aris menepuk-nepuk lembut kepalanya.
“Jeha, setiap orang memiliki tugas dan tanggung jawab. Wajar jika mereka menerima kemarahan saat tidak mampu menjalankannya tugas dengan baik. Menurutmu, jika nyonya Astami mendengar ini apakah akan berakhir hanya dengan marah saja?”
Jeha semakin cemberut. Ibunya pasti akan berteriak-teriak menghebohkan Bramila bahkan Astaka. Menuntut ini itu. Dan yang paling penting, kemungkinan para ksatrianya akan dihukum mati.
Seketika Jeha merinding membayangkannya. Dibanding ibunya, kakaknya jauh lebih baik dengan hanya marah saja. Jeha tidak bisa membayangkan hal yang lebih buruk terjadi, itu terlalu menakutkan.
“Lalu apa tugas dan tanggung jawabku?” Tanya Jeha.
Dia mengangkat wajahnya menatap kakaknya yang selalu bijaksana dan tampan.
Mendengar pertanyaan Jeha, Aris tak bisa menahan tawanya. Adiknya ini begitu menggemaskan. Wajar saja jika monster itu bahkan menginginkan Jeha sejak tiga tahun lalu. Lihat saja, sampai kapan dia bisa menunggu.
Aris sama sekali tidak berniat membiarkan dia mendapatkan Jeha dengan mudah. Jika bisa, sama sekali tidak bisa mendapatkan adiknya ini.
Lebih menyenangkan melihat Jeha menikahi gadis dan memiliki Jeha-Jeha kecil yang berlarian.
Dan Yan Tian Ye…. dia akan mulai memikirkan cara menanganinya.
“Untuk saat ini kau harus mempelajari banyak hal dan menjadi pintar.”
Mendengar ucapan Aris, Jeha kembali cemberut. Kali ini dibanding sedih, itu lebih seperti keluhan. Jika sudah begini, maka Jeha akan menjadi seorang pengeluh.
Benar saja, dia langsung menumpahkan apa yang diucapkan permaisuri. Mengeluh tentang ibunya yang menjelek-jelekkan nya didepan permaisuri. Bahkan mengeluh tentang Shu Xi Mu yang baru ditemuinya namun langsung menceramahinya.
Untuk menghiburnya, Aris berjanji akan menemaninya berlatih memanah keesokan harinya. Dia senang akan fakta Jeha mudah teralihkan. Betapa tak tertahankan jika Jeha berlarut-larut dalam ketidaknyamanannya.
Saat malam, seperti yang Aris bilang, Neptu dan Bajra adalah yang menggantikan Hastu dan lainnya untuk menjaga Jeha. Bagi Jeha tidak ada perbedaan siapapun yang menjaganya, karna faktanya para ksatria biasanya tidak banyak berinteraksi disaat-saat damai dengan pangerannya.
Dalam tidurnya, Jeha kembali memimpikan adegan berdarah yang dilihatnya secara langsung disiang hari. Kali ini, dia tidak hanya melihat ksatrianya membunuh, tapi juga terbunuh.
Mimpi buruk itu membuatnya terbangun dengan keringat dingin dan tubuh bergetar. Saat dia tenang dan kembali tidur, sebentar kemudian dia terbangun lagi. Jeha tidak menyangka, ketakutannya begitu besar.
Dia adalah seorang pangeran. Bukan sekali dua kali dia mendengar cerita ibunya tentang perebutan tahta di Kekaisaran Xu. Tentu saja itu disertai pembunuhan ataupun perang saudara.
Jeha percaya itu ada dan terjadi. Namun dia hanya menganggap hal itu sebagai sebuah cerita. Tidak masuk ke dalam sedikitpun bagian kepalanya. Tidak lebih nyata dibanding dongeng.
Lalu dia melihat bagaimana ibunya menghukum dayangnya dulu. Dia hampir lupa ketakutannya akan ancaman kematian seseorang yang dilihatnya lima tahun lalu. Tapi kemarin, dia jelas mengalaminya lagi. Bukan kematian karna hukuman yang bisa dihentikan dengan dia memohon. Itu jelas sesuatu yang tak bisa Jeha tangani.
Jeha menarik nafas dalam-dalam menenangkan jantungnya yang berdebar terlalu kencang. Dia tidak suka melihat ada yang terluka didepannya. Tapi hal seperti itu pasti akan dialaminya lagi dan lagi dimasa depan.
Perebutan tahta, perang, perampokan dan segala yang menyebabkan kematian, Jeha tidak mau melihatnya lagi.
Dia akan menjadi anak baik dan hidup dengan baik.
Dalam pikirannya yang paling dalam, dia jelas tahu, hal-hal seperti ini tak akan bisa dihindari. Hanya saja dirinya jelas akan sangat kesulitan beradaptasi.
Paginya, dia bangun dan bersiap lebih cepat dari biasanya. Bahkan para dayangnya tercengang karna Jeha tidak menyempatkan tidur dibak mandi lebih dulu.
Lebih tepatnya, Jeha takut tertidur dan memimpikan hal seperti itu lagi.
Meski merasa heran, para dayang tidak mengatakan apapun. Bahkan lebih baik jika pangeran selalu bersikap mudah seperti ini alih-alih selalu membuat mereka kelimpungan.
Ketika Jeha sudah bersiap dengan pakaian berlatihnya yang sewarna langit, dia melihat ayahnya datang mengunjunginya. Dengan senyum riang dia memberi salam hormat yang baik.
Mereka duduk bersama untuk sarapan. Hanya saja, Jeh cukup bingung melihat ibunya tidak ikut. Biasanya, kapanpun raja Inggeh datang menemuinya selalu ada ibunya. Bagaimanapun ini adalah Bramila.
“Kau terlihat memiliki lingkaran hitam dimata, apakah tidak bisa tidur?” Tanya Raja sembari meletakkan lauk kesukaan Jeha pada piring putra manjanya itu.
Mendengar pertanyaan ayahnya, tanpa sadar Jeha mengepalkan tangannya dibawah meja. Namun tawanya terdengar riang dan menyenangkan.
“Ya. Mungkin aku butuh pil tidur.”
Jeha tidak bisa mengatakannya pada ayahnya. Dia tahu akan dimanjakan jika mengatakannya. Hanya saja dia pasti akan langsung diomeli tanpa henti oleh ibunya setelahnya. Ibunya itu selalu mengingatkan Jeha jika dia tidak boleh meletakkan beban pikiran dan kecemasan pada raja yang memiliki banyak kesibukan.
Lalu, bagaimana caranya mengeluh pada ayahnya jika seperti itu?
“Apakah bermimpi buruk?”
Kali ini punggung Jeha yang menegang. Betapa sulitnya menyembunyikan sesuatu dari ayahnya yang pintar ini. Tapi Jeha masih takut dengan hukuman ibunya.
“Mmm hanya sedikit. Tidak terlalu buruk. Ayah, kenapa ibu tidak mengikuti ke sini?” Jeha berusaha mengalihkan topiknya.
Raja Inggeh tertawa. Bagaimana dia bisa tidak tahu usaha Jeha. Putranya ini terlalu mudah dibaca. Tapi itu bukan hal buruk.
“Ibumu sedang sarapan bersama permaisuri. Pangeran ku, bermainlah dengan putri Calya untuk meringankan pikiranmu. Jika bisa, jangan terlalu memikirkan sesuatu. Hiduplah dengan riang.”
****************
[Chapter 10: Diremehkan]
Ucapan penuh kasih itu membuat Jeha terharu. Ayahnya pasti khawatir padanya kemarin. Jadi dia memutari meja dan memeluk pria dengan pakaian berat itu.
“Bagaimana ayah bisa lebih baik daripada ibu?”
Raja Inggeh tertawa dan memeluk putra kecilnya ini dengan satu tangan. Sementara tangan lainnya menyentuh dahi putih itu hingga memerah. Mengabaikan jeritan menyedihkan Jeha.
“Jika ibumu mendengar ini, kau tidak akan lolos.”
“Kalau begitu jangan sampai ibu mendengarnya.”
Setelah sarapan harmonis itu, raja meninggalkan Bramila dan Jeha berlari-lari ke Janitra diikuti dayangnya. Saat sampai dibagian depan, dia melihat kakaknya sedang berbicara dengan dua orang pejabat tingkat tiga di Prada.
Jeha bukan orang yang terlibat dalam pemerintahan, tapi dia tidak begitu bodoh untuk tidak mengetahui tingkatan mereka.
Pejabat tingkat pertama memiliki pakaian resmi berwarna merah menyala, lalu tingkat kedua memiliki pakaian berwarna biru dan tingkat ketiga berwarna hijau. Untuk pejabat yang lebih rendah akan mengenakan pakaian berwarna coklat muda.
Ini adalah pertama kalinya Jeha melihat kakaknya berbicara dengan serius. Senyum itu masih ada namun terlihat sangat sopan dan berwibawa alih-alih lembut dan memanjakan seperti yang biasa dia lihat.
Mereka berjalan menuju ruang sidang. Benar, seharusnya ini dimana waktu sidang pagi dilakukan.
Jeha menghela nafas dan berbalik. Dia akan berlatih sendiri hari ini. Dia sama sekali tidak menyukai guru memanahnya karna terlalu cerewet. Selalu banyak bicara hingga dia tidak tahu yang mana yang harus didengarkan.
Aris menoleh ke arah Jeha. Dia tersenyum dan mengatakan agar dua orang itu pergi ke sidang pagi tanpa dirinya. Kejadian kemarin akan membuat raja mengerti jika dirinya tidak menghadiri sidang untuk menghibur putra imutnya.
“Salam pangeran Jeha, semoga keberuntungan menyertaimu.”
Suara Aris menghentikan langkah Jeha. Dia menoleh dan cemberut melihat senyum menggoda kakaknya. Karna sudah seperti ini, tentu saja dia tersenyum manis dan memberi salam hormat pada kakaknya.
Prilakunya itu membuat dayangnya yang baru bisa mengejarnya tercengang. Hari ini pangeran mereka begitu taat tanpa harus diingatkan. Betapa menyenangkannya.
“Aku akan pergi memanah bersama Jeha.”
Dayang keduanya menunduk hormat. Mereka tahu jika kegiatan diluar seperti itu hanya akan membiarkan ksatria masing-masing yang ikut. Para dayang hanya bertugas didalam istana.
Jeha menoleh dan sedikit terkejut melihat tiga ksatrianya sudah berada dibelakangnya. Dia ragu, apakah mereka bisa sembuh hanya dalam satu hari? Jelas Jeha melihat mereka menderita banyak luka kemarin.
“Ayo.”
Jeha melirik ksatrianya sekali lagi dengan ragu sebelum mengikuti Aris. Dia mengingat ucapan kakaknya itu tentang tugas dan tanggung jawab. Tidak ada yang bisa dilakukan tentang itu.
Melemparkan semua kegelisahannya ke belakang, Jeha berlarian menyusul kakaknya. Dia bahkan dengan riang menyapa Joan. Kuda dengan totol-totol itu meringkik seolah girang melihat Jeha.
“Ah Joan tidak terluka? Dia pintar melarikan diri kan ya?” Riang Jeha.
Aris tertawa sementara para ksatria hanya bisa menguatkan hati untuk memaklumi setiap ucapan Jeha. Meski sulit, pada akhirnya mereka akan terbiasa dengan ini.
Kuda milik Aris lebih besar dibandingkan Joan. Namanya Jatra. Bulunya sepenuhnya berwarna hitam legam. Jika malam hari, Jeha pasti akan kesulitan menemukan kuda itu.
Rombongan itu berjalan menuruni bukit dengan santai. Dua kakak beradik itu mengobrol hal-hal ringan. Tepatnya Jeha yang bercerita dan Aris mendengarkan. Sesekali menyahuti.
Mereka menuju hutan diluar tembok yang mengelilingi bukit alih-alih berlatih di lapangan latihan istana. Aris mempertimbangkan antusias Jeha. Dia hanya pernah sekali melakukannya setahun yang lalu.
“Ah!” Jeha tersentak dan menarik tali kekang hingga Joan meringkik.
Aris juga menghentikan kudanya dan menoleh pada Jeha dan bertanya, “Kenapa?”
“Aku memenangkan lelang kemarin! Plat itu harusnya aku serahkan agar kakak bisa menemui gadis nomor sembilan tadi malam. Bagaimana bisa aku melupakannya?”
Aris tertawa melihat wajah frustasi Jeha. Dia membuat Jatra melangkah pelan disamping Joan. Lalu mengulurkan tangannya menepuk-nepuk kepala Jeha dengan sayang. Ini adalah kebiasaan yang semakin hari semakin sering dia lakukan.
“Jangan khawatir, dia mungkin tidak menungguku.”
“Bagaimana bisa! Dia pasti menunggu. Kasihan sekali. Teman-temannya bisa memamerkan keahliannya sementara dia tidak.”
“Kau benar, seharusnya dia bisa memamerkan keahliannya.”
Aris tersenyum lembut pada Jeha. Namun senyum itu berubah sedingin salju ketika berpaling. He Chan Juan, seharusnya Aris membiarkannya memamerkan keahliannya.
Di sebuah rumah yang terpencil disalah satu sudut bukit, Bajra menatap gadis yang berteriak dan berusaha memberontak untuk melepaskan diri. Kedua tangannya terentang terikat pada tiang di kanan kirinya. Matanya tertutup dengan mulut yang terus menyemburkan umpatan.
Lalu pandangannya teralihkan pada beberapa orang yang terikat seperti He Chan Juan. Bedanya, mereka semua berlumuran darah dan terlihat sekarat. Jika tangan mereka tidak terikat pada tiang, bisa dipastikan mereka akan ambruk.
Mengabaikan jeritan dan makian He Chan Juan, Bajra memilih duduk di kursi. Mengambil satu gulungan informasi tentang He Chan Juan dan komplotannya.
Pada dasarnya mereka hanyalah perampok dan penculik anak dengan kelompok kecil. Namun beberapa bulan lalu, mereka bergabung dengan kelompok perampok gunung yang terkenal.
Untuk menyenangkan pimpinan perampok gunung itu, dia berniat menculik Jeha dan menjadikannya sebagai upeti. Berharap bisa mendapatkan dukungan kuat untuk menguasai suatu kota.
Bajra adalah salah satu ksatria Aris. Sementara tiga lainnya pergi mengikuti pangeran mahkota itu menemani adiknya berlatih memanah, Bajra ditugaskan membawa beberapa prajurit untuk menjaga orang-orang ini.
Saat dia tiba, situasinya sudah seperti ini. Seolah ada seseorang yang menangkapi mereka dan menyisakan hanya He Chan Juan yang dalam kondisi baik. Bajra samar-samar memiliki dugaan pelakunya. Hanya saja tugasnya adalah mematuhi pangeran mahkota, bukan menebak dan mencari tahu hal-hal.
Posisinya adalah menerima dan mematuhi perintah tanpa mencampuri keputusan pangeran Aris.
Sekali lagi dia melirik He Chan Juan yang masih berteriak meski suaranya sudah serak. Dia pikir akan baik bagi wanita itu untuk menikmati selagi bisa berteriak. Pangerannya adalah orang yang sangat berdedikasi saat membalas perlakuan tak menyenangkan. Sangat diragukan dia akan bisa pergi dengan kondisi bernyawa.
Disisi lain, Jeha dan rombongan yang baru keluar dari gerbang belakang bukit tersenyum riang melihat hamparan hutan luas. Ini adalah area berburu keluarga kerajaan setiap tahun sekali. Meski begitu Jeha hanya ikut pada perburuan terakhir.
Sebelumnya, walaupun sangat ingin tapi ibunya sama sekali tidak mengijinkannya ikut. Terkadang Jeha merasakan kecemasan ibunya begitu mengenangnya. Membatasi pergerakannya.
Ada berbagai hewan kecil dan besar yang biasanya dijadikan objek berburu. Hanya saja, untuk Jeha yang tidak tega melihat binatang menggeliat kesakitan karna dilukai, akan berakhir duduk manis didepan tenda atau berputar ke sana kemari dengan kudanya.
Sekarangpun begitu, dia sama sekali tidak berniat memburu binatang. Hanya berlatih memanah dengan menunggang kuda dan membidik papan sasaran saja.
