Bab 1
Takdir siapa yang dapat memperkirakannya
Perkenalkan namaku Ricky Darrel. Seorang mahasiswa tingkat akhir yang akan menyelesaikan studinya. Seseorang yang harus bekerja keras demi hidupnya sendiri. Kedua orang tuaku meninggal saat aku masih remaja, sebelum berkuliah aku tinggal bersama bibi dan pamanku, hanya saja sekarang kami tidak tinggal disana karena aku berkuliah sedangkan paman dan bibiku harus tinggal di desa kecil kelahiranku.
Sebenarnya aku punya dua saudara namun mereka juga ikut bersama kedua orang tuaku pergi ke surga lebih cepat. Secepat aku memejamkan kedua mataku. Aku yatim piatu, aku bertahan hidup dengan kemampuanku. Hidup dan takdirku bermulai dari sini.
———-
Aku berjalan keluar setelah menyelesaikan kelasku, kali ini aku dalam masalah cukup sulit. Aku menghela napasku yang terasa sangat berat. “Hah.”
“Aku butuh uang untuk menyelesaikan perkuliahku, lalu ke mana aku harus mencarinya? Saat ini aku hanya bisa bekerja separuh waktu. Itu pun gajinya cukup kebutuhanku sehari-hari.” Gumamku di dalam hati.
Aku berjalan menuju tempat kerja Parttimeku. Aku berhenti melangkahkan kakiku karena lampu lalu lintas menunjukkan lampu hijau , dimana para penjalan kaki harus berhenti. Aku melihat ke depan. kulihat seseorang yang sangat mencurigakan. jadi aku mulai mendekati tepi jalan troktoar, dan kulihat orang yang mencurigakan tadi berada di belakang seseorang yang sibuk dengan teleponnya.
Aku berharap itu hanya imajinasiku saja. Tetapi entah kenapa semakin kulihat orang yang mencurigakan dibelakang pria yang memegang teleponnya, aku berusaha untuk melihat wajahnya namun dia menutupi wajah tersebut dengan masker sangat sulit untuk di kenali. Setidaknya jika terjadi sesuatu aku bisa melaporkan orang dengan ciri-ciri yang kulihat itu.
Lelaki aneh itu meletakkan tangannya ke dadanya dengan gerak tangan seperti ingin mendorong seseorang yang di depannya. Kecurigaanku memang benar. Laki-laki itu mendorong orang yang di depannya, dan dari kejauhan ada bus pegawai yang akan melintas didepannya.
Tanpa memikirkan resiko yang akan aku alami secara alamiah tubuhku langsung bergerak. Aku segera berlari menyelamatkan orang yang di dorongnya tadi. Aku sangat beruntung karena dari arahku tidak ada kendaraan yang lewat. jadi dengan mudah aku berlari untuk menyelamatkan orang itu. Dia hampir tertabrak oleh bus yang biasa membawa pegawai pulang kerja. Kami berdua terjatuh di tepi jalan, aku merasa lututku bermasalah namun aku tidak merasakan apapun karena jantungku yang berdetak jauh lebih cepat.
“Anda tidak apa-apa pak?”. Aku melihat wajah laki-laki separu baya yang ada didepanku. wajahnya begitu pucat pasih. Dia pasti sangat terkejut dengan kejadian yang baru saja di alaminya.
“A..Aku tidak apa-apa”. Dengan gugup orang itu berbicara.
“Syukurlah kalau begitu”. Aku bangkit dan saat aku berdiri lututku sangat perih, kulihat celana jeans yang kugunakan ternyata robek, sehingga lututku berdarah, orang tua itu melihat ke arah lututku dia juga ikut berdiri.
“Kamu tidak apa-apa nak? Kita harus kerumah sakit sekarang!”. Dia meraih telponnya dan memanggil seseorang untuk membawa mobil dan menjemput kami.
“Aku tidak apa-apa pak, ini hanya luka kecil!”. Aku mulai berjalan dengan kaki pincang. ‘Ah kenapa ini harus kualami. Aku akan terlambat kerja’. laki-laki tua yang melihatku yang berjalan pincang. Dia lalu menahan tanganku.
“Kita harus ke rumah sakit nak, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongku”. Dia menarik tanganku dan kami berada di tepi troktoar. Tidak lama kami menunggu. Mobil hitam sudah berada di depan kami.
Aku di suruh masuk ke dalam, awalnya aku benar-benar menolak tawarannya. Tapi orang tua ini benar-benar memaksaku. Padahal aku memiliki urusan yang lebih penting dari ini luka kecil ini.
“Maaf pak, ini benar-benar tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil anda tidak perlu khawatir, besok lukanya pasti sudah kering”. Aku mencoba membujuk orang yang ada di sampingku. Namun dari tatapannya itu, orang tua ini terlihat sangat keras kepala.
“Kamu mengatakan bahwa ini luka kecil, lututmu sampai mengeluarkan darah yang begitu banyak”. Ucapnya dengan memandangku.
“Tapi aku harus kerja separuh waktu sekarang, kalau aku terlambat aku pasti akan di pecat dari pekerjaanku!”. Aku mencoba membela diriku. Aku mengatakan kebenaran, hal sekecil ini tidak perlu di bawa ke rumah sakit.
“Kamu bekerja separuh waktu, apa kamu tinggal sendiri?”. Tanyanya, wajah orang ini benar-benar penasaran.
“Ya aku hidup sendiri, kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan saat aku sekolah menengah akhir”. Aku menjawab pertanyaannya.
“Lalu biaya hidupmu bagaimana? Apa kamu menanggungnya sendiriri?”. Dia bertanya lagi.
“Dulu sebelum aku tinggal di sini, aku tinggal di desa, aku tumbuh dan besar di sana. Saat aku menjalani sekolah menengah akhir. Pada saat itu kedua orang tua dan 2 adikku meninggal dalam kecelakaan besar. Hanya aku yang sendiri karena waktu itu aku tidak ikut bersama mereka, jadi aku tidak mengalami kecelakaan. Aku tinggal bersama paman dan bibiku. Mereka menyayangiku, karena mereka tidak mempunyai anak”. Jelasku dengan panjang lebar.
“Sekarang mengapa kamu ingin tinggal sendiri?”. Dia bertanya lagi. Aku heran kenapa orang ini terus menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.
“Aku ingin hidup mandiri, dan aku juga ingin berkuliah, jadi aku memutuskan untuk tinggal di sini. Sesekali paman dan bibiku datang untuk menjengukku. Mereka juga mengirimkanku uang untuk biaya kuliahku. Aku tidak ingin menyusahkan mereka. Itulah mengapa aku bekerja separuh waktu, demi memenuhi kehidupanku sehari-hari” Sepertinya aku akan berhenti menceritakan diriku sendiri.
“Oh jadi begitu, hidupmu terlihat sangat berat sekali, kamu orang yang sangat hebat Nak”. Dia berkomentar tentang hidupku. Aku hanya tersenyum kepadanya.
“Tapi itu tidak masalah. Selama aku bisa hidup aku akan melakukan apapun untuk bertahan, namun aku tidak akan melakukan tindak kejahatan”. Aku sedikit tersenyum bercanda, Tanganku memegang lututku yang masih terasa perih. Lukanya dan darahnya mulai mengering.
Orang tua ini sangat serius bahkan ketika dia melihat kearaku.
“Mau bekerja di perusahaanku? Aku akan mengajimu untuk memenuhi kebutuhanmu dan kuliahmu”. Dia menawarkanku pekerjaan. Aku melihatnya tapi aku belum tertarik.
“Tidak, terima kasih pak. Aku masih belum mengerti tentang pekerjaan di perusahaan”. Aku menolak tawarannya secara halus.
“Tidak masalah, kamu bisa belajar dulu. Lagian kau butuh pekerjaan separuh waktu, kan? bagaimana kalau mencoba tawaranku?”. Dia berkata serius,
‘Apa benar dia ingin memperkerjakanku?’. Gumamku di dalam hati.
“Bagaimana kamu tertarik dengan tawaran yang kuberikan?”. Dia memaksaku untuk memberikan jawaban.
“Aku.. Aku.. Mungkin aku akan mencobanya?”. Jawabanku sedikit gugup.
orang yang di sampingku, melihatku dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia menepuk kedua pundakku.
“Baiklah, kamu bisa datang ke kantorku kapanpun kamu mau, ini informasinya aku akan memberimu ini”. Dia memberikanku kartu tanda pengenalnya lengkap dengan nama perusahaan dan statusnya disana.
“Ini kan perusahaan terbesar di Los Angeles, mengapa dia menawarkan pekerjaan kepadaku? Kalau ucapan terima kasih tidak perlu sampai seperti ini. Ini terlalu berlebihan?”. Ucapku di dalam hati.
Kami sudah sampai di rumah sakit, supir yang membawa mobil membukakan pintu untukku.
Aku keluar dari dalam mobil. Aku berjalan seperti orang pincang. Ya luka ini memang kecil tapi sangat perih dan nyeri saat aku menggerakkannya. Tapi tanganku dirangkul oleh orang yang ada di sampingku. Kami berjalan masuk ke rumah sakit. Aku sedikit malu tadi aku bilang hanya luka kecil. Sekarang aku berjalan saja, perlu dibantu.
“Dokter, tolong bantu dia dan obati semua lukanya”. Orang separuh baya ini berbicara kepada salah satu dokter yang ada.Dokter itu mengangguk dan membawaku ke ruangan.
Setelah dokter memeriksa lukaku dan membersihkannya. Orang tadi masuk ke dalam ruangan dan menanyakan keadaanku.
“Dokter bagaimana keadaannya, apa dia terluka parah”. Tanyanya dengan wajah cemas.
“Tidak dia hanya luka ringan, tapi untuk sementara biarkan dulu dia beristrahat. Mungkin besok dia sudah bisa berjalan seperti biasanya”. Wajah orang itu yang awalnya cemas kini berubah menjadi tenang.
“Terimakasih dok”.
Dokter itu meningalkan ruangan, orang yang membawaku ke rumah sakit mendekatiku.
