Jangan lagi.
Mereka bertemu lagi.
Takeyuki merasa canggung dan tidak senang, seperti sentuhan yang malu-malu, jadi untuk menyembunyikan gangguan di hatinya, dia memasang ekspresi yang lebih kesal daripada yang diperlukan dan menatap dengan tajam.
Ini yang ketiga kalinya.
Pertama kali saat berada di ruangan Kelas-1 sembari menunggu penerbangan mereka berangkat.
Kedua kalinya adalah saat berjalan menyusuri koridor untuk naik ke pesawat. Pria itu melangkah dengan tangkas dari belakang, dan ketika dia lewat di samping Takeyuki, dia berbalik untuk menatapnya karena suatu alasan.
Pada waktu itu, Takeyuki mengira mereka hanya secara kebetulan mengambil penerbangan yang sama, tetapi setelah ketiga kalinya, dia mulai merasa ada implikasi yang tidak menyenangkan untuk itu.
Dia tidak menyalahkan pria itu karena pergi ke kamar mandi di belakang kabin, tetapi mengapa dia menatap wajah Takeyuki dengan sangat seksama?
Apa… apakah ada sesuatu yang menempel di wajahku?
Setelah pria itu lewat, Takeyuki meletakkan tangan ke mulutnya untuk memeriksa. Tentu saja, jari-jarinya bersih saat dia melihat kembali.
Jika bukan Takeyuki, lalu apa? Mengapa pria itu memandangnya bukan dua kali tetapi tiga kali tanpa alasan yang jelas? Itu membuat Takeyuki tidak nyaman.
Dia ingin berteriak, “Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan, katakan saja.” Takeyuki memang agak pemarah. Dia tahu dia egois dan keras kepala, mungkin karena dia adalah anak bungsu dan sering dimanja. Dia memiliki kebiasaan buruk untuk mudah berkelahi.
Pria itu duduk dua baris di depan Takeyuki.
Sejujurnya, dia tidak bisa mengatakan apakah pria itu sedang menatapnya atau tidak. Dia benar-benar berbalik ke arah Takeyuki, tetapi karena dia mengenakan kacamata hitam, Takeyuki tidak tahu apa yang menjadi fokus matanya.
Pria itu tinggi dan berbahu lebar, tubuhnya proporsional sempurna. Dia tampak berusia pertengahan dua puluhan, tetapi bisa saja berusia awal tiga puluhan. Dia memiliki kulit coklat muda yang kencang dan mengkilap serta kualitas awet muda yang menyegarkan, tetapi seluruh tubuhnya memancarkan aura yang megah dan agung yang membuatnya sulit untuk mengabaikan kemungkinan kalau dia berusia tiga puluhan.
Satu pandangan sudah cukup untuk mengenali kualitas langka dan jahitan pakaian yang dia kenakan pun sempurna. Itu menunjukkan bahwa ada lebih banyak daripada yang terlihat mata (situasi tidak sesederhana kelihatannya).
Dia sangat konservatif dalam setelannya, tetapi gaya rambutnya sedikit tidak konvensional. Rambut hitam bergelombangnya jatuh ke tengah dadanya. Dari leher ke bawah, itu berlapis rapi, sehingga tidak terlihat terlalu panjang. Pria itu mengikatnya di pangkal lehernya.
Apa pekerjaan dia? Takeyuki bertanya-tanya setiap kali dia melihat wajah pria itu. Karena pria itu memakai kacamata hitamnya bahkan di dalam pesawat dan dia duduk di Kelas-1, dugaan Takeyuki bahwa dia kemungkinan aktor atau musisi terkenal, atau mungkin seorang atlet. Tapi Takeyuki tidak bisa mengaitkan wajahnya dengan orang-orang yang pernah dia dengar/ketahui.
Kurasa itu bukanlah masalah.