Meski dia tidak tahan melihat binatang dilukai, bukan berarti benar-benar tidak bisa. Dia pikir akan baik-baik saja jika binatang yang dipanah langsung mati hingga tidak harus kesakitan dulu.
Tapi lagi-lagi, tentu saja bukan dia yang harus memanah. Dia tidak memiliki kekuatan mental seperti itu. Setidaknya saat ini.
Aris tentu saja mengenali karakter adk kecilnya. Dan dia tidak akan mungkin menempatkan Jeha diposisi tidak nyaman. Tanpa bertanya, dia memerintahkan tiga ksatria Jeha memasang sasaran panah di pepohonan sepanjang jalur berkuda.
Sasaran diatur dengan kesulitan nyaris nol untuk orang seperti Aris. Namun untuk Jeha yang selalu lebih lambat dari orang lain, tentu saja itu cukup sulit.
Menatap lintasan dan sasaran tembak yang terlihat oleh mata, Jeha dengan sengit menatap kakaknya. Bibirnya mengerucut tak puas.
“Kakak, apa kau sungguh meremehkanku?” Keluh Jeha.
Aris tertawa, menepuk kepala anak yang cemberut itu sambil berkata, “Sama sekali tidak. Bagaimana bisa aku meremehkanmu?”
“Lihat! Aku tidak pernah melihatmu berlatih seperti ini. Kenapa semuanya seperti aku bahkan bisa mencapai sasaran dengan hanya mengulurkan tanganku dari kuda?! Kau meremehkanku!” Ucap Jeha dengan keras kepala.
“Berhentilah berburuk sangka. Pergilah, jika bisa menembak tepat ke semua sasaran, maka kita akan membuat yang lebih sulit.” Kekeh Aris membujuk.
Jeha mendengus tak senang. Tapi dia masih pergi. Sasaran itu berjumlah tiga puluh papan. Disebar di kanan dan kiri. Melaju bersama Joan, Jeha menarik anak panah dan merentangkan busurnya.
Jubahnya berkibar bersama helaian rambut yang memberi efek mencengangkan. Posturnya diatas Joan sangat elegan, siapapun yang melihat akan menganggapnya sebagai dewa tanpa kekurangan. Setidaknya saat dia belum melepaskan anak panahnya.
Jeha menarik tali kekang dan menatap papan sasaran pertama yang masih baik-baik saja. Cemberutnya makin menjadi-jadi hingga wajahnya terlihat semakin bulat dengan dua pipi yang menggembung.
“Apa ini? Apa kalian curang memindahkan benda itu saat aku menembak?!” Tuduh Jeha tak terima.
Aris tak bisa menahan diri dari tertawa. Adiknya ini begitu lucu. Dia melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan bahwa dia tak melakukan apapun. Jadi seharusnya Jeha melanjutkan latihannya.
Mendengus keras penuh kemarahan, Jeha berbalik dan mulai lagi. Dibelakangnya ada Hastu, sementara di titik-titik lain di area berlatih, yang lainnya menyebar. Prioritas mereka adalah menjaga Jeha dari kecelakaan apapun.
“Bukankah dia semakin lucu?” Gumam Aris.
“Ya, pangeran.” Neptu, satu-satunya orang yang berada disampingnya menyahuti.
Langkah kuda yang berjalan lambat terdengar dibelakang mereka. Tanpa Aris menoleh, dia sudah tahu siapa yang datang. Tekanan yang disebarkan dari tubuhnya terlalu mudah dikenali.
***************
[Chapter 11: Kesan Baik]
“Bukankah seharusnya ksatria bayangan tidak berada disini?” Cela Aris dengan nada lembut.
Jika bukan orang yang sangat mengenal pangeran Aris, tidak akan tahu jika pria itu jelas mencemooh Shu Xi Mu. Nadanya masih ringan dan terkesan lembut.
“Menganggur.”
Aris tersenyum mendengar jawaban singkat Shu Xi Mu. Orang ini masih belum berubah. Selalu mengatakan sedikit kata. Bahkan dibeberapa hal dia bisa tidak mengatakan apapun terlepas dari seberapa banyak lawan bicaranya mengeluarkan kalimat.
Dia tidak tahu saja jika dipertemuan pertama pria yang irit kata ini sudah mengeluarkan kalimat panjang pada Jeha.
“Kenapa terburu-buru?”
Ini adalah contohnya. Jelas dia mengerti apa yang ditanyakan Aris namun sengaja tak menjawabnya. Beruntung Aris sudah mengenalnya cukup lama hingga tidak berpikiran apapun.
Jika tidak, hukuman untuk pria ini seharusnya dicambuk dan kurungan karena berani mengabaikan ucapan seorang pangeran.
“Karna Yan Tian Ye?” Kejar Aris.
“Hn.”
Aris tertawa lembut mendengarnya. Baiklah, sepertinya orang tua ini merasa terancam dengan keberadaan pemalas itu. Padahal tiga tahun belakangan begitu tenang menuggu Jeha tumbuh dan mengamatinya dari kejauhan.
Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Hanya dua pasang mata yang sama-sama memperhatikan sosok mungil di kejauhan sana yang kesal setengah mati karna tidak banyak mengenai sasaran.
Jeha kembali dengan cemberut dan kepala yang menggantung. Dia benar-benar kesal. Padahal itu terlihat mudah, kenapa sulit sekali dilakukan.
Turun dari kudanya, Jeha merengek mendekati Aris yang masih kokoh berada diatas Jatra. Dia tidak menyadari jika ditempat itu sudah memiliki tambahan orang. Ini juga yang membuat Aris Khawatir, tingkat kesadaran akan bahaya Jeha benar-benar nol.
“Kakak, apa aku bodoh? Itu terlihat mudah. Lalu kenapa aku hanya bisa mengenai tujuh sasaran?” Keluh Jeha.
Dia menyandarkan kepalanya di kaki Aris. Dari tujuh sasaran hanya satu yang mengenai tepat ditengah. Sisanya, entahlah. Lebih baik tidak mengingatnya.
Permaisuri bilang dia harus melakukan apa yang dia senangi dan itu akan berhasil. Dia menyukai kegiatan memanah, tapi kenapa belum berhasil. Padahal dia sudah belajar ini bertahun-tahun dan selalu diomeli gurunya selama waktu itu.
Jeha tidak menyadari, tapi Aris dengan jelas tahu jika pria disisinya menyipit tak senang melihat tindakan manjanya pada Aris. Matanya yang tajam penuh dengan kecemburuan. Bahkan tangannya mengepal, namun tentu saja dia tidak bisa mengatakan apapun. Bahkan ekspresi wajahnya masih terlihat tenang.
Dengan sengaja Aris menambahkan minyak pada api. Dia menepuk-nepuk lembut kepala Jeha dan berkata dengan nada yang menyenangkan, “Siapa yang mengatakan kau bodoh? Jelas kau memiliki kemajuan dalam berlatih.”
Jeha mengangkat wajahnya dan menyebarkan bintang berkilauan melalui matanya. Senyumnya mengembang hingga mampu membuat seseorang mabuk dan mengepalkan tangannya menahan dari keinginan menculiknya.
“Benarkah?” Tuntut Jeha dengan nada riang.
“Kau tidak percaya padaku? Maka pergilah berlatih sekali lagi dan kau akan tahu aku benar atau salah.”
“Ya!” Hampir saja Jeha berlari ke Joan lagi. Namun langkahnya berhenti saat dia menatap pria yang dikenalinya berada disamping kakaknya.
Tubuhnya yang lebih tinggi dan besar dibanding kakaknya membuatnya merasa tak nyaman. Terutama pakaian hitamnya yang membuat auranya begitu menekan. Diantara semuanya, matanyalah yang membuat Jeha paling gelisah. Itu seperti akan membakarnya kapan saja. Membuatnya ingin segera berlari menjauh.
Tapi dia ingat, belum mengucapkan terima kasih padahal pria ini sudah menolongnya. Bahkan menyembunyikannya yang menangis ketakutan. Mungin juga dia tidak mengatakan kepada siapapun demi menjaga harga dirinya.
Jeha benar-benar salah paham.
“Uhm Shu…. tuan Shu Xi Mu terima kasih karna menolongku kemarin.” Ucap Jeha dengan tulus. Senyumnya mengembang dengan menawan.
Dia tidak bisa memanggil nama seperti memanggil Yan Tian Ye. Disini ada kakaknya, dia akan dimarahi. Meski kakaknya selalu mentolerir tindakan tidak sopannya, tapi dia tahu batasannya. Itu tidak boleh dilakukan pada orang lain.
Shu Xi Mu menatap wajah cantik itu cukup lama sebelum akhirnya mengangguk.
Karna sudah mengucapkan terima kasihnya, Jeha langsung berlari dan memacu Joan untuk memulai latihannya.
Aris menoleh dan akan mengatakan sesuatu pada pria disampingnya. Namun Shu Xi Mu lebih dulu memacu kudanya ke arah Jeha. Tindakannya itu membuat Aris mendengus. Seharusnya dia tahu, pria tua itu tidak akan melewatkan hadiahnya.
“Panahku.” Gumam Aris.
Neptu langsung mendekat dan memberikan busur dengan ukiran lambang Prada. Juga sebuah anak panah.
Sementara disisi lain, Jeha cukup terkejut melihat Shu Xi Mu menghampirinya. Pria berwajah datar itu turun dari kuda lalu mendekati Jeha.
“Turun.”
“Eh?”
Tentu saja Jeha tidak mengerti maksud dari kata itu. Dikatakan dengan jelas dan panjang lebar saja dia terkadang masih tidak mengerti, apalagi yang begitu singkat berupa satu kata.
“Aku akan mengajarimu memastikan panahanmu tidak meleset tanpa kuda terlebih dulu.”
Shu Xi Mu tahu Aris memanjakan bocah ini sampai tingkat ekstrim. Bahkan dia tidak akan memaksakan apapun yang tidak disukai Jeha. Tapi bagi Shu Xi Mu, dia harus memaksa bocah ini memiliki paling tidak sedikit keahlian. Untuk memberinya jalan melarikan diri jika sewaktu-waktu ada bahaya.
Bahaya akan selalu dialami oleh setiap pangeran. Jeha tidak akan bisa menghindarinya selamanya. Dan Aris tidak akan bisa begitu percaya diri bisa mengontrol banyak hal selamanya.
Jeha masih terdiam menatap Shu Xi Mu, namun pria itu sudah mengulurkan tangannya untuk menurunkan Jeha dari kudanya.
Sayang sekali gerakannya harus terhenti karna anak panah yang melesat cepat diantara kuda dan tangan Shu Xi Mu. Pria itu menoleh ke arah Aris yang menurunkan busurnya dan tersenyum lembut. Masih terlihat menawan dan baik hati.
Shu Xi Mu mengacuhkan Aris dan kembali menatap Jeha. Anak panah meluncur pada sudut yang seharusnya menjadi titik dimana Jeha tidak akan melihat dengan jelas. Terlebih itu melesat kencang dan menancap dipohon yang jauh dari pandangan Jeha. Paling banyak, Jeha hanya akan merasakan sesuatu namun tidak bisa meyakini itu apa.
“Turun.” Ulang Shu Xi Mu.
Dia mengurungkan niatnya ingin membantu bocah ini turun dari kuda dengan cara intim. Suatu saat, Jika Aris sudah kehilangan kendalinya. Maka dia akan bisa membawa bocah ini pergi. Bukan seperti dia takut pada Aris. Bagaimanapun dia hanyalah pangeran dari kerajaan kecil.
Hanya saja, jika dia memaksa sekarang, kerusakannya akan cukup membuatnya butuh waktu untuk memperbaiki. Kendalinya pada Klan Shu belum stabil. Dia tidak suka memiliki kerusakan jika itu masih bisa dicegah.
Aris, bagaimanapun saat ini lebih kuat daripada pangeran kedua dan ketiga Dan Luo Yan. Itu sangat menakjubkan untuk ukuran pangeran dari kerajaan kecil.
Tadinya Jeha gelisah terlalu dekat dengan Shu Xi Mu. Dia merasa sangat kecil dan ditindas didekat pria itu. Tapi, Shu Xi Mu mengajarinya dengan hati-hati. Dia memberinya teori dan menunjukkan posisi yang tepat untuk mengenai sasaran.
Tidak ada gerakan berlebihan. Bahkan Shu Xi Mu beberapa kali hanya menyentuh busur tanpa menyentuhnya. Benar-benar memberi ruang untuk rileks bagi Jeha.
Shu Xi Mu masih sedikit bicara. Tapi jika Jeha memasang wajah bingung, maka dia akan menjelaskannya dengan baik. Kesan menyeramkan dipikiran Jeha berubah menjadi pria pintar dan baik hati. Benar-benar melupakan kejengkelannya dipertemuan pertama.
Untuk orang yang ceria seperti Jeha, kesan baik akan lebih mudah diingat daripada yang lainnya. Hanya sedikit waktu sudah bisa membuatnya tersenyum lebar dan bersikap santai pada Shu Xi Mu. Bahkan tanpa sadar perlahan akan berprilaku seperti pada Aris karna Shu Xi Mu selalu sabar padanya.
Hanya beberapa jam saja, Jeha sudah mampu meningkatkan jumlah sasaran yang dikenainya. Itu dari tujuh menjadi dua belas. Dan yang tepat menembak pada intinya berubah dari satu menjadi empat. Kemajuan seperti ini tentu saja membuat Jeha girang. Seketika dia merasa dirinya jenius.
“Kakak, bukankah aku melakukannya dengan baik?” Lapor Jeha dengan wajah berseri-seri.
“Ya.”
“Itu semua karna tuan Shu Xi Mu membantuku.” Puji Jeha.
“Tidak. Itu karna kau yang jenius.”
Niat Aris ingin membuat pria tua dibelakang Jeha itu kesal, sayang sekali Shu Xi Mu masih berwajah datar dan tak memiliki reaksi.
Justru para ksatria mereka yang merasakan hatinya gatal. Jika kemajuan seperti itu dikatakan jenius, lalu harus dikatakan apa kemajuan Aris yang pada usia setara dengan Jeha sudah mampu bersaing dengan para komandan pasukan Prada?
“Benarkah?” Jeha tertawa riang. Namun sesaat kemudian. Dia berhenti dan menatap Aris dengan kesal. “Kakak, kau membodohiku lagi.”
Aris hanya tertawa mendengar keluhan Jeha.
Waktu sudah beranjak siang, Aris mengajak Jeha kembali untuk istirahat dan makan siang. Karna memiliki kesan yang baik, tentu saja Jeha mengajak Shu Xi Mu juga. Sayangnya pria itu menolak.
Saat kembali sampai di istana, Jeha pergi mandi sebelum kembali berlari ke Janitra untuk menumpang makan siang. Dari kemarin dia sama sekali tidak menemui ibunya. Sudah bisa dipastikan selir Jin Ni akan mengamuk tidak lama lagi.
Tapi Jeha benar-benar melupakan hal itu. Dia dengan senang hati makan bersama kakaknya.
“Kakak, tuan Shu Xi Mu itu apa posisinya di istana?” Tanya Jeha yang baru teringat jika dia tidak mengetahui apapun tentang pria yang menolongnya kemarin itu.
“Mmm?” Aris mengangkat wajahnya dan menatap Jeha.
Senyumnya mengembang memikirkan jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan adiknya ini. Dia sama sekali tidak akan memberikan posisi yang bagus tentang Shu Xi Mu dimata Jeha.
************
[Chapter 12: Istal]
“Kau bisa memanggilnya pria tua. Dia pengangguran yang menumpang makan di istana.”
Jeha yang sudah membuka mulutnya untuk melahap makanan di sendoknya berhenti. Menatap Aris dengan wajah bodoh. Dia tidak tahu jika ada yang lebih tidak berguna daripada dirinya di istana. Itu membuatnya merasa memiliki teman senasib.
Tanpa mengetahui pikiran Jeha, Aris dengan tenang kembali makan. Jeha tidak mengetahui adanya ksatria bayangan milik raja. Bukan karna tidak ada yang ingin memberitahu, melainkan karna kurangnya keingintahuan Jeha sendiri. Dia sering mengabaikan apa yang tidak atau belum diminatinya.
