Author : Keyikarus
***
[Chapter 3]
Hanya berselang dua malam setelah berkumpul, mereka memutuskan memulai perjalanan pergi ke kota aman yang tidak tersentuh para pemberontak.
Diantara semua kota aman, El Ceza adalah yang terdekat. Itu hanya membutuhkan sekitar satu bulan perjalanan dengan kecepatan mereka.
Kota itu jelas menjadi tujuan untuk penduduk biasa dari kota-kota sekitar yang hancur karna penjarahan dan kerusuhan. Yang menjadi ancaman bukan lagi hanya suku bumi yang suka memprovokasi dan kelompok pemberontak suku air, melainkan suku-suku lain baik utama maupun minoritas mulai mengambil keuntungan. Mereka membentuk kelompok baru dengan kekuatan besar dan lebih memperparah kekacauan benua Utara.
Realf memimpin dua adiknya untuk menghindari jalanan utama. Tujuannya jelas, dia tidak mau bertemu baik perusuh maupun kelompok pemberontak manapun.
Tidak seperti dua lainnya yang baru pertama kali pergi jauh dari rumah, Realf kadang-kadang melakukannya untuk mengenali sekitarnya. Mendapatkan beberapa informasi berguna dari percakapan orang-orang di jalanan.
Dia melirik dua bocah yang bergantian menggendong Reeka sementara dia membawa bekal dan pakaian mereka. Keadaan ini serba kebetulan. Kekacauan terjadi yang membuatnya berpikir pergi ke kota aman, secara kebetulan bersamaan dengan niatnya membuat Reeka mendapatkan kekuatan yang cukup. Di masa depan, Reeka harus kembali ke sukunya untuk menanyakan tentang ayahnya. Jika memungkinkan dia bisa mengetahui juga penyebab ibunya sampai di benua ini.
Mengingat asal Reeka, untuk masuk ke sana dia membutuhkan dukungan. Karnanya dia membutuhkan An Fier dan Celian agar menguasai batas atas kemampuan mereka.
Realf menyebarkan kekuatannya, melalui media udara dia memeriksa sekitarnya. Tepat di jalanan utama penghubung antar kota, dia melihat sekelompok penunggang kuda yang menyergap kelompok pengungsi.
Meski salju di kota cenderung lebih tipis dibanding wilayah tanpa penduduk karna barier yang dipasang, namun jalanan penghubung antar kota cenderung memiliki salju tebal karna tidak masuk ruang lingkup barier.
Setiap kota selalu memiliki kelompok yang memasang barier kota dan mengalihkan salju agar tidak menumpuk. Dan selalu ada kelompok dengan kemampuan lebih baik yang mampu menciptakan sepetak tanah tanpa salju yang bisa digunakan untuk bertani, namun ini bukan hal mudah. Membutuhkan kerjasama yang baik antara pemilik kekuatan bumi, air, bunga, udara dan api.
Bukan saja sulit membentuk kerja sama yang baik, tetapi juga sulit hanya untuk mengumpulkan pemilik kekuatan-kekuatan tersebut diantara penduduk dengan kemampuan biasa.
Itulah kenapa harga sayur dan buah mahal. Terlebih kondisi seperti itu bisa menciptakan monopoli pasar karna kurangnya pesaing, membuat harga melambung ke langit.
Melihat bagaimana mudahnya kelompok itu menunggangi kuda di atas salju telah menjelaskan kekuatan mereka. Mampu membuat salju disekitar mereka mengeras dalam radius beberapa meter untuk dilalui kuda, jelas mereka tidak kalah kuat dibanding naga hitam.
Dan sekarang mereka menggunakan kekuatan itu untuk menyergap dan menakut-nakuti pengungsi. Sepertinya mereka memiliki kesenangan saat melihat orang-orang bergetar ketakutan.
Realf menarik kembali kekuatannya. Dia mencibir dalam hati, pemberontak tetaplah pemberontak meski alasan yang digaungkan semulia apapun. Kenyataannya mereka menjarah dan mengeksploitasi penduduk biasa demi memfasilitasi pejuang mereka melawan Klan utama.
Meski begitu masih saja ada penduduk dengan kekuatan cukup baik yang tergiur untuk bergabung dengan mereka, atau bahkan mungkin membuat kelompok kecil lainnya untuk menjarah penduduk kota lain. Tujuan para pemberontak itu jelas abu-abu.