Takeyuki jelas tidak sabaran, tapi dia tidak bisa tetap marah lama-lama; belum sampai tiga menit kemudian, dia sudah lupa tentang itu. Bahkan ketika Takeyuki melihat pria itu kembali ketika dia lewat sekali lagi, dalam perjalanannya kembali ke tempat duduknya, Takeyuki hanya memperhatikannya tanpa sadar, berpikir, oh dia lagi, tidak kambuh lagi rasa kesal yang dia rasakan beberapa saat sebelumnya. Mungkin juga karena fakta bahwa pria itu lewat dengan membelakanginya, jadi Takeyuki tidak melihat wajahnya. Tetapi jika pria itu dengan sengaja menoleh ke arah Takeyuki ketika dia lewat, kemarahan baru akan muncul di dalam dirinya dan Takeyuki mungkin telah melompat dari tempat duduknya dan menyerang pria itu.
Tapi dia duduk di kursinya tanpa menoleh balik ke Takeyuki.
Takeyuki memperhatikan seorang pramugari dengan sopan menyerahkan handuk hangat pada pria itu. Takeyuki bahkan mendengarnya mengucapkan terima kasih dengan suara rendah yang memikat. Takeyuki telah mencoba-coba bahasa Arab dasar, untuk berjaga-jaga, jadi dia mengerti apa yang dikatakan pria itu.
Selain Takeyuki dan pria berkacamata itu, ada satu pasangan tua yang kaya raya dan seorang lelaki berpenampilan sangat-berkuasa dengan perut gendut duduk di Kelas-1: total seluruhnya ada lima orang.
Ketika mereka mencapai ketinggian terbang dan papan tanda ‘kencangkan sabuk pengaman’ dimatikan, kabin itu tenang — jauh sekali dari gumaman antisipasi dan kegembiraan yang sesuai dengan awal perjalanan enam jam. Sebaliknya, apa yang mereka miliki hanyalah reaksi biasa dari orang-orang yang sangat terbiasa dengan perjalanan semacam itu. Terlepas dari suara sesekali percakapan kecil antara pasangan tua, itu benar-benar senyap. Tidak diragukan lagi, itu dunia yang terpisah dari tempat duduk kelas ekonomi di belakang mereka.
Takeyuki sedikit menguap dan meletakkan majalah yang sedang dipegangnya di kursi kosong di sampingnya dalam pesawat. Dia mengintip ke luar jendela panel-ganda pesawat. Yang dia lihat hanyalah langit biru tanpa batas dan awan seperti hamparan bola kapas.
Setelah pesawat naik, mereka nyaris tidak merasakan guncangan. Perjalanan mereka melewati langit terasa nyaman dan mulus.
Takeyuki saat ini sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Cassina di Timur Tengah, yang berbatasan dengan Mediterania. Dia telah pindah ke Amsterdam dan sekarang menuju Ibukota Ras. Dia pergi ke sana untuk menemui kakaknya, Atsushi beserta istrinya.
Kakak Takeyuki, yang jauh lebih tua darinya, telah ditempatkan ke Cassina dua tahun yang lalu sebagai seorang diplomat. Saat ini, sulit untuk menyebut situasi di Timur Tengah sebagai suatu keseluruhan yang stabil, tetapi, di tengah-tengah semua itu, Cassina adalah negara yang relatif damai. Raja negara itu adalah seorang pasifis (cinta damai) yang telah menyatakan dirinya anti-perang. Sejak saat itu, dia tetap mempertahankan posisi internasional yang netral.
Ketika Takeyuki mengatakan kalau dia ingin mengunjungi Cassina untuk hadiah kelulusan kuliahnya, orang tuanya tampak sedih. Yang akhirnya membuat mereka mengijinkan adalah, selain fakta bahwa terorisme terus-menerus di negara-negara tetangga tidak memengaruhi Cassina, kakak laki-lakinya dan kakak-iparnya ada di sana.
Takeyuki tidak begitu suka bepergian, jadi dia tidak ingin pergi ke suatu tempat yang populer dengan turis Jepang dan malah memutuskan Cassina sebagai gantinya. Itu mungkin juga sebagian karena kepribadian keras kepala yang benci melakukan apa yang dilakukan orang lain. Masih ada banyak jejak budaya kuno Cassina di sekitar, tetapi Takeyuki tidak tertarik pada hal semacam itu. Satu-satunya hal yang dia minati adalah bisa melihat dengan matanya sendiri padang pasir yang hanya pernah dilihatnya dalam video dan foto.