“Kamu harus istrahat sampai besok. Aku akan membayar semua biayanya jadi kamu tidak perlu khawatir”. “Sepertinya aku harus pergi sekarang, maaf Nak sudah membuatmu menjadi seperti ini”. Ujarnya berkata jujur.
aku langsung membalasnya dengan senyuman.
“Maaf sudah merepotkan anda pak”. Ucapku meminta maaf.
“Kalau begitu aku pergi dulu”. Orang itu meninggalkanku. Hanya aku sendiri di ruangan ini.
Aku menatap langit-langit ruangan ini. aku menatap dengan tatapan kosong. aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa, sudah lama air mataku kering tak tersisa. Aku menggeser tubuhku, kakiku tidak terlalu sakit sekarang. mungkin karena obatnya efektif rasa sakitnya benar-benar berkurang.
“Sebaiknya aku pergi saja dari rumah sakit ini? Rasa sakitnya juga sudah berkurang. Aku harus kuliah besok”. Gumamku sendiri.
Aku duduk dan menggerakkan kakiku ke tepi ranjang. Aku menginjakkan kakiku. Sedikit terasa sakit tapi aku bisa berjalan sendiri. Aku merapikan baju rumah sakit. Mengantinya dengan pakaianku. Aku mengambil ranselku. Aku berjalan meninggalkan ruangan. Dan keluar dari rumah sakit. Melihat tidak ada kendaraan umum yang melintas pada jam segini.
Kulirik jam di handphoneku menunjukkan 21.35.
“Kenapa tidak ada kendaraan umumnya yang lewat jam segini”. Aku mulai menatap di ujung jalan. Memang benar-benar kosong. Aku terpaksa berjalan sampai ke kontrakanku.
Jarak antara rumah sakit dan kontrakan tidak terlalu jauh, memakan waktu 30 menit. Akhirnya aku sampai juga di kontrakanku. aku mengambil kunci dan memasukkannya. pintu kubuka, aku mengambil handuk pergi ke kamar mandi. Tapi aku tidak mandi hanya membasuh seluruh tubuhku. Aku masih mengalami luka dilutut jadi dokter menyarankan jangan mandi cukup membasuh badanku dengan handuk. Agar lukaku tidak kena air sehingga menyebabkan terinfeksi dan akan menjadi lebih parah.
Aku keluar dari kamar mandi, merapikan sedikit tempat tidurku. Aku membaringkan tubuhku dan tanpa sadar aku sudah terlelap dengan tidurku.
Bab 2
Aku harus bangun setiap pagi. Aku bangun jam 06.30. Aku menyiapkan semua makanan untukku pagi maupun untuk aku pulang nanti. Karena aku hari ini akan seharian di kampus, jadi aku berencana untuk membawa bekal hari ini.
Aku berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah sehabis tidur. Setelah itu aku pergi ke dapur, jarak antara dapur dan ruang kamarku tidak terlalu jauh, karena kontrakanku memang kecil. Karena aku hanya mampu membayar tempat ini dalam 1 bulan dengan gaji kerja sampinganku.
Untuk biaya makan sehari-hari, aku biasanya selalu menyimpannya jika paman mengirimiku uang. Meskipun selalu, tapi dia pasti mengirimkanku uang.
Aku sudah menyiapkan bekalku dan menghabiskan sarapan pagi. Aku kembali ke kamar, aku akan mandi dan bersiap-siap untuk pergi. Semua sudah siap, buku dan peralatan kuliahku. Kulihat di balik buku yang tembal, ada kartu nama pengenal.
“Aku baru ingat, sekarang sudah ke-3 hari setelah aku masuk rumah sakit. Apa orang itu masih cemas ya dengan keadaanku. Ah mungkin tidak, tapi apa aku harus menerima tawaran pekerjaan dari orang itu ya? Aku jadi bingung. Ah berangkat kuliah aja dulu, selesai skripsiku dulu. Nanti pulang dari kuliah aku akan coba ke kantornya”. Gumam ku di dalam hati.
Aku sudah berada di kampus sekarang, aku tinggal menunggu dosen untuk menyetujui hasil penelitianku ini. Lebih cepat lebih baik. Aku ingin segera wisuda dan bekerja. Bekerja apapun nanti itu urusan belakangan, urusan di depan sekarang adalah skripsi.
Aku sudah berada di kampus, meskipun jarak di antara kampus dan apartemen kecil milikku tidak jauh namun cukup memakan waktu dnegan berjalan kaki. Aku tidak pernah naik bus atau kendaraan lain, aku selalu ingin menghemat keuanganku.
“Huh”. Menunggu dosen adalah hal yang paling menyebalkan.
Aku terkejut saat ada orang sedang memukul pundakku meskipun tidak keras namun cukup mengejutkanku. Aku langsung memandang orang tersebut. Ternyata dugaanku benar. Dia adalah temanku, aku bertemu dengannya pada saat pertama kali kami kuliah.
“Hei bro, kenapa pagi-pagi kamu sudah terlihat seperti orang mati”.
kata-katanya memang sedikit kasar tapi aku menyukainya. maksudku aku menyukai orangnya namanya Max. Max Lorenzo dia orang yang sangat baik denganku.
“Brengsek, pagi-pagi kamu sudah menghinaku. Tidakkah kamu pikir kamu tidak memiliki pekerjaan yang lain”. Max tersenyum padaku. Ya beginilah pertemanan kami. Kami selalu nyaman dengan satu sama lainnya. Dia yang mendengar suaraku, langsung tertawa kecil.
“Oh ternyata kamu masih hidup, aku pikir kamu sudah mati tadi? Bagaimana urusanmu dengan dosen killer itu?”. Max bertanya padaku.
“Seperti biasa, aku selalu menunggu dirinya. Kalau bukan karena skripsi ini, aku tidak akan menunggunya”. Aku langsung menghela napas beratku.
Max yang melihatku sekarang, dia malah tertawa dengan keras. sampai-sampai suaranya memenuhi ruangan ini.
“Ha ha ha.. kamu ini, itu nasibmu jadi terima saja. Untung saja aku tidak mendapat dosen yang killer seperti dirimu”. Dia malah tambah tertawa. Menertawakan nasibku.
“Padahal aku berharap kamu juga mendapatkan dosen yang killer”. Aku menatapnya dengan ekspresi yang masih cengengesan ingin sekali kuamplas mukanya itu.
“Maaf sobat, aku ini orang yang dilahirkan dan diberkati oleh surga”. Dia tambah ketawa keras.
“Sialan, orang brengsek seperti kamu mana bisa masuk surga?”. Aku mulai kesal padanya.
“Ha ha ha. Buktinya aku lebih beruntung darimu. Ya terima aja, lagian nilaimu juga tinggi dari yang ada di kelas kita, makanya kau dapat dosen killer”. Tambah dia mengejekku.
“Ya kalau di pikir-pikir mungkin memang nasibku”. Aku melesukan wajahku.
“Tenang aja bro, dosen killer itukan menyukaimu karena itu dia memilihmu karena kamu pintar”.” Sejauh ini kamu tak ada masalah kan? Kamu hanya menunggunya dan dia tidak pernah mengomentari hasil penelitianmu, sedangkan aku selalu dikomentari oleh dosenku sendiri. Salah ini dan salah itu”. Kata-kata max yang mencoba menghiburku.
“Sejauh ini aku tidak masalah sih, hanya saja…?”. Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku.
Max mendapatkan panggilan, entah dari siapa. Terus dia berdiri dan menjauh dariku. Aku hanya memandangnya dan memeriksa kembali hasil penelitianku.
“Benar juga kata max, selama ini aku tidak ada masalah dia selalu menyetujui hasil penelitianku”. Aku bergumam di dalam hati. Sepertinya max selesai dengan panggilannya. Dia mendekatiku.
“Sorry bro, aku ada urusan sekarang, aku harus menjemput pacarku. Dia sedang menunggu sekarang!”. Kata max mengambil ranselnya di sampingku.
“Pacar barumu kah?”. Tanyaku langsung.
“Ya begitulah”. jawabnya.
“Dasar kamu laki-laki brengsek, baru saja putus sudah mendapatkan yang baru”. Celoteh ku.
“Ha ha ha.. tidak perlu iri seperti itu padaku, karena ketampananku aku jadi begini”. Katanya sambil tertawa.
“Tidak, siapa juga yang mau sepertimu”. Jawabku sedikit tertawa.
“Nanti siang aku kembali, jadi kita makan siang bersama. Oke”, Max sambil mengacungkan jempolnya.
“Kalau kamu yang traktir, aku mau”. Jawabku dengan senyuman.
“Baiklah baiklah nanti aku yang teraktir. Bukankah memang aku yang selalu mentraktirmu makan. kalau begitu aku akan pergi sekarang”. Jawabnya sambil melangkah menjauh.
“Dasar playboy”. Ucapku dalam hati.
Ya max memang tampan wajar saja banyak yang mengantri untuk menjadi pacarnya. Kalau aku perempuan aku pasti sudah menyukainya juga.
Aku akhirnya bertemu dengan dosenku, dan dia bilang kalau hasil penelitian menabjubkan. Masih belum ada, ada tapi belum ada yang benar-benar menyelesaikannya sepertiku. Jadi aku sedikit senang dan akhirnya hasil penelitianku diterima. Jadi tinggal dipublishkan dan di sidangkan.
Selesai kami makan siang bersama. Max bilang mau mengantarkanku ke kontrakan. tapi aku bilang kalau aku harus pergi ke tempat ini sebelum aku pergi ke tempat kerja sampinganku. Dia mengambil mobilnya dan dia bilang mau mengantarkanku.
Jadi kukatakan bahwa aku akan pergi ke alamat ini, dia sedikit bingung dengan alamat yang kuberikan. Jadi kami langsung ke alamat yang ada di kartu tanda pengenal.
“ Sudah kuduga kalau aku mengetahui alamat ini. Inikan perusahaan pamanku. Kenapa yang kamu bisa kenal dengan pamanku?”. Tanyanya padaku.
“Ya waktu itu aku membantunya, dia hampir ditabrak oleh mobil karena di dorong seorang, aku tidak tau siapa itu?”. Jelasku.