Lagipula, julukan pria tua itu sesuai menurut Aris. Jelas dia lebih tua empat tahun darinya tapi dia masih menginginkan adiknya. Lelucon yang sama sekali tidak lucu.
Dia ingat pria pedofil itu mengatakannya tiga tahun lalu, bahkan saat itu Jeha belum lepas dari susu. Betapa orang tua yang tidak tahu malu.
Yang masih dikatakan beruntung, penjahat anak itu bersedia menunggu. Karna dirinyalah Aris sadar, Jeha bisa menarik perhatian pria kurang ajar dengan begitu mudah. Padahal Aris sudah memikirkan memiliki banyak Jeha kecil untuk meramaikan hari tuanya.
Pria itu hanya akan memusnahkan harapannya. Lalu sekarang, muncul Yan Tian Ye. Sepertinya pekerjaan Aris akan semakin merepotkan.
Sebagai informasi, Yan Tian Ye masih lebih tua satu tahun darinya. Bagaimana bisa para pria tua ini tidak sadar umur dan menargetkan adiknya?
“Lalu dimana dia tinggal di istana?”
“Istal.” Gumam Aris masih dengan senyum lembut dan menawan. Seolah yang dikatakannya sama sekali bukan hal yang bisa membuat Jeha tersedak sampai mati.
Jeha menepuk-nepuk dadanya berusaha meredakan rasa sakitnya. Dia menerima air yang diulurkan Aris padanya. Setelah merasa dadanya lebih lega, Jeha memelototi kakaknya itu dengan keluhan luar biasa.
“Kakak, jangan bercanda. Lihat, aku sampai tersedak.” Protesnya.
“Itu artinya kau tidak boleh makan sambil bicara.” Aris mengingatkan.
Jeha cemberut. Membiarkan Aris menyeka mulutnya sebelum kembali makan. Hari ini dia menghabiskan banyak tenaga, tentu saja dia butuh banyak makan.
Setelah selesai makan, Jeha menunduk hormat dan meninggalkan Janitra bersama dayang dan ksatrianya. Dia masih kesal dengan lelucon kakaknya yang terkesan membodohinya.
Saat dia masuk ke Bramila, ibunya sudah berdiri bagai penjaga pintu neraka. Melotot galak padanya. Hal itu membuat Jeha benar-benar mengeluh. Baru saja Aris membuatnya kesal, sekarang ibunya akan memarahinya.
“Eiii hidup ini sangat berat.” Keluhnya dan berjalan lesu ke arah ibunya.
Dibelakangnya, para dayang dan ksatrianya hanya bisa meluruskan bibir mendengar keluhannya. Pangeran mereka jelas terlalu mendramatisir keadaan.
“Salam Ibunda, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.”
Selir Jin Ni cukup terpana menatap anaknya dengan sukarela melakukan salam yang benar. Ini adalah hari yang langka. Patut dirayakan.
Dengan lembut wanita itu membalas salam Jeha. Lalu keduanya berjalan menuju gazebo ditengah taman mawar. Mereka duduk berhadapan sementara dayang selir Jin Ni menuangkan teh untuk mereka.
Jeha mengikuti gerakan ibunya menyesap teh sebelum meletakkan cangkir mungil itu kembali ke tatakan. Diseberangnya, Selir Jin Ni mengangkat alisnya menatap kepatuhan Jeha.
“Apa yang kau makan hari ini?”
Pertanyaan selir Jin Ni hanya bisa membuat Jeha ber’eh’ dengan heran. Namun wanita itu sudah melanjutkan kalimatnya sebelum Jeha selesai memikirkan maksudnya.
“Apa kau keracunan?”
Lagi-lagi Jeha hanya hanya mengeluarkan kata ‘eh’ sebagai bentuk keheranannya. Dia tahu ibunya kadang menyebalkan, tapi biasanya tidak begitu membingungkan seperti ini.
“Kau memberi salam tanpa diingatkan, lalu menyesap teh dengan baik alih-alih menghabiskannya dengan sekali teguk. Melihatmu begitu baik membuat mataku iritasi. Jadi, katakan, apa yang kau makan hari ini?”
Perkataan selir Jin Ni tidak salah. Sedari kemarin dia sudah hampir meledak karna putranya tidak memberi salam selama dua hari. Padahal mereka tinggal di satu tempat.
Lalu siang ini dia berlari ke Janitra untuk makan siang tanpa mengucapkan apapun padanya. Benar-benar mengikis habis kesabarannya.
Sayang sekali, begitu dia siap mengomel, tiba-tiba putranya bersikap baik. Itu tentu saja membuat omelannya kembali tertelan. Mengendap di jantung dan membuatnya kesakitan.
Kemudian dia mencurigai prilaku baik putranya karna salah makan atau keracunan. Sejak lahir hingga besar, Jeha selalu menemukan cara untuk membantahnya dan melanggar peraturan dengan prilaku yang paling manja dan menggemaskan. Bagaiman bisa dia menerima begitu saja melihat putranya patuh?
Entah apa yang akan dilakukan Jeha jika mengetahui pikiran ibunya seperti ini.
Jeha menghela nafas sebelum menjawab, “Ibunda, bagaimana bisa kau memarahiku saat aku salah lalu iritasi saat aku patuh. Aku juga seorang pangeran, sedikit banyak memiliki sisi yang baik.”
Bukan hanya selir Jin Ni, bahkan semua orang yang berada disitu tercengang melihat gerakan dan cara bicara Jeha yang anggun dan mengesankan. Senyumnya mengembang dengan manis.
Namun, pemandangan itu hanya sekejap sebelum Jeha kembali cemberut dan merengek.
“Ibu, kakak membodohiku. Bagaimana bisa dia mengatakan aku bisa memanggil tuan Shu Xi Mu dengan sebutan pria tua. Bahkan dia mengatakan tuan Shu Xi Mu tinggal di istal. Bagaimana bisa ada yang sesengsara itu diistana yang megah ini? Bukankah kakak menbodohiku?”
Selir Jin Ni menghela nafas.
“Benar. Seperti inilah putraku.” Desahnya dengan pasrah. Dia menepuk-nepuk punggung Jeha yang sudah bersandar manja padanya.
“Putra mahkota tidak perlu membodohimu, kau itu sudah bodoh.”
“Ibu. Doamu mengerikan! Jadi menurut ibu perkataannya tentang tuan Shu Xi Mu tinggal di istal itu benar? Dan lagi ibu, tuan Shu Xi Mu adalah pengangguran. Bagaimana bisa ada yang lebih tidak berguna dariku?”
“Siapa Shu Xi Mu ini?”
“Aku tidak tahu.”
Jeha tidak akan mengatakan kejadian yang dialaminya kemarin. Atau dia harus siap menerima kepanikan ibunya yang berlebihan.
“Bagaimana bisa kau menanyakan orang yang tidak kau kenal. Dasar anak tidak masuk akal.”
Jeha mengerucutkan bibirnya tidak senang. Ibunya ini seperti bukan ibunya. Kata-katanya begitu jahat. Jika dia tidak merasakan ibunya mengusap punggungnya dan mencium kepalanya, dia pasti akan berpikir kalau dirinya adalah anak pungut.
Disudut bukit, Aris memasuki rumah kecil itu. Bajra segera berdiri dan memberi hormat.
Setelah sedikit mengangguk, Aris duduk di kursi yang ditarik Bajra dan diletakkan tepat didepan He Chan Juan. Setelah lama berteriak dan kelelahan, kini suara He Chan Juan menjadi serak.
Dia mengangkat wajahnya saat merasakan ada yang mendekatinya. Tekanan yang dirasakannya tidak besar. Itu cendrung samar, namun entah bagaimana dia merasa berada dalam bahaya yang lebih nyata.
Berjam-jam dia terikat dengan mata tertutup. Bagaimanapun dia berteriak dan memaki, sama sekali tidak ada yang menyahuti. Padahal dia dengan jelas mendengar suara langkah diruangan itu. Tidak tahu apa yang terjadi, sejak dia ditangkap dan diikat dengan mata tertutup, tidak ada hal mengerikan yang dialaminya sama sekali.
Dan sekarang, dia merasakan bahaya itu datang. Seseorang, atau beberapa orang jelas berada disekitarnya.
He Chan Juan tersentak saat penutup matanya dibuka. Dia mengerjap beberapa kali berusaha menyesuaikan pandangannya. Lalu dia melihat sosok pria muda dan tampan duduk dengan anggun dihadapannya. Auranya begitu tenang dan stabil.
Menilai dari pakaiannya dan temperamennya, dia bukan orang yang biasa He Chan Juan temui. Dia yakin sama sekali tidak mengenali pria ini. Lalu apa masalahnya hingga memperlakukannya seperti ini?
“Halo, He Chan Juan.”
Seketika Wanita itu merasakan seluruh tubuhnya mendingin. Jelas pria didepannya tersenyum manis. Tapi matanya seperti bisa membekukan tubuh He Chan Juan dalam sekejap.
“Siapa kamu?” Geram He Chan Juan dengan suara serak.
“Sebelum itu, bagaimana dengan melihat teman-temanmu?”
Isyarat lembut Aris membuat He Chan Juan mengamati sekelilingnya. Seketika matanya terbelalak ngeri dan marah melihat pemandangan mengenaskan yang tertangkap matanya.
Semua orang yang dikenalinya bersimbah darah dengan kedua tangan terentang dan terikat pada tiang. Dia menyipit bengis dan merasakan gejolak amarah itu melonjak melihat Chen Ge juga termasuk dari orang-orang yang sekarat itu.
“Apa yang kau lakukan pada mereka?!” Raung He Chan Juan.
Dia memberontak berusaha lepas dari belenggu yang mengikat tangannya. Keinginannya mencekik dan mencabik pria didepannya begitu besar. Menghancurkan wajah menawan itu hingga dia menyesali apa yang dilakukannya pada Chen Ge dan yang lain.
Masih tersenyum lembut dan tenang, Aris menyahuti, “Sebenarnya, aku sama sekali tidak melakukan apapun.”
Dia tidak berbohong. Kenyataannya, Shu Xi Mu dan orang-orangnyalah yang melakukan ini. Kompensasi yang baik untuk kekesalan Aris karna membiarkan Jeha mengalami hal buruk.
“Jangan membual, kau…”
Sebelum bisa menyelesaikan kalimatnya, satu tamparan dari Bajra membuat He Chan Juan terdiam. Kepalanya pusing dan pandangannya mengabur. Setetes darah merembes di sudut bibirnya.
Menahan pipinya yang lebam dan menyengat He Chan Juan menatap Aris dengan amarah yang membakar matanya. Membuat pangeran Prada itu tertawa dengan nada paling manis namun beracun.
“Penjahat yang terlalu banyak bicara biasanya cepat mati.” Desahnya dengan nada jenaka. Jelas dia membuat lelucon untuk dirinya sendiri. “He Chan Juan, kau sudah menyentuh apa yang tidak boleh kau sentuh?”
Aris menopang pipinya dengan sebelah tangan. Melipat kakinya dan memberi isyarat pada Bajra.
*************
[Chapter 13: Naif]
Ksatrianya itu menarik pedang pendek dari sarungnya dan menyayat wajah He Chan Juan tanpa peringatan. Membuat wanita itu meraung histeris merasakan sakit yang tak tertahankan.
Selanjutnya menjadi penyiksaan bertubi-tubi. Dari sayatan pada pukulan, semua dilayangkan tanpa ampun. Tidak ada pengampunan meskipun He Chan Juan adalah seorang wanita. Aris sama sekali tidak pernah menjadikan jenis kelamin sebagai alasnya pengurangan hukuman.
Jeritan He Chan Juan terhenti saat Aris mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar menghentikan penyiksaannya. Dia mendekat dan mengambil alih pedang pendek Bajra. Menggunakan ujungnya untuk mengangkat dagu wanita itu.
Wajah hancur dan mengenaskan terpampang, mengabaikan kesadaran He Chan Juan yang hilang timbul, Aris menekan ujung runcing pedang dengan ringan hingga hanya menggores kulit dan menyeretnya dari leher ke dada lalu perut. Menciptakan garis merah diantara pakaian yang compang samping.
Jeritan He Chan Juan terdengar lagi. Suaranya serak dan putus-putus. Di dalam pikirannya yang nyaris gila karna rasa sakit, dia mencari-cari apa yang salah. Dia tak merasa pernah menabur dendam dengan pria menawan namun kejam ini. Dia bahkan tidak menemukan dari sudut manapun dalam kepalanya gambaran tentang pria ini. Jelas dia tak mengenalinya.
Sebenarnya bagian mana yang salah dan menyebabkannya mengalami siksaan mengerikan seperti ini?
Jika menghubungkan sesuatu yang tak boleh disentuh …. baru-baru ini hal yang membuatnya jengkel karna gagal dilakukan …
He Chan Juan mengangkat wajahnya yang hancur dan menatap Aris dengan ekspresi ngeri. Dia jelas melihat orang-orang berpakaian hitam yang membantu bocah bangsawan itu. Kemampuannya sangat luar biasa. Dalam sekejap bisa membalikkan keadaan dengan hanya empat orang.
Lebih tepatnya tiga, karna yang seorang hanya mendekati bocah itu dan memeluknya. Tapi orang itu bukanlah orang yang sama dengan pria yang berada didepannya saat ini.
Melihat ekspresi He Chan Juan, Aris mengangguk. Seolah mengkonfirmasi keraguan wanita itu. Tentu saja He Chan Juan terkejut. Bagaimana bisa bangsawan kecil itu memiliki pendukung kuat dibelakangnya?
Dia yakin bocah itu hanyalah bangsawan kecil dari pakaiannya yang sangat biasa. Bangsawan selalu memiliki ego mereka sendiri, semuanya akan terlihat melalui penampilan mereka.
Tidak akan ada bangsawan tinggi yang mau memakai pakaian bangsawan rendahan. Yang ada bangsawan rendahan yang berusaha memakai pakaian lebih bagus demi menunjang status mereka.
Aris menyeringai melihat kebingungannya. Lalu dia dengan sengaja berkata, “Kau tahu, kecantikan bisa memancing peperangan untuk datang.”
He Chan Juan terbelalak.
“Dia sudah cukup tahu. Jika dia tidak mati, mungkin aku yang akan mati.” Dia jelas sedang mengejek He Chan Juan dengan nada Jenaka.
Setelah Ars keluar, Bajra mengarahkan pedang pendeknya yang sudah dikembalikan Aris ke jantung wanita didepannya, He Chan Juan bahkan tidak sempat ketakutan ketika pedang itu menembus jantungnya.
Dengan tenang Bajra membersihkan pedang pendeknya menggunakan pakaian wanita yang sekarat itu. Sementara teman-temannya sudah memastikan setiap orang diruangan itu mati sebelum mengikuti langkah Aris. Dia memastikan wanita itu mati dan memerintahkan para prajurit melemparkan mayat orang-orang itu ke luar tembok.
Aris tidak menyukai jika mereka tidak memastikan kematian seseorang. Potensi hal merepotkan yang bisa muncul dimasa depan harus ditekan.
Jauh di Bramila, Jeha mondar mandir dikamarnya. Malam baru saja tiba dan dia sudah mengurung diri di kamar. Bukannya apa, dia sangat penasaran tentang ucapan kakaknya.
Benarkah istana membiarkan memelihra pria pengangguran dan membiarkannya tidur di istal? Itu sangat tidak masuk akal. Ayahnya begitu baik, kakaknya begitu baik, bahkan permaisuri yang wajahnya sekalu kaku itu begitu baik. Mungkinkah kakaknya salah mengerti?
Berbekal rasa penasaran dan kenakalan, Jeha mengendap bermaksud melompati jendela. Saat dia hampir terjungkal karna pijakannya yang tidak stabil, Neptu menangkapnya. Membuat Jeha terkejut dan menjauh dari ksatria kakaknya itu.
“Ba… bagaimana kau tiba-tiba ada disini?!” Gugup Jeha.
Jantungnya berdegup kencang memikirkan Neptu akan melaporkan prilaku nakalnya pada Aris. Dala hati, dia mengeluh kenapa ksatrianya harus pergi saat malam hari.