Tapi, tentu saja, dia memang ingin merasakan budaya asing.
Dia percaya akan baik untuk mengalami secara langsung tempat dengan nilai-nilai yang sama sekali berbeda dari Jepang atau negara-negara Barat sebelum dia mulai bekerja. Takeyuki akan mulai bekerja di perusahaan import yang dimiliki ayahnya pada bulan April. Dia tahu dia akan memiliki sejumlah peluang untuk pergi ke Eropa dan Amerika setelah itu, tetapi dia tidak akan bisa pergi ke Timur Tengah kecuali sesuatu yang besar terjadi. Jadi, dengan mengingat hal itu, dia memutuskan untuk mengunjungi sekarang, sementara dia masih bebas liburan selama sebulan.
Takeyuki tidak memperhatikannya, tetapi dia punya banyak keberanian. Itu adalah kritik yang umum bahwa kepribadiannya tidak cocok dengan penampilannya, tetapi dia tahu dia memiliki fitur yang bagus dan mudah-sensitif, jadi dia tidak berdebat. Dia lebih mirip ibunya. Ketika dia di beberapa kelas satu SD, dia terkadang bersalah pada seorang gadis kecil.
Aku tahu sesuatu yang menarik akan terjadi padaku di sini.
Dia belum memulai dengan tujuan tertentu, jadi bahkan jika tidak ada yang terjadi, Takeyuki tidak akan kecewa. Awalnya dia mempertimbangkan untuk tinggal selama sepuluh hari, tetapi jika itu terlalu membosankan dia bisa memotongnya dan pulang ke rumah kapan saja yang dia mau.
Sementara dia memikirkan semua ini dan menatap keluar, dahinya sedang menghadap ke jendela, pramugari datang dengan minuman dan makanan ringan. Pandangan sekilas pada menu mengungkapkan daftar panjang berbagai jenis alkohol, tetapi sayangnya, Takeyuki minum sangat sedikit sehingga hampir tidak dianggap sebagai minum sama sekali. Dia memesan koktail non-alkohol.
Dia melihat sekeliling kabin dan melihat bahwa penumpang lain telah membuka botol-botol wine pilihan mereka. Bahkan pria berkacamata hitam, dan dua kursi di depannya sedang dilayani dari botol wine-nya sendiri oleh pemimpin pramugari.
Takeyuki tahu bahwa, di antara negara-negara Muslim, ada beberapa negara fundamentalis yang melarang alkohol dan yang lainnya tidak. Kerajaan Cassina, tempat Takeyuki akan berkunjung, adalah salah satu negara yang mengizinkannya. Mereka menghasilkan wine vintage khusus mereka sendiri, dan orang-orang bisa meminumnya di restoran dan hotel seperti di tempat lain di dunia ini. Tapi tetap saja, para penganut agama Islam yang saleh tidak minum, jadi bar tidaklah umum di jalan-jalan seperti di negara-negara Barat.
Mungkin dia Cassinian, pikir Takeyuki.
Kulit pria itu adalah kulit berjemur yang sangat kecokelatan dengan kulit yang seolah mengkilap, dan rambutnya hitam, jatuh dalam ombak yang lembut. Dia mengenakan kacamata hitam, jadi Takeyuki tidak tahu seperti apa matanya, tetapi wajahnya terpahat tajam di sekitar hidungnya yang menonjol. Takeyuki menemukan dia seksi dengan cara maskulin, yang mengganggu Takeyuki, karena dia sendiri adalah seorang pria. Jika seorang pria seperti itu melingkarkan lengannya di pinggang gadis dan membisikkan beberapa kata di telinganya, itu akan membuat sebagian besar wanita dalam mood bagus dan mereka akan cepat luluh.
Takeyuki teringat rasa malu dan gelisah aneh yang dia rasakan setiap kali dia bertemu dengan tatapan pria itu. Mungkin itu mirip dengan apa yang dirasakan para wanita itu. Pikiran itu membuat Takeyuki menjadi memerah diam-diam.
Konyol.
Apa yang aku pikirkan?