“Oh jadi kamu yang di bicarakan oleh paman”. Katanya lagi.
“Kalau begitu aku akan turun di sini”. Kataku dengan membuka pintu mobilnya. Aku turun dan berjalan menuju ruangan resepsionis.
“Ada yang perlu saya bantu?”. Tanyanya dengan ramah.
“Aku, aku ingin menemui orang yang ada dikartu nama ini”. Aku memberikan kartu nama yang sedang ku pegang.
“Tunggu sebentar”. Dia mengambil ganggang telepon.
“Maaf pak, ada yang ingin bertemu dengan anda”. Kata wanita itu.
“Oh siapa?”. Jawab laki-laki yang ada di telepon.
“Anda bisa memanggilku Ricky”. Aku menyebutkan namaku pada saat wanita tersebut melihat kearahku. Dia mengangguk paham.
“Namanya Ricky Pak. Dia juga memiliki kartu pengenal ada”.
“baiklah biarkan dia masuk”. Setelah itu wanita tersebut mematikan telponnya yang memandang kearahku.
“Anda boleh masuk ke ruangan CEO, ruangannya ada di lantai atas”. “Apa anda ingin ada orang yang mengantarkan anda?”. Tanya resepsionis.
“Tidak, terimakasih. Saya bisa pergi sendiri”. Balasku.
Aku melangkah ke lift, menekan tombol yang paling atas. Bangunan ini memiliki 32 lantai, jadi aku langsung kelantai 32. Pintu lift terbuka dan aku melangkah ke luar lift aku menundukkan kepalaku, jadi aku menabrak sesuatu. ya itu orang.
“Oh shit”. Suara orang itu.
“Aku minta maaf, karena sudah menabrak anda”. Aku sudah menabrak orang. Aku hanya memandang pakaian kakinya.
“Oh tidak apa-apa, hanya saja bisakah kau lebih hati-hati saat berjalan”. Dia memberikan saran kepadaku.
“Boleh saya bertanya, di sini ruangan CEO di mana?”. Aku melihat wajahnya penuh dengan curiga, aku hanya memberikannya senyuman.
“Ada urusan apa bertemu dengan CEO perusahaan ini”. Dia menatapku dengan tatapan yang tajam dan sinis. Aku sedikit ketakutan karenanya.
“Itu..Itu… “. Belum sempat aku berbicara seperti ada suara di belakangku. Aku membalikkan tubuhku berhadapan dengan orang yang memiliki suara tadi.
“Ah kau, orang yang kemarin. kenapa baru datang sekarang?”. Tanyanya dengan wajah sedikit cerah.
“Pa, dia siapa?”. Tanya laki-laki yang curiga padaku.
“Pa.. Apa dia putranya?”.
“Dia adalah orang yang menyelamatkan nyawa papa dan aku juga ingin memutuskan sesuatu. Kamu juga harus menerima keputusan dari Papa, setelah melihat-lihat kondisimu dari dulu sampai sekarang. Aku sudah menemukan seseorang yang cocok untuk menjadi pendampingmu”. Orang tua tersebut berjalan kearahku.
“Apa maksud Papa?”. Lelaki tampan yang ada di depanku melihat kearahku, aku menundukkan kepalaku. Jujur saja aku sedikit takut terhadapnya.
“Maksud Papa adalah kamu akan menikah dengan orang pilihan Papa dan kebetulan dia ada di sini. Perkenalkan namanya adalah Ricky dia adalah orang yang sudah menyelamatkan nyawa Papa, dia akan menjadi suamimu (istri laki-laki)!”. suaranya mengejutkanku dan juga anaknya yang ada di sampingku.
“Huh, Aku suaminya? Apa maksudnya?”. Aku sangat terkejut sampai-sampai aku tidak tau apa yang sedang ku pikirkan sekarang.
“Apa Papa gila, aku. Kenapa aku harus menikah dengan laki-laki. Papa kan tahu kalau aku sudah mempunyai seorang kekasih dan kenapa aku harus menikahi dia masih banyak perempuan di dunia ini, kenapa harus laki-laki?”. Dengan suara yang tinggi.
Aku terkejut, aku sama sekali tidak merespon apa yang mereka bicarakan sekarang, pikiranku kosong, tatapan hampa. Aku tidak tahu apa makna dari (istri laki-laki).
Bab 3
“Aku.. Aku tidak tahu maksudnya apa ini”. Aku mulai membuka suara. “Kamu itu akan jadi menantuku di masa depan, jadi kamu akan menikahi putra tertuaku”. Ucap orang tua yang pernah kuselamatkan.
“Ini.. Ini pasti gara-gara kamu, dasar orang miskin tidak tahu diri”. Dia memegang kerah bajuku, membuatku kesulitan bernapas.
“Orang miskin ya benar aku memang orang miskin, tapi aku sama sekali tidak ingin hal ini, kenapa dengan takdirku?”. Aku mencoba menangis, tapi sama sekali tidak ada air mata yang keluar. hanya hatiku yang mampu menangis. aku menatap orang itu yang menarik kerah bajuku. Tatapanku benar-benar kosong. Kurasakan ada tangan lainnya melepaskan tangan yang gagah mencengkram kerahku. kembali menyadarkanku.
“Felix, lepaskan dia! jika kamu berani melawanku, kamu tidak akan mendapatkan hak warismu!”. Suara orang itu begitu tegas, padahal tadi suaranya begitu lembut. “Sekarang, kembali ke ruanganmu!”. Perintahnya dengan nada yang tinggi.
Dia kembali menatapku sinis, sekujur tubuhku bergetar, hanya tatapan saja membuatku benar-benar seperti debu yang terbang di tiup angin.
“Ayo, ke ruanganku!”. perintahnya. Aku mengikuti dia, aku berjalan di belakangnya. Aku melihat keadaan ruangan ini, benar-benar mewah. Dia lalu menyuruhku duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
“Silakan duduk di mana kamu suka!”. Suaranya kembali lembut. “Apa maksud anda tadi, soal istri laki-laki, siapa yang anda maksud?”. Aku bertanya untuk memastikan apa yang ku dengar tadi.
“Oh itu, aku benar-benar akan menjadikanmu sebagai menantuku, aku tidak bercanda dengan itu”. katanya lagi. Lagi-lagi kata-kata itu menusuk jantungku. aku berusaha tetap menjaga pikiranku.
“Tapi.. Tapi.. Aku datang ke sini, hanya untuk bekerja. bukan menjadi menantu anda?”. jelasku. “Kau juga akan bekerja di sini. Kau bekerja di sini sebagai ucapan terima kasihku, kau menjadi menantuku karena aku benar-benar tertarik denganmu”. tambahnya lagi.
“Nanti malam kamu harus datang ke rumahku, aku akan menyuruh supir untuk menjemputmu dan aku sudah menyiapkan pakaian ini untukmu”. Dia memberikan sebuah baju formal. “Tapi aku tidak bisa pak”. ujarku mencoba menolak.
“Kamu harus pergi ke rumahku supirku akan menjemputmu, berikan saja alamat tinggal mu”. Setelah aku memberikan alamat tempat tinggalku. kuberikan kertas yang sudah tertulis alamat lengkapku.
“Ternyata tulisan tanganmu juga rapi, kau sebaiknya jadi asisten pribadiku saja”. tawarnya lagi. “Ah tidak, aku masih belum siap, lebih baik aku bekerja di pekerjaan yang paling bawah”. Kataku kepadanya.
“Oh iya namamu siapa, dulu aku tidak sempat menanyakan namamu, karena aku terlalu cemas”. Dengan wajah yang sedikit bersalah.
“Ricky, Ricky Darrell “.
“Jhon Jordan, dan yang tadi adalah putra tertuaku namanya Felix Jordan”. Dia mengukurkan tangannya. “Kalau begitu aku pulang dulu”. Aku meninggalkan ruangan itu membawa baju yang di berikannya tadi padaku.
Saat aku keluar ruangan, aku melihat putra anak tadi, Felix Jordan, mnatapku dengan tatapan mematikan. Aku melewatinya dan dia menahan tanganku. menarikku kedalam ruangannya.
Aku dihempaskannya ke sofa, badanku sakit karena terkena bagian yang keras dari sofa itu. Aku meringis kesakitan tapi dia tidak meperdulikanku.
“Apa yang kamu inginkan dari papaku? Uang? Harta?”. Dia menatapku sinis, kurasa aku sudah tidak takut dengan tatapannya itu.
“Kalau itu yang kamu inginkan, aku dapat memberikannya akan kupenuhi kehidupanmu yang miskin itu”. Dia tertawa, menghinaku. aku membalas dengan tatapan sinisku.
“Aku memang miskin, tapi asal kamu tahu, aku tidak butuh hartamu. Kamu pikir aku senang aku bisa menikah denganmu?”. Aku menatapnya semakin tajam.
“Hah… Beraninya kamu menatapku dengan tatapan seperti itu, orang miskin sepertimu tidak pantas menatapku, kamu paham itu?”. Dia mendekatkan wajahnya dan menarik kerah ku.
“Orang kaya sepertimu hanya akan menjadi bajingan saja, kalau kamu sudah selesai dengan kata-kata sialanmu itu aku akan pergi sekarang!”. Aku mendorongnya menjauh dariku dia menatap tajam kearahku.
Aku meninggalkan ruangan itu, kenapa aku harus mengalami takdir seperti ini. Aku akan terima kalau aku menderita, tapi tidak harus menikah dengan laki-laki. Apalagi seorang bajingan seperti dia, benar-benar takdir yang menyakitkan.
Pukul 18.00
Aku bersiap-siap, dengan pakaian yang di berikan oleh Mr. Jordan. Aku mengubah gaya rambutku, menjadi kesan yang sedikit dewasa, biasanya ku gunakan rambut yang menutupi kening, kadang-kadang kalau kuliah aku selalu menggunakan kacamata.
Kulihat mobil mewah sudah berada di depan kontrakanku. Supir yang ada di dalam mobil keluar menungguku untuk keluar. Aku keluar dengan gaya formal. “apa teralu mencolok ya, sudah lah lagian aku tidak menyukai pertemuan ini”. Umpatku di dalam hati.
