Oh! Juena – Chapter 01

Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.


 

Yanzi menatap jam analog yang berdentang di kantornya. Sekarang sudah tepat tengah malam namun dia berkeras tak pulang.

Entah kenapa sejak tujuh hari yang lalu rumahnya tidak lagi tenang.

Di mulai pukul sebelas malam, maka suara-suara aneh mulai meneror seluruh penghuninya. Dari hanya derit kuku di jendela, ketukan, suara langkah hingga gedoran keras seolah akan menjebol pintu rumah.

Yanzi sudah menyewa petugas keamanan lebih banyak namun tidak menghasilkan apapun. Suara itu tanpa bentuk nyata. Hanya meninggalkan teror dan beberapa goresan di kaca atau benda rusak lainnya.

Ibunya seperti menua hingga puluhan tahun dalam semalam. Wanita itu shock berat dan menolak pulang hingga keadaan kembali aman.

Sedangkan adiknya yang selalu dirumah nyaris kehilangan kewarasannya. Anehnya saat Yanzi ingin mengajaknya menginap diluar rumah maka adiknya akan mengamuk.

Beberapa pelayan yang tidak tahan sudah mengundurkan diri. Dan beberapa sisanya hanya bertahan karna tidak memiliki tempat untuk pergi.

Dering telepon membangunkan Yanzi dari lamunan.

“Abang… dia… dia datang… aku takut… abang…. aku butuh abang…” Yumi berbicara sambil menahan isakannya. Suaranya nyaris berbisik. Gadis itu jelas gemetar hebat.

“Aku akan pulang.” Yanzi mendesah. Telepon terputus.

Dia bukan seseorang yang mempercayai hantu. Setidaknya sampai tujuh hari lalu. Memang dia tidak melihat secara langsung tapi segala suara dan jejak aneh itu sungguh mengganggu.

Yanzi menghentikan mobilnya didepan pintu pagar yang menjulang tinggi.

Tidak ada lagi petugas keamanan yang bertahan. Mereka yang bisa membabakbelurkan manusia ternyata ketakutan menghadapi hal astral. Teror itu lebih kejam dari yang bisa dibayangkan. Menghancurkan psikologis seseorang secara perlahan dan sampai ke dasar.

Yanzi menatap rumah megahnya yang dulu nyaman menjadi suram. Meski terang benderang, jelas ada sesuatu yang menyelimutinya. Sesuatu yang membuat seseorang ingin melarikan diri.

Tapi disana ada adiknya.

Yanzi memencet tombol remot, suara derit pintu gerbang yang terbuka membuat bulu kuduk merinding.

Mesin mobil meraung rendah sebelum berhenti tepat didepan rumah.

Yanzi melirik jam tangannya, pukul dua malam. Dua jam berlalu sejak adiknya menghubunginya. Bukan karna jarak terlalu jauh, mustahil karena macet, Yanzi sengaja mengulur waktu.

Perasaan diteror dirumahnya sendiri itu sangat sulit diterima.

Saat dia membuka pintu, dia melihat para pelayan berkumpul dan meringkuk di ruang tamu. Wajah mereka pucat dengan lingkaran hitam dibawah mata.

“Tuan… anda kembali?” Ersa, pelayan seniornya menyapa dengan suara bergetar.

“Dimana Yumi?”

Ersa menggeleng pelan. “Saya rasa nona berada di kamarnya. Di sana lebih ribut dari malam-malam sebelumnya. Kami tidak berani melakukan apapun.”

Yanzi mengangguk. Dia melangkah menaiki tangga menuju kamar Yumi yang berada di lantai dua.

Angin lembut seolah menjilati tubuh Yanzi. Membuat tengkuknya meremang. Menyusuri koridor, suara langkahnya bergema karna terlalu sunyi.

Sama seperti dia mengira yang terdengar hanya suara langkahnya, telinganya yang waspada mendengar suara sesuatu diseret.

Itu mengikutinya.

Yanzi menghentikan langkahnya dan suara itu juga berhenti. Ketika Yanzi meneruskan langkahnya, dia kembali diikuti.

Menarik nafas, Yanzi dengan cepat menoleh.

Kosong.

Tidak ada apapun dibelakangnya. Padahal suara yang mengikutinya begitu dekat. Seolah berjarak kurang dari tiga meter.

Yanzi memutuskan mengabaikan hal itu dan meneruskan langkahnya.

Dia berdiri didepan kamar Yumi. Tak terdengar suara apapun. Berpikir terlalu sunyi, Yanzi memutar handle pintu.

Saat terbuka, kamar adiknya begitu gelap. Bahkan lampu tidurnya tidak menyala.

Yanzi meraba dan menekan saklar lampu. Matanya menyipit menyesuaikan dengan ruangan yang tiba-tiba terang.

Dia dengan cepat masuk untuk memeriksa kondisi adiknya. Pemikiran pertamanya adalah adiknya berada dalam gundukan selimut.

“Yumi…”

Yanzi menarik selimut dan tersentak mundur. Itu jelas bukan Yumi, tapi sosok berambut panjang tanpa pakaian. Matanya berwarna merah tanpa pupil. Memiliki gigi runcing berwarna hitam. Dia tidak memiliki bibir!

Pemandangan itu hanya berlangsung dua detik tapi terekam dengan sangat jelas di otak Yanzi.

Ketika dia berkedip, sosok itu tidak ada. Hanya ada bantal sebagai gantinya.

“Yumi!” Panggil Yanzi khawatir.

“Abang…” Sahutan yang berupa bisikan itu menarik perhatian Yanzi.

Pria tiga puluh tahun itu dengan cepat membuka lemari tempat suara berasal. Dia melihat Yumi diantara pakaian. Wajah gadis kecil itu pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat dengan mata nyalang mengamati keadaan sekitar.

