Author : Keyikarus
[Chapter 25]
Tuyul itu dengan santai melingkarkan tangannya di pinggang Regalih yang tak sadarkan diri. Dia menentengnya, membawanya ke depan Juena. Membiarkan tuannya itu menyentuh tangan Regalih.
Kurang dari sepuluh detik, Juena selesai membuat ukiran sars sederhana. Jauh lebih sederhana dari ukiran sars yang ada pada setiap hantu miliknya. Dia lalu melambaikan tangannya, membiarkan dua hantu itu pergi membawa tawanannya masing-masing.
“Tunggu… tungguuuu…” Jeritan Alan tertelan lingkaran teleportasi mas Kun.
Kini tinggal Juena dan Yanzi yang berada di ruangan itu. Yanzi merasa lega. Setidaknya jika Alan masih mampu berteriak-teriak seperti itu berarti dia baik-baik saja. Dia akan memiliki hal yang bisa dikatakan pada Louis.
“Bukankah kau harus kembali pulang?” Tanya Juena sambil menguap malas. Matanya sudah berat. Hari ini semuanya kembali mengkonsumsi energinya demi meningkatkan kemampuan mempertahankan wujud solid sedikit demi sedikit.
“Apa yang kau tulis pada Regalih?” Tanya Yanzi. Sekarang dia memiliki keinginan untuk tahu pada semua yang dilakukan Juena.
Bukan karna prasangka tentang Juena yang akan mencelakai Regalih, namun hanya karna itu dilakukan Juena maka Yanzi memiliki keinginan untuk tahu.
“Mmn membuatkannya kontrak agar bisa bertahan di alam hantu. Alan juga memilikinya. Itu akan bertahan selama tiga bulan.” Jelas Juena dengan nada lesu.
Yanzi mengerutkan keningnya. Dia tidak melihat Juena melakukannya pada Alan. Namun jika Juena mengatakannya berarti memang melakukannya.
Dia ingin bertanya beberapa hal lagi namun Juena sudah mendengkur halus. Sepertinya bocah itu benar-benar mengantuk.
Yanzi mengulurkan tangannya menyentuh wajah Juena. Dia berbisik sebagai ucapan pamit karna dia harus pulang. Lagipula dia harus mengurus Arlene juga kan? Pada akhirnya Yanzi merasa dia jadi mengerjakan hal-hal untuk Juena.
Saat Yanzi membuka pintu, seorang pria berpenampilan Flamboyan berpapasan dengannya. Dia pria yang Yanzi lihat dari ingatan Kuntilanak beberapa waktu yang lalu.
Pria itu tersenyum ramah, lalu dengan gaya elegan duduk santai di karpet tak jauh dari Juena yang tertidur. Melihat Yanzi memperhatikannya, dia mengumbar senyumnya dan dengan ramah berkata: “Ada yang bisa ku bantu?”
“Ya. Jangan sentuh Juena.” Gumam Yanzi sebelum menutup pintu dan melangkah pergi.
Pria itu terdiam beberapa saat sebelum tertawa keras. Dia tidak mengerti maksud ucapan itu. Apanya yang jangan sentuh Juena? Memangnya dia pikir dirinyaa bisa melakukan apa pada tuannya sendiri? Dasar manusia aneh.
Tanpa mengangkat kepalanya, Juena melayangkan tangannya memukul kepala pria itu. “Babi ngepet sialan. Tidak bisakah kau diam?!” Gerutunya sebelum kembali tidur.
“Namaku Petra. Tolong.” Bisiknya kesal nyaris tanpa suara.
Tuannya ini sangat tidak kreatif. Memberi nama hantunya dengan nama jenis mereka. Lihat saja Banaspati, Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul… itu masih bisa diterima. Lalu apa maksudnya memberinya nama babi ngepet? Itu adalah jenisnya, bukan namanya. Tolong diingat!
Terserah saja jika yang lain bisa menerima. Tapi dia sama sekali tidak, meskipun tidak berani memprotes dengan keras.