Klan utama sudah merilis daftar kelompok pemberontak yang harus dilenyapkan oleh cabang kekuatan manapun yang bertemu mereka. Kelompok dengan tingkat bahaya tinggi dan menduduki daftar teratas adalah naga hitam.
Saat para kelompok pemberontak itu brutal, maka pejuang Klan utama lebih brutal lagi. Mereka mengeksekusi para kelompok pemberontak manapun yang ada dalam daftar itu ditempat tanpa menyisakan jasad yang utuh.
Realf menggelengkan kepalanya tak peduli.
Sementara itu, dia luput menyadari jika salah satu dari pemberontak yang sedang merampas barang-barang pengungsi dijalan utama mengernyit merasakan kekuatannya yang ditarik kembali. Sesaat kemudian dia tertawa membayangkan kelompok pengungsi lainnya yang mungkin bisa menghibur mereka sebelum bergabung dengan kelompok utama mereka untuk menjarah El Ceza.
“Sebenarnya seberapa jauh El Ceza itu?” Gumam An Fier yang merasakan Reeka mulai rewel.
Bayi itu sudah menjadi bola kain dalam gendongannya, tapi entah bagaimana dia masih merasa tidak nyaman. Dia menggeliat ke sana kemari sambil merengek. Membuat An Fier mulai kewalahan.
“Masih sangat jauh.” Sahut Realf yang membuat dua kakak beradik itu mendesah.
Mereka sudah berjalan nyaris lima hari namun dikatakan bahwa El Ceza masih sangat jauh. Perbekalan menipis. Mereka hampir mati beku karna dalam lima hari itu hanya satu hari dimana mereka bisa menemukan pondok kosong dan membuat api ditungku. Reeka sudah mengalami dua kali demam.
“Mungkin seharusnya kita menemukan kota aman yang lebih dekat.” Usul Celian.
“Tidak ada yang seperti itu.” Sahut Realf datar. Dia mengambil alih Reeka yang benar-benar membuat An Fier kewalahan.
“Dari mana kau tahu? Kita tidak melewati jalan utama penghubung kota. Kita bahkan tidak bertemu siapapun.” Gerutu Celian.
Sedangkan An Fier lebih cemas melihat makanan Reeka yang hanya dihangatkan dengan suhu tubuh. Itu memprihatinkan bagi bayi untuk tidak mendapatkan perawatan yang lebih baik.
“Aku tahu.” Sahutan singkat Realf membuat Celian jengkel, tapi dia diam saja melihat Realf sibuk mendiamkan Reeka disela membawa kantong barang mereka yang mengempis.
“Realf, mungkin Reeka akan demam lagi. Bukankah lebih baik melewati jalur utama agar bisa menemukan pondok kosong. Reeka membutuhkan tempat teduh yang hangat sesekali.” Bujuk An Fier menatap Reeka cemas.
Perasaannya selalu gelisah saat melihat Reeka sakit dan rewel. Dia tidak tega, tapi dia tahu tidak banyak yang bisa dilakukannya untuk Reeka saat ini.
Realf menimbang sebentar sebelum mengangguk. Responnya itu membuat Celian cemberut. Bagaimana Realf selalu mengangguk jika itu berhubungan dengan Reeka?
Baiklah, itu hanya karna Reeka adalah bayi yang butuh perawatan. Merasa iri pada bayi adalah hal yang konyol.
Setelah memutuskan seperti itu, jalur mereka bergeser. Realf memilih menuju kota kecil yang berada tak jauh dari kelompok pemberontak tadi.
Dia memperhitungkan jika saat mereka tiba di sana maka kelompok itu sudah harus melewati kota mati itu. Penduduknya mungkin sudah mengungsi sedari awal ke El Ceza. meninggalkan kota itu kosong dengan keadaan rapi. Hanya ada sedikit kerusakan. Berbeda dengan kota-kota lain yang berantakan karna penjarahan.
Saat hari mulai gelap, mereka tiba di kota sepi itu. Tanpa ragu mereka memilih rumah terdekat untuk bermalam. Salju menumpuk menutupi seperlima dari pintu karna barier yang sudah tidak aktif.
Celian mendesah puas melihat rumah yang masih rapi tanpa bekas kekerasan. Dia memeriksa setiap ruangan hingga menemukan dapur. Menggeledah tempat itu demi menemukan perbekalan untuk mereka.
