Author : Keyikarus

[Chapter 18]

“Semua penghuni rumah ini mengalami teror semacam itu setelah… ku pikir Yumi dan temannya melakukan permainan memanggil makhluk halus.” Yanzi menjelaskan dengan singkat.

Mendengar ucapan Yanzi, Regalih memiliki pencerahan. Mungkin teman Yumi yang dimaksud itu termasuk Arlene. Jika iya, itu akan masuk akal. Tidak mungkin adiknya tiba-tiba mengalami teror tanpa penyebab. Namun ada yang membuat Regalih sedikit penasaran.

Regalih menatap Yanzi beberapa saat. Lalu dengan ragu-ragu dia bertanya, “Termasuk kau?”

Yanzi menatap Regalih seolah-olah menatap bocah yang masih merangkak. Tapi dia tetap menjawab, “Ya.”

Regalih menghela nafas. Dia pikir, seperti apa ekspresi ketakutan Yanzi? Pria yang terkenal acuh tak acuh ini apakah akan berteriak seperti Arlene atau bagaimana? Tiba-tiba saja Regalih merasa salah fokus.

Dia menggelengkan kepalanya dan mengembalikan fokusnya menatap Yanzi, “Apa kau ketakutan? Aku lihat kau baik-baik saja. Maksudku dibandingkan adikku yang nyaris gila.” Gumamnya.

Seketika wajah Yanzi semakin datar mendengar pertanyaan itu. Dia tidak terlalu mengenal Regalih selain nama, jadi dia tidak begitu paham karakternya.

Sebenarnya mungkin akan mudah mengetahui gambarannya jika Yanzi mau mendengarkan cerita orang. Regalih cukup dikenal.

Regalih adalah orang yang memiliki rasa penasaran pada kekurangan orang sedikit lebih banyak daripada orang lain. Namun dia sangat mudah menyerah. Diluar kedua hal itu, pribadinya adalah normal.

Sayangnya Yanzi bukan orang yang sabar mendengarkan cerita tentang orang lain yang tidak diperlukannya.

“Lebih baik kau mengatakan tujuanmu datang ke sini.”

Regalih berdehem mendengar ucapan Yanzi.

“Maafkan aku, sebelumnya aku penasaran, kenapa semua penghuni rumah ini diteror sedangkan dirumahku hanya Arlene?”

“Kau ingin diteror?”

“…” Regalih merasa Yanzi ini tidak menyukainya. Daripada menjawab, dia lebih senang membalikkan pertanyaan. Betapa menjengkelkan.

Sedangkan Yanzi hanya berpikir tak perlu menjawab pertanyaan yang dia tak tahu jawabannya.

Mengembalikan ketenangannya, Regalih kembali fokus. “Baiklah. Jadi apakah kau… maksudku seluruh penghuni rumah ini masih mengalaminya atau sudah menemukan solusinya?”

“Kami sudah.”

Wajah Regalih menjadi cerah mendengar jawaban itu. “Katakan padaku, bagaimana membuat adikku kembali seperti semula?”

Yanzi mengingat Yumi yang tidak serta merta kembali seperti semula setelah para hantu itu di usir. Bahkan sekarang dia juga merasakan sesuatu yang aneh namun tak dapat dijelaskan dirumahnya sejak Yumi pergi. Yah solusi untuk satu hal terkadang tidak bisa digunakan memperbaiki hal lainnya atau mungkin efeknya.

Kenyataannya tidak ada yang kembali seperti semula. Tapi dia tidak keberatan memberi Regalih jalan. Karna sejujurnya itu juga jalannya untuk mengejar seseorang.

Benar, dia sudah memikirkannya. Fakta jika dia mengetahui Juena membicarakan kematian seperti membicarakan cuaca sama sekali tidak mengubah hasratnya memiliki bocah itu. Lagipula dia sendiri juga bukanlah orang suci. Jadi dia akan menuruti keinginannya membuat jalan untuk memakan bocah itu.

“Aku bisa mengantarmu dan Arlene ke tempat dukun yang membantuku.” Tawar Yanzi dengan baik hati.

“Dukun? Memangnya yang seperti itu bisa dipercaya?” Gumam Regalih meragukan.

Dia sudah banyak melihat dukun cabul, dukun penipu pengganda uang dan dukun-dukun lainnya di acara berita. Kesan dukun dikepalanya itu sama sekali tidak bisa dipercaya.

“Jika begitu, kau bisa membawanya ke dokter.” Saran Yanzi acuh tak acuh.