Pelayan itu menyambutku, dan berkata kepadaku. “Apa anda tuan Ricky Darrell?”. Sapanya dengan ramah.
“Ya itu adalah saya,”. jawabku langsung. “Kalau begitu, silakan masuk kedalam mobil”. Dia langsung membukakan pintu mobil untukku. Aku masuk kedalam, dan dia melajukan mobilnya ke jalan raya. 30 menit aku sudah sampai di rumah orang yang akan menjadi suamiku.
Pagar terbuka secara otomatis, aku melihat sekeliling halaman rumah ini. “Seberapa kaya sih orang ini”. Gumamku sendiri.
Aku sempat bengong sendiri, ya aneh aja. Ini orang kaya banget, tapi kenapa mau mengambil menantu sepertiku. Aku miskin dan tak punya apa-apa. Kenapa malah memilihku?.
Terus supir tadi membukakan mobil. dan aku di sambut oleh beberapa pelayan yang ada di rumahnya. Mereka mengantarku ke ruangan makan. Disana ada 5 orang sedang menunggu di meja makan. Orang paling tidak aku inginkan adalah yang menatapku dengan sinis.
“Ayo duduk”. Ajak Mr. Jhon. “Iya”. jawabku simple,
Aku kemudian duduk berhadapan dengan felix, si cowok brengsek itu. Bukan brengsek tapi malah bajingan. Dia masih menatapku sinis. aku hanya menatap dia cuek. “Bagaimana kuliahmu”. Mr.Jhon membuka kesunyian di meja makan.
“Sekarang aku sudah di tahap akhir, jadi tinggal menunggu publish dan sidangnya”. Jawabku
“Sekarang berapa usiamu?”. Tanya Mrs. Carley.
“Aku sekarang berusia 20 tahun”. Aku menjawab Mrs.Carley dengan sopan.
“Usia yang cukup muda, hampir selesai kuliah. sepertinya kamu memang pintar”. Mrs. Carley tersenyum padaku. Aku juga membalas senyumnya.
“Baiklah, kita akan membahas tentang pernikahan kalian?”. Tiba-tiba mendengar kata-kata tersebut membuatku tersedak, karena aku sedang meminum air. Untung minuman yang ada di dalam mulutku tidak kumuntahkan.
“Dasar orang miskin, tidak sopan sekali!”. Aku sudah kenal suara angkuhnya. Aku mengambil tisu dan membersihkan air yang ada di tepi-tepi bibirku.
“Aku minta maaf karena ketidaksopananku”. Sesalku.
“Oh tidak apa-apa, maaf juga karena tiba-tiba Papanya Felix berbicara secara tiba-tiba”. Suara lembut dan opan dari Mrs. Carley.
“Dan kamu Felix, jaga bicaramu pada tamu kita dan dia adalah calon Suamimu di masa depan”. Katanya tegas kepada putranya.
“Kalau masalah pernikahan biar Papa yang atur, mungkin dalam waktu seminggu ini”.” Jadi mulai sekarang kalian harus mempersiapkan diri kalian”. Mr. Jhon langsung berkata soal pernikahan.
“Kenapa harus buru-buru seperti itu Pa?”. Felix mencoba membantah perkataan ayahnya. “Iya Mr. Jhon bukankah terlalu cepat”. tambahku.
“Bukankah lebih cepat lebih baik”. “Dan kalian berdua jangan membantah”. Kami langsung berhenti berbicara.
Kenapa harus secepat ini, aku tidak membanyangkan kalau takdirku akan seperti ini. Oh tuhan, apa surga benar-benar membenciku, sampai-sampai aku harus menikah dengan seorang laki-laki breengsek seperti dia.
Aku hanya menatap datar orang yang di depanku, sedangkan dia menatapku sinis.
——–
Karena pernikahanku sebentar lagi, entah apa alasannya aku merasa bahwa aku selalu diawasi tapi setiap kulihat sudut-sudut tempat tersebut tapi sama sekali tidak ada. Kadang-kadang aku diantar dan dijemput oleh supir milik Mr. Jhon. Aku sedikit merasa terganggu, tapi Mr. Jhon tidak mendengarkan. Dia bilang tidak akan membiarkanku dalam bahaya.
“Huh, merepotkan”. Kulihat supir Mr. Jhon sudah menungguku di depan kontrakan. “Selamat pagi tuan Ricky”. sapanya ramah.
“Selamat pagi juga, bisakah kau tidak perlu menjemputku setiap pagi?”. Aku bertanya padanya. “Itu tidak bisa, tuan besar dan nyonya besar, memerintah saya untuk terus menjaga anda. Karena 2 hari lagi pernikahan anda dilaksanakan”. Jawabnya.
Aku hanya diam dan tanpa berkata-kata. aku masuk ke dalam mobilnya. “Kita akan ke rumah yang baru, rumah yang akan tuan Ricky tinggal nanti?”. Dia menjelaskan kemana kami akan pergi nanti.
“Baiklah, aku akan ke sana”. Jawabku sedikit berwajah masam.
“Kenapa Tuan Muda berwajah seperti itu, bukankah harusnya anda berbahagia pernikahan kalian?”. Dia yang penasaran.
“Bagaimana aku bisa bahagia dengan pernikahan yang tidak kuinginkan? Apalagi aku harus menikah dengan si bajingan itu”. Jawabku kesal. aku sama sekali tidak memandang ke depan, aku hanya memandang ke jendela samping mobil.
“Ah, saya mengerti keadaan anda tuan, tapi bukankah ini merupakan hal yang paling baik tuan?”. Kata supir mencoba menyemangatiku. “Bagiku, takdir ini sangat menyakitkan, menikah dengan orang yang benar-benar kutahu kalau dia orang yang paling menyebalkan”. Aku semakin kesal, tapi aku mencoba menahan diri.
“Kalau begitu masalahnya saya tidak bisa membantu apa-apa”.
“Tidak apa-apa, terima kasih sarannya. Aku akan mencoba menerima semua ini”. Jawabku dengan senyuman, meskipun terpaksa tapi tetap saja kulakukan.
Dia yang melihat senyumku, dia juga ikut tersenyum. Aku dapat melihatnya dari kaca mobil. Selama perjalanan kami, kami sempat bercanda dan berbagi pengalaman. Aku menceritakan semua pengalaman hidupku. dia juga menceritakan pengalaman hidupnya. Ternyata supir itu, sudah lama bekerja di keluarga Mr. Jhon.
“Sekarang kita sudah sampai Tuan”. kami memasuki halaman rumah yang akan aku tempati setelah menikah nanti.
Halaman yang sangat luas, meskipun rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah Mr. Jhon. Rumah ini terlihat kecil, tapi terlihat sangat mewah. Kulihat ada 3 orang menunggu di pintu depan, pelayan yang ada di rumah utama. Kami sudah sampai di depan rumah, supir itu buru-buru keluar dan membukakan pintu mobil untukku.
“Kau tidak perlu melakukannya lagi, aku bisa membukanya sendiri”. Ucapku kepadanya.
Dia tersenyum kepadaku, “Ini adalah bentuk tugasku, jadi tidak masalah Tuan”. Sambil dia menutup pintu mobil. “Dan berhentilah memanggilku Tuan, aku bukan siapa-siapa di sini, kamu hanya perlu memanggilku Ricky”. Lanjutku.
“Selamat datang Tuan Ricky”. Sambut para pelayan wanita yang sedang menunggu didepan pintu tadi.
Salah satu dari mereka membukakan pintu untukku, aku melihat ke dalam dari balik pintu kulihat ada Felix dan kedua orangtuanya. Mereka menyambutku dengan senyuman yang hangat kecuali Felix, menatapku tajam. Aku mengabaikan tatapan itu. Karena aku sudah biasa di perlakukannya seperti itu.
“Kalian akan tinggal di sini, saat kalian sudah menikah dan pernikahan kalian akan dilangsungkan 2 hari lagi. Pestanya akan di laksanakan di rumah utama”. ujar Mr. Jhon. Lalu dia berkata lagi, “Dan juga aku akan mengundang banyak kerabat dan teman-teman pengusahaku, bahwa putra tertuaku akan menikah dan acara itu harus meriah”.
“Soal acara biar Mama yang atur, jadi kalian hanya perlu menunggu hari berbahagia kalian”. Mr. Carley tersenyum girang.
Aku tidak tahu kenapa mereka terlihat sangat senang, padahal calon menantu mereka orang sepertiku. Orang yang tidak punya apa-apa maupun siapa-siapa di dunia ini. Setelah melihat rumah yang bakal kutinggali.
Supir mengantarku kembali ke kontrakanku. Tapi sebelum itu kami pergi ke butik terbesar di Los Angeles. Ya, mereka bilang kalau bajuku sedang di persiapkan di sana. Jadi aku diperintah ke sana untuk melihat pakaian yang akan kukenakan di hari berbahagiaku, namun bagiku itu sama sekali bukan hari berbahagia.
Kami datang dan aku di perintah mencoba pakaian itu, ukurannya sangat pas denganku. Dengan bunga di dada dan berwarna putih polos. Setelah selesai dengan urusan yang di butik aku langsung minta di antar pulang ke kontrakan. Aku bilang kalau aku sangat lelah, jadi aku langsung minta di antar ke kontrakanku langsung.
Bab 4
Jam demi jam berlalu, sampai hari ini aku tinggal di dalam hotel sebelum pernikahanku. Aku akan di rawat supaya Nampak lebih segar saat acara pernikahanku nanti.
Selama 2 hari ini aku sama sekali tidak boleh keluar dari hotel, bahkan pergi makan pun aku tidak diizinkan. Mereka bilang kalau aku ingin makan hanya perlu bilang kepada mereka, dan mereka akan mebawakannya untukku.
Hari yang di tunggu-tunggu sudah tiba, hari di mana aku tidak akan tahu takdir akan mempermainkanku seperti apa nanti.
Aku sudah bersiap-siap dengan pakaian putih bersih dan dengan bunga mawar merah yang sangat cantik berada didadaku.