Sementara itu An Fier melemparkan kayu ke dalam tungku di ruang tengah dan menghidupkan api. Membuat ruangan dingin menjadi hangat.
Setelahnya, dia menoleh ke Realf yang menggendong Reeka. Rengekan bayi itu mulai mereda, mungkin dia juga bisa merasakan ruangan yang menghangat dan terasa nyaman.
“Aku akan memeluknya untuk tidur. Kau bisa beristirahat.” Ucap An Fier meraih Reeka dari pelukan Realf.
Realf memandang bocah yang duduk di kursi sambil memeluk Reeka. Itu pemandangan yang cukup lucu untuk dilihat, bocah yang berusaha memanjakan bocah lainnya.
“Baiklah, tuan protektif. Sepertinya kau mulai menganggap Reeka sebagai barang pribadimu.” Ucap Realf.
“Apa? Aku tidak seperti itu. Reeka terbiasa dipeluk olehku saat tidur.” Bantah An Fier.
Realf mengangkat tangannya menyerah bertepatan dengan Celian yang datang dengan menyeret kantong persediaan mereka. Itu terlihat penuh.
“Mereka sepertinya terburu-buru pergi. Banyak makanan tersisa didapur. Sebagian besar membusuk dan aku mengambil yang masih bisa dimakan.” Celian melemparkan kantong itu ke tengah ruangan. Lalu dia memilih satu kursi lainnya untuk diduduki.
“Berisik, Celian. Kau akan membangunkan Reeka.” Protes An Fier setengah berbisik. Dia tidak tahu bagaimana Celian Bahkan tidak menyesuaikan prilakunya terhadap kehadiran seorang bayi.
Yang diprotes hanya mencibir. Dia sudah terbiasa dengan kegalakan An Fier saat berhubungan dengan Reeka.
Celian bergeser ke kursi terjauh dari An Fier. Memejamkan matanya dengan tenang.
Kegelapan sudah sepenuhnya menyelimuti bumi. Cahaya api dari tungku menjilati ruangan. Menghasilkan bayang-bayang mereka yang terlelap.
Realf membuka matanya dan melemparkan kayu ke dalam tungku, memperbesar api yang menghasilkan kehangatan diruangan. Bunyi gemeretak kayu yang terbakar mengisi ruangan disela-sela suara desir angin.
Disisi lain beberapa orang terlihat menembus kegelapan dengan derap langkah kuda di atas es padat. Itu tidak terburu-buru namun juga tidak santai.
Salah satu dari mereka menghentikan laju kudanya. Menoleh untuk memastikan yang dilihatnya.
Satu orang berhenti maka yang lainnya ikut berhenti untuk mengetahui apa yang membuatnya berhenti. Lalu kelompok berjumlah enam orang itu menatap hal yang sama. Asap yang keluar dari cerobong salah satu rumah di kota yang seharusnya mati karna penduduknya telah lama pergi.
Di saat yang sama, di rumah dengan cerobong berasap, Realf bangkit. Mengambil roti dari kantong dan menggigitnya.
Hanya dua gigitan kemudian dia berhenti mengunyah. Ekspresinya menegang menatap ke arah darimana kelompok orang asing datang.
Demi kewaspadaan, Realf sudah menyebarkan kekuatannya pada radius seratus meter. Itu jarak yang pas karna tidak terlalu dekat maupun jauh. Yang lebih penting adalah jarak itu tidak akan mengkonsumsi banyak kekuatannya meski dipertahankan dalam waktu lama.
Orang-orang itu berjalan dengan kecepatan sedang, tapi jelas mereka sudah menghilangkan aura dan melangkah hati-hati agar tidak menimbulkan suara berlebihan saat melangkah.
Realf tidak tahu apa yang mereka inginkan. Namun dia tahu tujuan orang-orang asing itu jelas mereka.
“Celian, An Fier, bangun.” Gumam Realf, membangunkan dua orang itu dengan tenang.
Dia mengguncang pelan tubuh Celian dan An Fier, membuat keduanya menggeliat bangun.
An Fier langsung menimang Reeka yang hampir merengek. Saat bayi itu kembali tidur, An Fier menatap Realf penuh tanya.
“Ada apa?” Ini Celian yang bersuara.
