[BAB 1: Berita Pembunuhan]
Lorong itu begitu sepi. Bukan saja karena gerimis, tapi juga karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Untuk sebagian orang ini sudah waktunya memasuki mimpi, untuk sebagian lainnya ini masih biasa digunakan untuk bersenang-senang. Dan sebagian yang sangat kecil, ini waktu yang paling nyaman untuk mengantarkan paket. Tidak terlalu sepi dan tidak terlalu ramai adalah kondisi yang paling nyaman baginya.
Langkah kaki stabil itu terdengar diantara rintik gerimis. Dia tidak menggunakan payung atau jas hujan. Hanya mantel tebal dengan tudung yang memberinya bayang untuk menyembunyikan wajahnya dalam gelap.
Sosok yang menyerupai pria itu menyatu dengan malam. Itu sangat baik mengingat dari ujung kepala hingga ujung kakinya berbalut hal-hal berwarna hitam. Jika lampu jalanan yang berkedip itu mati sekaligus akan membuatnya sulit dilihat diantara kegelapan.
Berbeda dengan pakaiannya, sedikit kulit wajahnya yang terlihat justru berwarna putih pucat. Warnanya seperti membeku. Itu hanya dingin dan dingin. Memberi perasaan tak nyaman untuk setiap yang menatapnya.
Pria itu menghentikan langkahnya ketika sampai didepan sebuah pagar rumah bertuliskan nama keluarga yang tinggal didalamnya. Miura. Keramaian perbincangan didalam rumah sederhana itu bisa didengarnya.
Kemudian dia mengangkat wajahnya. Mendongak, menatap jendela lantai dua. Dimana siluet sosok pria sedang mengganti pakaian terlihat. Bayangan itu bergerak dengan buru-buru kemudian menghilang setelah teriakannya menyahuti orang lain dilantai bawah terdengar.
Pria bermantel itu menunduk dan meneruskan langkahnya. Lima belas menit kemudian dia sampai dirumah yang berada dua blok dari rumah keluarga Miura. Kali ini pagar rumahnya memiliki nama Honda. Dengan tenang pria itu meletakkan kotak besar yang dibawanya tepat dibawah nama keluarga itu tertulis, kemudian pergi.
****************
Sota menggeliat dan meraih bantal untuk menutupi telinganya saat mendengar pintunya yang digedor dengan brutal. Gangguan itu bukanlah satu-satunya. Ada juga alarm jam digitalnya yang menyakiti telinga.
“So-chan. Kalau kau tak juga bangun, aku akan merubuhkan pintumu dan menyeretmu keluar. Kau sudah besar, kenapa masih bertingkah seperti bayi?”
Sota mengerang mendengar teriakan Kana, kakak keduanya yang memiliki suara menggelegar. Jika memiliki efek gelombang listri seperti di anime maka rumah ini akan rubuh bersama rumah para tetangga karna suaranya yang mengerikan.
“Aku sudah bangun!” teriak Sota dengan kesal.
Tangannya dengan kejam meraih jamnya dan mematikan alarm yang juga membuatnya jengkel. Dengan cemberut, Sota berjalan ke kamar mandi.
“Jika kau sudah bangun, cepat mandi dan turun untuk sarapan dalam setengah jam. Atau aku masuk dan memandikanmu.”
“Aku tahu. Berhentilah menjadi cerewet, Kana-nee!” gerutu Sota.
Dia tidak menunyukai kakak keduanya ini yang begitu cerewet dan tukang ancam. Tidak, sebenarnya dia tidak menyukai ketiga kakaknya yang selalu memiliki cara untuk mengendalikannya. Entah itu dengan ancaman, rengekan atau perintah mutlak. Pada akhirnya, menjadi anak bungsu itu sama sekali tidak menyenangkan.
Hanya lima belas menit kemudian, Sota sudah turun menuju dapur. Meja makan mereka berada didapur yang cukup luas. Bahkan ada tv didepannya untuk membuat tenang saat makan. Maksudnya piring makannya tidak dibawa kemana-mana dan berserakan dimana-mana. Tiga orang gadis dan satu anak lelaki keluarga Miura sangat berbakat membuat berantakan rumah. Namun ketiga gadisnya memiliki bakat menekan satu-satunya anak lelaki untuk membereskan semuanya.
