[BAB 3: TEMAN BERNASIB TRAGIS]
Dulu ada sebuah cerita yang digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil yang nakal.
Dikatakan jika seorang anak kecil tidak cepat pulang ketika hari menjelang malam, maka anak kecil itu akan diculik oleh Kayyas.
Kayyas adalah penjahat kejam yang hobi mengoleksi organ anak kecil terutama mata.
Jika dia berbaik hati, maka anak itu bisa pulang dalam keadaan buta. Namun jika dia sedang tidak senang, maka anak itu hanya akan pulang dalam bentuk paket daging.
Sota merasakan bulu tengkuknya meremang. Bagaimana cerita bohong itu dijadikan kenyataan? Orang ini harus memiliki mental lebih kuat dan lebih gila daripada tukang jagal.
Bukan hanya itu yang membuatnya terkejut. Jika empat orang korban paket daging dia hanya mengenalnya, maka Takahashi Jurou lebih sekedar kenalan. Setidaknya itu dulu. Mereka adalah teman baik. Cukup baik untuk melakukan bolos bersama, menjahili para gadis bersama dan hal-hal nakal lainnya. Takahashi Jurou bahkan pernah menyukai Naya, namun ditolak mentah-mentah karna dianggap bocah. Itu adalah masa lima tahun yang lalu.
Sota dan Jurou hanya akrab mulai semester kedua tahun pertama sekolah menengah atas sampai satu semester pertama tahun kedua. Lalu saat awal semester kedua tahun kedua, Jurou pindah sekolah karna keluarganya pindah ke kota lain. Itu disayangkan untuk kehilangan teman baik. mereka tetap berhubungan melalui telepon tiga bulan berikutnya. Dan semakin jarang pada enam bulan berikutnya karna jenis kesibukan dan lingkungan pergaulan yang berbeda. Lalu satu tahun kemudian, mereka nyaris tidak pernah berhubungan. Dan tahun kedua hingga sekarang, Sota dan Jurou benar-benar putus kontak.
“Tapi, Jurou tinggal di kota K. Bagaimana kau bisa menghubungkan hal ini?” Tanya Sota dengan ragu.
“Hmm, bisa dikatakan itu mungkin tidak berhubungan. Tapi aku pikir polisi mungkin sudah mencurigai hal ini. Menurut berita, Takahashi Jurou hilang ketika datang ke kota T ini dan berniat mengunjungi rumah temannya. Poin itu tidak bagus untuk menghubungkan kedua kasus. Lagi pula ini hanyalah dugaanku karna Takahasi Jurou ditemukan terikat didepan rumahnya dengan rongga mata kosong. Maksudku cara pengiriman korban kembali pulang itu sama. Hanya berbeda di paket daging dan paket manusia.”
”Ya. Dan kau menghubungkannya dengan cerita Kayyas.” Gumam Sota muram.
Pikirannya tiba-tiba menjadi was-was. Bagaimana bisa semua korbannya adalah orang yang dikenalnya? Itu seharusnya tidak masalah jika ada Jurou yang lain. Tapi setelah mendengar tiga nama yang dikenalnya, bagaimana dia bisa tidak yakin dengan nama yang dikenal satu lagi? Apakah ini sebuah kebetulan? Atau memang ada sesuatu yang lain?
“Kenapa dengan wajahmu?” tanya Ritsuki.
Sota biasanya acuh tak acuh dan terkadang sangat menyebalkan karna mudah menggerutu. Tapi dia tidak akan memasang wajah suram dan … seperti khawatir. Mereka hanya saling mengenal beberapa bulan. Tapi itu sudah cukup bagi Ritsuki yang suka meneliti untuk mengenali karakter tukang mengeluh dan acuh Sota.
“Jadi, menurutmu apakah ada kesamaan diantara kelima korban itu?” Sota memilih menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya daripada menjawab pertanyaan Ritsuki.
“Seharusnya itu ada jika ini adalah pembunuhan berantai. Tapi masalahnya, aku sama sekali tidak mengenal mereka. tv dan surat kabar tidak menjelaskan apapun tentang ini. Dan kita tentu saja tidak bisa menanyakannya pada polisi. Jadi, persamaan yang aku tahu diantara mereka hanyalah usia yang sama, juga tempat kejadian kasusnya adalah di kota T ini. Bahkan Takahasi Jurou harus pergi ke kota ini sebelum mengalami kejadian naas itu.”