Realf menempelkan jari telunjuknya dibibir. Gerakan itu membuat kewaspadaan Celian dan An Fier meningkat ke posisi tertinggi. Realf tidak akan melakukan gerakan itu jika tak ada bahaya.
“Apa kau menemukan pintu belakang?” Bisik Realf bertanya pada Celian. Nadanya tenang. Itu membuat dua adiknya menenangkan pikiran mereka juga. Realf selalu mengajari mereka jika panik tidak akan menghasilkan apapun. Bukan hanya mengajari, saat ini Realf juga mencontohkannya.
“Ada. Aku menemukannya saat mengumpulkan makanan.” Celian mengangguk pasti.
“Bereskan semuanya dan kita keluar lewat sana.”
An Fier melilitkan kain untuk menahan Reeka tetap aman bersamanya selagi dua kakaknya membereskan barang mereka.
Realf mengangguk, mengisyaratkan agar Celian memimpin langkah tenang mereka tepat saat jarak orang-orang itu tinggal dua puluh meter lagi. Gadis itu mengerjap. Tangannya mengepal menahan gemetar. Dia belum lupa sensasi terjebak diantara para perusuh lalu menjadi budak. Itu cukup menakutkan.
Sementara An Fier menggeretakkan giginya memaksa dirinya tetap tenang. Dia tidak bisa membuat kekacauan yang mungkin akan membuatnya dan Reeka bertemu pemberontak lagi. Keberuntungan untuk dibiarkan lolos tidak akan datang dua kali.
Melihat kondisi keduanya. Realf menepuk bahu mereka bersamaan.
“Yakinlah, aku mampu melindungi kalian. Berjalanlah dengan tenang.” Mata penuh keyakinan Realf membuat keduanya memiliki keyakinan itu juga.
Celian dengan langkah tenang namun cepat memimpin mereka menuju pintu belakang. Disusul An Fier lalu Realf yang paling belakang.
Kegelapan tidak membuat mereka gugup. Keremangan ruang tengah, membuat mata mereka lebih cepat beradaptasi dengan kegelapan total.
Saat mereka keluar dari pintu belakang, pemandangan putih mempermudah mereka menentukan jalan. Dibawah langit gelap tanpa bintang mereka menyusuri lorong sempit. Mengabaikan kaki yang tenggelam ke dalam salju, mereka berjalan dengan kecepatan konstan.
“Realf…” Bisik Celian yang mampu didengar mereka saat mencapai jalan utama. “… sebenarnya ada siapa?”
“Entah. Mungkin mereka bagian dari pemberontak. Sekarang mereka sudah menemukan pintu belakang itu.” Gumam Realf tanpa menoleh. Mereka melewati satu perempatan sebelum sampai di jalan utama. Seharusnya mereka butuh berpikir setidaknya beberapa saat sebelum menentukan.
“Bagaimana kau tahu?” Kali ini An Fier yang bertanya. Dia menoleh ke belakang dan tidak bisa melihat apapun selain kegelapan dan warna putih salju.
“Lain kali aku akan menjelaskannya.” Realf mengambil satu kantong pakaian dan selimut yang dibawa Celian, mengisyaratkan gadis itu bergantian dengan An Fier untuk membawa Reeka.
Dia menyebarkan kekuatannya untuk menemukan kuda kelompok itu, namun ternyata jaraknya terlalu jauh dan melawan arah. Itu akan membuang waktu mereka.
Jadi Realf memutuskan membawa mereka menyusuri jalan utama menuju kota selanjutnya. Dengan waspada dia tidak menarik kekuatannya. Kali ini jarak sebar hingga radius lima ratus meter.
Jarak ini mengkonsumsi tenaganya sedikit lebih banyak. Seharusnya itu bukan masalah jika bisa memastikan mereka lolos tanpa bentrok dengan siapapun. Jika bisa Realf ingin menghindari kerugian sekecil apapun.
Realf kembali memilih menghindari jalan utama. Sayangnya dia melupakan jejak mereka yang tercetak jelas di salju hingga sangat mudah diikuti.
Inilah sebabnya setiap pemilik kekuatan yang cukup baik di benua utara akan memilih mempelajari unsur minoritas es untuk mengeraskan salju radius beberapa meter agar tidak meninggalkan jejak. Selain itu juga mempermudah langkah mereka.