Jenis itu akan menimbulkan hal rancu jika dijadikan nama. Contohnya Banaspati, jenisnya jelas masih terbagi dua, satu Banaspati api dan satu Banaspati tanah liat. Jadi memberi nama dengan nama jenis itu seharusnya sangat amat dilarang.
Sayangnya dia tidak bisa mengatakan hal ini dengan lantang pada tuannya.
Diluar, Yanzi sudah berjalan menelusuri hutan. Dia menyesalkan tidak adanya kemajuan berarti antara dirinya dan Juena. Lain kali jika dia akan pergi seperti ini, maka Juena seharusnya melakukan hal-hal yang lebih baik. Seperti memberikan pelukan misalnya.
Yanzi berpikir ragu-ragu mengingat ada yang belum ditanyakannya pada Juena. Dimana para pengawal Regalih berada?
Tapi dengan cepat dia tidak lagi memikirkan itu. Karna nyaris semalaman tidak tidur, dia memilih tidur dimobil hingga sampai ke rumahnya.
“Yanzi, kemana saja kamu?” Tanya Marina begitu melihat putranya memasuki rumah.
Semalaman dia begitu mengkhawatirkan putranya yang tak pulang. Ponselnya bahkan sulit dihubungi. Membuat Marina gelisah dan tak bisa tertidur nyenyak. Terlebih dia seperti merasakan sesuatu mengamatinya sepanjang malam.
“Ada sesuatu yang harus ku lakukan. Ibu, mungkin seterusnya setiap akhir pekan aku tidak bisa tinggal di rumah.” Yanzi mengecup pipi ibunya dan langsung menuju kamarnya.
Marina dengan rasa penasaran mengikuti ke kamar putranya. Dengan cemas dia bertanya, “Tapi kemana kau pergi? Kau tahu, kemarin siang Daren datang kemari mencarimu.”
Yanzi menghentikan gerakannya melepas pakaian. Dia menatap ibunya dan bertanya, “Apa yang dikatakannya?”
Marina menghela nafas dengan sedih. Lalu dengan lesu dia menjawab, “Kau tahu kan, sebentar lagi ulang tahun kakekmu. Mereka mengundangmu. Apa kau akan pergi?”
Dia tak pernah lupa bagaimana keluarga itu memperlakukannya. Tapi dia juga tak bisa melupakan rasa cintanya pada ayah Yanzi dan Yumi begitu saja. Jika putranya itu tak membangun usahanya sendiri dan memilih meninggalkan keluarga itu, mungkin saja dia masih bisa menatap pria itu meski hanya sebentar setiap harinya.
Yanzi bukan orang bodoh yang tak bisa membaca pemikiran ibunya. Namun dia mengabaikannya.
“Jangan berharap aku akan datang. Sudah sejak lama aku memutuskan jika aku bukan bagian dari mereka.” Gumam Yanzi acuh tak acuh.
“Yanzi, kau tidak boleh mengatakan hal seperti itu. Paling tidak disana ada ayahmu.” Bujuk Marina.
Yanzi mengangguk. Namun sama sekali tak memasukkan bujukan ibunya ke dalam hati. Dia lebih memilih masuk ke kamar mandi.
Ini salah satu dari banyak hal yang tak disukai Yanzi dari ibunya. Dia begitu mengagungkan cinta, padahal jelas, diantara semuanya, ayahnyalah yang paling mengabaikannya.
Jika ayahnya sedikit saja peduli pada mereka, mungkin Yanzi tak akan berpikir keluar dari lingkaran keluarga itu.
Tapi setelah bertahun-tahun dia pergi, kenapa sekarang mereka memanggilnya lagi. Sungguh sangat disayangkan karna Yanzi sama sekali tidak berminat dengan segala hal yang berhubungan dengan mereka.
Saat dia keluar dari kamar mandi, ibunya sudah tidak ada dikamarnya. Yanzi melirik jam dinding. Pukul delapan malam. Dia mengambil gagang telepon dan menghubungi kediaman Wijaya.