1 jam lagi, ikrar janji pernikahanku di atas altar gereja yang terbesar di Los Angeles. Supir yang biasa menjebutku sudah tiba, dia bilang kalau ini sudah waktunya kami ke gereja. Tidak terlalu jauh karena Mr. Jhon sengaja menyewa hotel yang dekat dengan gereja, jadi bisa menghindari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi padaku.
Aku sudah datang di gereja yang akan melangsungkan pernikahanku. Gereja itu sudah di hiasi dengan hiasan motif putih-putih, dan begitu sangat mewah. Aku melangkah ke dalam ruangan gereja, kulihat di atas altar, laki-laki itu benar-benar tampan.
Sama sekali tidak menyambutku dengan senyuman. Aku melangkahkan kakiku bersama dengan 2 pelayan dibelakangku dan 2 anak kecil laki-laki dan berempuan yang sedang membawa bunga.
Aku melangkahkan kakiku menuju tangga altar, laki-laki itu mengulurkan tangannya dengan senyuman di wajahnya menandakan kalau dia sedang bahagia dengan pernikahannya. Aku tahu itu hanya tipuan semata agar orang-orang mengira kalau dia sangat bahagia.
Begitu juga aku saat aku mengulurkan tanganku, kuberikan senyuman bahwa aku juga sangat bahagia. Kulihat banyak orang tersenyum bahagia, begitu juga dengan orang tuanya Felix. Kami bersandiwara seolah-olah kami adalah pasangan yang paling bahagia.
Kulihat pendeta sudah ada di depan kami, kami saling memandang dan memegang tangan.
“Felix Jordan. Apa anda bersedia menikahi Ricky Darrell bersumpah menjaganya sampai maut memisahkan kalian. Felix Jordan “ ucap pendeta
“Ya”. Ucapnya dengan sedikit senyum.
“Ricky Darrel. Apa anda bersedia menikahi Felix Jordan bersumpah menjaganya sampai maut memisahkan kalian, Ricky Darrell”. Ucap pendeta kata yang sama ke padaku.
“Ya”. Ucapku dengan senyuman.
Kami bertatapan dengan tersenyum seolah-olah kami pasangan bahagia. Lalu dia mencium bibirku, kami hanya menempelkan bibir saja, siapa yang mau mencium orang yang tidak disuka.
Selesai ikrar janji pernikahan, dengan mobil mewah berhiasan bunga putih yang cantik. Mobil itu berada di depan gereja yang akan membawa kami ke rumah utama. Dia membukakan pintu untukku, mempersilakan aku masuk ke mobil dan dia mengikutiku masuk kedalam. sebelum dia masuk, dia sempat tersenyum bahagia, dan melambaikan tangannya ke banyak orang.
“Benar-benar akting yang luar biasa”. Ucapku pelan.
Aku yakin dia mendengarkannya, lalu dia menatapku tajam. “Jangan pernah berharap bahwa akan hubungan pernikahan ini, karena aku tidak menyukainya”. Ucapnya kasar.
“Tenang saja, aku juga tidak ingin punya hubungan dengan laki-laki bajingan sepertimu”. Ucapku sinis.
Saat kami berdebat di dalam mobil, tak butuh waktu lama kami sudah berada di rumah utama keluarga Jordan. sudah banyak sekali tamu yang datang ke pesta Pernikahan ini, dan terlalu mewah pestanya untuk orang yang terpaksa menikah.
Felix keluar terlebih dahulu, dan memegang tanganku saat keluar. Dan saat berjalan melewati tamu-tamu pesta dia memegang tanganku dan tak hentinya dia tersenyum. Aku juga melakukan hal yang sama, lama-lama ini membuatku muak.
Kami sudah berada di depan kue besar, tangan kami berdua memotong kue dan menyuapkan 1 sama lainnya. Selesai itu, Felix mendekati tamu yang lain. Dan teman berhargaku datang mendekatiku, aku bisa lihat raut wajah ketidaksukaannya.
“Bagaimana bisa kamu menikah dengan laki-laki brengsek itu?”. Tanyanya langsung tanpa basa-basi.
“Bagaimana? Aku juga tidak tau kenapa aku harus seperti ini?”. Aku menjawabnya.
“Dengan orang lain aku bisa terima, dengan dia, laki-laki bajingan yang pernah kutemui”. Ucapnya dengan nada marah. Aku tahu sifatnya Max, kalau dia marah akan sesuatu, dia tidak akan menyembunyikanya.
“Kalian bukannya sepupuan, wajarnya kalian berdua sama-sama brengsek”. Ucapku dengan senyum.
“Tapi sayangnya aku tidak sebrengsek dirinya”. Ucapnya membela dirinya.
“Kamu sudah makan, sayang kalau kamu tidak makan”. Ucapku tersenyum.
“Ah, karena ini pesta pernikahanmu jadi aku bisa makan, kalau ini Cuma pernikahan dia aku bahkan tidak sudi untuk datang”. Tambahnya lagi dengan suara marah.
Pesta berlangsung meriah dan saat tengah malam kami pulang ke rumah yang kami tinggalkan bersama. Aku tidak tahu kalau pakaianku sudah terletak rapi di lemari, perasaan aku belum sama sekali membawanya. Mungkin pelayan yang mengerjakan semuanya.
———
Karena aku benar-benar kelelahan, jadi aku langsung berbaring di ranjang yang empuk dan ditaburi kelopak bunga mawar. Benar-benar suasananya pengantin baru. saat aku hendak terlelap dalam tidurku, seseorang menarik lenganku dengan kasar.
“Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?”. Tanyanya dengan nada kasar.
“Kenapa? memang tidak boleh, aku sudah tinggal di sini, berarti aku berhak tidur di tempat ini?”. jawabku dengan tatapan menantangnya.
“Beraninya kamu, orang miskin sepertimu tidak pantas tidur di tempat tidur ini, sekarang kamu keluar aku akan tidur di sini!”. ucapnya membentakku.
Aku tidak ingin berdebat lebih panjang. Aku langsung keluar dari ruangan itu, kulihat ada beberapa kamar, tapi isinya masih kosong. Jadi aku terpaksa tidur di ruang tamu, aku menganti pakaian kaos polos dan celana di bawah lutut. Aku mulai berbaring di sofa ruang tamu. aku mendengarkan suara langkah kaki mendekatiku. aku berpura-pura tidur.
“Dasar orang miskin, berbaring di sini saja sudah membuatmu tertidur nyenyak!”. ucapnya meninggalkanku.
“Orang miskin ya”. aku merasakan sakit hati yang menjalar di seluruh tubuhku.
Pagi, kulirik jam yang besar di tepi dinding 06.00 pagi.
“Lebih awal dari dugaanku, biasanya aku bangun jam 06.30”. Gumamku. Aku mendudukkan posisi tubuhku, rasanya tubuhku benar-benar patah, ini semua karena laki-laki sialan itu.
Aku pergi ke kamar nya yang harusnya kamarku juga. aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar, dia sedang tertidur dengan nyenyaknya. Kulihat dia tidak memakai baju hanya selimut setengah menutupi tubuhnya.
Kulihat tubuh telanjangnya, tubuh yang perfect bahkan aku tidak punya bentuk tubuh yang seperti itu sangat sempurna.
Deg
‘Eh? Ada apa denganku? Hey Ricky sialan jangan katakan kamu menyukai tubuhnya, Jangan lakukan hal bodoh Ricky!’. aku terus meliriknya, tetapi dia mengerang sedikit. membuatku sadar tujuan awalku adalah untuk mandi dan bersih-bersih.
Aku segera mengelengkan kepalaku, supaya kesadaranku bisa kembali. Aku mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Setelah membersihkan tubuhku, sekarang tubuhku benar-benar segar. aku keluar dari kamar mandi.
“Si brengsek itu masih belum bangun juga”. Aku memakai pakaianku yang ada di lemari.
Aku kemudian turun ke bawah dan kulihat bahan makanan yang ada di kulkas. Aku mengambil 3 telur dan sayuran-sayuran campuran. Aku berencana membuat omelet telur. Aku memotong sayur yang kubutuhkan, aku mulai mengocok telur dan kucampurkan dengan beberapa sayur yang sudah kupotong.
Sekarang masakanku sudah matang, tinggal disajikan di atas meja. Aku mengambil 4 keping roti. Aku memasukkan roti tersebut kedalam panggangan. Setelah berubah warna aku memberi selai, dan satunya kubiarkan. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 07.35, apa dia benar-benar belum bangun juga.
Pada saat aku melepas apron yang kukenakan, aku bersiap untuk ke atas membangunkan dia, bila perlu kusiram pakai air. Biar dia sadar dan cepat bangun.
“Akan kusiram si brengsek itu dengan air supaya bangun!”. ucapku sambil meletakkan apron di dapur, saat aku berbalik dia sudah berada di atas meja. aku terkejut dia saat dia sudah di meja dengan berpakaian kantornya.
“Jika kamu berani menyiramku, akan kupastikan hidupmu menderita selamanya!”. Ancamnya dengan nada marah.
“Oh Sudah bangun. Kamu pikir aku tidak berani denganmu, dasar bajingan”. Ucapku dengan nada marah. dia menatapku sinis, aku duduk di kursi dan kami makan tanpa berbicara sedikitpun.
Dia hampir selesai makan makananya, ternyata nafsu makannya besar juga.
“akan kuberi tahu kamu, aku tidak akan mengangu hubunganmu dengan siapapun dan kamu jangan pernah menganggu hubunganku dengan siapapun. Kamu tahu bukan? Pernikahan ini hanya terpaksa, asal kamu tahu aku sama sekali tidak ingin menyentuhmu. Kamu membuatku jijik kenapa aku harus menikah denganmu?”. Dia membuat perjanjian denganku.
“Kalau begitu baiklah, aku terima perjanjianmu”. Aku menanggapinya datar, tanpa melihatnya.
Setelah dia selesai berbicara dia meninggalkan ruangan makan, berjalan ke sofa mengambil jasnya lalu berjalan menuju pintu rumah. Kudengar suara garasi terbuka dan suara mobil berjalan menjauhi rumah ini.
