Love Story of Aldert Part 1
Mata pelajaran ilmu sejarah berlangsung hampir satu jam. Buk Panjaitan dengan kacamata tebal terus menujuk poin-poin sejarah pada proyektor kelas yang menyala terang. Bibir merahnya berulang kali mengucap kalimat membosankan.
Suara desisan kesal mebolak balik buku tebal, auman dari banyaknya yang menguap, ketukan jari yang tidak sabaran menjadi latar belakang suara keras Buk Panjaitan. Bisikan siswi yang ingin kabur dari kelas sesekali terdengar, Hahaha.
Siapa juga yang suka mendengar sejarah jika wanita tua yang berdiri di depan kelas untuk menjelaskan. Para siswa lelaki yang berani mulai bermain ponsel, atau parahnya langsung pergi keluar kelas. Siswa perempuan, mungkin karena duduk di baris depan takut Buk Panjaitan marah berusaha menyahut jika ditanya.
Hanzie, siswa setengah blasteran Indonesia- Belanda berharap mata pelajaran ini segera berakhir. Kedua plopak matanya hampir menjadi garis lurus. Sial! Melihat pada siswa yang duduk di sisi seberang mejanya, euh! Rupanya kantuk sudah menguasai teman sekelasnya yang kini ngiler di atas meja.
Buk Panjaitan yang tahu mata pelajaran yang diajarnya membosankan bagi siswa/ siswinya terus maju menjelaskan. Sejarah memang membosankan, terus kenapa? Ini semua peninggalan para pendahulu! Hargai dan lihat!
Layar proyektor yang memunculkan foto-foto hitam putih, kecoklatan atau bewarna buram silih berganti. Lalu sebuah foto jurnal hitam kotor yang ditemukan di dalam peti. Foto ini tidak menarik, hingga..
“Foto yang terlampir di gambar merupakan jurnal milik anak Tuan tanah- Aldert Berend. Ditulis di dalam jurnal dia pernah mencintai anak dari seorang Nyai. Kisah mereka tidak berakhir baik..”
“..Perbedaan kasta, garis keturunan dan jenis kelamin mereka ditolak oleh Tuan tanah dan Istrinya. Kekasihnya ditemukan meninggal dan mayatnya ditemukan terkubur di bawah pohon tempat mereka biasa bertemu..”
“..Aldert meninggal tidak lama setelah kepergian kekasihnya. Mayat kekasih Aldert ditemukan dua bulan setelah pemakaman Aldert”
Membolak-balik buku sejarah dan kertas rangkuman, Hanzie sedikit tertarik. Negara sudah melegalkan hubungan sesama jenis lima puluh tahun yang lalu. Dia, homoseksual merasa menyesal bahwa lima ratus tahun lalu terdapat kisah cinta sesama berakhir buruk. Dari catatan rangkuman, Anak tuan tanah dari kelas bangsawan. Berend? Bukankah keturunan tidak langsung dari Raja Louis I?
“Banyak Versi yang beredar. Satu versi dianggap paling memungkinkan dan dinilai kebenaran asli. Keluarga Berend, tidak dapat menerima salah satu keturunan mereka memiliki hubungan dengan lelaki, menggunakan berbagai cara untuk memisahkan mereka berdua”
“Diakhir mendekati hari kepergiannya, kekasih Alder dibunuh. Diduga pembunuhnya adalah wanita yang diniatkan untuk menikahi Aldert Berend…”
Suara bel kelas tanda kelas usai berbunyi. Siswa lelaki berhamburan keluar kelas dengan sorakan. Hanzie yang masih penasaran dengan kisah cinta bangsawan Berend menghampiri Buk Panjaitan. Merapihkan semua kertas, laptop dan alat tulis ke dalam tas besar yang dibawa, Buk Panjaitan tersenyum pada Hanzie.
“Kenapa? Sedikit penasaran bukan?” Goda wanita tua itu. Memberi tanda agar Hanzie membawa tas besarnya, mereka keluar dari kelas menuju ke kantor guru. Memasuki ruang guru, Hanzie menyapa tiap guru yang dia kenali atau mengajar di kelasnya. Wajahnya yang blasteran mudah diingat, gurupun menyapanya ramah.
“Duduk dulu” Hanzie duduk pada kursi tanpa sandaran. Diberikan permen coklat, berkedip tidak menyangka dia diperlakukan seperti anak kecil oleh guru sejarahnya.
“Mau tanya yang mana?” Buk Panjaitan melepas kacamata tebalnya. Menyeduh teh menggunakan gelas sekali pakai. Saling duduk berhadapan, senyumnya tidak pernah hilang dari wajah yang memiliki beberapa kriput tipis.