Realf yang murni hanya menggunakan kekuatan angin tidak menyadari kelebihan ini, dan tidak mempelajari kemampuan es meski sudah tinggal bertahun-tahun di kota dengan salju menumpuk.
Ketika lebih dari satu kilo meter mereka berjalan dalam ketegangan, Celian yang mendapat giliran menggendong Reeka berhenti. Dia menggerakkan tangannya seolah mengusap keringat imajiner.
“Apa kita bisa beristirahat sebentar?” Tanyanya dengan nafas terengah-engah. Bukan hanya nafasnya yang membeku, bahkan tulangnya pun terasa nyaris membeku.
Realf hampir menyetujuinya, namun tubuhnya menegang waspada saat merasakan beberapa orang mendekat. Dia mendesah. Bagaimanapun dengan kondisi mereka seperti ini, jelas mereka tidak bisa berlari lagi.
An Fier menatap Realf. Kakaknya itu jelas terlihat waspada satu detik yang lalu, tapi sekarang dia terlihat pasrah. An Fier tidak bisa tidak bertanya, “Ada apa?”
“Kalian bisa mempelajari cara bertarung sekarang.” Gumam Realf.
“Eh?”
Bukan saja An Fier, Celianpun menatap Realf bingung. Namun itu hanya sebentar. Karna beberapa orang yang datang mengalihkan perhatian mereka.
Sebenarnya Realf hanya mengucapkan hal konyol, bagaimana mungkin satu orang yang belum membangunkan kekuatan dasar dan satu orang yang belum mencapai tingkat satu bisa mempelajari cara bertarung, alih-alih mempelajari memunculkan dan menstabilkan kekuatan dasar mereka.
“Eh? Jadi ini yang kita kejar? Sekelompok anak kecil?” Ucap salah satu dari orang asing itu tak percaya.
Mereka jelas merasakan sebuah kekuatan nyata. Jadi bagaimana itu bisa berasal dari kelompok anak kecil ini?
Sebagai informasi, setiap pemilik kekuatan yang sudah mencapai tingkat tiga, rasa sensitif mereka terhadap kekuatan lawan meningkat perlahan.
Sayangnya mereka tidak bisa menyadari apa arti dari kekuatan yang bisa disebar seperti itu. Itu pelajaran bahwa seseorang harus rajin membaca dan bertanya untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kekuatan.
“Karna kita sudah bersusah payah, kenapa tidak diambil saja. Rumah bordil masih mau membayar beberapa koin untuk mereka.” Sahut yang lainnya.
Selagi mereka membicarakan akan melakukan apa pada sekelompok anak kecil, Realf menggiring dua adiknya sedikit ke pinggir.
“Aku akan membuat barier disekeliling kalian. Dengar, ini tidak saja bisa memotong apapun yang berniat menggapai kalian, tapi juga bisa memotong kalian jika kalian berusaha keluar. Jadi patuhlah didalam dan perhatikan aku.”
Ucapan Realf sebenarnya adalah untuk memastikan dua anak ini tidak melanggar perintahnya. Tidak mungkin dia membuat sesuatu yang membahayakan keluarganya.
“Realf…” An Fier yang memegang kantung persediaan mereka menatap Realf.
Yang ditatap hanya tersenyum dan mengacak puncak kepalanya. Sebelum berbalik, dia berkata, “Tidak apa-apa. Kita tidak bisa melarikan diri jika tidak mengalahkan mereka lebih dulu.”
Tidak menunggu An Fier atau Celian menanggapi, Realf berbalik. Di saat yang bersamaan barier angin dengan desingan samar aktif disekeliling tiga anak itu. Memisahkan mereka dari Realf dan orang-orang asing itu.
Salah satu pemberontak tertawa saat mendengar ucapan Realf. Dengan angkuh dia berkata, “Kau benar bahwa kalian tidak bisa berlari. Tapi melawan kami? Tolong jangan bermimpi.”
Lima orang dalam kelompok tertawa, sementara satu yang sedari awal tidak bicara apapun mengernyit mengamati barier yang dibuat oleh Realf.
Diantara sekumpulan idiot, pasti ada yang sedikit lebih baik. Orang itu baru akan bicara untuk mengingatkan teman-temannya tentang kemungkinan kemampuan Realf, namun suara Realf terdengar lebih dulu.
“Bisa kita selesaikan ini dengan cepat? Adik-adikku hampir membeku.”