Kringgg
Kringgg
Kringgg
Suara telepon rumah berbunyi, aku berjalan mendekati dan mengangkat panggilan tersebut.
“Kediaman Jordan di sini”. aku membuka percakapan.
“Oh Ricky bagaimana kabarmu, dan bagaimana malam pertama kalian?”. Suara wanita tertawa di dalam telepon. aku tahu siapa itu, ibunya Felix, ibu mertuaku.
“Oh mama, kabar baik ma, lagian kan baru kemarin ketemunya, masa mau nanyain kabar sih ma?”. Aku menjawabnya, namun aku juga tersenyum.
“Ya siapa tahu kan kamu kecapekan, habis malam pertama?”. Jawab mama masih tertawa di seberang telepon.
“Malam pertama, aku bahkan tidak tidur di ranjang”. Umpatku di dalam hati
“Mama, ada-ada saja, Mama apa kabar?”. Aku bertanya juga kepada ibu mertuaku, dan juga aku tidak perlu menjawab pertanyaannya yang soal malam pertama.
“Kalau Mama dan Papa baik-baik saja”. suara di dalam telepon. “Oh iya Mama hampir saja lupa. Nanti papamu akan menjemputmu, katanya dia akan mengajakmu ke perusahaannya yang lain”. tambah mama.
“Eh kenapa aku ma?”. Tanyaku bingung.
“Ya kamu kan sudah jadi menantu Mama dan Papa, bukankah itu hal yang wajarlah sayang”. Jawabnya.
“Baiklah ma, aku siap-siap dulu”. Kemudian aku mematikan panggilan telepon.
Aku langsung pergi ke kamar dan bersiap-siap. sepertinya aku akan memakai pakaian formal aja kali ini. Aku sudah selesai berpakaian, aku kemudian melihat diriku di cermin.
“Tidak buruk”.gumamku, sedikit senyum.
Aku berjalan ke luar kamar, mendengar bunyi bel rumah. Jadi aku langsung menuruni tangga menuju pintu rumah. saat ku buka pintu, ternyata itu papa, ayahnya Felix dan sekarang menjadi Ayah mertuaku. Dengan setelan jas yang sangat cocok dengannya. Walaupun sudah tua, tetap saja terlihat gagah. papa tersenyum padaku.
“Sudah siap”. tanyanya.
“Ya”. jawabku singkat.
“Kalau begitu kita pergi sekarang!”.
Aku mengikuti papa di belakang. supir membukakan pintu untuk papa dan aku. Kami masuk ke dalam dan mobil mulai melaju meninggalkan rumah . Saat di jalan raya kami sempat mengobrol bersama.
“Bagaimana dengan penulisan akhirmu?”. Tanya papa membuka keheningan di mobil.
“2 hari lagi aku melakukan persidangan akhir, dan menunggu publishnya. seminggu setelah itu aku akan mendapatkan gelarku”. Jawabku, Papa menatapku dengan senyum cerah. Aku tidak dapat mengartikan apa maksud senyum dari papa itu.
“Baguslah kalau begitu, saat kamu mendapatkan gelarmu nanti kita akan merayakannya di rumah utama”. tawarnya.
“Papa tidak perlu melakukan hal itu. Itu sedikit merepotkan”.
“Tidak ada yang merepotkan bukankah itu menjadi hari dimana kamu mendapatkan gelarmu tentu saja kita akan mengadakan pesta”.
“Jika Papa memaksa, tapi jangan terlalu mewah cukup kita sekeluarga saja”.
Takut pestanya sangat meriah, hanya karena pemberian gelar, pesta harus meriah dan mewah. Bukan aku tidak ingin, hanya saja karena aku tidak terlalu biasa dengan pesta yang mewah-mewah.
“Iya, tenang saja. Oh iya kalian sudah merencanakan bulan madu kalian di mana?”. Tanya Papa mengalihkan pertanyaan tadi.
Aku yang mendengar pertanyaan tersebut, aku membeku sesaat.
“Bagaimana mau bulan madu, aku saja tidak di izinkannya tidur di kamar”. Gumamku di dalam hati.
Aku melihat kearah papa, lalu aku tersenyum. Papa menatapku penasaran.
“Tidak perlu pa, lagipula kita berdua di rumah bersamanya saja aku merasa bahagia”. Aku tertawa kecil. Aku hanya berpura-pura supaya tidak ketahuan kalau aku sedang berbohong.
“Baiklah kalau itu mau kalian, padahal Papa sudah menyiapkan tempat buat bulan madu kalian”. Ujar papa. Aku hanya membalasnya dengan senyuman bahagia.
Sekarang kami sudah sampai di depan perusahaan, tapi bangunan ini berbeda dengan yang ku lihat yang waktu lalu. Orang-orang yang ada di dalam menegur sapa papa, jadi ini perusahaan papa yang baru.
Kami memasuki lift dan pergi kelantai atas. Kami memasuki ruangan yang paling atas, meskipun tidak sebesar bangunan yang lalu, tapi ini cukup mewah, memiliki 20 lantai. Bahkan ada beberapa perusahaan keluarga Jordan lebih besar dari ini.
“Kamu duduklah di sofa, ada yang papa ingin bicarakan padamu”. kata papa tiba-tiba serius, aku sedikit merasa takut. ada masalah apa ya, padahal aku baru beberapa hari menjadi menantunya.
“Ada apa Pa?”. Aku mencoba tidak gugup, menenangkan hati.
“Karena kamu sudah menjadi menantuku sekarang, aku tidak akan khawatir untuk menyerahkan perusahan ini padamu”. Kata papa tanpa ada senyuman sama sekali.
“Huh”. aku terkejut, mataku membesar dan mulutku terbuka sedikit.
“Apa Papa sedang bercanda ya, menyerahkan perusahaan ini? padaku?”.
“Apa Pa, menyerahkan perusahaan? Tapi aku sama sekali belum berpengalaman”. Kataku. Aku akan menolak kali ini, aku masih belum ada pengalaman.
“Ya sebentar lagi kamu akan menyelesaikan perkuliahanmu, Papa akan memberikan perusahaan ini padamu, jadi kamu harus menerimanya”. Ucap papa. Kata-kata itu seperti ancaman bagiku.
Bab 5
Setelah aku melihat perusahaan Papa yang akan diberikannya padaku. Papa mengantarkanku ke rumah. Aku masuk ke rumah ketika mobil Papa menjauhi rumah. Aku berjalan menuju ruang keluarga dan duduk di sofa depan televisi yang tidak menyala.
Aku melirik ke arah jam menunjukkan 4 sore. Saatnya untuk membuat makan malam, jadi aku pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah selesai aku turun ke dapur untuk memasak makan malam, meskipun aku membencinya tetap saja kewajibanku mengurus rumah dan memasak untuknya.
Aku membuka kulkas dan mengambil bahan-bahan yang akan kumasak, mungkin malam ini aku akan memasak makanan kesukaanku. Terserah dia mau makan atau tidak itu urusannya, yang penting aku sudah memasakkannya.
“Apa dia sudah makan siang tadi ya? Ah kenapa juga aku malah menghawatirkan si brengsek itu.” Aku mengambil bahan-bahannya dan mulai memasaknya.
Setelah semuanya selesai, aku menyajikannya dimeja dengan porsi untuk 2 orang. Aku melepas apronku dan duduk dimeja makan. Aku melirik jam tanganku sudah pukul 8 malam.
“Kenapa dia belum pulang juga?”
Aku menutup makanan yang kumasak, aku berjalan ke sofa di depan Televisi, kunyalakan Televisi yang berlayar besar untuk membuang bosanku. Kulirik sekali lagi jam yang ada di sudut ruangan. Ini sudah jam 10.
“Kenapa belum pulang juga?” Tambah umpatku dengan nada marah.
Tidak lama kemudian aku tertidur di sofa dengan Televisi yang masih menyala. Ya, aku sedikit lelah, jadi aku langsung tertidur. Kudengar suara pintu terbuka dan laki-laki yang sedang ditunggu berada disamping sofa.
“Dasar, kenapa kamu malah tidur dengan Televisi yang masih menyala.”
Dia datang terlambat lalu memarahiku. Dasar benar-benar bajingan orang ini.
“Kamu ingin makan, aku sudah memasakkanmu!” Aku membalas perkataannya dengan masih setengah tertidur.
“Buang saja makanan itu, kamu pikir ini jam berapa? Kamu jangan terlalu berharap padaku supaya aku jatuh cinta padamu, jangan pernah berharap! Aku tidak akan pernah mencintaimu. Pernikahan ini hanya paksaan, terlebih lagi orang miskin sepertimu, sekarang matikan lampu dan kamu tidur di sini!” Felix menatap kearahku, dia bahkan berkata dengan nada marah.
Kata-katanya benar-benar menusukku, walaupun aku tidak mencintainya tapi entah kenapa hatiku harus sesakit ini. Apa aku sudah menyukainya? Jangan pernah, aku malah sangat membencinya, tapi kenapa aku harus merasakan sakit yang terlalu berlebihan ini.
Aku melangkah kakiku dan mematikan lampu yang menerangi rumah ini. Kuambil selimut dan aku kembali ke sofa. Aku mencoba tidur tapi kata-katanya tadi menghancurkanku, untuk pertama kalinya aku menjatuhkan air mataku setelah 5 tahun aku kehilangan orang tua dan adikku.
Aku menangis. Aku mencoba menahannya tapi masih saja mereka jatuh. Aku yang terus menangis dan mungkin karena lelah aku tidak sadar kembali tertidur.
Aktivitas yang kujalani setiap pagi dan malam, semuanya hampir sama setiap hari. Aku makan dan tidur sendiri tidak ada perubahaan seperti aku tidak pernah menikah. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan mungkin juga akan menjadi sesuatu yang akan menyakitkan bagiku. Hari ini dimana aku meninggalkan semua kenanganku bersama teman-temanku semasa kuliah.
Benar, aku mengenakan toga dan baju hitam. Aku juga dapat penghargaan sebagai lulusan termuda dan tercepat dengan IPK diatas rata-rata.