Neptu tidak bisa mengatakan jika menebak apa yang ingin dilakukan pangeran nakal ini tidaklah sulit. Seharian dia gelisah dan menyebut istal berkali-kali. Terlebih berniat tidur bahkan saat matahari baru terbenam. Jika ada orang yang tidak bisa menebak pikirannya, itu bisa dipastikan dia belum mengalami bersama pangeran ini selama seharian penuh.
Meski begitu, pada akhirnya dia hanya mengatakan bahwa ini adalah tugasnya.
“Jangan bilang-bilang kakak jika aku ke istal, oke. Atau aku akan meminta ayah menghukumnya.” Jeha melotot tajam berusaha mengancam dan membuat takut ksatria kakaknya ini.
Neptu hanya mengangguk. Bahkan jika dia tidak mengatakan apapun, Pangeran Aris akan tahu. Di istana ini tidak ada satu hal pun yang bisa disembunyikan darinya. Kekuatan pangeran Aris diistana nyaris menyamai raja.
Jeha yang diikuti Neptu berlari ke arah istal. Bramila adalah tempat terjauh dari kandang kuda itu, tentu saja membutuhkan waktu untuk sampai. Terlebih, dia harus menghindari patroli agar kenakalannya tidak sampai pada empat orang yang bisa mengomelinya.
Hanya saja, otak kecil Jeha tidak mengetahui jika rombongan patroli itu akan pura-pura tidak melihatnya. Atau bahkan sengaja berbelok saat Jeha berdiri kaku dipojokan karna takut ketahuan.
Disituasi ini, satu-satunya orang yang tegang dan merasa sedang melakukan kenakalan adalah Jeha. Bahkan Neptu harus menguatkan hatinya agar tidak kelepasan memberitahu pangerannya agar tidak perlu melakukan hal seperti itu.
Di jalan antara pepohonan lereng bukit, Aris mengangkat sebelah alisnya mendengar laporan salah satu orangnya tentang tingkah Jeha. Dia selalu tak bisa menahan tawa gelinya karna tingkah anak itu. Bagaimana bisa dia tidak memanjakannya jika prilakunya seperti ini.
Sementara di Astaka, Raja Inggeh hanya bisa menghela nafas mendengar prilaku konyol putra bungsunya. Dia tidak tahu, semasa hamil selir Jin Ni mengidam apa sampai bisa menghasilkan putra seperti itu.
Jika raja dan putra mahkota tahu, tentu saja Shu Xi Mu juga tahu. Bahkan dia tahu alasan prilaku konyol Jeha. Jadi, dia pergi ke istal dengan cepat. Berada disana sebelum Jeha sampai.
Jeha yang naif tercengang saat sampai ditempat tujuan. Shu Xi Mu benar-benar berada di kandang kuda!
“Kau benar-benar tinggal disini?!”
Shu Xi Mu berbalik menatap Jeha yang seperti pergi ke alam lain. Dia hanya diam tanpa menyahuti jeritan bocah manis itu. Menikmati setiap ekspresinya lebih membuatnya tertarik daripada meluruskan kesalahpahaman yang sengaja dimulai Aris.
“Bagaimana bisa seperti ini? Aku akan mengatakannya pada ayah, kau adalah penyelamat ku, bagaimana bisa tinggal di kandang kuda.” Ucap Jeha penuh ketidakpuasan.
Tanpa ada yang menduga, dia mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Shu Xi Mu. Berusaha menariknya pergi, namun Shu Xi Mu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Dia justru menatap tangan mereka yang terkait sebelum menatap wajah Jeha.
“Kenapa diam saja, ayo. Aku akan bicara pada ayah agar memberimu pekerjaan dan tempat tinggal yang baik….”
“Aku suka tinggal disini.” Shu Xi Mu memotong ucapan Jeha.
“Eh?”
“Aku bilang, aku suka tinggal disini.”
Raut Jeha langsung shock mendengar pengakuan Shu Xi Mu. Dia tercengang sampai bahkan rohnya kesulitan menemukan jalan kembali. Bagaimana bisa ada orang baik hati yang tidak mengeluh meski tinggal dikandang kuda?!
Sedangkan Neptu yang berdiri diam dibelakang Jeha memiliki hati penuh keluhan. Bagaimana bisa pangeran ini begitu polos. Jelas-jelas pria didepannya menggunakan seragam ksatria bayangan. Mana mungkin dia tinggal di kandang kuda. Apa ukiran emas pada sabuknya tidak terlihat?
Dia rasanya sedikit mengerti perasaan tiga ksatria Jeha saat menghadapi tingkah polos nan bodoh pangeran mereka.
Jika Shu Xi Mu dan Aris membiarkan kesalahpahaman ini terus berlanjut, bagaimana dia berani memberitahu Jeha kebenarannya.
Neptu hanya bisa menghela nafas. Dia yakin bahkan jika tiga ksatria Jeha ada disini tidak akan berani memberi tahu Jeha tentang kesalahpahamannya. Bagaimanapun mereka mulai sadar akan kekuatan pangeran Aris dan sepenuhnya jatuh pada kontrol pangeran Aris.
Pangeran muda ini sama sekali tidak memiliki orang yang bertindak sepenuhnya sesuai kontrolnya diistana ini.
Pada dasarnya, Jeha hidup dengan kepercayaan penuh pada setiap orang di Prada. Baik itu ayahnya, ibunya, permaisuri juga kakaknya. Dia tidak akan pernah berpikir jika empat orang itu dan semua orang di kerajaan dan kekaisaran manapun selalu memiliki orang-orangnya sendiri.
Jeha memang senaif itu.
Sedangkan Shu Xi Mu, sama sekali tidak merasa membodohi Jeha. Karna ucapannya adalah benar. Dia menyukai tinggal disini. Di istana ini. Jika Jeha salah paham, itu bukan tanggung jawabnya untuk memberi tahu.
“Ka… kalau kau suka…. apa boleh buat.” Gumam Jeha kebingungan. “Banu, kamu ke kamarku dan ambil selimutku.”
“Pangeran, nama saya Neptu.” Ralat Neptu.
“E… eh? Baiklah, Neptu, tolong ambilkan selimutku.” Ulang Jeha dengan wajah merah padam karena malu.
Ksatria Aris itu mengangguk dan segera menghilang. Dia tidak khawatir meninggalkan Jeha sebentar, bagaimanapun disana ada Shu Xi Mu.
“Anu tuan…”
“Shu Xi Mu, kau bisa memanggilku seperti itu.”
Jeha mengangguk. Itu lebih baik memanggil nama daripada dia harus memanggil Shu Xi Mu pria tua. Kakaknya ini biasanya selalu memanggil setiap orang dengan namanya. Tapi kenapa dia tidak sopan pada Shu Xi Mu? Apa karna pria ini pengangguran dan menjadi beban istana?
Otak kecil Jeha tidak bisa berpikir lebih keras lagi, jadi dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan menemukan Joan mengulurkan kepalanya.
Kuda itu mungkin mencium bau Jeha hingga mengulurkan kepalanya dengan antusias. Tentu saja Jeha tidak kalah antusiasnya. Dia berlari ke arah Joan dan memeluk kepalanya. Menyisiri rambutnya dengan sayang, jika bisa dia pasti akan mengepangnya. Sayang sekali ibunya tidak memperbolehkan siapapun mengajarinya cara mengepang.
*************
[Chapter 14: Mimpi lagi]
“Joan, kenapa belum tidur?” Tanya Jeha sembari menyurukkan kepalanya ke leher Joan.
Sementara itu Shu Xi Mu menatap tangannya yang terlepas dari pegangan Jeha. Dia menatap remaja yang berbicara dengan kuda itu dan mendesah. Bagaimana bisa Jeha lebih tertarik bicara dengan kuda daripada dengannya?
Sebelum dia bisa memikirkan apapun untuk menarik perhatian Jeha, Neptu sudah datang membawa selimut Jeha.
Melihat hal itu, Jeha segera mendekatinya. Seketika wajahnya merah padam saat memeriksa selimut yang dibawa ksatria kakaknya. Dengan kesal dia menatap Neptu yang bingung akan kesalahannya.
“Kenapa membawa yang ini? Ini sudah beberapa hari ku pakai dan belum di cuci. Shu Xi Mu tidak akan menyukai selimut jorok seperti ini.” Bisik Jeha yang bisa didengar siapapun ditempat itu.
“Ah? Maafkan saya.” Gumam Neptu.
Dia mengeluh dalam hati, bagaimana bisa ia berpikir jika Jeha membutuhkan untuknya sendiri. Sepertinya pukulan pertama terlalu kuat hingga dia tidak bisa menghindari pukulan lainnya. Dia ingin menangis mendapati cara pikirnya mulai seaneh Jeha.
Jelas, bersama Aris dan bersama Jeha sangat jauh berbeda dan berpengaruh pada mentalnya.
“Cepat, cepat pergi dan dapatkan yang baru.” Desak Jeha mendorong Neptu agar segera pergi. Tapi ucapan Shu Xi Mu menghentikan kesibukan dua orang itu.
“Aku tidak masalah.”
Jeha menatap Shu Xi Mu dengan canggung. Memberi orang lain barang bekas pakai yang belum dicuci itu sedikit keterlaluan. Dalam hati dia menyalahkan Neptu yang sulit mengerti instruksinya.
“Tidak. Biarkan Neptu mengambil gantinya. Itu tidak nyaman memakai sesuatu yang kotor. Istal sudah tidak nyaman, jadi aku ingin memberimu sesuatu yang nyaman.”
Shu Xi Mu mengambil alih selimut dari tangan Neptu. Dia mengusap kain lembut berwarna kuning pucat itu lalu menatap Jeha.
“Ini baik-baik saja.”
“Jika kau mengatakan begitu maka begitu. Ah, katakan padaku apapun yang membuatmu tidak nyaman. Aku akan berusaha membantumu. Jika aku tidak bisa, maka aku akan meminta kakak untuk membantu.”
“Ya.”
Jeha tersenyum manis mendengar jawaban itu. Dia lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan Shu Xi Mu. Meski begitu, perasaannya masih gelisah.
Shu Xi Mu jelas sudah menolongnya, lalu dia bahkan mengajarinya memanah dengan baik. Tapi dia tinggal di istal. Nasib orang baik selalu tragis. Maka Jeha tidak mau menjadi orang baik.
Kepercayaan mutlak Jeha pada ucapan Aris sungguh menyesatkannya.
Sementara itu dibelakangnya, Shu Xi Mu masih memegangi selimut Jeha. Lalu seseorang muncul dari sudut gelap. Pemuda berpakaian putih itu tertawa lembut saat berdiri disampingnya.
“Kembalikan selimut adikku pria tua.”
Aris mengulurkan tangannya akan meraih selimut itu, namun Shu Xi Mu menghentikannya tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Jeha yang sudah menghilang.
“Dia yang memberikannya padaku.”
“Kau tidak ingin berterima kasih padaku?”
“Tidak sama sekali.”
“Jangan gunakan Itu untuk membangun fantasi liarmu.”
Setelah mengatakan itu, Aris melangkah pergi diikuti para ksatrianya.
Bulan naik ke bagian tertinggi dari langit. Cahaya keemasannya semakin pudar. Cahaya lemahnya bahkan harus tertutup daun dan ranting hingga tak bisa menyentuh sosok yang tidur dengan gelisah diranjangnya.
Jeha terbangun dari tidurnya dengan keringat yang bercucuran. Tangan kecilnya terulur untuk mengusap wajahnya yang pucat dan sedingin es. Menghela nafas, dia menatap cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah jendela dengan ukiran rumit dan cat keemasan.
Festival itu seharusnya selesai kemarin malam. Tapi mimpi buruk yang dimilikinya terbawa hingga kini. Kejadian menakutkan itu seolah melekat erat dikepalanya dan muncul untuk menerornya saat malam.
Dia ingin kembali tidur, namun dalam sekejap matanya terbuka lagi. Kali ini gambaran orang-orang yang berdarah berubah menjadi keluarganya. Ayahnya, ibunya, permaisuri, kakaknya dan bahkan Putri Calya.
Menahan tubuhnya yang menggigil, Jeha meraih selimut. Membungkus erat tubuhnya untuk mengusir rasa dingin itu. Berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas berusaha menenangkan irama jantungnya yang seperti akan meledak.
Pada akhirnya dia tidak bisa memejamkan matanya hingga pagi. Dia hanya duduk diam menunggu para dayang membantu membuka pakaiannya dan menyiapkan air mandi.
Saat berendam di bak penuh kelopak mawar, dia tidak tertidur. Wajahnya yang putih jernih terlihat melankolis dengan pantulan cahaya keemasan dari matahari pagi. Tampilannya seperti keindahan rapuh yang menarik setiap orang untuk melindunginya.
Para dayang yang biasanya berhati-hati saat mencuci rambut Jeha yang sedang tidur, kini lebih berhati-hati lagi saat merasakan suasana hati Jeha yang berbeda.
Setelah selesai berpakaian, dayang kali ini hanya menarik sedikit helaian rambutnya dari kanan dan kiri, mengikatnya dengan pita berwarna kuning sesuai dengan pakaiannya. Lalu menyelipkan jepit mungil sebagai pemanis diikatannya.
Pada dasarnya, rambut Jeha sama dengan digerai. Hanya ada sedikit dari kedua sisi yang menahannya agar tetap dibelakang, tanpa mengganggu pandangan sang pangeran.
Wewangian favorit Jeha disematkan dalam kantung pakaiannya, lalu semua dayang mundur. Membiarkan Jeha melihat tampilannya pada cermin besar dihadapannya.
Sosok mungil nan cantik dengan rambut tergerai bagai sutra terpantul disana. Wajahnya begitu sendu, matanya lembab seolah menanggung banyak kesedihan.
Jeha berkedip menatap pantulan dirinya. Lalu perlahan dia tersenyum dengan manis. Memunculkan rona-rona menawan di kedua pipinya. Tampilannya sungguh memukau dengan kecantikan yang bisa disandingkan bersama putri manapun.
“Eiii sepertinya aku terlalu tampan hingga para putri itu tidak menyukaiku.”
Kalimat narsis itu membawa para dayang yang melayang terpesona kembali ke dunia nyata. Mereka hanya bisa mendesah dalam hati. Apa yang dimiliki pangeran jelas memberinya modal untuk narsis. Tidak ada yang salah dengan itu.
Seperti kata Jeha, sejak dia mulai diperkenalkan dengan beberapa Putri yang sebaya, kebanyakan mereka tidak menyukai Jeha. Terutama Putri Ambar. Karena tidak mauencari tahu alasannya, Jeha hanya akan membuat alasannya sendiri. Lagipula, dia tidak masalah ditolak oleh banyak putri.
“Apa pelajaranku hari ini?”
“Anda akan mempelajari permainan alat musik guqin.”
Jeha mendesah mendengarnya. Dari semua gurunya, hanya guru musik ini yang memujinya sepanjang pelajaran. Tapi juga hanya pelajaran ini yang sangat tidak disukainya. Ini adalah rekomendasi ibunya. Gurunya pun didatangkan dari kekaisaran Xu.
Alasan Jeha tidak menyukainya adalah, terlalu mudah dipelajari. Tidak ada tantangan sama sekali. Bahkan melukis lebih menantang daripada bermain guqin. Mungkin seharusnya semua guru pelajarannya didatangi dari kekaisaran Xu, cara mengajar mereka jelas efektif pada Jeha.
Demi mengulur waktu, dia mendatangi dapur Bramila. Meminta para pelayan mengemas beberapa menu sarapan lalu membawanya ke arah istal.
Memikirkan pria baik nan malang yang tinggal dikandang kuda, Jeha jadi ingin memberinya semua hal baik. Seperti sarapan pagi contohnya.
Disisi lain, orang-orang yang sudah menerima kabar apa yang akan dilakukan Jeha segera bergerak. Shu Xi Mu dengan momentum luar biasa muncul di istal, berdiri dengan anggun menunggu kedatangan bocah imut itu.
Lalu Aris dengan tenang memakai pakaian resminya. Dia keluar dari Janitra tepat saat Jeha melewati halaman luas taman utama. Tersenyum lembut, Aris melangkah menghampiri Jeha.
Melihat kakaknya berjalan ke arahnya, Jeha menegakkan postur tubuhnya. Lalu memberi salam, “Salam pangeran mahkota, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.”
