Chapter1. SEMESTA
Namanya saja Semesta, apa karena itu hadirnya mampu dengan mudah menguasai semua panca indraku? Ahhh, tidak. Ini sudah dipastikan karena aku saja yang terlalu menyukainya. Diam-diam seperti ini rasanya cukup mendebarkan. Lagi pula, aku akan malu sekali jika sampai dia tahu aku menyukainya dengan sangat. Tetapi aku juga sangat ingin dia tahu jika aku menyukainya. Aarrhg! Mauku apa sih?!
Dari pada pusing memikirkan nasib masa depanku yang sangat tidak menjamin, lebih baik aku menemui abangku saja untuk meminta saran.
“Bang?” Begitu sampai dan memasuki kamar, segera aku memanggil abang semata wayangku ini yang sedang sibuk mengerjakan tugas kantornya. Hampir setiap malam dia selalu mengerjakan tugas kantor tanpa ingat waktu.
“Serius amat sih bang, nggak denger adeknya manggil.”
“Ini gue denger, bego.” Seperti biasa abangku membalas, kata kasar tak pernah terlepas dari setiap dialognya. Cukup merekahkan tawaku. Tanpa menoleh padaku, tetap fokus pada pekerjaannya abangku bertanya.
“Ada apaan nyariin gue? Duit jajan lo habis?”
Lagi, tawaku merekah hanya karena ucapannya.
“Pikiran lo jelek banget sih bang, tapi kalo lo mau ngasih jatah lagi ya sini gue terima.”
“Babi lo!”
“Ahahahah apa sih bang, bahasa lo sialan banget ke adeknya!”
“Terus lo ada apaan kesini? Cepet keluar! Gangguin gue aja.”
“Mau nanya.” Kataku dengan merebahkan diri pada ranjang empuk milik abangku.
“Nanya apaan?”
Aku tidak langsung membalas, sejenak aku berpikir dan barulah bersuara.
“Abang pernah nggak sih kalo liat orang rasanya tuh deg-deg kan?”
“Kalo liat cewe cantik ya gitu gue.” Cepat sekali abangku menjawab.
“Ya, nggak harus cantik kan bang…”
“Ohhh, lo suka cewe jelek?”
“Dia nggak jelek.”
“Terus? Montok?”
“Huh?”
“Ohhh, bahenol? Mantap ya atas bawah?”
“Apa sih bang?”
“Hahah boleh tuh kenalin ke abang, dek.”
“Aiisssshh abang ini! Kalo udah nyangkut cewe bahenol aja sopan ngomongnya. Sialan emang lo bang.”
Entah kenapa abangku malah tertawa, sangat tidak berperikemanusiaan. Sepertinya salah aku mengajak abangku mengobrol tentangnya. Niatku ingin meminta saran malah berakhir dengan abangku yang terus menerus membicarakan cewe bahenol.
Wajar sih, laki-laki sangat menyukai hal seperti itu namun, aku saja yang bermasalah karena tidak tertarik sedikitpun akan itu.
Dulu, sebelum aku menemukannya aku memang masih sangat menyukai gadis-gadis cantik yang lucu. Apalagi yang seksi, melihatnya saja sudah cukup membuat tubuhku panas dingin.
Tetapi semua berubah setelah aku menemukan sosoknya. Kulit putih dengan mata lebarnya serta bibir merahnya seakan menghipnotisku akan betapa serakahnya aku ingin memilikinya.
Aku sadar, ini salah namun aku terlanjur terjatuh padanya. Pada sosok cantiknya yang terus menerus menghantuiku sepanjang hari.
Betapa hausnya aku ingin memeluk, mencium dan menerkamnya dalam satu waktu.
Aaarrrggghhh! Tuhan, bagaimana esok aku akan menjalani hari?!!!!