Kedua mertuaku menghadiri acara wisudaku kecuali suamiku. Hal itu membuat rasa perasaanku terluka setidaknya aku berharap dia hadir diacara ini. aku menahannya dan tersenyum bahagia.
Kami mengambil foto bersama kenangan untuk hari terakhir aku berpendidikan disini. Setelah kami selesai berfoto-foto. Max temanku masih belum wisuda, mungkin semester depan, tapi dia hadir diacara wisudaku dan dia mengucapkan selamat atas gelarku.
Aku tersenyum padanya dan juga mengejeknya. Dia memberiku pukulan pelan lalu mengambil togaku dan kedua mertuaku tersenyum melihat kami yang terlihat sangat akrab.
Setelah acara wisuda dikampus selesai, kami semua kembali ke rumah utama. Papa mengatakan bahwa dia akan mengadakan pesta kecil untuk perayaan atas kelulusan. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi tidak bisa soalnya Papa mertuaku adalah orang yang suka memaksa khendak orang lain.
Sebentar lagi aku akan mengambil alih 1 perusahaannya. Aku hanya mau jika perusahaan itu masih kecil, untuk membuktikan jika aku berhasil dan membuat perusahaan itu akan menjadi besar. Papa mertuaku mengangguk setuju dengan pendapat yang aku katakan.
Kami sampai di rumah utama. Kedatangan kami disambut oleh beberapa pelayan rumah yang sudah menyiapkan jamuan untuk para kerabat dan keluarga termasuk Max. Setelah acara hampir selesai, suamiku baru datang ke rumah utama.
Semua keluarga dan kerabat sudah masing-masing pulang ke rumah mereka. Papa marah dengan kelakuan Felix yang seperti itu.
“Dari mana saja kamu?”
Dengan nada Papa yang kasar, dia menahan emosinya agar tidak meledak.
“Aku baru selesai kerja Pa, banyak meeting yang harus kuhadiri.”
Felix menjawab dengan santai sambil duduk di sofa dan mengendurkan dasinya.
“Apa? Perusahaanmu lebih penting dari pada acara kelulusan istrimu?” Tambah Papa dengan suara meninggi, dia sudah tidak bisa menahan murkanya lagi.
Kami yang sedang berada di dapur terkejut mendengar suara papa seperti orang yang sedang berteriak. Kami langsung menuju dimana suara Papa dan aku melihat suamiku baru pulang dari kerja. Mama datang lalu mendekati Papa.
“Papa sudahlah, jangan marah-marah begitu!” Ucap mama yang mendekati Papa dan mengusap lengan suaminya. Mama mencoba menenangkan emosi Papa.
“Iya. Papa mungkin Felix sangat sibuk hari ini. Dia mungkin ingin sekali hadir diacara itu, namun dia tidak bisa lagian ini kan sudah tidak apa-apa. Kami bisa merayakannya lagi di rumah.” Aku juga mencoba menenangkan emosi papa.
Felix yang mendengar ucapkanku dia memalingkan wajahnya ke arahku dan menatapku tajam. Tatapannya seraya ingin membunuhku.
“Baiklah, kali ini kamu Papa maafkan Felix, sekali lagi kamu berbuat hal semacam ini. kamu akan tahu akibatnya nanti.” Ancam Papa pada Felix. Namun dia hanya menatap ayahnya.
Kami sudah menyelesaikan pesta di rumah utama, Felix meminta izin untuk pulang ke rumah kami untuk beristirahat. Felix menarik tanganku mencengkramnya kuat, aku menahannya sampai kami di mobil. Sebelum pergi, aku melambaikan tanganku pada kedua orangtuanya. Lalu kami berdua naik mobil sport miliknya.
Tidak waktu lama kami berdua sudah sampai di rumah Felix, tidak ada siapapun di rumah ini kecuali aku dan dia. Aku membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. Aku duduk disofa sebentar. Kulihat jam yang ada di sudut ruangan ini, 10.30.
Aku melangkah ke kamar untuk mandi dan membersihkan diriku. Setelah aku keluar kamar mandi aku mengambil bajuku di lemari dan memakainya. Saat aku akan mengeringkan rambutku, kulihat Felix dengan tatapan yang akan membunuhku sama seperti di rumah mertuaku.
“Jangan pernah berpura-pura seperti orang yang merasa bahagia dipernikahan ini!” Ucapnya dengan tatapan yang sangat tajam.
“Ha? aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan?” Aku berpura-pura cuek dengan pertanyaannya.
“Semakin hari kamu semakin berulah, berpura-pura baik kepada orang tuaku dengan harapan kamu bisa menjadi direktur di perusahaannya, dasar kamu tidak tahu malu.” Ucapnya tajam, sangat tajam sehingga bisa menghancurkan segalanya di hatiku.
Setelah menunggu dia selesai bicara, aku mendekatinya dengan handuk yang dileherku. Menahan rambutku yang masih basah supaya tidak menjatuhi bajuku.
Aku mendekatkan wajahku tepat diwajahnya hanya jarak beberapa senti saja hidung kami hampir bertemu. Kulihat matanya, ada rasa kebencian yang terdalam dari mata yang cantik itu.
“Asal kamu tahu, aku tidak perlu hartamu yang berlimpah itu aku memang miskin, tapi aku tidak mempunyai sifat brengsek sepertimu!”. Aku menatapnya tajam, walaupun tidak setajam dia. “Karena orang tuamu begitu baik padaku, aku menahan semuanya, dan kamu bilang direktur, aku sama sekali tidak menginginkan posisi itu!”
Aku bisa mendengar suara tawa dari lelaki yang ada di depanku. Dia menatap tajam kearahku.
“Berani sekali kamu memandangku seperti itu!”
“Kenapa tidak, aku bukan wanitamu? Kenapa aku tidak berani memandangmu dengan tatapan yang sama waktu kamu berikan padaku?” Aku membalas ucapan dari Felix. Pada saat aku berada diambang pintu dan menatap kearahnya. “Kalau kamu selesai bicara, aku akan pergi tidur. Selamat malam My husband.”
Aku menatapnya datar dan dia mengeraskan rahangnya menahan marah. Kulihat wajahnya sudah memerah padam. Dia pikir aku seperti wanita, ketakutan dan menuruti semua kemaunya, bermimpi saja kamu sana.
Aku kemudian membalikkan tubuhku dan berjalan menutupi pintu. Aku pergi ke tempat tidurku. Seperti biasa aku tidur disofa selama hampir sebulan ini. Aku akan menahan semua. Aku akan membuktikan bahwa takdir ini sebenarnya palsu. Aku akan menemukan jalanku untuk bahagia.
Bab 6
Aku bangun pagi seperti biasa, sebelum jam 6 sudah bangun. Mengerjakan pekerjaan yang sama setiap hari. Memasak di dapur membuat sarapan pagi seperti biasa. Roti panggang dengan selai kacang, jus jeruk dan air putih. Aku memakan sarapanku.
Aku sengaja hari ini tidak makan bersama. Aku harus segera berangkat ke kantor. Kulirik jam sudah menunjukkan jam 07.00. Aku pergi ke kamar dan mandi.
Setelah aku mandi aku mengambil pakaian kantor, karena hari ini aku mulai bekerja di perusahaan Papa mertuaku. Aku mengambil ponsel dan menelpon supir yang akan mengantarku ke kantor, Papa bilang kalau dia akan mengantar dan menjemputku pada saat kerja.
Aku keluar dari rumah, sarapan untuk Felix sudah kusediakan di meja, dengan kututupi dengan plastik khusus makanan. Kulihat supir Papa sudah ada di depan rumah. Dia membukakan pintu mobil untukku.
Aku masuk ke dalam mobil, dan supir melajukan mobilnya menjauhi rumahku. Aku tidak tau apa dia sudah bangun atau tidak. Tadi pagi kulihat ada kissmark dilehernya dan ada beberapa juga di dadanya.
Jangan khawatir, jangan khawatir. Lupakan semua yang pernah kamu lihat. Kamu harus yakin Ricky kamu bisa melewatinya.
Aku segera melupakan apa yang baru saja tidak perlu dilihat. Itu hanya akan menyakiti diriku sendiri. Aku lalu melihat jendela mobil di sebelah kananku. Mataku tertuju pada anak kecil yang lusu dan kotor. Meminta uang kepada orang yang lewat padanya.
“Paman, berhenti sebentar!” Aku menyuruh supir untuk memberhentikan mobilku.
“Ada apa Tuan?” Dia bertanya padaku.
“Tolong mundur, tapi bisa kah kamu belikan aku makanan yang cepat saji saja, jangan lupa dengan air minumnya.” Ucapku padanya sampil aku melihat ke kaca.
Supir Papa juga melihatku dari kaca yang ada di mobil. Dia mengangguk aku keluar dari mobil. Aku menunggu di tepi jalan berseberangan dari anak kecil yang kutatap tadi.
Tidak lama kemudian supir Papa sudah datang, aku menyebrang saat lampu merah. Aku mendekati mobil yang mengantarku.
Supir itu mengeluarkan pesanan yang kubutuhkan. Dia sempat keluar dari mobil dan membawakan makanan itu untukku.
“Paman tunggu di sini saja, aku hanya sebentar!”
Paman mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobil. Aku mendekati anak kecil yang lusuh itu, jarak kami hanya 10 meter. Jadi aku mendekatinya dan dia melihatku dengan tatapan kosong.
Pertama aku terkejut melihat ekspresinya, mengingatkanku saat aku kehilangan keluargaku. Saat dimana keterpurukanku yang hampir membuatku tidak ingin hidup. Dulu aku pernah berpikir kenapa aku tidak ikut bersama mereka.
Jika aku bersama mereka mungkin aku sudah berbahagia di Surga bersama orang tua dan adik-adik kecilku. Hal itu yang paling aku sesali seumur hidupku.
Tapi Paman dan Bibiku tidak pernah membuatku berpikir seperti itu, mereka bilang kalau aku harus lebih kuat. Surga masih mengizinkanku untuk bahagia di dunia ini, Dia tidak ingin membiarkan aku mengikuti mereka dengan cepat.
pikiranku tiba-tiba buyar, anak kecil ini masih menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku kemudian tersenyum kepadanya. Aku membelai wajah mungilnya. Begitu beratkah kehidupan yang kamu jalani?