Dari kedua telapak tangan Realf muncul bola angin berukuran sebesar melon. Bunyi ribut berdecit terdengar mengikuti kecepatan putaran angin ditangannya.
Enam orang itu tercengang. Siapa yang menyangka jika bocah berpenampilan kumuh didepan mereka memiliki kemampuan pada tingkat seperti ini.
Disisi berlawanan, An Fier dan Celian menatap Realf dengan pandangan sulit diartikan. Yang paling mendominasi sinar mata mereka adalah ambisi untuk mencapai sesuatu seperti yang dilakukan Realf. Dengan itu, makan akan bisa digunakan untuk melindungi keluarga.
“Karna kalian tidak berniat memulai, maka aku yang memulai.”
Setelah berkata seperti itu, Realf berlari ke arah enam orang itu. Melemparkan satu bola angin saat jarak hanya tinggal empat meter saja.
Enam orang yang sempat terkejut itu berusaha mengelak seadanya karna serangan mendadak. Mereka tidak pernah terpikir hingga satu detik yang lalu, jika pemburu sudah berubah menjadi yang diburu.
Mengambil kesempatan sebagian besar dari mereka belum mendapatkan kesiagaan, Realf meloncat dan bersalto dengan indah di udara.
Melemparkan satu bola angin tersisa ke arah orang yang berada cukup jauh darinya hingga tak menyangka jika dia yang dijadikan sasaran.
Jeritan menyakitkan terdengar saat orang itu terlambat menghindar. Pinggangnya robek, meninggalkan lubang besar dan darah yang berceceran di salju seperti bunga yang menyala.
Dengan wajah pias dia jatuh terduduk. Dengan luka seperti itu, dia akan mati meski hanya dibiarkan saja jika tidak ada pertolongan yang segera datang.
Tidak tertarik dengan hasil serangannya, Realf segera menciptakan bumerang dari angin dengan cara yang sama. Tanpa ragu dia menyerang dua orang sekaligus. Salah satunya adalah si pendiam.
Belajar dari temannya yang terluka, lima orang yang tersisa tidak berani gegabah. Meski wujudnya anak kecil, kekuatannya jelas tingkat empat. Dia mampu menciptakan senjata yang bisa dilihat secara nyata.
Lima orang tersisa secara merata adalah tingkat tiga pada kekuatan dasar mereka, dan tingkat yang lebih rendah pada kekuatan unsur minoritas.
Kekuatan unsur minoritas selalu lebih rendah dibanding kekuatan dasar bawaan. Paling bisa menyamai tapi tidak mungkin melebihi tingkatan kekuatan dasar.
Lalu sekarang mereka melihat anak kumuh yang memiliki kekuatan tingkat empat. Mereka selalu tahu jika anggota suku angin kebanyakan jenius. Siapa yang menyangka mereka akan menemukan satu ditempat dan situasi tak terduga.
Mereka saling lirik untuk membuat keputusan. Jarak antara kekuatan tingkat tiga dan tingkat empat cukup jauh. Sebagai gambaran, pemilik kekuatan tingkat empat bisa menghadapi sepuluh pemilik kekuatan tingkat tiga sekaligus tanpa khawatir kalah. Perkiraan kemenangan tingkat empat adalah delapan puluh persen. Sisanya tergantung kebijaksanaan dalam menghadapi lawan.
Melihat jika sekarang mereka hanya berlima, terlebih mereka tidak tahu bocah itu pengguna kekuatan murni atau memiliki beberapa kekuatan unsur minoritas. Jika dia menggunakan unsur minoritas, itu akan lebih merepotkan.
Tidak membiarkan mereka berpikir terlalu lama, Realf sudah melemparkan dua bumerangnya. Itu bisa dihindari kelompok yang sudah siaga.
Karna terlalu fokus mengepung dan berniat menggunakan pengalaman bertarung sebagai keunggulan, mereka melupakan jika bumerang adalah senjata unik.
Saat sepasang bumerang Realf kembali, sepasang lainnya telah tercipta dikedua tangan Realf. Ini membuat lima orang itu menggeretakkan giginya. Keadaan mereka semakin terjepit.
Sungguh konyol.