——-
Namaku Abrahah, hanya satu kata itu. Temanku biasa memanggilku Abra. Aku salah seorang siswa di salah satu SMA swasta di Jakarta. Saat ini aku masih duduk di bangku kelas 2 semester 2. Aku bukanlah anak yang pandai dalam belajar, aku hanya pandai dalam berbagai kegiatan olahraga. Oleh karenanya, aku sering kali mengikuti kompetisi olahraga yang berulang kali diadakan untuk siswa antar SMA. Sering kali aku menjadi pemenang. Itu bukanlah sebuah kebetulan atau hanya keberuntungan karena semua itu kudapatkan karena kerja kerasku dalam berlatih. Abangku sangat mendukung kegiatan yang sangat aku banggakan ini, dan kupikir orangtuaku juga akan sangat bangga dengan anak bungsunya ini dari surga sana.
Jika menceritakan bagaimana kehidupanku, aku dan abangku hanyalah seorang anak yatim piatu. Orangtua kami meninggalkan kami 7 tahun lalu saat usiaku baru saja menginjak 12 tahun dan abangku 20 tahun. Tanpa meninggalkan apapun karena keluarga kami adalah keluarga dengan ekonomi bawah.
Saat itu, memang terasa sangat menyakitkan dan sejak saat itu juga abangku harus lebih bekerja keras demi kelanjutan hidup kami.
Singkatnya seperti itu, sekarang hidup kami baik-baik saja. Bahagia selalu ada untuk kami.
Rencana Tuhan memang sangat mendebarkan jika dipikirkan. Entah hal apa yang akan terjadi esok, hari ini dan bahkan detik ini.
Jangan dipikiran, itu hanya akan menambah beban hidup yang sudah terasa berat di pundak.
Seperti keserakahanku akan dia.
—-
“Bra? Makan ga lo?” Sahabatku, Levi memukul kepalaku sebagai sapaan sayang. Malas kudongakkan wajah, menatapnya yang sudah berdiri gagah di depanku. Bel istirahat baru saja berbunyi, seperti biasa anak-anak sigap pergi meninggalkan kelas untuk mencari makan. Ada juga yang tetap diam di kelas karena sudah membawa bekal,selebihnya ada yang tertidur atau hanya diam dan berkutat pada handphonenya.
“Pengen pecel gue.” Kataku, menatap melas pada Levi yang mulai jijik dan bersiap melayangkan tinju.
“Pesen online sana! Pecel terus makanan lo.” Akhirnya, satu tinju berhasil mengenai wajahku.
“Waktunya nggak cukup kalo pesen online nih.” Rajukku.
Tak ada balasan dari Levi, karena anak itu cepat menarik paksa seragamku sehingga aku bisa keluar dari kursi ternyaman. Menyeretku penuh emosi menuju kantin sekolah.
“Mba, pesen nasi gorengnya 2 yang biasa ya!” Lantang sekali Levi menyerukan pesanannya setelah kami duduk. Kantin nasi goreng ini selalu ramai, tentu karena makanannya lebih murah dari pada kantin-kantin yang lain. Menjadi langganan kami disaat uang jajan kami menipis.
“Pulang mau nggak makan pecel?” Pertanyaan Levi seketika merekahkan senyum dan memerahkan pipiku.
“Sialan!! Reaksi lo biasa aja dong, Bra!!”
“Hahahah habisnya seneng aja gue. Tumbenan lo ngajakin makan pecel?”
“Kasian kayaknya lo pengen banget.”
“Makan di mana?”
“Deket rumah gue ada, murah, enak lagi.”
“Okeeee!”
—–
Aku tidak tahu apakah ini takdir karena, saat ini anak yang sangat aku sukai sedang berdiri di sampingku. Begitu santai mengeluarkan urine dari tubuhnya. Ya, saat ini kami sedang berada di dalam toilet dan kami sedang melakukan pipis berjamaah. Beruntungnya, anak yang pipis di sampingku adalah dia, karena tinggiku jauh di atasnya, menjadikanku mampu dengan jelas melihat barang miliknya yang nampak begitu bersih, pink dan lucu. Ya Tuhaaann!!! Bagaimana aku bisa menjadi seperti ini hanya karena anak manis di sampingku?