“Salam untukmu pangeran Jeha, semoga keberuntungan selalu menyertaimu.” Balas Aris.
Lalu dia memperhatikan dayang dibelakang Jeha yang membawa beberapa kotak makanan. Tersenyum lebih lebar, dengan wajah polos dia berkata, “Ah, apa kau membawakan makanan untuk kakakmu? Adikku sangat manis dan pengertian. Dapur Janitra sedang bermasalah hingga tidak bisa menyediakan sarapan untukku. Padahal, aku harus menghadiri sidang pagi.”
“Benarkah?! Itu tidak bagus. Kakak tidak akan bisa berpikir jika perut kosong. Ayo, aku membawakan makanan untukmu.” Ucap Jeha dengan riang.
Aris mengusap kepalanya dengan gemas dan tertawa renyah. Mereka menuju Janitra dengan mudah karna Jeha melupakan tujuan utamanya.
Semua orang selain Jeha mengerti jika Aris hanya berbohong. Sejarah mana yang mengatakan dapur milik putra mahkota bisa mengalami kecelakaan hingga tak bisa menyediakan sarapan untuk putra mahkota?! Itu hanya omong kosong. Seandainya pun benar bermasalah, selalu ada cara lain untuk memenuhi prioritas.
Ditengah kesenangan Aris, seorang yang berdiri tegap di istal mengeluarkan aura mematikan hingga kuda-kuda menjadi gelisah. Bahkan seorang penjaga istal merasakan tubuhnya membeku dan nyaris roboh saking beratnya tekanan itu.
Shu Xi Mu melambaikan tangannya mengusir orangnya yang menyampaikan masalah Aris yang mencegat Jeha. Matanya menyipit ke arah Janitra, lalu berbalik untuk pergi. Lain kali, dia akan membuat pria itu tidak bisa menemui Jeha sama sekali.
Di Janitra, suasana harmonis antara kakak dan adik tercipta. Mereka makan dengan riang sembari berbicara hal-hal ringan. Pada akhirnya yang banyak memasukkan makanan ke dalam perut adalah Jeha. Aris hanya menghabiskan satu mangkuk sup dan menyudahi makannya.
Setelah menyeka mulutnya di berkata, “Untuk perburuan rutin Da Luo Yan yang akan datang, kau yang akan pergi.”
Jeha mendongak menatap kakaknya. Membiarkan Aris mengulurkan tangannya untuk membersihkan sekitar mulutnya yang belepotan menggunakan serbet dan berkata, “Acara resmi seperti itu tidak boleh aku yang datang. Aku hanya akan mengacaukannya dan mempermalukan ayah dan kakak.”
“Hei darimana mental picik seperti itu? Aku pangeran, kau juga pangeran. Aku ataupun kau yang datang bukanlah masalah besar. Lagipula para ksatriamu akan ikut. Aku bahkan akan membiarkan Neptu bersamamu untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Jadi jangan khawatir.”
Aris bahkan menyentil dahi Jeha karna kesal dengan pemikiran adiknya ini. Siapa yang mengajarinya berpikir begitu rendah diri?
******************
[Chapter 15: Lengket]
Aris yakin Yan Tian Ye pasti akan mengundang Jeha pada perburuan kekaisaran nanti. Daripada membiarkan Jeha mendapatkan undangan khusus dari Yan Tian Ye dan menarik perhatian, lebih baik mengirimnya sebagai perwakilan Prada.
“Benarkah baik-baik saja? Ayah akan mengijinkanku?”
Pertanyaannya yang seharusnya bernada cemas itu justru terdengar riang dan antusias. Tentu saja, ini adalah pertama kalinya Jeha menghadiri acara kekaisaran mewakili kerajaannya. Dia merasa menjadi orang penting dalam sekejap.
Terlebih, ini adalah pertama kalinya dia akan mengunjungi ibukota Da Luo Yan. Berbicara tentang itu, dia jadi teringat Yan Tian Ye. Apakah dia bisa menemui orang itu lagi dan menagih janjinya untuk memandunya keliling kota?
Jeha sangat menantikan kepergiannya nanti. Sebelum itu, bukankah itu berarti dia harus meningkatkan kemampuan berkuda dan memanahnya?
“Kakak…”
“Aku tahu.”
Aris menghentikan Jeha yang hampir merengek. Bagaimana mungkin dia tidak bisa membaca pikiran sederhana adiknya.
“Dua hari lagi, aku harus pergi ke daerah selatan. Shu Xi Mu bisa membantumu berlatih. Lalu kau bisa menemui Neptu di Dong Jia.”
Sangat disesalkan dia harus menyerahkan keinginan berlatih Jeha pada pria tua itu. Tapi apa yang harus dilakukan tetap harus dilakukan. Aris tak bisa melalaikan pekerjaannya.
Bahkan tadinya dia berniat meminta ayahnya mengirimkan salah satu menteri sebagai perwakilan saat perburuan. Dia enggan mengirim Jeha karna khawatir dia akan ditindas. Tapi dengan adanya Yan Tian Ye yang tertarik, itu akan baik untuk dimanfaatkan. Dan lagi dia akan mengirimkan Neptu untuk mengendalikan pergerakan Yan Tian Ye.
Masalah pria tua itu, Aris yakin Shu Xi Mu tidak akan berlebihan saat bersama Jeha. Setidaknya saat ini dia bisa memastikannya. Dan dia harap bisa mempertahankan kontrolnya hingga masa mendatang.
Mendengar Aris akan pergi lagi, membuat Jeha semakin lengket. Bahkan remaja itu berinisiatif tidur bersama kakaknya. Sayang sekali, itu adalah pilihan yang salah.
Saat Jeha terbangun karna mimpi buruknya lagi, Aris menatapnya. Tubuh menggigil dengan wajah pucat dan keringat dingin. Mata yang kehilangan fokusnya dan ketakutan ketika akan kembali tidur.
Jeha sepertinya lupa jika dia tidur di Janitra. Meski memiliki kamarnya sendiri di Janitra, tapi tak akan lepas dari pengawasan Aris.
Saat dia akan memeluk kedua lututnya, Aris melangkah masuk dan mengulurkan tangannya. Dia menarik tubuh kecil yang terlihat rapuh itu ke dalam pelukannya.
Biasanya Jeha akan bertingkah manja jika sudah seperti ini. Tapi sekarang, dia hanya diam dan semakin meringkuk didalam pelukan Aris. Jelas fokusnya belum kembali.
Menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, Aris berkata: “Tidurlah, aku disini.”
Jeha mencengkeram erat pakaian Aris dengan cakar kecilnya yang tak berhenti bergetar. Karna Aris terus membelainya dan menenangkannya, perlahan Jeha kembali jatuh tertidur.
Setelah tenang beberapa saat, bunyi orang berkelahi terdengar dari luar dinding belakang. Aris menatap wajah tenang Jeha sambil bergumam, “Jangan ribut. Loka, biarkan dia masuk.”
Tepat setelah ucapan Aris selesai, jendela kamar yang Jeha tempati di Janitra terbuka. Itu tidak menimbulkan sesuatu yang gaduh. Bahkan langkah sosok berpakaian hitam yang menapak di bingkai jendela sebelum melangkah masuk sama sekali tak terdengar.
“Apa kau menyesal?”
Aris mengusap wajah Jeha, perlahan dia berniat membaringkan adik kecilnya di kasur. Namun baru saja bergerak menjauh satu inci, Jeha sudah gelisah dalam tidurnya. Membuat Aris mengurungkan gerakannya.
“Tidak.”
“Baiklah. Kau memang sekejam ini.” Desah Aris kesal.
Shu Xi Mu hanya menatap Jeha tanpa mengatakan apapun lagi. Begitu juga Aris, dia berbaring memeluk adik kecilnya dan mengabaikan Shu Xi Mu yang berdiri didekat jendela.
Tangannya memainkan rambut panjang Jeha. Sementara matanya terus fokus memperhatikan helaian rambut yang di mainkannya, pikirannya jelas ke tempat lain.
Mereka menghabiskan malam dengan cara seperti itu. Saat fajar muncul, Shu Xi Mu berlalu. Dan Aris pergi ke kamarnya hanya ketika Jeha hampir bangun. Tidak ada yang bisa dikatakan Aris tentang mimpi buruknya, Jeha memang harus menghadapinya dan mengatasinya sendiri.
Di masa depan, sebagai seorang pangeran, dia akan mengalami berbagai macam jenis pembunuhan, jebakan, persekongkolan bahkan perebutan tahta. Jika terus seperti ini, Jeha akan jatuh bahkan sebelum bangun.
Tapi, sebagai seorang kakak yang mengamatinya tumbuh besar, Aris tidak tega. Dia ingin memberikan kehidupan yang riang dan nyaman untuk anak itu. Tanpa satupun kesulitan.
Hari ini adalah kepergian Aris ke daerah selatan Prada. Jeha baru saja kembali dari mengantarnya hingga gerbang depan. Wajahnya tentu saja cemberut. Jika kakaknya sudah pergi lagi seperti ini maka butuh berbulan-bulan untuk kembali.
Kali ini jelas dia hanya satu bulan di istana, seharusnya diluar hanya satu atau paling lama dua bulan. Jeha mendesah, dia sudah merindukan kakaknya lagi.
“Joan, apa kau ingin jalan-jalan keliling negri seperti Jatra? Lain kali, di masa depan kita akan melakukan seperti kakak dan Jatra. Jalan-jalan ke penjuru negri. Bagaimana? Kau senang?”
Seolah mengerti ucapan Jeha, kuda totol itu meringkik.
Mereka berjalan santai. Mata Jeha tiba-tiba cerah melihat rombongan patroli yang akan berpapasan dengan mereka. Dia sepertinya lupa kesedihannya karna kepergian Aris dalam sekejap.
Petugas patroli akan mengelilingi bukit dengan berkuda dalam rombongan lima orang. Biasanya, mereka akan lewat setiap satu jam sekali. Selain pintu gerbang depan dan belakang bukit, juga muka istana, ada beberapa titik poin yang menjadi pos bagi petugas patroli.
Prada memang seketat ini.
“Salam pangeran kedua, semoga keberuntungan selalu menyertai anda.” Serempak mereka turun dari kuda dan memberi salam dengan meletakkan satu tangan di dada.
Melihat mereka seperti ini, seketika Jeha merasa superior. Seolah-olah dia adalah kakaknya dengan wibawa dan keanggunan yang mampu menekan orang lain.
“Salam. Semoga keberuntungan selalu menyertai kalian.” Ucap Jeha dengan gaya paling elegan.
Wajah puasnya begitu nyata. Jeha sangat jarang bertemu petugas patroli maupun prajurit ataupun pejabat lain. Dia hanya berputar diantara dayang, ksatria juga keluarganya.
Mengalami hal seperti ini, benar-benar memuaskan.
Tak jauh dari sana, Shu Xi Mu mengamati ekspresi dan tingkah lucu anak kucing itu. Hatinya menjadi gatal seketika. Anak ini semakin dilihat semakin menggemaskan. Selalu bisa menjadi ceria karna hal-hal sepele.
Di sisi lain, raja Inggeh menghela nafas mendengar laporan orangnya. Dia menyipitkan mata menatap gulungan-gulungan pekerjaan yang menumpuk.
“Pria yang direkomendasikan Aris ini seperti tidak tahu tugasnya. Bagaimana bisa selalu menargetkan Jeha?” Keluhnya.
Sejak Aris merekomendasikannya masuk ke jajaran ksatria bayangan dua tahun lalu. Raja Inggeh sudah merasa janggal. Pria ini jelas sulit dikendalikan. Dia bisa dipertahankan hanya dengan mempertimbangkan satu sisi. Tugas yang diberikan padanya tidak pernah gagal.
Diluar itu, Shu Xi Mu akan bersikap seolah tidak terikat apapun.
Tentu saja raja Inggeh sudah mengirimkan orang untuk memeriksa dirinya. Tapi semuanya masih abu-abu. Seolah ada yang sengaja menutupinya.
Selain orang ini, hal-hal lain yang berhubungan dengan Aris semakin ke sini semakin tidak bisa dibaca olehnya. Tindakannya begitu jelas namun juga begitu kabur. Sulit dimengerti apa yang dicarinya.
Raja hanya bisa percaya bahwa apapun yang dilakukan Aris, dia tidak akan menyakiti keluarganya.
Di Bramila, Jeha menatap kotak-kotak makanan yang ditata pelayan. Dia ingat, beberapa hari lalu pernah berniat membawakan makanan untuk Shu Xi Mu yang malang, namun justru berakhir di Janitra.
Memikirkan itu, seketika Jeha merasa malu. Setelah berhari-hari, dia baru ingat hal ini sekarang. Pikirannya selalu mudah dialihkan. Ini tidak bagus.
Saat Jeha melewati ruangan ibunya, seharusnya dia tahu jika wanita ini akan mencegatnya. Dengan tekad kuat dia berpikir tidak akan teralihkan lagi. Jadi dia mengucapkan salam dengan benar dan berniat cepat pergi.
Sayang sekali selir Jin Ni tidak berniat melepaskannya dengan mudah.
“Kemana kau akan pergi?”
Mata tajam dan besar wanita itu memindai dari Jeha hingga ke para dayang dibelakangnya yang membawa kotang makanan.
“Ibu … ini …” Jeha kebingungan bagaimana cara menjelaskannya.
Dia tahu ibunya akan marah jika dia berkata akan mendatangi Shu Xi Mu. Ibunya ini sangat menentang dirinya berhubungan terlalu dekat dengan orang luar. Maksudnya diluar keluarga dan para dayang.
Jelas-jelas pengaturan ini yang membuat Jeha tidak mengerti banyak hal. Dia cemberut dan menggerutui ibunya dalam hati. Betapa merepotkannya, begitu tidak boleh dan begini tidak boleh.
Melihat wajah imut yang nyaris bulat seperti bakpau karna pipinya yang menggembung, selir Jin Ni mendesah dan mengulurkan tangannya. Mengusap wajah bayi yang menggemaskan didepannya.
“Sudah berapa lama kita tidak makan bersama?”
Wajah Jeha seketika panik mendengar ucapan itu, serangan ibunya baru saja dimulai.
“Ah ibu disini hanya sendirian, tanpa keluarga dan kerabat. Ibu sangat berusaha beradaptasi di negri asing ini dan mencintainya seperti negri sendiri. Tapi tetap saja perasaan sepi itu kadang-kadang muncul, satu-satunya putra ibu justru sering menghabiskan waktu dengan orang lain…”
Jeha tercengang. Ini adalah kemampuan kedua selain mengomel. Ibunya adalah ratu drama dalam keluhan, selalu bisa membuat orang lain tidak enak jika tak memenuhi keluhannya.
Setiap dayang dan ksatria Jeha semakin memahami darimana kemampuan mengeluh Jeha yang sulit diabaikan itu.
“Baiklah. Baiklah ibu. Kita akan makan bersama.” Ucap Jeha pasrah.
Patut di apresiasi. Didunia ini yang bisa mengalahkannya dalam adu wajah memelas hanyalah ibunya. Sungguh sulit diabaikan apalagi ditolak.
*************
[Chapter 16: Suapan]
Selir Jin Ni dengan riang mengajak putranya masuk ke ruangannya. Kotak-kotak makanan untuk seseorang dibuka satu persatu untuk mereka nikmati.
“Jeha, apa kau merindukan nenekmu?” Tanya selir Jin Ni tiba-tiba ditengah kegiatan makan mereka.
“Hm?”
“Ibu merindukan nenekmu. Setengah tahun kemudian adalah perayaan hari persembahan. Bagaimana jika kita mengunjungi nenekmu?”
Jeha berpikir keras. Ini lebih dari setahun setelah kunjungan terakhir. Tapi sekali perjalanan menghabiskan waktu dua puluh hari. Jika ditambahkan selama tinggal disana dan waktu kembali, maka itu akan menghabiskan dua bulan.
Waktu paling lama bagi Selir Jin Ni tidak mengunjungi keluarganya di kekaisaran Xu adalah tiga tahun. Jika lebih lama dari itu dia akan menjadi wanita yang gampang histeris. Yang paling sering tentu saja setahun sekali.
Jika dibandingkan dengan selir atau permaisuri manapun, maka selir Jin Ni adalah orang yang sangat mencintai kegiatan pulang kampung.