“Bisakah aku bicara dengan Kalingga?” Ucap Yanzi saat mendengar suara pelayan yang menjawab. Kalingga adalah putra pertama keluarga Wijaya.
“Kalau begitu hanya ada Arlene dirumah?” Ucapnya lagi setelah mendengar penjelasan pelayan keluarga Wijaya yang mengatakan jika Kalingga dan kedua orang tuanya belum kembali dari luar negri.
“Katakan pada Arlene, aku akan berkunjung.”
Yanzi memutuskan sambungan setelah memastikan pelayan itu mengiyakan. Regalih harus berterima kasih karna dia mau mengurusi adiknya. Sungguh pekerjaan merepotkan yang tidak ada untungnya.
Kecuali jika malam ini dia bertemu Juena.
Yanzi menyempatkan makan malam bersama ibunya sebelum pergi bersama supirnya ke kediaman Wijaya.
Setelah mengamati beberapa saat, Yanzi menyimpulkan jika tidak ada aura apapun yang seolah mengancam dirumah ini. Para pelayan masih terlihat semarak dan normal.
Lalu saat dia melihat kondisi Arlene yang berusaha menyambutnya, Yanzi menilai kondisinya jauh lebih mengenaskan dari Yumi sebelumnya.
Dia duduk didepan gadis yang tak berhenti gemetar dan bergerak gelisah. Seolah dia akan mati jika tak melakukan itu. Yanzi memperhatikan mata cekung dan bibir pucatnya yang menyedihkan. Bahkan secara keseluruhan terlihat menyedihkan karna yang bisa dilihat hanyalah kulit dan tulang saja.
“Apa yang membuatmu mengurung diri?” Tanya Yanzi.
Arlene mengangkat wajahnya. Matanya yang suram dan penuh kabut ketakutan menatap tepat pada mata Yanzi. Dengan gemetar dia berusaha menjawab. Namun justru air matanya yang luruh lebih dulu.
“Sekolah sudah dimulai sejak seminggu yang lalu bukan? Sudah waktunya kau kembali ke sekolah.”
Arlene semakin terisak dan menggeleng kuat saat mendengar ucapan Yanzi. Kedua tangannya yang kurus kewalahan saat berusaha menghapus air matanya.
Yanzi dengan tenang meraih tisu diatas meja. Dengan pelan namun pasti dia memegang tangan gadis itu dan menghapus air matanya. Membuat wajahnya yang kuyu terlihat sedikit lebih baik.
“Dengar. Abangmu sudah melakukan sesuatu untuk mendatangkan seseorang yang bisa mengusir apapun yang mengganggumu. Sebagai gantinya, dia tidak bisa pulang selama tiga bulan mendatang. Maka kau harus menjelaskan hal itu pada orang tuamu setelah ini. Kau mengerti?”
Yanzi tidak memiliki batas atas dalam hal memanfaatkan sesuatu. Pekerjaannya cukup banyak, dia tidak akan memiliki cukup waktu menjawab keingintahuan para orang dewasa di keluarga ini. Maka Arlene lah yang harus mengatasi abang dan orangtuanya yang menanyakan Regalih nanti.
“Apa?” Akhirnya Arlene mampu mengeluarkan suara serak yang mengerikan. Itu menjelaskan seberapa banyak dia menangis.
“Kau mendengarku cukup jelas.”
Arlene menatap wajah Yanzi lekat-lekat seolah mencari kepastian. Lalu dengan hati-hati dia bertanya, “Benarkah?”
“Ya. Kau akan baik-baik saja setelah malam ini.” Ucap Yanzi meyakinkan.
Dia menilai kualitas mental Arlene jauh lebih baik daripada Yumi. Gadis ini jelas mendapatkan teror lebih lama dari Yumi, namun dia masih mengerti dengan baik ucapannya. Terlebih dia masih memiliki harapan pada apa yang diucapkannya.
*******
[…] Chapter 25 […]
Yanzi mengejek ibunya yang buta oleh cinta tapi dia juga melakukan hal yang sama pada Juena .. aitya
[…] << Oh! Juena – 25 […]