Bagaimana aku akan menyembunyikan debar jantung dan rona merah di pipiku sekarang? Bahkan tubuhku rasanya kaku sekali. Aku sangat khawatir anak itu akan menyadari keanehan seseorang di sampingnya.
Benar saja, anak itu memalingkan wajahnya padaku. Diam. Keringat dingin sudah mengucur deras hampir di seluruh tubuhku. Ketahuan?! Apa aku ketahuan?!
Bagaimana ini?! Aku ingin sekali melarikan diri namun diri tak mampu menggerakan mulut apalagi kaki untuk berlari.
Mata besarnya menatapku dalam diam mulutnya, sekali mata besarnya berkedip. Manis sekali. Santai, anak itu menyudahi buang air kecilnya. Merapikan celananya dan sangat jelas kudengar anak itu berbisik untukku…
“Enak ya mengintip?”
Hening.
TUHAAANNNN!!! APA YANG BARU SAJA AKU LAKUKAAANNN?!!! MATILAH AKUUU! MATILAAAHHH AKUUUUU!!!!
Begitu tersadar hanya ada rasa malu dalam diri dan anak itu sudah tidak ada di manapun mataku mencarinya.
“Napa lo? Tadi seneng pas gue tawarin makan pecel.” Ucapan Levi sama sekali tak berarti bagiku, otakku tidak bisa mencerna dengan baik setiap kata apapun yang orang lain keluarkan setelah kejadian tadi siang di toilet. Memalukan sekali. Mau ditaruh mana wajahku nanti di sekolah?!
“Woii, Bra! Napa sih lo?! Cepet makan pecelnya bego keburu dingin ga enak.”
“Ngoceh terus lo, Vi.”
“Anjiiirrr!! Lo kenapa sih?!” Levi memukul cukup kencang kepalaku namun, aku lebih memilih diam dan mulai memakan pecel. Sudah dari beberapa menit lalu kami tiba di kedai makan sederhana di dekat rumah Levi yang menyediakan beragam makanan bertemakan sayuran.
Suasana kedainya sangat nyaman dan tenang, dibarengi dengan suara musik akustik yang selalu terputar di sepanjang hari dibukanya kedai. Seperti tempat kopi pada umumnya, hanya di sini bukanlah tempat warung kopi.
Sesekali kudengar Levi bernyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar, anak itu sangat menikmati makannya. Sejenak, menentramkan hatiku.
“Vi.” Panggilku.
“Apaan?”
“Lo pernah nggak suka sama orang?”
“Pernahlah.”
“Terus, lo pernah nggak ngelakuin hal memalukan di depan orang yang lo suka?”
“Bra, lo itu temen gue bukan sih?” Levi balik bertanya, matanya menatapku tajam. Ahh, baru saja aku menyadari. Ini Levi, anak gila yang selalu melakukan hal tidak waras kepada orang yang disukainya. Hanya untuk mendapat sebuah perhatian kecil tapi selalu berakhir naas.
“Lo lagi suka sama siapa emangnya?” Pertanyaan Levi perlahan mengingatkanku pada kejadian tadi siang. Perlahan juga, wajahku bersemu malu. Menjijikan sekali aku harus tersipu seperti ini di depan Levi.
“Anjiiirrr Abraaa!!! Lo ngejijik in banget sumpah!”
“Hahah.” tawa miris yang kuberi. Bukan apa, aku hanya malu jika saja Levi tahu siapa seseorang yang aku sukai.
“Bangsat! Lo suka sama siapa sih kok bisa sampe segininya?!!!”
Tak ada balasan untuk Levi, aku memilih diam bagaimanapun Levi memaksa dan menindasku dengan caranya.