Tidak memiliki waktu untuk mundur, lima orang itu kewalahan menghadapi bumerang Realf yang lebih padat dari perkiraan. Terlebih Realf seperti membabi buta, saat satu senjatanya berhasil dilenyapkan maka detik berikutnya akan muncul senjata baru yang menyerang lima orang itu bertubi-tubi.
An Fier dan Celian tercengang menatap pertarungan itu. Saat Realf selalu mengatakan bisa melindungi mereka, itu benar-benar tidak disangka akan benar-benar mampu.
Mereka tidak tahu bagaimana mengukur tingkatan kekuatan Realf, tapi satu yang pasti. Realf bahkan lebih kuat dari pada lima orang itu.
“Celian, kau tahu Realf sekuat ini?” Gumam An Fier. Satu sisi dia terkejut, namun disisi lain dia terpesona. Keinginannya untuk memiliki kekuatan semakin nyata. Di bertekad suatu hari nanti akan sekuat Realf, atau jika bisa lebih kuat dari Realf.
“Kau bercanda? Dia sangat pelit membagikan kemampuannya.” Gerutu Celian.
“Kita akan sekuat itu kan?”
Celian menatap An Fier yang matanya berkelap-kelip terpesona oleh kemampuan Realf. Dia beralih menatap Realf. Celian mengangguk dan menjawab, “Tentu saja. Kita bahkan akan lebih kuat dari si pelit itu.”
Pertarungan berakhir dengan cepat. An Fier terkejut mengetahui Realf benar-benar membunuh enam orang itu tanpa ampun. Dia menghampiri Realf yang terciprat darah dibeberapa bagian tubuhnya saat barier yang dibuat kakaknya itu lenyap.
“Realf.” Dengan ragu-ragu An Fier mendekatinya.
Realf menatap An Fier lalu tersenyum kecil. Mengusap darah diwajahnya dengan punggung tangan, dia menepuk kepala bocah itu dengan tangan lainnya menenangkan.
“Jika aku tak membunuh mereka sekarang, bukan tidak mungkin mereka akan mencari kita dengan membawa orang kuat lainnya untuk membalas dendam. Itu akan merepotkan.” Ucap Realf menjelaskan sebelum ditanya.
An Fier mengangguk mengerti. Meski ini pembunuhan manusia yang dia lihat pertama kalinya, dia tidak memiliki perasaan apapun. Yang terpenting baginya adalah tetap melihat kakak-kakaknya dan adiknya.
“Bagaimana dengan mayat mereka?” Celian bertanya. Dia menendang salah satunya hingga terguling. Sebuah kantung koin terjatuh. Membuat Celian bersusah payah membungkuk untuk memungutnya sekaligus menjaga Reeka agar tak terbangun.
An Fier yang melihat itu cemas Reeka akan terjatuh. Dia segera mengambilnya dari Celian. Membiarkan gadis itu memunguti kantong koin dari lima orang tersisa.
Dia menoleh dan mendapati Realf sudah membuka pakaian luarnya. Menggulung dengan bagian yang kotor berada didalam, dia memasukkan itu ke bagian terpisah kantong persediaan mereka. Lalu mengambil pakaian luar lainnya untuk dikenakan.
“Kita pergi sekarang. Kita tidak tahu siapa lagi yang akan datang.” Ajak Realf.
“Tapi kita tetap akan melewati kota kan?” Ucap An Fier menatap Reeka dengan cemas. Selama diperjalanan, bayi ini tidak beristirahat dan makan dengan baik. Dia khawatir Reeka akan jatuh sakit lagi.
“Kita akan menghindari jalan penghubung utama. Tapi kita akan selalu mencari rumah kosong untuk persinggahan setiap dua hari sekali.” Sahut Realf. Dia meraih liontin Reeka. Menyalurkan energi internal dan mengaktifkan perisai transparan yang bisa memberi bayi itu sedikit kenyamanan.
“Bagaimana kau melakukannya?” Tanya An Fier melihat bayi dipelukannya seperti dibungkus dengan selaput transparan yang elastis. Itu akan luput jika tidak benar-benar diperhatikannya.
“Dengan menyalurkan energi internal, kau bisa mengaktifkan perisainya. Bukan hanya bisa melindungi Reeka dari benturan keras, ini juga bisa membantu saat Reeka demam.”
An Fier menatap perisai dengan terpesona. Jemarinya menyentuh perisai yang terasa hangat. Pakaiannya terlalu tebal untuk merasakan perisai yang menjadi pembatas antara dirinya dan Reeka digendongannya. “Apakah aku akan bisa mengaktifkannya?”