Yanzi segera menarik gadis itu ke pelukannya.

Pelukannya semakin erat saat suara sesuatu diseret kembali terdengar. Itu berjalan lambat dan menjauh dari mereka.

“Yumi… kita tinggalkan rumah ini. Kita cari tempat yang lebih aman.” Bujuk Yanzi.

“Tidak. Dia akan mengikutiku. Dia begitu membenciku.” Yumi berbisik.

“Kenapa?”

Yumi diam tanpa maksud menjawab. Yanzi membopong gadis itu dan pergi ke kamarnya. Dia tidak mau tidur ditempat dia melihat makhluk mengerikan. Meskipun dia meyakinkan dirinya jika dia hanya paranoid.

Saat pagi menjelang, semuanya kembali normal. Seolah tidak ada hal apapun yang terjadi tadi malam.

Para pelayan mengerjakan tugas mereka seperti biasa meski dengan wajah kuyu. Terlebih Yumi sudah mirip mayat hidup. Gadis itu banyak terdiam, hanya melakukan sesuatu sebagai reaksi dari pertanyaan atau perintah seseorang.

Yanzi menyingkirkan piringnya. Dia harus melakukan sesuatu untuk merubah ini.

Pada jam makan siang, Alan datang ke kantornya.

Alan adalah sahabat Yanzi sejak mereka sekolah menengah, dan Yanzi sudah menceritakan masalahnya padanya.

Sejujurnya Yanzi sama sekali tidak mau meminta saran dari sahabatnya yang kelewat aneh ini. Tapi dia tak bisa begitu saja mengumbar masalah pribadinya yang tidak masuk akal pada orang luar. Alan adalah satu-satunya pilihan.

“Dengar, aku sudah memiliki solusi untuk masalahmu..” Alan dengan semangat duduk di sofa kantor Yanzi.

“Ini bahkan belum satu hari sejak aku menceritakan masalahku padamu. Betapa hebat.”

Alan mengabaikan sarkasme sahabatnya yang terlalu kaku dan mengatakan solusinya: “Dengarkan ini, di pinggiran kota P ada desa bernama Loh Sae. Dulu di sana ada seorang keturunan Virstyisva yang melakukan incest. Kau tahu, adik dan abang menikah….”

“Tolong langsung ke intinya.”

Lagi-lagi Alan mengabaikan ucapan Yanzi dan meneruskan ceritanya: “…Karna melanggar norma abang dan adik itu diusir dari desa. Mereka akhirnya hidup dihutan sampai memiliki anak. Lalu ternyata anak mereka adalah anak terpilih yang mewarisi kekuatan sejati Virstyisva…”

“Alan tolong langsung ke intinya.” Keluh Yanzi tanpa ekspresi.

Alan mendengus. Di dalam hatinya dia memaki pria kaku ini. “Ya maka kita harus mendatangi mbah dukun ini untuk menyelesaikan masalahmu.”

“Ini menggelikan. Tapi patut dicoba. Jadi seberapa kuat mbah dukun yang kau bicarakan?”

“Ku pikir sangat kuat. Usia tidak akan melenceng dari kemampuan.” Alan memasang pose meyakinkan.

“Bagaimana kau yakin? Tidak adakah paranormal yang lebih modern?”

“Jangan seperti itu. Dalam hal ini, semakin kuno semakin baik. Menurut kakekku, dulu saat temannya bermasalah dengan makhluk halus mendatangi dukun ini dan selesai dalam dua hari. Sungguh reputasi yang menjanjikan kan?”

Yanzi menatap Alan dan mengangguk. Dia tidak tertarik untuk berdebat. Semua kemungkinan patut di coba. Adiknya harus segera ditolong sebelum psikologisnya jatuh hingga ke dasar.

Meski sebagai orang modern Yanzi lebih memilih ahli medis untuk mengobati sesuatu, tapi dia sudah menyaksikan sendiri keanehan itu. Ahli medis bukan pilihan tepat.

“Baiklah, kapan kita bisa pergi?” Tanya Alan dengan semangat. Pria ini  sudah lama tidak melakukan hal yang menarik. Dia hanya mengurung diri dengan lukisannya hingga kulitnya nyaris transparan.

Yanzi tidak heran dengan sikap Alan. Pria itu sejak dulu suka melakukan banyak hal selain berkutat dengan tulisan dan angka. “Aku memiliki sabtu dan minggu untuk itu.”

“Ya, sabtu dan minggu memang seharusnya digunakan untuk jalan-jalan, bukannya bekerja dibalik meja.”

Alan mengatakan yang sebenarnya. Sebagai satu-satunya yang bisa mengurusi bisnis keluarga, Yanzi nyaris tidak punya liburan.

“Kita tidak jalan-jalan.” Tandas Yanzi. Dia tidak mau bermain-main dalam mencari hal yang bisa membuat rumah mereka terbebas dari hal mistis.

“Ya ya ya kita menjemput mbah dukun.” Alan manggut-manggut acuh tak acuh. Sesaat kemudian dia menyeringai lebar. “Karna sabtu kita menjemput mbah dukun, maka biarkan aku menginap di rumahmu semalam dan mengalami hal mistis sekali seumur hidup.”

Yanzi menatap datar Alan yang semangat. Dia tidak lagi menyahuti. Keinginan pria itu tak akan bisa ditolak bagaimanapun pintarnya kau bermain kata.

Menganggap diamnya Yanzi sebagai persetujuan, Alan langsung berlari pulang. Dia harus mempersiapkan diri dengan baik untuk mengalami gangguan makhluk astral.

******

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!