“Um, siapa nama kekasih Alder Berend?” Tidak tahu harus mulai darimana, Hanzie memutuskan bertanya hal ini terlebih dahulu.
“Saya juga tidak tahu. Aldert tidak pernah menulis nama kekasihnya di dalam jurnal yang dia tinggalkan, seolah-olah berharap tidak ada yang akan mengetahui dengan siapa dia jatuh cinta” Menatap pada Hanzie, senyum Buk Panjaitan makin teduh. Ucapannya seolah menceritakan kisah leluhurnya sendiri. Kalau saja nama panggilannya bukan menggunakan marga, Hanzie pasti mengira ini sungguh kisah leluhurnya.
“Lalu versi yang belum sempat Ibu jelaskan di kelas, bukan dari jurnal Aldert melainkan rumor?”
Buk Panjaitan mengeluarkan album tua, banyak foto tua di dalamnya. Ditengah lembar album banyak foto dari surat- surat bertuliskan bahasa Belanda, Hanzie paham apa yang ditulis dan tercengang setelah selesai membaca apa yang ditulis disana.
“Bukan rumor. Ada surat-surat pendek yang ditemukan berasal dari tiga atau empat orang berbeda, saling mengirimi Aldert surat dari kota berbeda, mungkin mereka kenalan Aldert. Tiap surat selalu tersemat pertanyaan kisah Aldert dan kekasihnya. Kemudian ketika kabar terbunuhnya kekasih Aldert, mereka tidak lagi saling mengirim surat. Aldert berhenti membalas”
“Anehnya, surat lain dikirim oleh orang lain. Terdengar berbeda usia dari cara dia membalas surat yang dikirimkan kepada kenalan Aldert, bisa kamu baca sendiri kalau mereka berusaha mengumpulkan bukti menghilangnya kekasih Aldert.”
“Sayangnya tiap surat itu tidak memiliki kop surat dan nama penulis tidak tercantum. Banyak pakar sejarah meyakini, surat ini ditulis Defras- Anak sulung Berend”
“Namun disangkal, tulisan mereka memiliki gaya tulisan berlawanan. Kecuali, “
“Defras bisa menulis dengan kedua tangannya kan?” Hanzie mengutarakan apa yang dia tebak. Buk Panjaitan mengangguk dan melanjutkan kembali.
Hanzie mendengarkan begitu cermat. Raut wajahnya yang serius makin terlihat cantik. Rambut bewarna coklat tua dengan mata hazel, kulit putih pucat seperti boneka.
“Seorang wanita tidak mungkin berhasil melakukan pembunuhan seorang diri. Siapa, siapa yang membantunya? Hanzie mengepal kedua tangan di atas lututnya, entah hal aneh apa yang dia rasakan sekarang. Rasa masam aneh ini, membuatnya patah hati.
“Pada surat terakhir yang dikirimkan penulis pada kenalan Aldert, Gerard Coen. Pembunuhnya adalah wanita yang dicalonkan sebagai isteri Aldert, dan sisanya terpotong. Surat itu hanya separuh”
Tidak percaya, Hanzie membalik album kembali. Melihat pada foto susunan surat, gambar terakhir memang betul begitu. Surat itu hanya separuh, sisanya dirobek. “Mengapa hanya separuh?”
Tidak menjelaskan kembali, Buk Panjaitan menyerahkan laporan tebal. Diatas cover, judul tebal tertulis diatasnya. Aldert’s liefdesverhaal. Menyentuh pelan pada judul yang tercantum, Hanzie meminta izin kembali ke kelas dan menjanjikan akan segera mengembalikan laporan tebal ini setelah selesai melihatnya.
“Tumben sekali ada siswa yang peduli pada sejarah” Guru matematika yang duduk di sebelah sekat meja Buk Panjaitan memberi pujian. Buk Panjaitan tidak mengatakan apapun. Well, tidak mungkin kan dia mengatakan jika anak ini tidak peduli pada sejarah, melainkan hanya peduli pada kisah cinta yang menjadi sejarah.
Sepanjang waktu sekolah Hanzie terus termenung, tangannya gatal ingin melihat laporan tebal sejarah yang di pinjamkan. Hingga bel pulang terdengar, Hanzie yang biasanya ogah langsung pulang ke rumah berlari menuju parkiran mobil jemputan.
