Author : Keyikarus
Publish at Kenzterjemahan.com
Zino menyeruput kuah sotonya dengan senang.
Sejak dia semakin mahir menjadi copet, dia sama sekali tak mengkhawatirkan masalah makan.
Sehari-hari rutin makan soto, sate, bahkan sesekali membeli pizza. Zino hidup dengan riang!
“Mei~~ aku yang traktir ya… jangan menolak, oke. Uangku yang ini aku dapat dari bibi Ina yang penjual dilapak pojok itu karna membantunya mengangkat kotak ikan. Jadi jangan menolak.” Potong Zino sambil mengibarkan lembaran biru saat melihat Mei siap membuka mulutnya yang penuh.
Mei mendengus lalu meneruskan makannya.
Zino mengartikannya sebagai persetujuan. Dia dengan senang membayar makanan mereka.
Sudut matanya melirik Mei yang fokus makan. Dia bohong lagi, tepatnya separuh bohong.
Zino memang membantu mengangkat kotak ikan bibi Ina, tapi hanya dari bawah meja ke atas meja panjang karna suaminya sedang mengambil kotak ikan lainnya. Dengan bantuan sekecil itu mana mungkin diberi lembaran biru sebagai upah.
Sayangnya otak kecil Zino tak berpikir jika Mei lebih pintar darinya.
Tentu saja gadis itu tahu dia berbohong.
Seorang Zino tidak mungkin melakukan pekerjaan berat. Lihat saja tampang anak kucingnya. Siapa yang tidak akan meragukan tampang manisnya untuk menjadi buruh angkut barang.
Setelah mereka selesai makan, mereka berjalan pulang.
Jangan berpikir jika Mei sudah menerima ajakan kencan Zino.
Zino hanya tak sengaja melihat Mei makan soto dan mengikutinya. Otak kecilnya berhalusinasi menganggap ini kencan.
Bukannya apa, dia hanya begitu jengkel dengan cara jual mahalnya Mei.
“Kenapa aku tiba-tiba merinding ya?” Zino mengusap-usap tengkuknya.
“Kau kena kutuk semua ibu yang kau copet.”
Zino dengan cepat mencubit lengan Mei hingga gadis itu menjerit.
“Mulutmu itu. Kau ingin wajah tampanku babak belur?” Zino menyalak galak. Dia ingin mempertahankan prestasinya selama beberapa minggu berada di kota ini sama sekali belum pernah babak belur.
“Tak ada yang salah dengan mulutku. Kau pasti akan mengalami karma. Lihat saja.”
“Kau ini. Mau sampai kapan mengharapkan hal buruk menimpaku? Anggap saja para ibu menyumbang untuk anak tampan malang yang tak mereka kenal.”
Mei hanya mencibir argumen aneh Zino. Tepat saat Zino akan mengomeli Mei lagi, sebuah mobil melambat di sisi mereka.
Mei dan Zino menatap mobil keren berwarna hitam. Beberapa saat kemudian, seorang pria dengan rambut cepak, wajah tampan dan berpenampilan rapi turun dari mobil.
“Zino, benar?”
Zino dan Mei sama-sama mengernyit tak suka mendengar nada arogan pria itu. Setidaknya mereka memiliki kesamaan.
“Hn.” Zino mengangguk.
Meski dia tak menyukainya, sebagai pencopet, Zino terlatih selalu memasang wajah tak berdosa pada siapapun. Jadi Zino memasang senyum manis.
Pria itu menatap Zino dari atas ke bawah. Lalu tatapannya berlama-lama di wajah Zino.
“Ikut denganku.”
“Tidak mau.” Zino menyahut dengan cepat. Dia bukan seorang penurut. Terlebih pada orang yang tak dikenalnya.
“Namaku Jean, Jean Zigan. Kakak saudara kembarmu. Jadi, ikut denganku.”
Mei terkejut menoleh ke arah Zino. Sementara Zino meringis berusaha memasang wajah polos dihadapan Mei.
“Kembaran?”
“Tidak. Dia salah orang. Karna itu aku akan menunjukkan orang yang tepat.”
Zino cepat-cepat menyeret Jean masuk ke mobil.
Dia tidak mau Mei semakin curiga. Setidaknya, Mei adalah satu-satunya gadis aneh yang dekat dengannya tanpa menghabiskan uangnya. Jadi, Mei adalah teman favorit Zino.
Sementara Jean mengernyit tak suka melihat dirinya diseret oleh anak kampungan seperti Zino.
“Cepat jalan.” Ditambah kata perintah yang dengan mudah meluncur dari bibir pemuda itu. “…sampai besok Mei. Pulang sendiri ya. Lain kali abang antar.”
Bukan saja Mei yang ingin muntah mendengar ucapan Zino, tapi juga Jean.
Belum apa-apa Jean merasa menyesal sudah menemui pemuda tengil ini.
Zino yang merasa sudah mengucapkan selamat tinggal pada Mei menoleh menatap Jean. “Kenapa belum jalan. Jadi tidak?”
“Kamu itu ya, sama sekali tidak punya sopan santun.” Geram Jean. Meski begitu dia tetap melajukan mobilnya.
“Memangnya mengajak orang tak dikenal dengan bilang ‘ikut denganku’ itu sopan?”
Jean langsung merasa khawatir. Pemuda ini suka membantah dan terlihat merepotkan. Apa tidak apa-apa menuruti keinginan adiknya?
Karna tak ditanggapi oleh Jean, akhirnya perjalanan mereka hanya diisi kekosongan. Zino dengan tenang menikmati pemandangan diluar jendela.
Dia tak menyangka akan bisa bertemu kembarannya. Jangan tanya kenapa Zino percaya begitu saja, karna Jean menyebut nama Zigan.