Dia memarahi dirinya sendiri, menghabiskan jus jeruk bali dalam sekali teguk.
Didorong oleh gangguan karena seorang pria yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, Takeyuki semakin membenci orang asing itu. Dia mungkin tidak memiliki motif tersembunyi pada Takeyuki dan secara kebetulan bertemu dengannya, tetapi bahkan jika Takeyuki menerimanya secara intelektual, dia tidak bisa menerimanya pada tingkat intuisi.
Setelah minuman-beralkohol datang hidangan ikan dan kemudian hidangan daging, seperti di restoran mewah, dan setiap kali hidangan baru dibawa keluar, para penumpang memilih sebotol wine. Tetapi Takeyuki telah memberi tahu para pramugari kalau dia tidak minum alkohol sejak awal, jadi dia adalah satu-satunya orang yang memiliki minuman non-alkohol dan air mineral selama hidangan makan. Sebagian besar waktu dia tidak merasakan satu atau lain hal tentang tidak minum alkohol, tetapi pada saat-saat seperti ini dia merasa seolah-olah entah bagaimana ada yang kurang. Jika dia minum, dia mungkin bisa lebih menikmati suasana.
Semua orang di sekitarnya tampak menikmati minuman mereka, jadi setelah makan, Takeyuki memesan Grand Marnier kecil untuk dicoba. Pramugari merekomendasikannya, mengatakan itu manis dan akan menghadiahi cokelat yang mereka berikan sebagai hidangan penutup. Tapi setelah seteguk kecil Takeyuki merasakan wajahnya terbakar, jadi dia menyerah dan menyingkirkan gelas itu.
“Tidak suka alkohol?”
Saat dia minum kopi untuk mengeluarkan rasa alkohol dari mulutnya, Takeyuki mendengar suara dari depannya, yang membuatnya lengah.
Pria berkacamata itu berdiri di lorong, bersandar di belakang kursi di depan Takeyuki.
Dia berbicara bahasa Inggris yang sempurna.
Dia tinggi, dan Takeyuki menatapnya, kebingungan tentang nada apa yang harus dia ambil. Dia memutuskan untuk melotot ketika pria itu menatapnya dengan kasar, tetapi sekarang saatnya telah tiba, segalanya tidak berjalan sesuai rencana dan Takeyuki akhirnya menganga pada orang asing yang tampan ini.
“Kamu mengunjungi Cassina sendirian?” Tanpa memperhatikan antusiasme Takeyuki, pria itu mengajukan pertanyaan lain dengan nada yang sudah familiar.
Menghadapnya begitu dekat, Takeyuki melihat bahwa tubuh pria itu dikelilingi oleh aura yang kuat. Terkejut olehnya, tubuh Takeyuki menegang sampai dia merasa seperti tersedak. Takeyuki waspada dan bingung, dan dipenuhi dengan kekaguman yang aneh. Bibir pria itu melengkung menjadi senyuman, seolah-olah menurutnya itu lucu.
“Jangan khawatir, aku tidak akan mencoba lelucon.” Saat dia mengatakan ini, dia mengangkat jari-jarinya yang panjang ke wajahnya dan melepas kacamata hitam yang telah dia kenakan sepanjang waktu.
Ketika Takeyuki melihat mata pria itu, dia tersentak.
Dia sedang dihisap masuk – ke mata biru yang tampak diambil dari Mediterania itu sendiri. Dengan mata yang penuh perhatian dan bersemangat tertuju padanya, Takeyuki tidak tahu harus berkata apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah menatap balik, dan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu.
“Apakah kamu keberatan jika kita ngobrol sedikit?” Pria itu meminta izin, tetapi dia meletakkan tangannya di kursi kosong di sebelah Takeyuki tanpa menunggu jawabannya. Takeyuki telah menaruh majalah penerbangan yang sedang dia baca ketika mereka berangkat, tetapi pria itu mengambilnya dan memasukkannya ke saku di belakang kursi di depannya.
Saat Takeyuki sepenuhnya terpesona dengan kehadiran pria itu, pria itu sudah duduk dengan tenang di sampingnya, kakinya yang panjang menyilang. Tidak lama kemudian Takeyuki kembali tersadar.