Itu tidak bisa disalahkan. Posisinya diPrada biasa-biasa saja. Dia bukan permaisuri dan putranya bukanlah putra mahkota. Jika keadaan darurat, Raja selalu bisa melepaskan prioritas darinya.
“Bagaimana pendapat ayah?”
“Seharusnya tidak masalah. Ibu akan menanyakan itu pada Baginda raja nanti. Bicara tentang ini, Jeha biasakan memanggilnya Baginda raja.” Selir Jin Ni mengulurkan tangannya untuk menyentil dahi putranya.
“Tapi dia ayahku!” Protes Jeha tak senang.
Selagi ibu dan anak menikmati makanan dan dialog mereka. Seorang pria lagi-lagi dibuat menunggu sia-sia di istal.
Belajar dari dua kali kesalahan, kali ini Jeha mengganti strateginya. Dia meminta pelayan mengemasi makanan saat matahari baru tenggelam. Entah kenapa dia merasa bersalah memikirkan Shu Xi Mu di kandang kuda.
Jika tempat tinggalnya saja seperti itu, bagaimana dengan makannya? Apakah istana memberi makan pada pengangguran? Sungguh sulit bagi Jeha untuk memikirkannya. Setelah makanan ini diantarkan, dia berniat mengeluh pada ayahnya.
Bagaimana bisa ayahnya memperlakukan penolongnya seperti itu?
Di Awanta, raja Inggeh tersedak saat menelan sup buahnya. Membuat Permaisuri dengan cemas mengulurkan air minum.
Saat sampai di istal, Jeha tersenyum riang menemukan pria yang dipikirkannya dalam beberapa hari ini berdiri seolah menunggunya.
Dan Shu Xi Mu diam-diam mendesah dalam hati. Hanya menunggu bocah ini datang butuh tiga kali percobaan pada kesabarannya. Sungguh suatu tantangan.
“Kau tidur dimana?” Tanya Jeha sambil celingukan.
Dengan tenang Shu Xi Mu menunjuk pojokan dimana sebuah dipan dengan alas tikar berada. Jeha tercengang. Tempat seperti itu bisa digunakan untuk tidur?
Dia menatap bolak-balik antara Shu Xi Mu dan dipan itu. Setengah ragu, bagaimana bisa tidur ditempat seburuk itu masih memiliki tubuh dan wajah yang bagus. Tidak ada sedikitpun gurat keluhan dan kesengsaraan.
Dan Jeha masih ingat Shu Xi Mu mengatakan dia menyukai tinggal disini. Seketika Jeha menjadi ragu, apakah dia akan mengeluh pada ayahnya atau tidak.
Melemparkan hal-hal rumit kebelakang kepalanya, Jeha menarik Shu Xi Mu ke rerumputan dibawah pohon. Tidak seberapa jauh dari istal. Dia luput menyadari jika selimut pemberiannya sama sekali tak ada di dipan itu.
Karna Aris sudah pergi bersama ksatrianya, setiap malam salah satu dari tiga ksatria Jehalah yang bertugas. Sementara dua lainnya melanjutkan tuntutan Aris hingga saat perburuan kekaisaran tiba.
Kali ini adalah giliran Banu, dia dengan terampil memasang empat obor disetiap sudut sebagai penerang.
Seorang dayang membentangkan tikar, lalu yang lainnya menata makanan diatasnya. Setelah selesai, mereka segera mundur membiarkan Jeha dan Shu Xi Mu duduk berdua diatasnya.
“Shu Xi Mu, bagaimana dengan memulai sebuah pekerjaan?”
Jeha bertanya sembari meletakkan piring didepan Shu Xi Mu. Lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.
“Pekerjaan?” Tanya Shu Xi Mu. Meskipun disebut bertanya, nadanya tetap datar. Tidak ada kebingungan sama sekali.
“Ya. Aku senang saja jika ada yang lebih tak berguna dariku. Tapi itu tidak bagus untukmu terus tinggal di istal. Memiliki pekerjaan akan membuatmu mendapatkan tempat tinggal yang baik diistana.”
Shu Xi Mu memperhatikan bagaimana Jeha mengisi piringnya dengan berbagai macam lauk hingga membentuk gunung kecil. Lalu perhatiannya beralih pada wajah bingung yang menggemaskan karna memikirkan lauk mana yang belum diberikan pada Shu Xi Mu.
Jeha benar-benar menganggap Shu Xi Mu sebagai orang miskin yang malang.
“Baiklah.”
Mendengar sahutan pria itu, perhatian Jeha jadi teralihkan. Dia menatap Shu Xi Mu yang belum memakan makanannya, lalu berpikir jika pria itu malu.
“Ayo makan, aku menjamin ini rasanya sangat enak. Jangan sungkan, oke.”
Seketika Shu Xi Mu merasa kenyang melihat senyum lebar dan cemerlang remaja didepannya. Tapi dia tetap mulai makan. Sama sekali tidak bisa mengecewakan Jeha.
Hampir saja Jeha berceloteh lagi saat Shu Xi Mu mengulurkan sesendok makanan padanya. Jeha menatap sendok itu dan Shu Xi Mu dengan bingung.
“Bantu aku menghabiskannya.”
“Apa kau tipe yang makan sedikit?”
“Ya.”
Setelah mendengar itu, tanpa ragu Jeha membuka mulutnya. Makan dari suapan Shu Xi Mu dan menggunakan sendok yang sama. Hal ini memberi kepuasan pada pria itu.
Sementara Jeha yang sama sekali tidak mengetahui pikirannya berkata, “Bagaimana bisa dengan makan sedikit bisa menghasilkan tubuh yang begitu besar. Benar-benar membuat iri.”
“Kau akan besar dengan banyak makan.”
Lagi, Shu Xi Mu menyuapinya. Hingga pada akhirnya Jeha memasukkan hampir seluruh makanan ke perutnya sendiri.
Ditempat itu, yang tidak menyadarinya tentu saja hanya Jeha seorang.
“Aku terlalu kenyang.” Keluh Jeha menepuk-nepuk perutnya.
Merekapun berbicara tentang hal-hal sepele. Seperti biasa, Jeha yang banyak bicara sementara Shu Xi Mu akan menjadi pendengar yang baik. Hingga saat Jeha menyinggung masalah pekerjaan, Shu Xi Mu mengatakan sudah mendapatkannya dari Aris. Sebagai pelatih Jeha dalam meningkatkan keterampilan memanah.
Jeha senang mendengarnya. Karna malam sudah larut, Jeha membiarkan dayang mengemasi semua dan kembali ke kamarnya.
Malam ini cahaya bulan tertutup awan. Sinarnya yang lemah bahkan tidak mampu mencapai bumi. Bunyi gemerisik dedaunan yang tersapu angin memeriahkan malam.
Jeha lagi-lagi gelisah dalam tidurnya.
Jendela disampingnya terbuka tanpa suara. Ketika sosok berpakaian hitam akan masuk, tentu saja Banu menghalanginya. Menemui Jeha saat terbangun itu bisa dimengerti. Tapi menemui Jeha saat pangerannya itu tertidur, bagaimana Banu bisa membiarkannya.
Perkelahian singkat terjadi dengan hasil Banu pingsan. Shu Xi Mu memerintahkan orangnya untuk membawa Banu keluar.
Setelah hanya ruangan sepi, Shu Xi Mu mendekati Jeha yang gelisah. Sepertinya remaja ini berusaha untuk bangun dari mimpi buruknya.
Dia mengulurkan tangannya mengusap keringat dingin di dahinya. Lalu sentuhan itu menjalar pada mata, hidung, pipi dan bibir pucat remaja yang tidak sadar.
Shu Xi Mu membaringkan tubuhnya disisi Jeha, dengan lembut mengumpulkan bocah itu ke pelukannya. Melakukan apa yang paling ingin dilakukannya.
Aroma mawar yang manis langsung merasuki penciuman Shu Xi Mu. Menjadi serakah, dia menempelkan hidungnya pada rambut Jeha. Menghirup aroma memabukkan itu hingga meresap ke dalam jantungnya.
Jeha yang diambang sadar dan tak sadar merasakan kenyamanan yang datang. Tanpa ragu dia mencengkeram apapun yang ada didekatnya. Berpegangan seolah hidupnya tergantung pada itu. Perlahan, kegelisahannya mereda karna mendapatkan jaminan.
Shu Xi Mu menatap wajah mungil yang berangsur tenang. Dengan lembut dia menyusupkan jemarinya ke helaian rambut Jeha. Membelainya dengan ketelitian yang sempurna.
Pagi harinya, Jeha bangun dengan perasaan yang baik. Tanpa mimpi buruk, dia benar-benar mendapatkan tidur yang nyaman.
Dengan semangat dia menghampiri Shu Xi Mu. Hari ini mereka berjanji untuk meningkatkan kemampuan Jeha memanah.
Jeha ingin mereka ke hutan belakang bukit, tapi Shu Xi Mu menyarankan hanya menggunakan lapangan berlatih istana dahulu. Jeha perlu mematangkan keterampilannya tanpa kuda sebelum mulai berlatih dengan kuda.
Karna Shu Xi Mu mengatakan seperti itu, tentu saja Jeha setuju.
Selama beberapa hari Shu Xi Mu benar-benar melatih Jeha dengan serius. Tidak ada omelan atau hukuman jika Jeha gagal atau melakukan kesalahan. Tapi dia akan merasakan aura menindas yang membuatnya ingin menangis.
Terlalu menyeramkan.
Tapi, Shu Xi Mu akan memberi pujian jika Jeha berhasil melakukannya. Pujian dari orang yang irit bicara itu bagi Jeha sangat berharga. Karna Shu Xi Mu tidak pernah berbohong demi kesenangannya. Dia akan berkata tidak jika tidak dan ya jika ya.
Berlatih bersama Shu Xi Mu sungguh memuaskan.
Sepuluh hari kemudian, Shu Xi Mu membawa Jeha ke hutan yang Jeha dambakan. Mereka akan berlatih menggunakan kuda.
Tentu saja itu bukan seperti kemampuan memanah Jeha sudah luar biasa, hanya saja lebih baik dari sebelumnya. Shu Xi Mu lebih menekankan kualitas daripada kuantitas. Jadi, Jeha dituntut tepat sasaran meski hanya mengenai sedikit.
Senyum Jeha melebar saat menunggangi Joan, dia melaju cepat dan merentangkan busurnya. Matanya menyipit penuh percaya diri saat melepaskan anak panahnya.
Itu tepat sasaran!
Jeha melonjak kegirangan, melupakan jika dirinya berada diatas Joan. Hasilnya, sudah bisa dipastikan dia terjatuh dari kuda.
Jaraknya yang cukup jauh dengan para ksatrianya juga Shu Xi Mu benar-benar membuat Jeha merasakan sakitnya menghantam bumi. Dia terdiam bahkan saat Shu Xi Mu memeluknya dan memanggil namanya.
*************
[Chapter 17: Menerapkan obat]
“Jeha, baby, hei…” Shu Xi Mu menepuk-nepuk pipi Jeha dengan lembut.
Matanya yang selalu acuh mengungkapkan kilatan kecemasan. Seharusnya dia tidak membiarkan Jeha terlalu jauh. Seharusnya dia mengikuti pergerakan bocah nakal ini. Lebih banyak seharusnya dan membuat Shu Xi Mu semakin gelisah.
Sementara ksatria Jeha hanya berdiam dibelakang Shu Xi Mu. Dengan adanya pria itu, tak ada ruang bagi mereka untuk mendekat. Disaat-saat seperti ini, perasaan menindas yang dikeluarkannya begitu terasa.
“Uh… tadi itu menakutkan.” Gumam Jeha setelah keluar dari linglungnya. Dia bahkan tidak menyadari panggilan Shu Xi Mu yang bisa dianggap lancang padanya.
Shu Xi Mu menghela nafas lega dan memeluk bocah yang membuatnya ketakutan ini. Syukurlah baik-baik saja. Jika saja yang disini Aris, maka dia akan langsung membawa Jeha pulang. Jika bisa menghentikan seluruh kegiatan latihan yang dipandang berbahaya.
Tapi dia adalah Shu Xi Mu. Setelah cukup memeluk remaja itu, dia sedikit menjauhkan tubuhnya dan menatap mata cerah Jeha.
“Masih ingin berlatih atau ingin kembali ke istana?” Tanyanya.
“Berlatih!” Jawab Jeha nyaris tanpa keraguan.
Senyumnya lebar dan cemerlang. Bahkan matanya berkilauan dan menarik habis atensi Shu Xi Mu hingga tak memiliki ruang untuk yang lain.
“Ini pertama kalinya aku merasakan jatuh. Biasanya mereka akan selalu menangkapku. Itu menyakitkan, tapi menakjubkan!” Seru Jeha.
Shu Xi Mu mengangkat lengan bajunya dan menemukan memar disana. Dia menatap itu dengan tidak rela. Menguatkan hati dari keinginan mengurung Jeha disuatu tempat untuk menghindari terluka.
Tak jauh dari situ, para ksatrianya tidak tahu harus tertawa atau menangis. Bagaimana mereka tahu jika Jeha bisa menghargai rasa sakit sampai seperti itu? Padahal mereka jelas sangat menjaga agar pangeran mereka itu tidak mengalaminya.
“Baiklah. Kau bisa melanjutkan latihanmu.”
Shu Xi Mu menepuk-nepuk lembut kepala yang hanya mencapai dadanya itu. Membiarkan Jeha berlarian menuju Joan, bersiap memulai latihannya lagi.
“Joan, kau sangat berani dengan menjatuhkan seorang pangeran!” Puji Jeha.
Lalu mereka menghabiskan seharian untuk berlatih sebelum Shu Xi Mu membawa Jeha kembali. Pria itu tidak membiarkan Jeha pulang ke Bramila, melainkan membawanya ke bagian dari istana yang tidak pernah Jeha kunjungi. Dia bahkan tidak tahu ada halaman seperti ini.
Shu Xi Mu melarang para ksatria itu untuk ikut. Bagaimanapun ini didalam istana, tidak akan ada yang terjadi. Keputusannya itu tentu saja membuat ketiganya gelisah. Mereka memikirkan kemarahan macam apa yang akan diterima dari pangeran Aris karna membiarkan Jeha hanya pergi dengan Shu Xi Mu.
Bahkan tadi malam dan malam-malam selanjutnya mereka tidak bisa menghalangi pria itu datang ke kamar Jeha. Situasi ini jelas menyiksa bagi kebanggaan dan harga diri mereka.
Setelah insiden terakhir kali, pangeran Aris menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya secara nyata. Memasukkan mereka ke dalam kontrolnya tanpa bisa melawan. Membuat para ksatria Jeha seperti memiliki dua tuan dimana seharusnya mereka hanya mendengarkan Jeha.
Tidak mengetahui pikiran ksatrianya, Jeha dengan senang hati memasuki halaman yang asing baginya. Letaknya dibagian terpencil dari istana. Dikelilingi pagar bambu, ada sebuah pondok kecil dipinggir kolam buatan.
Disisi lain kolam, sekumpulan rumpun bambu tumbuh subur. Menjulang menutupi sinar matahari disekitarnya. Memberi pemandangan cantik yang menyenangkan mata. Terutama bunyi derit dan gemerisik setiap kali angin datang.
“Aku tidak tahu ada tempat seperti ini dilingkungan istana.” Gumam Jeha.
Dia begitu patuh saat Shu Xi Mu mendudukkannya di teras pondok berukuran tiga kali tiga meter itu.
“Sekarang kau tahu.”
Shu Xi Mu memasuki pondok, lalu keluar lagi dengan membawa kain, pakaian dan kotak kecil ditangannya. Lalu memberikan kain dan pakaian itu pada Jeha, membuat pangeran kecil itu kebingungan saat menerimanya.
“Pergilah mandi di kolam itu, lalu aku akan menerapkan obat padamu.”
“Eh… baik.”
Jeha beranjak menuju kolam. Sekali dia menoleh ke arah Shu Xi Mu. Tidak mengerti kenapa pria itu tidak membiarkannya kembali dan membersihkan diri di Bramila saja. Ada pelayan atau ibunya yang bisa menerapkan obat padanya.
Oh, lebih baik jangan ibunya demi kesehatan telinganya.