Regalih terdiam. Dia sudah tahu bagaimana tidak bergunanya seorang dokter untuk kasus seperti ini. Dia sudah dengan keras kepala mendatangkan psikiater saat pertama kali Arlene memiliki tanda-tanda ketakutan ekstrem dan tidak membuahkan hasil baik.

Dia yang tidak pernah mempercayai praktek perdukunan mulai goyah. Melirik Yanzi, dia berpikir. Jika orang acuh dan masuk akal seperti Yanzi mempercayainya, maka tidak akan masalah baginya untuk mempercayainya juga. Jika tidak berhasil dan orang yang tahu akan menertawakannya, maka dia akan menyebutkan nama Yanzi.

“Baiklah, kapan kita bisa menemui dukun itu? Tapi ku rasa aku tidak bisa membawa Arlene dulu. Dia bahkan akan menjerit histeris hanya dengan bergeser dari sarangnya.”

Regalih dengan muram mengingat Arlene yang sulit diatasi. Dia sudah berkali-kali berpikir ingin menyerahkan perawatan Arlene pada seseorang. Namun dia tidak bisa membiarkan rumor adiknya mengalami gangguan jiwa tersebar.

“Sabtu nanti.”

“Kenapa sabtu? Arlene membutuhkan pertolongan secepatnya.” Protes Regalih.

“Aku hanya memiliki waktu sabtu nanti.” Ucap Yanzi datar.

“…” Regalih seharusnya tahu jika Yanzi memang seperti ini. Dia bahkan tidak menganggap adiknya lebih penting dari pekerjaannya.

Tapi karna untuk sekarang dia hanya bisa mengandalkannya, Regalih mensugesti dirinya agar bisa bersabar untuk beberapa hari. Dia menekan kekhawatirannya terhadap kondisi adiknya. Setelah nyaris satu bulan ketakutan adiknya, menunggu beberapa hari seharusnya bukan masalah.

Regalih akhirnya setuju. Sebelum dia pergi, dia menekankan agar Yanzi tidak membocorkan masalah adiknya pada siapapun.

Lalu sabtupun tiba. Yanzi kembali menyewa Rory yang diam-diam menggerutu karna atasannya melarangnya menolak permintaan pelanggan seperti Yanzi, juga Devon yang kali ini siap dengan berbagai jimat. Orang ini terlihat cukup bersemangat.

Sementara dua kursi depan terisi oleh Rory dan Devon, dikursi belakang, Yanzi bersama Regalih. Karna sejak awal Yanzi menyarankan Regalih untuk membawa dua orang sebagai bodyguard sekaligus pembawa barang yang disarankannya, maka ada satu mobil lagi dibelakang mereka. Itu berisi tiga orang bodyguard Regalih dan barang bawaannya.

Regalih menganggap instruksi Yanzi dikarenakan tempat yang akan mereka datangi cukup berbahaya, karna itu dia semakin berkeras tidak mau membawa Arlene bersamanya sekarang.

Siapa yang tidak berpikir begitu jika disarankan membawa bodyguard dengan kualifikasi bagus.

Saat mereka sampai ditepi hutan, Regalih mengernyit. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru dengan waspada. Lalu tatapannya jatuh pada Yanzi yang menutup laptopnya dan memberikan pada Devon.

Regalih ingin mencibir betapa pekerja kerasnya Yanzi karna membawa pekerjaannya kemana-mana. Tapi dia menahannya, karna kenyataannya Yanzi memang pekerja keras. Jika tidak, pria itu tidak akan memiliki prestasi yang jauh lebih bagus daripada dirinya  padahal usianya hanya tiga tahun diatasnya

“Kenapa di dalam hutan alih-alih disalah satu rumah adat yang kita lewati? Apakah dia kriminal yang bersembunyi?”

Yanzi menatap Regalih datar. Pria ini patut dipuji dengan seluruh pemikirannya. Jika dipikir kembali, mungkin saja Juena memang kriminal. Dia menahan seseorang dengan semena-mena, membiarkan hantu miliknya memperkosa orang itu dan bahkan ada yang meninggal. Rasanya itu pas jika disebut kriminal.

Tapi yang aneh, Yanzi sangat rajin mendatangi kriminal itu.

“Simpan tenagamu untuk berjalan.” Gumam Yanzi dan memimpin langkah enam orang dibelakangnya.

Setengah perjalanan berlalu, Regalih sudah mengeluh. Dia yang biasanya mendatangi hutan untuk berwisata, tidak pernah menyangka akan mengalami berjalan berkilo-kilo demi Arlene tanpa peralatan yang memudahkan seperti Chairlift atau sejenisnya.