Supir yang bertugas menjemput Hanzie biasanya membutuh kan waktu lama sampai tuan muda keluar dari kelas. Hari ini tuan muda Hanzie aneh. Apa ada sesuatu yang mendesak? Takut membuat tuan mudanya tidak sabaran, supir mengemudikan mobil secepat yang dia bisa. Sebelum mobil berhenti, Hanzie segera meloncat keluar dari kursi penumpang. Menyapa asal-asalan pada Ibu dan ayah tirinya yang tidak bekerja hari ini, berlari menuju kamar.
Mengunci pintu kamar tidur, melempar tas dan mengganti baju seragam secepat yang dia bisa, Hanzie bergegas mengambil laporan sejarah. Halaman pertama tidak tertera siapa yang menyusunnya, aneh. Lembar ke-dua hingga sepuluh halaman pertama kosong, what the! Untungnya lembar ke sebelas memiliki gambar. Foto jurnal yang ditampilkan proyektor di kelas sejarah tadi dan selanjutnya..
XX XX XXXX
Di pesta penerimaan siswa, aku melihatnya. Berpakaian biasa-biasa saja, terlihat keluarganya tidak begitu baik. Dia terlihat cukup baik walau dengan berpakaian biasa.
XX XX XXXX
Kami diterima di kelas yang sama, dia berpakaian lusuh. Mungkin keluarganya lebih miskin dari yang ku duga.
XX XX XXXX
Salah satu teman sekelas menyebarkan berita dan mengejek, anak itu memiliki Nyai sebagai Ibu. Kelahirannya yang rendah tidak begitu dipedulikan ayahnya.
XX XX XXXX
Dia tidak membawa uang. Pemimpin kelas yang meminta uang buku memberinya batas waktu. Apa aku harus membantu?
XX XX XXXX
Dia cukup ulet. Tidak masalah tidak punya uang, dia bisa mencatat dengan tangannya! Luar biasa.
XX XX XXXX
Ada anak baru yang bergabung ke kelas kami. Sedikit mirip denganmu. Memiliki Ibu Nyai, pendiam dan tidak suka berbaur. Namun aku tahu kalian berbeda. Kamu berbeda.
XX XX XXXX
Aku kira bocah yang mirip dengannya akan tinggal hingga kelulusan. Dia berhenti sekolah dan hanya ada kamu seorang sekarang. Tidak ada lagi yang mirip dengan sosokmu.
XX XX XXXX
Leraar (Guru) memberi tugas kelompok agar kami saling berinteraksi. Anak itu tidak beranjak dan mencari kelompok. Aku merasa kasihan.
XX XX XXXX
Pada akhirnya kami berdua satu kelompok. Dia tidak banyak bicara, hanya mengatakan kalimat yang berkaitan dengan tugas. Bersahaja dan pintar. Dia cantik.
Tulisan ini pasti meng-copy dari tulisan yang ditinggalkan jurnal Aldert. Wow! Bangsawan ini berani menulis diary, menulisnya hampir tiap hari. Hanzie sudah berada di kamar selama satu jam, tahu waktu makan akan datang dia bergegas turun ke bawah untuk makan.
Ibu dan Ayah tirinya sedang bercanda gurau dengan anak-anak milik mereka. Total empat orang yang tinggal di rumah, dia hanya orang luar. Jadi tidak termasuk hitungan. Duduk untuk menunggu makanan diantar, empat orang lainnya juga berhenti bicara. Terlihat mereka canggung ketika dia berada disekitar mereka.
Ibunya- Sera bekerja sebagai editor, Ayah tirinya- Sanjaya bekerja sebagai dokter, kakak tiri– Bagas baru saja memasuki dunia perkuliahan dan adik yang dilahirkan dari pasangan bahagia—Senja baru mendaftar sekolah. Sedangkan dirinya, benalu yang menumpang.
Ayahnya, Gilbert meninggal kerena serangan jantung. Sebagai satu-satunya anak dan tidak memiliki saudara, Hanzie yang tidak memiliki wali terpaksa tinggal bersama Ibunya sampai dia bisa mandiri. Awalnya, Ibu ini masih bersikap baik. Tidak lama kemudian menjadi suam-suam kuku. Selalu menanyakan jumlah uang yang diwariskan pada anak yatim, sungguh tidak tahu malu.
Gilbert bekerja seumur hidup untuk menghidupi mereka berdua. Wanita ini, yang harus dipanggil sebagai Ibu, memilih selingkuhannya saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Tidak bisa memasak atau membereskan rumah. Gilbert, sebagai ayah tunggal belajar secepat mungkin. Hanya ada ayah dan anak lelaki saling bergantung satu sama lain.