Tidak butuh waktu lama bagi Jeha untuk selesai mandi dan berpakaian. Karna terbiasa dilayani, dia tentu saja hanya tahu melekatkan pakaian ketubuhnya tanpa bisa mengaturnya dengan baik.
Setelah mengamati beberapa saat, dia menyadari jika ini adalah pakaiannya sendiri. Tentu saja Jeha jadi menatap aneh pada Shu Xi Mu. Bagaimana bisa pria itu memiliki pakaiannya?
“Aku memerintahkan seseorang untuk mengambilnya dari kamarmu.”
Itu adalah jawaban Shu Xi Mu saat Jeha bertanya. Seharusnya banyak poin yang mencurigakan. Tapi bagi Jeha, jawaban itu saja sudah cukup. Otak kecilnya tidak memiliki cara untuk berpikir lebih jauh.
Warna mata Shu Xi Mu menjadi pekat menatap Jeha yang tidak rapi. Aura imut dan menggemaskan yang biasanya berubah menjadi mempesona dan memikat. Membuat tangannya gatal untuk menyentuh disana sini.
Tentu saja Shu Xi Mu tidak akan melakukan apapun yang ada dikepalanya. Jeha masih terlalu kecil. Dia bisa menunggu lebih lama lagi untuk anak ini.
“Kemarilah.”
Jeha dengan patuh duduk dihadapan Shu Xi Mu. Lalu membiarkan pria itu menerapkan obat dengan lembut dan hati-hati padanya.
Awalnya itu di bagian lengan, lalu punggung dan kemudian kaki. Setiap gerakan Shu Xi Mu seringan bulu, namun mampu membuat Jeha bergidik. Dia yakin dia bukanlah seorang penggeli. Tapi sentuhan Shu Xi Mu membuatnya menggeliat tak nyaman berkali-kali.
Untuk menghilangkan kecanggungan, Jeha berceloteh tentang rencana kepergiannya mengikuti perburuan Kekaisaran Da Luo Yan. Itu juga alasannya semangat berlatih, agar tidak mempermalukan Prada.
Shu Xi Mu tahu ini, tapi mendengarnya langsung dari Jeha membuatnya gelisah. Demi menenangkan dirinya, dia berkata, “Jeha, kau tahu kebanyakan pria Prada hanya meletakkan satu cinta pada satu orang?”
“Ya. Ibu juga mengatakannya. Dia bilang, jika dia tidak datang maka raja hanya akan memiliki permaisuri. Dan aku tak akan lahir.”
Jelas Jeha mengatakannya dengan nada ceria yang menyenangkan. Namun itu tak bisa membuat Shu Xi Mu tidak merasa salah bicara. Tapi dia tidak bisa berhenti.
“Apa kau tahu jika para pria kekaisaran selalu memiliki banyak wanita, terutama kaisar dan para pangeran?”
“Ya. Ibu adalah putri dari selir ke tujuh puluh kaisar Xu terdahulu. Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Bagaimana bisa kaisar Xu terdahulu mengingat nama-nama selirnya? Aku bahkan tidak ingat nama putri-putri yang diperkenalkan ibu kecuali Putri Ambar.”
Mendengar itu, suasana hati Shu Xi Mu membaik. Dengan nada ringan yang menyenangkan telinga dia berkata, “Lebih baik tidak usah terlalu dekat dengan para pria kekaisaran. Terutama pangeran ke tiga Da Luo Yan.”
“Baik.” Jeha setuju tanpa mengetahui apa yang dia setujui.
Meski hatinya sangat puas, wajahnya masih datar dan tanpa ekspresi. Hanya matanya yang memproyeksikan segala perasaan Shu Xi Mu.
Dia dengan lembut merapikan pakaian Jeha, bahkan membantu menyisiri rambut panjang remaja favoritnya ini. Setelah itu mengepangnya dan mengikatnya dengan pita emas. Shu Xi Mu meletakkan kepangan panjang itu ke bahu sebelah kiri Jeha.
Jeha yang didandani tercengang dengan kemampuan Shu Xi Mu. Semakin dia mengenal pria ini, semakin banyak hal-hal menakjubkan yang dilihatnya. Siapa yang menyangka pria kaku ini pintar mendandaninya.
“Shu Xi Mu, kau menakjubkan!”
Jeha mengacungkan dua jempolnya dan tersenyum lebar. Dia pikir lain kali tidak akan hanya belajar memanah dari Shu Xi Mu, tapi juga mengepang agar bisa mengepang rambut Joan. Itu akan sangat menyenangkan.
“Kemari, aku akan mengantarmu kembali ke Bramila.”
Kaki Jeha yang pendek tidak sampai untuk menginjak tanah saat duduk di teras pondok. Dan Shu Xi Mu tidak mengijinkannya melompat. Jadi dia hanya mengulurkan tangannya dan membiarkan Shu Xi Mu memeluknya untuk menurunkannya.
Dia tidak menyadari jika pria yang memeluknya itu sangat menikmati momen yang hanya berlangsung lima detik. Menghirup aromanya dengan dalam dan sengaja menyentuh sisi lehernya menggunakan bibirnya. Menyamarkan itu menjadi sebuah ketidaksengajaan.
Waktu berlalu seperti itu. Di siang hari mereka akan berlatih, lalu Shu Xi Mu akan mengambil kesempatan untuk menerapkan obat padanya. Dan di malam hari, pria itu akan mengalahkan para ksatrianya dan memeluknya saat tidur. Memberi alasan pada diri sendiri bahwa dia hanya menenangkan Jeha yang selalu mengalami mimpi buruk.
Tidak terasa, waktu yang ditunggu tiba.Selir Jin Ni meraung dan histeris tak terima jika putranya pergi jauh darinya. Perjalanan ke ibukota membutuhkan lima belas hari. Lalu akan tinggal disana selama sepuluh hari dan kembali. Total kepergiannya akan memakan waktu empat puluh hari.
Selir Jin Ni yang tidak pernah berpisah dari putranya menangis semalaman. Sama sekali tidak mengijinkan Jeha untuk pergi. Dia baru bisa menerima setelah raja dan permaisuri bergantian membujuknya, memberinya pengertian jika Jeha sudah tumbuh besar. Bukan lagi anak-anak yang harus terus digandengnya.
Sebelum keberangkatan, Jeha mendapat banyak pesan dari ayahnya, permaisuri dan ibunya. Mereka mengingatkan Jeha jika disana tidak akan ada yang memanjakannya, jadi harus bersikap dewasa.
Tentu saja Jeha tidak akan pergi sendiri, ada wakil kementrian ritus yang berusia tiga puluh lima tahun. Dia berwibawa dan tenang. Lalu ada sarjana muda lulusan terbaik tahun ini yang seusia dengan Aris. Setelah itu tiga ksatria dan tiga dayangnya juga sekelompok prajurit khusus berjumlah tiga puluh orang.
Ini adalah waktu kepergiannya, tapi Jeha justru berlarian menuju pondok tempatnya menemui Shu Xi Mu. Dia menyebutnya sebagai pondok bambu.
Nafasnya tersengal-sengal saat sampai ditempat itu, dia tersenyum lebar melihat Shu Xi Mu berdiri di sana. Pria ini selalu terlihat tenang dan keren setiap kali dia melihatnya. Sungguh mengagumkan.
Bergaul cukup lama membuat Jeha tanpa sadar menempatkan posisinya nyaris sama dengan Aris. Jadi dia berlari dan melompat masuk dalam pelukan Shu Xi Mu. Bertindak manja seperti saat dia bersama Aris.
“Aku akan pergi. Oleh-oleh apa yang kau inginkan?” Tanya Jeha dengan sedikit memundurkan wajahnya.
*************
[Chapter 18: Perjalanan ke kekaisaran]
Jarak antara wajah yang begitu dekat dan Jeha yang menggantung padanya seperti koala membuat Shu Xi Mu merasa meleleh. Perasaannya begitu manis hingga dia tak ingin membiarkan Jeha pergi.
Tapi itu tak bisa dilakukan. Aris akan mengeluh, dan kekaisaran tidak akan senang pada Prada jika Jeha tidak datang. Ya, berkat Yan Tian Ye, kekaisaran mengirimkan undangan khusus pada Jeha.
“Apapun tidak masalah.”
“Kau terlalu sederhana. Harus memiliki sedikit keinginan, atau hidupmu akan membosankan.” Nasehat Jeha.
“Hn.”
Jeha terkekeh mendengar jawaban membosankan pria itu. Dia melompat turun dari Shu Xi Mu dan berniat pergi. Senyumnya cemerlang saat dia melambaikan tangannya.
“Aku pergi.”
Sebelum Jeha benar-benar berbalik, Shu Xi Mu menarik tangannya. Dia memiringkan wajahnya dan mengecup pipi Jeha. Kecupan itu hanya sekilas, namun Shu Xi Mu mempertahankan jarak dekat mereka berlama-lama.
“Aku menunggumu.” Bisik Shu Xi Mu tepat ditelinga Jeha.
Dia menunggu pria kecil ini kembali. Dia menunggu pria kecil ini tumbuh besar dan dia menunggu kesempatan untuk memilikinya. Shu Xi Mu bersedia menghabiskan banyak waktu untuk menunggunya.
Jeha yang tak menyangka mendapatkan perlakukan seperti itu tertawa riang. Dia pikir, Shu Xi Mu sangat menyayanginya seperti kakaknya.
“Aku akan membawakan oleh-oleh. Aku janji.”
Lalu dia berjingkat dan membalas kecupan Shu Xi Mu dipipi kemudian berlari pergi. Ibunya pasti akan mengomelinya karna membuat banyak orang menunggu.
Jeha tidak tahu, dibelakangnya ada pria yang memegangi tempat yang dikecupnya. Berdiri diam menjadi patung dengan telinga yang memerah. Mata Shu Xi Mu berkilat-kilat tak sabar menantikan bocah itu besar lalu memakannya.
Setelah melambaikan tangan perpisahan pada keluarganya, Jeha dengan tenang duduk di kereta. Ini adalah pertama kalinya dia pergi tanpa ibunya dan cukup lama. Tentu saja menjadi hal heboh.
Lihat saja, ibunya, ayahnya, permaisuri dan bahkan Putri Calya berbaris mengantar kepergiannya. Sangat menyenangkan untuk dilihat. Itu adalah pikiran awalnya. Begitu mengherankan melihat ibunya menangis lama hanya karna membiarkannya pergi selama empat puluh hari. Tapi begitu perjalanan ditempuh selama satu hari, Jeha mulai merindukan ibunya. Ini sulit dimengerti.
Saat malam tiba, rombongan memutuskan berhenti disebuah lahan terbuka. Mereka membangun tenda untuk beristirahat. Lalu membuat tiga api unggun disekitar.
Jeha duduk didepan api unggun, menatap lidah api yang menjilati udara dingin disekelilingnya. Ini bukan pertama kalinya berkemah diluar. Semakin sering ibunya mengunjungi kekaisaran Xu maka semakin sering dia mengalami hal ini. Karna ibunya selalu membawanya.
Hanya saja, ini adalah pertama kalinya dia merasa sendiri dialam terbuka. Dia jadi merindukan ibunya. Pemikiran ini membuat Jeha cemberut.
Gana yang duduk disisinya mengulurkan secangkir minuman hangat yang diterima Jeha dengan malas-malasan. Perasaannya sedang tidak baik.
“Salam pangeran.”
Sapaan itu membuat Jeha mendongak. Dia melihat wakil kementrian ritus dan sarjana muda berdiri didepannya.
“Boleh kami bergabung?” Tanya si wakil kementrian ritus dengan sopan.
“Ya.” Sambut Jeha dengan ceria.
Dua orang itu duduk diseberang Jeha diantara api unggun. Sementara tiga ksatrianya mundur dan berdiri dibelakang Jeha.
“Saya pikir anda akan kelelahan dan beristirahat didalam tenda.” Ucap sarjana muda itu. Nadanya ramah dan menyenangkan.
Seperti yang dikatakannya, tenda Jeha memiliki tungku penghangat ruangan juga meja dan kursi. Bisa digunakan sebagai tempat bersantai jika tidak ingin tidur diranjang. Hanya saja, Jeha sedang ingin duduk didepan api unggun besar yang tepat berada didepan tendanya. Ini lebih menyenangkan daripada sendirian dan mengantuk didalam tenda.
“Tidak.” Jeha hanya menggeleng sederhana sebagai jawaban.
Mereka berbicara, mulanya melibatkan Jeha, namun lama kelamaan hanya dua orang yang Jeha tidak tahu namanya itu yang bicara. Melompat dari satu topik ke topik lain seolah tidak membiarkan Jeha mengikuti.
Saat malam mulai larut, mereka berpamitan. Jeha hanya bisa menyunggingkan senyum canggung.
“Sangat disayangkan. Akan menyenangkan jika pangeran Aris yang melakukan perjalanan. Pengetahuannya sangat luas, akan baik untuk berbagi pengalaman.” Komentar Sarjana muda itu.
“Tidak bisa dipungkiri jika pangeran Aris memiliki kesibukan. Pangeran Jeha masih kecil, tentu tidak bisa dibandingkan.” Sahut wakil kementrian ritus dengan sopan.
Sarjana muda itu mengangguk dan tertawa ringan. Lalu keduanya memberi salam dan berpamitan. Meninggalkan Jeha yang terpekur.
Dia tahu dia bodoh. Tapi jika dikatakan sejelas itu, mana mungkin dia tidak tahu jika mereka menginginkan kakaknya yang berpengetahuan untuk melakukan perjalanan bersama mereka.
Baiklah. Menghayal saja. Kenyataannya dialah yang pergi.
Sifat nakal Jeha sangat membantu membentengi dirinya dari terluka akibat ucapan seseorang. Dengan perasaan ringan dia masuk ke tenda dan terlelap.
Entah karna dia tidur diluar, atau karna hal lain yang tidak diketahui Jeha tidak mengalami mimpi buruk. Ini sangat bagus dan memuaskannya.
Keesokan paginya, mereka kembali melakukan perjalanan. Rombongan memiliki dua kereta. Satu mengangkut barang-barang sementara yang lain adalah milik Jeha. Semua orang kecuali dirinya menunggang kuda.
Sebenarnya Jeha juga ingin melakukannya, tapi sepuluh orang dari sepuluh melarangnya. Mereka seakan berkomplot melucuti kesenangannya.
Di dalam kereta, Jeha menghabiskan waktu dengan melukis. Jika tidak maka menuliskan perasaannya sebagai bentuk belajar menulis dengan indah. Atau membaca buku seni perang kesukaannya. Jika dia bosan dengan semua itu, maka Jeha akan menyandarkan tangannya di jendela dan menumpukan wajahnya. Menikmati pemandangan apapun yang dilewatinya. Dari hutan berubah menjadi sungai, lalu berubah menjadi desa kemudian kota. Perasaan ini sangat menakjubkan.
Pada hari ke sepuluh, mereka bermalam di kota Cong Wei. Kota berpenduduk lebih dari delapan ribu jiwa. Cukup besar untuk memiliki penginapan dan restoran bagus.
Kebetulan penginapan yang mereka sewa tepat berada di jalur pasar malam. Dengan semangat Jeha pergi melihat-lihat. Dia tidak tertarik bergaul dengan wakil kementrian ritus ataupun sarjana muda itu. Jelas obrolan mereka tidak akan bisa diterima otak Jeha.
Pikiran sederhana Jeha hanya menyimpulkan untuk bersenang-senang daripada mendengarkan ucapan yang membuatnya tidak senang. Dia tidak akan sepintar itu untuk membenci mereka. Dia hanya melindungi diri dengan caranya sendiri.
Selain ksatrianya, beberapa prajurit juga mengawalnya. Pemandangan seperti itu jelas menarik perhatian. Setiap orang yang melihat akan sangat mengagumi Jeha. Mereka bertanya-tanya pangeran dari negri mana yang begitu menawan, seharusnya ada berita tentang itu. Sayangnya Jeha benar-benar kurang terkenal.
Jeha yang tak menyadari sekitarnya hanya berkeliaran dengan riang. Memeriksa dari satu stan ke stan lain. Mencicipi satu makanan ke makanan lain. Itu sedikit merepotkan saat para ksatrianya berkeras mereka memeriksa dulu. Setelah puas dengan makanan, dia melenggang memeriksa beberapa pernak-pernik. Memikirkan jika dia bisa mengepang rambut Joan, pita seperti apa yang akan disematkannya.