Meski sudah bertahun-tahun Zino tak akan melupakan nama keluarga yang keluar dari mulut neneknya.
Yang mengejutkan, ternyata Zino tak seantuasias yang dia pikirkan saat akan bertemu dengan satu-satunya saudara sedarahnya.
Mobil itu berbelok ke sebuah hotel. Zino mengikuti langkah Jean masuk ke hotel.
Meski Zino sama sekali belum pernah masuk ke hotel bagus seperti ini, dia menahan diri agar tidak celingukan. Orang tampan tidak boleh terlihat norak!
Rencananya seperti itu, tapi saat mereka berdua berada di dalam lift, matanya berkeliaran dengan semangat. Dia mengamati bagaimana cara Jean mengoperasikan lift yang hanya dilihatnya ditv ini.
Mata coklatnya berkedip semangat saat mendengar suara ‘ting!’ saat angka menunjukkan lantai sembilan.
Pintu lift terbuka.
Zino kembali membuntuti Jean. Lalu mereka masuk ke sebuah kamar.
Pencopet itu mengamati ruangan besar dengan kagum, matanya berkedip-kedip cerah melihat sebuah tv besar, sofa bagus, barang-barang mengkilat dan tempat tidur lebar.
Tolong jangan menuntut penjelasan lebih. Zino baru melihat hal ini sekali dalam seumur hidupnya. Otak kecilnya tak mampu menghasilkan deskripsi yang lebih daripada ini.
“Kau terlihat sangat kaya.” Zino berdecak kagum.
Jean menatap malas pemuda yang matanya masih berkeliaran. Anak kampung tetaplah anak kampung meski penampilannya bisa diterima.
“Kau bahkan tidak akan bisa berkomentar jika benar-benar tahu kekayaan keluarga Zigan.”
Zino cemberut mendengar nada sombong itu. Baiklah, kembarannya memang terlalu beruntung!
“Jadi kenapa kau membawaku ke sini.”
Zino mempersilahkan dirinya sendiri duduk dengan nyaman disofa. Tangan nakalnya meraih remot dan mulai memencet-mencet banyak tombol. Zino belajar menjadi tuan kaya!
Sebelum Jean menjawab, seorang gadis berambut panjang keluar dari kamar mandi.
Zino cukup takjub melihat betapa miripnya wajah gadis itu dengannya. Tentu saja wajah gadis itu lebih berkilau dan terawat.
“Abang sudah membawanya?” Vivian bersidekap melirik Zino.
Zino menahan diri untuk memprotes ucapan Vivian. Itu bukan cara memperlakukan kembaran yang baik, oke. Zino tersinggung. Beruntunglah dia tak mengharapkan hal baik apapun.
“Ya. Cepat selesaikan hal ini. Kau tahu tak akan bagus jika kita tak segera berada dirumah.”
Vivian mengangguk.
Dua kakak beradik itu duduk di sofa. Menarik perhatian Zino.
“Halo. Namaku Vivian. Aku yakin tak perlu menjelaskan bahwa kita kembar.” Vivian membuka pembicaraan.
Gadis itu cukup takjub melihat betapa miripnya wajah mereka. Ini hal yang sangat bagus, kecuali suara Zino yang sedikit lebih berat dari suaranya.
Sebenarnya sudah sangat lama dia mengetahui jika memiliki kembaran. Hanya saja dia sama sekali tak memiliki keinginan menemuinya. Dia sudah memiliki ayah, ibu, dan abang. Keluarga yang sempurna. Dan dia tak ingin mengacaukannya dengan menemui sosok masa lalu yang bahkan tak dikenalnya.
Pikiran itu bertahan hingga dia mengetahui rencana pertunangannya. Dia akan ditunangkan dengan putra kedua keluarga Arkanda.
Bukannya dia keberatan, putra kedua Arkanda berwajah tampan dan terkenal memiliki senyum menawan. Prestasinya didunia bisnis pun mengagumkan. Terlebih usianya baru dua puluh sembilan tahun. Hanya berbeda sepuluh tahun darinya.
Namun acaranya bertepatan dengan jadwal masuk Vivian di akademi musik favoritnya.
Yang tahu dia mendapat undangan dan masuk ke akademi itu hanyalah abangnya. Karna jika orang tuanya tahu pasti tidak akan mengijinkannya melakukannya.
Sejak kecil tubuh Vivian terlalu lemah. Dia memiliki alergi serbuk bunga, langsung sakit saat terkena hujan, bahkan jika terlalu lama berada dibawah sinar matahari dia akan langsung demam, bahkan memiliki masalah dengan beberapa makanan tertentu.
Itu sungguh merepotkan karna membuat orangtuanya mengurungnya dirumah. Membiarkannya mendapatkan apapun hanya saja tetap dirumah.
Sekarang dia bisa bersekolah secara normal tentu saja dia tak akan membiarkannya gagal karna pertunangan.
Keinginan kuatnya untuk keluar dari rumah itu membuatnya memikirkan sebuah ide, yaitu kembarannya. Intinya, Vivian sama sekali tak mau kehilangan salah satunya.
“Hn.” Zino masih memasang senyum manisnya.
“Aku ingin kau menggantikanku untuk sebuah pertunangan. Tidak akan lama, hanya setengah tahun.” Vivian yakin jika waktu setengah tahun akan membuat kemarahan orang tuanya tentang kenakalannya ini akan mereda.
“Menggantikan?”
“Benar. Aku tak memiliki keharusan menjelaskan apapun padamu. Kamu hanya perlu menjadi diriku dan melakukan pertunangan. Hidup sebagai aku selama setengah tahun lalu aku akan memberimu kompensasi yang layak.”
*****