Sota terdiam. Dia ragu-ragu sejenak sebelum menatap Ritsuki dengan intens. Dia tidak ingin ikut campur dalam kasus ini. Dia bahkan tidak berteman baik dengan semua korbannya kecuali Jurou. Itu pun jika pelaku yang mencelakai Jurou adalah orang yang sama. Tapi…. kenyataan jika dia mengenal mereka membuatnya gelisah.
“Ritsuki…. aku mengenal korban. Maksudku aku mengenal mereka semua.”
Ritsuki menoleh dengan ‘eh?’ yang tak bisa disembunyikan. Menganalisis kasus orang asing tentu saja berbeda dengan menganalisis kasus yang menimpa orang dikenal. Terlebih semua korban dikenal.
“Mereka, maksudku kami semua satu angkatan disekolah menengah atas. Hanya berbeda kelas. Sementara aku dikelas A mereka di kelas B. aku tidak terlalu mengenal mereka, tapi aku yakin mereka sekelas.” Sota menjelaskan dengan nada ragu.
Dia tidak yakin apa yang dia harapkan dengan menceritakan hal ini pada Ritsuki. Ini adalah masalah yang harus dipikirkan pihak kepolisian, bukan mereka berdua.
Kejutan yang melintas di mata Ritsuki bahkan lebih jelas. Siapa yang menyangka temannya memiliki sedikit hubungan denga kasus ini. Dan itu membuat Ritsuki sangat senanbg. Ini adalah pertama kalinya dia memiliki teman yang mengenal korban dalam kasus. Matanya seketika melengkung menjaadi bulan sabit dengan senyum antusias.
Sota tidak bisa tidak mendesah dalam hati. Orang gila ini akan semakin gila.
“Baiklah. Persamaan bertambah. Mereka seangkatan dan sekelas.” Ucap Ritsuki dengan gembira.
Tapi kemudian kegembiraan itu terinterupsi dengan datangnya pelanggan yang akan membayar. Perlahan antrian mulai panjang. Ini sudah memasuki jam makan siang. Biasanya antrian tidak akan mereda hingga sore nanti.
Ritsuki dengan kecewa mengedipkan matanya, mengisyaratkan agar mereka melanjutkannya nanti. sementara itu, Sota sudah berkutat digudang untuk mengecek barang-barang. Pikirannya setengah melayang memikirkan setiap analisis Ritsuki. dia tidak bisa tidak memikirkan apa yang menjadi penyebab orang-orang yang bisa dikatakan temannya itu mengalami hal mengerikan.
Sota menggeleng setelah beberapa saat. Dia tidak tahu. Dia tidak memiliki otak dan minat sebaik Ritsuki. Jadi dia terbiasa melupakan hal-hal yang bukan urusannya. Seharusnya bukan hal aneh jika dia tidak tahu penyebab awal terjadinya paket daging.
Satu hal yang sudah bisa diyakininya. Ini benar-benar pembunuhan berantai dengan koban teman-temannya.
Sore harinya, Ritsuki mendesak Sota untuk menghubungi Jurou ketika tahu mereka pernah menjadi teman baik. pria gila itu mengatakan insting detektifnya harus dipuaskan mengingat belum tentu dia mendapatkan kesempatan menemui kasus tepat didepan matanya deumur hidup sekali.
Ritsuki hanya membiarkan Sota pulang setelah pria itu mengangguk mengiyakan. Sota hanya bisa cemberut melihat antusiasme Ritsuki yang tidak wajar. Tidak apa-apa jika dia bertindak sendiri, tapi kenapa dia harus menggunakannya untuk memuaskan hasrat kurang kerjaannya itu.
Seharusnya daripada kuliah jurusan sastra, bukankah lebih baik Ritsuki mejadi polisi?
Ini adalah kasus orang salah jurusan yang nyata.
Sota hanya tidak tahu jika bukan menjadi polisi yang diinginkan Ritsuki. tapi mejadi penulis novel detektif berdasarkan kisah nyata. Ritsuki suka membaca cerita detektif, tapi dia hanya berminat menulis berdasarkan kisah nyata.
Hanya saja, masalah kesejahteraan perut membuatnya harus menunda hal-hal yang membutuhkan perhatian khusus dan waktu panjang seperti itu. Dan kesempatan ini tidak mungkin disia-siakannya.
Jika Ritsuki melewatkannya, itu hanya bisa dikatakan jika dia adalah orang terbodoh.