Ketika malam semakin larut dan udara dingin terasa menggigiti tulang, Jeha berniat kembali ke penginapan. Sebentar lagi salju akan turun. Wajar saja jika suhu semakin rendah. Pasar malam yang tadinya semarak berubah sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat berlalu lalang. Sebagian besar kios dan toko mulai tutup. Menyisakan sepi dan keremangan.
Jeha menghentikan langkahnya saat melihat seorang anak menggelar alas jerami yang dibawanya dienperan toko. Anak itu berbaring dan meringkuk. Dia terlihat sangat kecil. Ini adalah pemandangan baru. Dia pikir kota besar selalu hanya memiliki bangsawan dan orang-orang yang hidup makmur. Tidak pernah menyangka akan ada anak dengan pakaian menyedihkan yang meringkuk di teras toko.
“Pangeran, sebaiknya kita kembali ke penginapan. Anda harus beristirahat.”
Suara Hastu mengalihkan perhatian Jeha. Dia mengangguk. Namun alih-alih berjalan lurus ke penginapan, dia justru mengarak ke anak yang meringkuk itu.
Merasakan ada yang datang mendekat, anak itu segera bangun dan menatap dengan waspada. Seketika tubuhnya gemetar melihat banyak orang besar mengarah padanya. Fia tidak tahu masalah apalagi yang datang kali ini.
“Pangeran.” Cegah Hastu saat Jeha akan mendekati anak gelandangan itu.
Mendengar nada peringatan itu membuat Jeha cemberut. Dia mendengus dan memalingkan wajahnya dari Hastu.
“Terlalu banyak larangan. Aku hanya ingin bicara padanya saja.” Protes Jeha tak terima.
Hastu menghela nafas diam-diam dan berkata, “Baiklah. Anda bisa bicara tanpa terlalu dekat.”
“Bagaimana jika aku akan memberinya sesuatu? Aku harus dekat dengannya kan?”
Seperti biasa. Pangeran ini keras kepala dan memiliki hal-hal untuk merepotkan orang lain. Tapi tugas mereka memanglah direpotkan oleh Jeha.
“Baik. Anda hanya harus memberikan itu pada saya dan saya akan memberikan itu padanya.”
Seketika itu Jeha mengerang jengkel. Terlalu banyak larangan dan persyaratan. Yang dihadapan mereka jelas lebih kecil dari Jeha. Apa yang bisa dilakukannya? Meski begitu dia tetap kalah dengan kekeraskepalaannya para ksatrianya. Jadi dia hanya menerima pengaturan menyebalkan itu.
Anak yang menjadi objek diskusi hanya menatap mereka dengan heran. Lalu pandangannya jatuh pada Jeha. Seketika wajahnya memerah melihat wajah menawan yang menyilaukan mata. Hanya saja karna wajahnya kotor, rona merah itu tersamarkan.
“Halo, siapa namamu? Kenalkan namaku Jeha. Ah kau pasti kebingungan adik kecil. Jangan takut, oke.”
Suara riang Jeha seperti bel yang berdering ditelinga anak itu. Menembus hingga jaringan otaknya dan pasti tak akan terlupakan. Jika sebelumnya dia gemetar karena takut akan kedatangan para pria besar, kini dia gemetar karena gugup. Remaja didepannya sungguh menyenangkan mata.
Karna anak itu hanya diam, Jeha jadi kebingungan. Akhirnya dia hanya memerintahkan Hastu memberinya kantong uang berisi seratus perak. Setelah itu melambaikan tangannya dan kembali ke penginapan. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan.
Jeha tidak tahu, dibelakangnya, anak yang terlihat kecil namun seusia dengannya itu menggenggam erat kantong uang pemberiannya. Matanya menyala dengan penuh tekad. Dia tidak akan melupakan nama Jeha. Di masa depan, dia akan menjadi salah satu orang terdekat pangeran kecil itu.
*************
[Chapter 19: Dongjia]
Setelah lima hari menempuh perjalanan lagi, rombongan Jeha sampai di Dongjia, ibukota kekaisaran Da Luo Yan. Kota besar yang begitu megah dah semarak. Luasnya terbentang menyebar menyamai tiga ibukota Prada disatukan.
Bangunan tinggi menjulang berjajar rapi, diatur hingga memanjakan mata. Pertokoan, rumah-rumah para saudagar kaya, rumah para bangsawan, pepohonan dan bahkan tinggi rumput diatur dengan baik.
Jalanan dengan batu tersusun yang luas dengan berbagai macam manusia dan hewan tunggangan juga kereta cantik yang hilir mudik. Ibu kota Da Luo Yan jelas tempat makmur yang megah.
Jeha menumpukan wajahnya ditangan yang bersandar pada jendela. Menatap takjub pada setiap hal baru yang dilihatnya. Sebenarnya dia selalu melihatnya saat melewati kota manapun, hanya saja di Dongjia hal itu tampak lebih megah.
Saat mereka sampai dipusat kota, malam sudah turun cukup lama. Bukan hal bijak memasuki istana saat ini dan mengganggu istirahat setiap penghuninya untuk penyambutan. Jadi mereka memutuskan untuk mencari penginapan.
Undangan menghadiri perburuan tahunan tidak hanya diterima Prada, tapi semua kerajaan dan daerah dibawah pengaruh Da Luo Yan. Kebanyakan mereka juga baru tiba di ibukota hari ini dan memutuskan memasuki istana esok hari. Membuat penginapan terbaik banyak diburu.
Karna terlambat, rombongan Jeha memutuskan menginap di penginapan tingkat dua. Itu baik-baik saja dan tidak terlalu jauh dari gerbang istana.
Berbeda dengan Prada dimana istana dan ibukota terletak ditempat terpisah, maka Da Luo Yan dan Dongjia berada di satu tempat. Dongjia dimulai dari depan gerbang istana dan menyebar ke segala arah. Mengelilingi istana luas nan megah itu, bahkan menyebar lebih luas lagi.
Keesokan harinya, Jeha bangun dengan perasaan yang tidak terlalu baik. Mimpi buruknya kembali. Itu tidak separah pertama kali, hanya saja tetap tidak Jeha sukai.
Dayang membantunya membersihkan diri dan berpakaian. Kali ini dia menggunakan warna merah, yang kontras dengan kulit putihnya. Rambutnya diikat tinggi dengan kepangan kecil di kanan kiri. Lalu hiasan dengan enam untaian sepanjang rambutnya disemaikan pada ikatan. Memberi pemandangan sebagai tirai emas yang membatasi sutera hitam.
Poninya ditarik ke samping dan dijepit dengan penjepit kecil yang cantik. Sederhana namun terlihat menawan. Membiarkan dahinya yang berkilau terpapar sinar matahari. Memberi pemandangan menyilaukan.
Selesai bersiap diri, Jeha dengan riang berjalan-jalan di Dongjia. Kembali mengacuhkan wakil kementrian ritus dan sarjana muda. Tentu saja ini menimbulkan ketidaksenangan, tapi tidak ada yang mereka bisa lakukan pada Jeha meski tidak puas.
Jeha mencicipi manisan yang ditusuk seperti sate. Rasa manis menyebar dimulutnya, wajahnya segera ceria merasakannya.
“Ini enak. Bisakah kita menanyakan cara membuatnya?” Celetuk Jeha.
“Saya pikir itu rahasia penjual.” Sahut Hestu.
Jeha cemberut. Memalingkan wajahnya dari ksatrianya yang menyebalkan, dia menatap wanita paruh baya yang menjadi penjual manisan.
“Halo bibi, bisakan aku tahu cara membuat ini? Aku sangat menyukainya. Jika aku tahu cara membuatnya, aku akan meminta petugas dapur membuatnya dirumah.” Ucap Jeha tanpa canggung.
Justru yang merasa canggung adalah tiga orang dibelakangnya.
Dongjia selalu memiliki tamu-tamu kekaisaran. Bukan hal aneh untuk menemui para pangeran dari berbagai kerajaan dan kekaisaran. Bahkan untuk ukuran para bangsawan tingkat satu, itu sudah seperti pemandangan sehari-hari bagi warga Dongjia.
Wanita penjual manisan itu menatap Jeha cukup lama, seolah menilai dari penampilan Jeha. Apakah dia bangsawan biasa atau keluarga kerajaan. Setelah beberapa saat wanita itu tersenyum ramah.
“Apakah anda menyukai manisan ini pangeran?”
“Ya.”
“Kalau begitu saya akan memberikan resepnya untuk anda.”
“Terima kasih. Bibi adalah orang baik!” Jeha dengan susah payah mengacungkan dua jempolnya sembari mempertahankan agar tidak menjatuhkan manisan ditangannya. “Lihat, meminta resepnya begitu mudah. Kau terlalu banyak berpikir, Hestu!” Lanjutnya mencela ksatrianya.
“Saya salah, pangeran.” Ucap Hestu dengan pasrah. Siapa yang menduga resep manisan tidak dianggap rahasia oleh penjualnya.
Jika mereka mau sedikit lebih teliti, manisan itu dijual dimana-mana oleh berbagai kios. Tentu saja sama sekali bukan hal yang harus dirahasiakan.
Setelah mendapatkan resep dan berterima kasih, Jeha kembali melanjutkan langkahnya. Mereka akan memasuki gerbang istana pada siang hari. Jadi bukan masalah menghabiskan waktu dipagi hari berjalan-jalan mengenali berbagai hal yang ada di Dongjia.
Mata Jeha menatap bangunan besar dengan hiasan kain merah dimana-mana. Beberapa orang terlihat berjalan keluar masuk dengan riang. Dengan penasaran Jeha melangkah ke sana.
“Pangeran, anda akan kemana?” Tanya Hestu ragu melihat arah Jeha pergi.
“Ke sana, kemana lagi? Tempat itu terlihat menyenangkan.”
Wajah tiga ksatrianya seketika pias. Mereka tidak tahu cara menjelaskannya pada Jeha perihal tempat yang bukan untuk anak kecil itu. Di Prada tidak ada tempat seperti ini, setidaknya tidak begitu terbuka dan terang-terangan. Tapi di kerajaan dan kekaisaran lain jelas tempat seperti ini menjamur.
“Pangeran, sebaiknya kita kembali ke penginapan dan bersiap ke istana.” Bujuk Hestu.
“Kamu ini, kenapa terlalu banyak larangan sih…” Belum selesai Jeha mengomel, matanya menangkap sosok yang baru keluar dari bangunan itu. Seketika matanya menyala. Mengabaikan ksatrianya, Jeha segera berlari dengan riang menuju orang itu.
“Yan Tian Ye!” Panggilnya dengan nada ceria. Ada sentuhan tawa yang memanjakan telinga dalam suaranya.
Yan Xuan Ye mengangkat wajahnya mendengar panggilan itu. Dia menyipitkan matanya melihat remaja cantik yang berlari ke arahnya dengan wajah bersinar. Bahkan matanya berkelap-kelip seolah semua bintang berada disana. Sepertinya selera saudaranya meningkat pesat.
“Pangeran!” Gana segera menangkap tangan Jeha dan menghentikan larinya menuju Yan Xuan Ye.
“Haaa? Bahkan menyapa kenalan juga tidak boleh?” Jeha mengeluh dengan raut frustasi.
“Pangeran…” Gana yang tidak menguasai cara berkomunikasi yang baik merasa kesulitan untuk menjelaskan pada pangeran manja ini.
Meski mereka kenalan, seharusnya tidak begitu liar jika bertemu. Ini adalah Dongjia. Dimanapun bisa menemui bangsawan, pejabat tinggi bahkan keluarga kekaisaran. Menjaga prilaku adalah pilihan terbaik.
Gana yang baru ke kisaran seperti ksatria Jeha lainnya tentu tidak mengetahui fakta tentang Yan Xuan Ye. Mereka yang hanya tahu mengikuti Jeha jauh lebih kurang pengetahuan dibanding ksatria Aris.
Sementara itu, sebagai pengamat Yan Xuan Yu hanya mendengus. Ternyata hanyalah pangeran kecil yang bodoh. Dia bahkan bisa membaca pikiran pengawalnya itu hanya dengan melihat ekspresinya.
Yan Xuan Ye mendengus dan melewati Jeha begitu saja. Dia tidak mau berurusan dengan pangeran bodoh.
“Eh? Yan Tian Ye, kau mau kemana? Kau sudah berjanji akan menjadi pemanduku jika aku berada di kota ini, ingat?” Tanya Jeha bingung saat Melihat Yan Xuan Ye melewatinya begitu saja.
Yan Xuan Ye bahkan tidak menoleh. Dia dan saudaranya mencintai kecantikan. Bedanya, saat saudaranya tanpa syarat, dia memiliki persyaratan tambahan yaitu sosok cantik itu harus pintar, tidak menyusahkan dan anggun.
Bocah ini sama sekali tidak layak.
“Dia mengabaikanku?” Tanya Jeha dengan bingung.
“Ya. Karna itu sebaiknya kita kembali ke penginapan, pangeran.”
Jeha seketika langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kesal pada Yan Tian Ye yang mengacuhkannya. Jika nanti mereka bertemu lagi, maka dia akan mengacuhkan pria itu. Tidak mau mengenalnya sama sekali. Huh!
Menjentikkan lengan bajunya, Jeha berbalik dan berjalan menuju penginapan. Saat dia sampai di penginapan, dia melihat Neptu sudah menunggunya.
“Salam pangeran Jeha, semoga keberuntungan selalu menyertai anda.” Neptu membungkuk hormat.
Jeha mengangguk. Tampangnya masih cemberut, kekesalannya masih belum hilang.
“Pangeran mahkota menitipkan ini untuk anda, pangeran.”
Jeha menerima bungkusan kecil dari Neptu. Ketika dia membukanya, seketika wajahnya menjadi ceria. Itu hiasan rambut mungil yang cantik. Sangat cocok untuk Joan.
“Kakak sangat pintar. Ini cocok untuk Joan.” riang Jeha. Dia sangat menyukai kakaknya yang selalu bisa membuatnya senang.
Jeha sama sekali tidak menyadari empat orang yang meluruskan bibirnya. Jepit itu jelas dimaksudkan Aris untuk Jeha, bukan Joan. Entah bagaimana pemikiran Jeha bisa melenceng begitu jauh.
Saat siang hari, rombongan mereka menuju gerbang istana. Bersamaan dengan mereka, terdapat beberapa rombongan lain.
Saat pintu gerbang terbuka, Jeha melongokkan kepalanya dari kereta, mencoba melihat lebih jauh ke depan. Disana ada jajaran orang berpakaian indah menyambut mereka semua.
“Pangeran, tolong berprilaku baik. Anda mewakili Prada.” Gumam sarjana muda yang berkuda tak jauh darinya.
Jeha menatap sarjana muda itu dan nyengir lebar. Setelah itu dia menyusutkan lehernya dan duduk manis didalam kereta. Saat tidak ada yang melihat, senyumnya langsung berubah menjadi cemberut. Dia berkomat-kamit menggerutui sarjana muda itu.
Diluar kereta, Neptu mendekati sarjana muda itu. Dia menunduk hormat dan tersenyum sopan padanya. Tentu saja sarjana muda itu membalas senyumnya dengan sopan. Dia mengenali Neptu sebagai ksatria Aris. Meski membingungkan melihatnya ada disini, tapi dia tidak mengatakan apapun.
“Sarjana Su Ruo Han, mohon tidak melewati batas. Baginda raja dan pangeran mahkota mempercayai pangeran Jeha sebagai perwakilan Prada. Tanpa membatasi prilakunya.”
Sarjana Su Ruo Han seketika pucat mendengar ucapan ksatria Aris. Dia sangat pintar. Tentu saja dia mengerti fungsi Neptu disini. Itu untuk menjaga pangeran Jeha dari tekanan luar.
Pangeran Aris jelas memberi kuasa pada Neptu untuk melakukan hal-hal yang perlu dilakukan.
Ketika rombongan Jeha memasuki lingkungan istana, mereka berhenti. Ksatria Jeha membuka pintu kereta dan mempersilahkan Jeha turun.
********************