“Eh, kau tahu, aku melihatmu… sebelumnya.” Takeyuki memastikan bukan hanya imajinasinya bahwa pria itu telah menatapnya sejak di ruang tunggu, dan suaranya berdenyut. Ekspresinya juga mengungkapkan ketidaksenangannya dan itu bertambah parah.
Tetapi pria itu tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. Sebaliknya, dia menatap Takeyuki dengan ekspresi mengejek. “Apa maksudmu?”
“Kau menatapku terus-menerus. Benar-benar kasar dan menyeramkan.”
“Oh, maaf soal itu.” Dahi pria itu mengencang tak terlihat, menunjukkan kesungguhan yang lebih dari sekadar permintaan maaf kosong. “Kupikir aneh bahwa bocah sepertimu sendirian di ruang tunggu, jadi aku akhirnya menatapmu. Jika itu membuatmu kesal, aku minta maaf.”
“Bocah sepertiku…?” Emosi Takeyuki berkobar lagi. Cara pria itu berbicara membuat Takeyuki terdengar seperti remaja. Tentu saja, orang-orang cenderung berpikir dia lebih muda daripada yang terlihat, dan sebenarnya Takeyuki diam-diam sadar akan hal itu. Dia kadang-kadang masih dikira sebagai siswa SMA dan itu selalu membuatnya kesal. Dia ingat kakaknya terlihat lebih dewasa pada usia ini, jadi Takeyuki tidak tahu mengapa dia berbeda.
“Apakah aku baru saja memukul saraf lain?” Pria itu tampak geli lagi, seolah menyadari kepribadian temperamen Takeyuki. Mungkin tidak banyak orang dalam rombongan pria ini yang menunjukkan emosi mereka secara terbuka ketika berhadapan dengannya. Dia tampak segar dan sangat menarik.
“Aku bukan anak kecil seperti yang kau kira,” Takeyuki membalas ketus dan berbalik. Dia terganggu oleh kelancangan pria itu yang duduk di sampingnya tanpa banyak keberatan, dan, di antara semua itu, harga dirinya tidak akan tahan untuk diejek oleh nada suara itu. Takeyuki membenci dirinya sendiri karena tertegun sejenak pada kehadiran pria itu yang luar biasa, dan dia menegurnya lebih dari yang diperlukan. Dia mencoba menggunakan bahasa tubuh untuk memberi tahu pria itu agar kembali ke kursinya sendiri.
“Kamu sangat gampang marah.”
“Kamu mungkin ada kaitannya dengan itu.”
“Apakah kamu membenci pria sepertiku?”
“Kamu sepertinya bukan tipe orang yang aku inginkan.” Takeyuki tidak memiliki kewajiban untuk menahan diri, jadi dia mengatakan dengan tepat apa yang dia pikirkan. Dia berpaling dari pria itu dan menghadap ke jendela, yang dia tutup karena sinar matahari menyilaukan selama makan. Takeyuki tidak bisa melihat ekspresi apa yang dikenakan pria itu dalam menanggapi kata-katanya.
“Aku tahu. Itu sangat buruk.” Jawabannya mungkin serius atau bercanda. Suaranya membuatnya terdengar seperti dia benar-benar minta maaf, tapi Takeyuki tidak bisa memutuskan apakah akan menerima itu begitu saja dan dia dengan dingin tidak mengatakan apa-pun. Dia bermaksud kejam, tetapi pria itu terus berbicara seolah nada Takeyuki tidak berpengaruh padanya.
“Berapa lama kamu berencana untuk tinggal di Cassina?”
“Aku belum memutuskan.” Entah bagaimana tidak bisa mengabaikannya, Takeyuki menjawab dengan suara keras, dan kesal. Setelah dia berbicara, dia merasa aneh dan bertanya-tanya mengapa dia berbicara dengan pria ini. Dia bisa membuat sejumlah alasan untuk mengusirnya, seperti dia ingin tidur, atau ingin menonton film, tetapi untuk beberapa alasan Takeyuki menahannya. Kekuatan sikap pria itu telah mengalahkan Takeyuki, dan suasana telah terbentuk yang membuatnya sulit untuk mengekspresikan keinginannya. Ini sangat jarang. Pasti perbedaan umur mereka. Atau mungkin, itu karena Takeyuki secara naluriah merasakan perbedaan dalam status mereka sebagai manusia.