“ohayou kaa-san, ohayou tou-san.” Ucap Sota sembari menarik kursi.
“Ohayou, So-chan.” Sahut ayah dan ibu Miura bersamaan. Sementara si ayah tidak mengangkat matanya sedikitpun dari koran, si ibu masih sibuk menata makanan untuk semua orang.
“So-chan, bagaimana kau lupa menanyapa onee-san mu?” ini Mika, kakak perempuan pertama. Tukang perintah dan tak pernah mau dibantah. Atau dia akan menyiksa hingga orang yang membantahnya menyesal pernah mengenalnya. Dia ahli karate dan kendo. Lebih baik tidak mencari gara-gara dengan gadis berkepribadian aneh itu.
“Selamat pagi nee-san semua.” Gumam Sota.
Dia bosan merasakan tekanan sebagai anak bungsu seumur hidupnya. Dia berharap ketiga kakak perempuannya segera menikah dan keluar dari rumah ini. Sayanganya dia ditakdirkan memiliki kesialan seumur hidup.
Kakak pertama sudah berusia tiga puluh tahun. Bekerja dipasar membantu ibunya. Setiap hari selalu saja ada alasannya untuk berkelahi dengan preman pasar. Sota tidak tahu kenapa bisa begitu. Dipikirannya hanya satu, kenapa kakaknya tidak menikah saja dengan preman pasar itu dan berkelahi dengan cara lain daripada terus kena denda karna membuat anak orang, suami orang atau bahkan ayah orang lain sekarat.
Kakak kedua memiliki sedikit bakat dan membuka usaha bersama dua temannya. Itu adalah toko keliling menggunakan mobil dan menjual berbagai macam manisan. Sayangnya kepribadiannya yang buruk membuatnya sering bertengkar dengan dua lainnya. Jika bukan karna Kana pemegang modal terbesar, dia mungkin sudah ditendang keluar dari usaha yang tidak maju dan tidak mundur itu.
Kakak ketiga? Ini lebih tak bisa diharapkan lagi untuk segera menikah. Usianya yang sudah dua puluh enam tahun sama sekali tidak membuatnya memikirkan banyak hal. Dia hanya duduk dirumah dan membaca komik. Lalu sesekali mengirimkan tulisannya ke perusahaan koran atau majalah. Ketika sudah mendapatkan uang untuk kebutuhannya untuk beberapa bulan, maka dia tidak melakukan apapun lagi. Benar-benar tidak memiliki mimpi apalagi ambisi.
Jadi keputusan yang baik dan tidak membuat depresi adalah melupakan keinginan yang sulit terwujud. Para kakaknya itu mungkin akan mengacaukannya seumur hidupnya.
Sota mengunyah telur gulung sambil menatap tv. Itu berita tentang penjelasan polisi mengenai fenomena seram yang terjadi akhir-akhir ini di kota T. Polisi masih kesulitan menemukan pelaku yang mengirimkan paket daging tiga minggu lalu ke keluarga Akai. Namun paket daging itu dikonfirmasi sebagai Akai Koga, putra kedua keluarga Akai.
“So-chan, itu menjijikkan mendengarkan yang seperti itu saat makan.” Keluh Naya, kakak perempuan ketiga Sota dengan wajah acuh tak acuh.
Gadis ini memiliki kepribadian dingin dan paling acuh. Dia tidak akan menyapa siapapun kecuali disapa duluan. Dia tidak akan menutup-nutupi jika tidak menyukai seseorang. Terkenal bermulut sadis dan langsung. Itu adalah salah satu faktor yang membuatnya tidak bisa menikah.
“Mmmm.” Gumam Sota tanpa bergerak mengganti saluran. Mengabaikan Naya yang cemberut.
“Kalian semua berhati-hatilah. Berusaha agar tidak pulang malam hari untuk menghindari bertemu dengan pembunuh acak itu.”
Empat orang anak mengangguk. Ya, mereka akan berteriak dan bertengkar satu sama lain. Namun mereka sama-sama menjadi penurut didepan ibu dan ayah mereka. Alasannya hanya satu. Mereka lebih seram daripada Mika ketika marah.
Sota melirik tv dan menghabiskan sosis gorengnya. Dia mengenal Akai Koga. Mereka dulu satu sekolah. Kenyataan itu membuatnya merasa tidak baik.