Belum menemui dukun yang dimaksud, Regalih sudah merasa seharusnya dia menyerah saja dan membiarkan orangtuanya tahu kondisi Arlene lalu pulang dan mencari solusi. Tidak perlu dirinya yang harus bersusah payah seperti ini.

Saat sore hari, akhirnya mereka sampai. Regalih langsung duduk di kursi lipat yang dibawakan bodyguardnya. Dia tidak memiliki minat menatap sekitar. Keinginannya saat ini hanyalah tidur.

Regalih bukan orang yang suka olah raga. Fisiknya kurang lebih sama seperti Alan. Hanya saja kontur wajahnya lebih tegas dibanding Alan yang sedikit halus. Juga warna kulitnya jelas tidak pucat seperti Alan, melainkan coklat muda yang bersih. Postur tubuhnya pun sedikit montok jika dibandingkan Alan yang ramping, namun akan terlihat terlalu empuk jika dibandingkan dengan Yanzi yang rutin berolahraga.

Ketiga bodyguard Regalih mengamati sekitar dan memiliki kejutan yang melintas pada ekspresi mereka. Sama seperti saat Yanzi pertama kali datang bersama Rory dan Alan.

Sedangkan Rory dan Devon memilih mendirikan tenda. Setiap kemari, bosnya selalu dengan senang hati menginap. Mungkin mereka harus mendirikan satu pondok disamping pondok Juena.

Yanzi sebenarnya ragu, tapi dia akhirnya mengetuk pintu pondok Juena. Dua kali dia ke sini, di waktu ini Juena masih tertidur. Dia seharusnya tidak mengganggu, hanya saja, lima hari tidak melihat Juena cukup membuatnya memimpikannya setiap hari.

“Mmn, buka pintunya.” Terdengar gumaman malas dari dalam.

Yanzi pikir Juena mengatakan itu padanya, namun dia sadar jika ucapan itu untuk sosok lain saat pintu terbuka sebelum dia sempat membukanya.

Dia melihat Juena sedang duduk bersila di karpet tebal, didepannya ada lembaran kertas dan tumpukan uang mainan. Juga berceceran benda-benda berukuran kecil. Dia tidak pernah memainkannya, tapi dia jelas tahu jika itu adalah permainan monopoli.

Sedangkan Juena yang mendongak, wajahnya langsung memerah malu saat melihat Yanzi. Dia pikir yang datang adalah anak indigo yang terbiasa datang enam bulan sekali. Ini adalah waktunya.

“Ah… kamu. Bereskan semua.” Gumam Juena.

Yanzi yang tahu jika Juena malu dari ekspresinya langsung masuk dan duduk didepan bocah itu. Dia memiliki ide untuk membuat interaksi mereka semakin sering.

“Kenapa? Aku bisa menemanimu bermain.” Ucapnya tanpa ragu.

Juena harus mendapatkan sujud dari banyak pebisnis karna membuat Yanzi yang acuh dan serius menawarkan diri bermain bersamanya.

“Tidak. Tidak. Kita terlalu tua untuk permainan seperti ini.” Juena dengan cepat menolak. Wajahnya semakin merah padam jika mengingat umurnya.

Yanzi merasa senang melihat wajah memerah Juena. Kulitnya yang putih nyaris transparan membuat warna merah itu semakin jelas. Bola mata vertikal yang memukau miliknya bergerak gelisah. Sungguh penampilan yang menggemaskan.

“Ini permainan semua umur.” Ucap Yanzi. Jangan berpikir dia mengatakannya karna tahu, tapi dia hanya ingin membuat Juena mau bermain dengannya. Berinteraksi lebih dengannya.

“Begitukah?” Juena menggaruk pipinya dengan satu jari telunjuknya.

Diantara semua jarinya, memang hanya satu itu yang menyembul keluar dari lengan baju kepanjangannya. Kali ini Juena mengenakan kaos lengan panjang yang sangat longgar, juga celana jeans ketat berwarna senada.

Yanzi pikir, jika celana jeans itu dihilangkan, Juena akan terlihat erotis seketika. Gerakannya, wajah merahnya, bulu mata lentiknya, bibir mungilnya, leher juga bahu putih yang menggoda juga kaki jenjang yang cantik, yang akan semakin cantik jika direntangkan. Memperlihatkan bagian yang paling ingin dilihat Yanzi.

Membayangkannya, membuat Yanzi mengeras.

******


<< JUENA 17

Recommended Articles

0 Comments

  1. ini masih lanjut kan yaa ?
    apa udahan ?

    1. Maksudnya udahan?
      Kalo itu gak sampe tamat, ini bakalan tamat kok~~~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!