“Apakah kamu benar-benar sendirian?”
“Kakak laki-lakiku tinggal di sana. Aku akan mengunjunginya. Apa ada masalah dengan itu?” Itu membuat Takeyuki kesal karena ditanyai terus-menerus apakah dia sendirian dan suaranya menjadi dingin ketika dia dengan tajam berbalik menghadap pria itu. Matanya ditangkap oleh mata biru yang tampaknya telah tertuju padanya sepanjang waktu.
Jantung Takeyuki melompat.
Dia merasakan sesuatu menjepit erat di dadanya. Mata pria itu begitu mengesankan, dengan aura luar biasa yang menembus ke dalam jiwa Takeyuki.
“Tentu saja tidak.” Pria itu menggelengkan kepalanya perlahan dan tersenyum tipis.
“Er—” Mengepalkan tangannya dengan longgar di pangkuannya, Takeyuki melawan rasa malunya untuk bertanya, “Apakah kamu mengira aku seorang wanita?”
“Tidak.” Pria itu segera membantah, suaranya tenang.
Takeyuki memerah dari telinganya ke bagian belakang lehernya karena malu. Dia tidak mengajukan pertanyaan karena dia ingin; dia pernah dilecehkan di luar negeri karena kesalahpahaman seperti itu di masa lalu, jadi dia hanya bertanya untuk memastikan. Tetapi pria itu telah membantahnya dengan sangat lancar sehingga tampak seolah-olah Takeyuki-lah yang salah paham. Dia merasa benar-benar tidak nyaman.
“K-kau dari Cassina, kan?” Kecanggungan-nya membuat kata-kata itu keluar dari mulut Takeyuki. Dia merasakan kebutuhan mendesak untuk mengubah topik pembicaraan.
“Ya, benar.” Kebanggaan yang tak ambigu memenuhi suara pria itu. Takeyuki dapat merasakan cinta tak terbatas yang dia miliki untuk negaranya dan betapa pentingnya hal itu baginya. Itu memberi Takeyuki kesan bahwa dia mungkin bukan orang yang jahat.
Saat itu, lampu kabin mulai redup; sebentar lagi akan gelap. Kabin akan tetap seperti ini sampai mereka menyajikan minuman lagi.
“Yah, kurasa aku akan kembali ke tempat dudukku sementara kamu tidak berpikir lebih buruk tentang aku.” Dibandingkan dengan intensitas pria itu saat duduk, hampir mengecewakan betapa anggunnya dia berdiri.
Terlepas dari seberapa cepat Takeyuki memintanya untuk pergi, sekarang pria itu benar-benar pergi, Takeyuki ingin menghentikannya. Itu aneh. Mungkin dia pada dasarnya bertentangan. Sementara pria itu ada di sana, percakapan itu sepertinya tidak akan membaik dan suasana hati dia seolah tidak akan menjadi lebih menyenangkan, tetapi setidaknya untuk sesaat Takeyuki merasa sulit untuk membiarkan pria itu meninggalkannya. Takeyuki tidak bisa mengerti hal itu.
“Semoga perjalananmu menyenangkan,” Kata pria itu dengan sopan sampai akhir. Dia menatap lurus ke mata Takeyuki dengan wajah polos dan tulus. Takeyuki balas menatapnya, seolah terpaku. Dia ingin merespon, tetapi karena alasan tertentu tenggorokannya kencang dan dia tidak bisa bicara.
Dia mungkin tidak akan menatap wajah Takeyuki dengan kasar lagi.
Ketika pesawat mendarat, mereka akan lupa bahwa mereka pernah berbicara satu sama lain dan kembali menjadi orang asing yang sepenuhnya. Itu sangat wajar, tetapi untuk beberapa alasan Takeyuki merasa menyesal. Dia bisa saja mengusir pria itu hanya sebagai orang aneh lainnya, kecuali penampilan dan aura-nya yang luar biasa.