Dia pikir akan baik jika bisa mengaktifkannya. Setidaknya Reeka tidak akan terlalu menderita karna demam disaat Realf sedang pergi.
“Kau akan.” Sahut Realf pasti.
“Lihat. Mereka memiliki koin yang cukup banyak. Ini cukup untuk membeli makanan enak yang banyak.” Ucap Celian riang. Dia memamerkan kantung-kantung kecil penuh koin.
“Baiklah, kita akan makan enak saat sampai di El Ceza. Sekarang kita harus jalan.”
Realf menarik kantong perbekalan mereka yang kembali menggembung setelah Celian mengisinya di rumah yang mereka singgahi tadi.
Celian cemberut mengikuti dibelakang An Fier. Dia mengaitkan kantong koin di celananya dengan kuat. Berharap itu akan tetap disana meski dia menggendong Reeka nanti.
“Benarkah tidak ada kota aman yang lebih dekat dibanding El Ceza?” Tanya Celian lesu.
Realf memutar bola matanya. Gadis ini lebih rewel daripada Reeka. Meski begitu dia masih tetap menjawab. “Tidak ada. El Ceza adalah yang terbaik untuk saat ini hingga beberapa tahun ke depan.”
Realf mendengar jika pimpinan kotanya adalah rumah ke tiga belas Klan utama. Itu menjadi jaminan jika mereka akan aman dari pemberontak setidaknya beberapa tahun. Rumah cabang Klan utama tentu bukan kekuatan yang bisa diremehkan.
Setelah malam itu, Realf menjadi lebih waspada dalam memperhitungkan perjalanan mereka. Menyebarkan kekuatannya dalam radius satu kilo meter yang bisa membuatnya memiliki waktu membawa adik-adiknya menjauh dari bentrokan lagi. Meski dia harus beristirahat sedikit lebih sering karna ini dan memperlambat perjalanan, tapi layak dilakukan.
Karna hal itu, selain Reeka yang membuat khawatir dengan berkali-kali sakit dan sedikit kelaparan, tidak ada yang terjadi. Pada hari ke tiga puluh sembilan setelah memulai perjalanan, mereka bisa melihat gerbang besar yang menjulang ke langit. Ini adalah pintu masuk ke kota El Ceza.
Melihat hiruk pikuk antrian panjang, mereka mendesah lega. Akhirnya, mereka akan memiliki tempat untuk bisa beristirahat dengan tenang tanpa harus khawatir bertemu kelompok pemberontak atau perusuh.
Mereka ikut berbaris di antrian yang terlihat sedikit lebih pendek. Sebenarnya bagaimanapun dilihat itu sama panjangnya dengan dua barisan antrian lainnya. Tapi terlalu banyak memilih justru akan membuat kehilangan tempat.
“Realf, seperti apa kota El Ceza? Apa itu ramai? Apa itu bagus?” Tanya An Fier antusias.
Sebenarnya ini adalah pertama kalinya bagi An Fier memasuki kota, maksudnya kota yang benar-benar kota. Belum tersentuh pemberontak dan perusuh.
“Kalau tidak ramai dan bagus maka itu bukan kota, tapi rumah kita yang dulu.” Cibir Celian yang sibuk menenangkan kerewelan Reeka.
Hari ini bayi itu hanya menelan beberapa suap makanan. Sisanya dimuntahkan. Entah apa yang salah. Padahal dia tidak demam.
Mengabaikan kesinisan Celian, An Fier mengelus-elus kepala dengan sedikit rambut milik Reeka. Dengan nada menenangkan dia berbicara, “Bersabar, oke. Sebentar lagi kita akan memiliki hari yang lebih baik. Makanan yang lebih baik juga.”
“Tolong jangan membodohi bayi. Hanya beberapa koin tidak akan memperbaiki kemiskinan kita begitu tiba-tiba.” Cemooh Celian.
Realf hanya tertawa mendengar perdebatan mereka dimulai.
**********
Aaaa, gue suka banget ama ini cerita. Semangat terus kak, ganbatte
[…] << Sastra Jendra 3 […]
[…] Chapter 3 […]
Perjalanan yang begitu sulit .. mereka masih belum tiba di El Ceza kah ??