Aku terus mengusap lembut wajahnya yang sedikit kotor, dan terdapat luka seperti bekas rokok. Aku semakin membelai wajahnya, kenapa rasanya semakin melihat anak ini aku malah mengingat masa lalu. Dadaku terasa sangat perih. Oh tuhan aku tidak ingin mengingat perasaan ini kembali?
“Kamu sudah makan?” Aku membuka suaraku untuk pertama kali, dia masih menatapku. “Aku membawakanmu makanan, makanlah!”
Aku membukakan makanan yang kupesan dengan Paman tadi. Tanpa bicara dia mengambil makananku dan melahapnya. Sejujurnya aku merasa sangat kasihan ketika melihatnya. Perasaanku semakin sakit.
“Makanlah yang pelan dan ini minumanmu!” Aku membukakan tutup air mineral dan memberikan padanya.
Aku mengusap kepalanya selesai dia makan makanannya dia kembali menatapku. Kali ini tatapannya berbeda. Seperti ada kehidupan didalamnya. Aku tersenyum melihat matanya, ku kecup dahinya yang masih kecil. Dia menatapku bingung.
“Tetaplah kuat, jangan menyerah!” Aku meletakkan uang 50 dollar didepannya. Dia kemudian tersenyum padaku.
“T..Terima kasih.”
Dia membalas ucapanku dengan suara kecil bahkan hampir tidak terdengar. Mendengar suara kecilnya aku tersenyum bahagia. Aku semakin mengusap lembut kepalanya, rambutnya terasa sangat kasar.
“Sama-sama, kalau begitu aku harus pergi sekarang.”
Aku melangkahkan kakiku yang sedikit terasa berat menuju mobil. Paman melihatku dan membukakan pintu mobil untukku.
Aku langsung masuk ke dalam monil. Paman melihatku dari kaca, sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku penasaran apa yang paman senyum-senyum sendiri seperti itu.
“Paman, ada apa?”. Aku bertanya padanya, dengan tatapan penuh tanda Tanya aku kembali berbicara. “Dari tadi kulihat paman senyum-senyum sendiri?”
“Bukan apa-apa Tuan Muda, hanya saja dalam pikiran saya, wajar Tuan Besar dan Nyonya menyukai tuan muda.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku meninggikan alisku sebelah, aku bingung apa yang paman ini katakan padaku.
“Memangnya ada apa paman? Aku berpikir tidak ada yang menarik dariku, hanya orang miskin yang tiba-tiba diangkat menjadi menantu dari keluarga kaya.” Aku memandang kedepan.
“Tidak, bukan hanya itu. Setelah saya melihat Tuan Muda begitu perhatian dengan anak kecil tadi. Dari itu saya mengerti mengapa Tuan Besar dan Nyonya sangat menyukai Tuan Muda. Dan sangat jarang sekali melihat orang sebegitu peduli dengan orang lain. Bahkan Tuan Muda tadi mengecup keningnya.” Paman berkata sambil mengemudi. Wajahku tiba-tiba memerah karena malu apa yang sudah aku lakukan barusan.
Paman yang melihat wajah memerahku dia langung tertawa keras. Membuatku semakin malu di buatnya.
“Tidak perlu malu-malu seperti itu Tuan Muda.” Dia menghentikan tawanya. Dia langsung fokus ke jalanan lagi. Paman yang masih fokus ke jalanan bertanya padaku. “Apa Tuan Muda suka melakukan hal seperti itu?”
“Terkadang. Jika aku melihat ada anak kecil seperti itu dijalanan, aku akan membantunya. Tapi anak kecil tadi mengingatkanku pada masa laluku. Tatapannya sama seperti tatapanku dimasa lalu saat aku kehilangan orangtuaku dan adik-adikku pada sebuah kecelakaan besar.”
Aku langsung melihat kearah samping mobil. Kurasakan butiran-butiran putih berada di pinggir-pinggir mataku. Aku berusaha untuk menahannya, tanpa sadar butiran bening itu langsung jatuh diwajahku.
Aku langsung mengusap dengan ke dua tanganku. Paman yang melihatku langsung menginjak rem dan kami berhenti sebentar. Dia mengambilkan tisu yang ada di dekat kemudi mobil dan memberikannya ke padaku. Wajah paman terlihat begitu cemas.
“Tuan Muda tidak apa-apa? Maaf jika menanyakan pertanyaan tadi?” Paman dengan nada yang sangat mencemaskanku.
“Tidak paman, tidak apa-apa. Sudah lama aku tidak menangis, sejak kematian keluargaku. Saat aku melihat anak kecil tadi, perasaan menyeri di dadaku semakin terasa. Aku bersyukur sekarang aku bisa menangis kembali”. Ujarku sambil mengusap air mataku dengan tisu yang di berikan paman tadi.
“Kalau tuan kurang baik, kita bisa pulang sekarang?”. Tanyanya dengan raut wajah penyesalan.
“Tidak paman, lanjutkan saja. Aku tidak ingin kesan pertamaku kerja jadi buruk. Sekarang mungkin kita terlambat, bisa cepat sedikit paman?” Ucapku dengan mata yang sedikit memerah, aku sudah menghentikan butiran bening tadi.
“Baiklah Tuan Muda.”
Paman langsung memajukan mobilnya ke jalan raya. Tidak butuh waktu lama kami sudah datang di perusahaan Papa mertuaku yang akan diserahkannya padaku.
Paman membukakan pintu mobil itu, aku keluar dari mobil. Aku langsung menuju ruangan Papa. Aku mengetuk pintu, lalu pintu tersebut terbuka, Papa sudah berada dikursinya. Yang membukakan pintu tadi adalah asistennya Papa.
Aku langsung menuju meja papa yang berjarang cukup jauh dari pintu. Aku langsung berada di depan Papa. Wajah Papa sedikit tidak senang menatapku. Aku tahu aku sudah terlambat jadi wajar kalau Papa akan menatapku seperti itu.
“Pa, maafkan karena keterlambatanku dihari pertama ini.” Aku benar-benar merasa bersalah dengan apa yang kulakukan ini. Papa masih memandang wajahku.
“Apa ada masalah di rumahmu?” Tanya papa.
“Tidak ada Pa, aku hanya terlambat bangun tadi pagi.” Jawabku bohong, yah aku terpaksa berbohong.
“Baiklah tidak apa-apa, kita akan ke ruangan rapat hari ini. Kamu akan ikut dengan papa, sekalian Papa akan mengenalkanmu sebagai direktur baru perusahaan ini.” Aku hanya mengangguk menandakan bahwa aku setuju dengan ucapan ayah mertuaku.
Kami keluar dari ruangan kerja Papa, menuju ruangan rapat khusus untuk perusahaan ini. Aku duduk disebelah Papa. Semua orang berbicara tentang saham mereka yang akhir-akhir ini menurun. Dan kemungkinan terbesarnya adalah kebangkrutan akan perusahaan ini. Papa kemudian memasang wajah tidak sukanya.
“Kenapa bisa terjadi seperti ini?”
Papa bertanya dengan nada sedikit kasar. Para karyawan tidak mampu menjawab pertanyaannya. Mereka memandang satu sama lain, kemudian mereka menundukkan kepalanya.
“Itu karena terjadi kesalahan dalam produksi dan pengeluaran pak, kami minta maaf pak”.salah satu dari karyawan menjawab. Aku melirik orang yang berbicara tadi, papa juga melihat orang itu.
“Bagaimana bisa seperti itu?” Kata Papa dengan ucapan nanarnya. Membuat para karyawan semakin ketakutan.
“Eheem.”
Aku membuka suaraku kecil, aku hanya berusaha menenangkan suasana yang begitu tegang ini. Papa yang menatap satu-satu karyawannya mulai melihatku.
“Baiklah itu akan kita bahas nanti, akan kuperkenalkan Direktur baru perusahaan ini.”
Papa berdiri dan menarik tanganku sehingga sejajar dengan dirinya. Aku hanya memberikan senyumanku kepada mereka.
“Ricky Jordan Darrell.”
Aku membuka suara dan menyebutkan namaku. Mereka terlihat tersenyum dan keadaan yang tadi tegang menjadi berubah sekarang. Setelah perkenalan papa dan aku keluar dari ruangan rapat. Kami kembali ke ruangan papa. Papa duduk disofa aku juga duduk di sebelahnya.
“Kenapa kamu duduk di sini, tempatku kan ada di meja itu!” Papa mengarahkan pandangannya ke meja yang lumayan besar dengan kursi yang terlihat nyaman.
“Apa tidak apa-apa pa, aku baru belajar tentang perusahaan ini?” Tanyaku. Aku yang masih duduk di sebelah papa, dan papa juga melihatku.
“Haruskah papa ulangi kata-kata Papa tadi?”
Papa langsung menatapku. Aku langsung bergerak mendekati meja yang papa bilang. Aku duduk di sana. Aku melihat begitu banyak dokumen di sini.
“Papa harus pergi sekarang, jadi papa meninggalkan pekerjaan ini padamu. Lakukan yang terbaik kau bisa. Jika kau gagal papa tidak akan menyalahkanmu.” Aku hanya mengangguk pelan mendengarkan ucapannya.
“Kalau begitu Papa akan pergi sekarang dan mulai sekarang perusahaan ini menjadi milikmu.” Dia berkata lalu berjalan meninggalkanku. Aku berdiri dan melihat punggung ayah mertua yang menghilang dibalik pintu. Aku menghela napas panjang.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Aku kembali berkutat dengan dokumen yang ada di meja, kulihat ada asistenku berada di samping pintu. Aku melihatnya berdiri dan memandangku, aku melihatnya lalu dia memalingkan wajahnya.
Aku memanggilnya meminta seluruh laporan hasil penjualan tahun lalu. Dia menundukkan wajahnya dan keluar dari ruanganku. Kurasa aku harus lebih banyak mempelajari tentang perusahaan ini.