CHAPTER 3
Kencan
“Alvi udah makan?”
“Belum.”
“Alvi mau makan apa?”
“Apa aja. Asal Ikhsan yang masak, aku suka.”
“Heheheheh.”
“Coba aku lihat di kulkas ada apa ya…”
“Tadi aku beli cake coklat. Ada di dalam kulkas.”
“Buat aku?”
“Memang untuk siapa lagi kalau bukan Ikhsan?”
Alvi terkekeh. Ikhsannya tersipu. Ikhsan yang sudah berada di depan kulkas, pelan membuka kulkas dan manik agak kecoklatannya mendapati adanya sebuah cake coklat dengan banyaknya topping buah cerry di sana.
Wajahnya merona bahagia. Ikhsan memang sangat menyukai cake. Terutama rasa coklat dengan banyak toping buah cerry.
“Cakenya boleh aku makan sendiri?”
Ikhsan bertanya dengan menunjukkan wajah memohon khas anak anjing. Melihat hal seperti itu, Alvi hanya bisa tertawa. Kemudian mengangguk.
“Nanti kalo kurang beli lagi.”
“Iya.”
Melihat Ikhsannya bahagia, sudah sangat memuaskan bagi Alvi. Karena bahagia miliknya juga hadir ketika bahagia Ikhsan ada.
Sembari menunggu Ikhsannya memasak, ia baringkan kembali tubuh yang sesaat tadi beranjak duduk. Ia tatap langit langit kamarnya.
Tak lupa, manik kelam itu berkeliling memperhatikan bagaimana dinding kamarnya penuh dengan gambar Ikhsannya.
Sebuah senyum terkembang di wajah tampannya. Setelah puas berkeliling menatap satu per satu foto maupun lukisan Ikhsan, dimana setiap hari Alvi selalu melakukan hal yang sama, tanpa adanya sebuah rasa bosan.
Kini manik kelamnya beralih pada sosok nyata Ikhsannya yang sedang mulai memasak. Nampak Ikhsan sedang memotong sebuah wortel di belakang sana.
Kostnya lumayan besar, karena memiliki dapur dan kamar mandi pribadi. Semua itu menjadikan Ikhsan mudah untuk menyiapkan segala kebutuhan Alvi dalam segi makan.
Alvi bukanlah tipe laki-laki dewasa yang sehat. Ia sangat tidak peduli dengan kesehatannya.
Jika Ikhsan tidak sering menegur dan memperingatinya, keseharian Alvi hanya akan memakan makanan instan tanpa peduli pada organ tubuhnya yang mungkin sudah meronta memohon untuknya berhenti.
Dulu ada saat dimana kulkasnya hanya berisikan makanan dan minuman instan. Ikhsan sampai menggelengkan kepalanya berulang kali karena hal itu.
Sementara laki-laki yang sedang ditegurnya hanya terkekeh pelan dan dengan manja malah memeluknya memohon maaf.
Semenjak kejadian itu, Ikhsan memaksa Alvi untuk mengisi kulkasnya dengan makanan dan minuman sehat.
Tentu Alvi menurut. Ikhsan adalah segalanya. Apapun dapat ia lakukan untuk Ikhsan.
“Ikhsan masak apa?”
“Soup.”
“Pakai ayam?”
“Nggak ada ayam. Seadanya aja ya.”
“Oke.”
“Sebagian sayurnya aku buatkan gorengan bakwan. Gimana?”
“Suka~”
“Okeee.”
Dari belakang sana, Ikhsan memberikan sebuah kode oke di jari tangan kanannya.
Lagi lagi Alvi terkekeh.
Dapur dan kamarnya tidak memiliki pemisah, menjadikan apapun kegiatan yang sedang dilakukan di dapur maupun di kamar secara otomatis dapat saling terlihat.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk Ikhsan menyelesaikan masaknya. Ia kembali sudah dengan membawa semangkuk soup panas dan sepiring gorengan bakwan.
Ia letakkan kedua makanan itu di meja belajar Alvi. Kemudian ia kembali ke dapur untuk mengambil sepiring nasi hangat.
“Makannya disuapi ya…” Pinta Alvi. Ikhsan sudah terbiasa dengan permintaan tersebut.
“Nasinya campur langsung dengan soupnya, ya?”
“Hm.”
“Mau bakwan?”
“Mau.”
Ikhsan tertawa kecil. Alvinya jika sedang seperti ini mirip seperti bocah kecil.
“Alvi sudah mandi?”
Sembari menyuapi kekasih tercintanya, Ikhsan bertanya. Karena mulutnya masih dipenuhi oleh makanan, Alvi hanya bisa menganggukkan kepala.
“Habis ini langsung cabut ke toko buku?”
“Boleh.”
“Ada tempat yang ingin Alvi kunjungi?”
“Ada.”
“Apa?” Sepertinya Ikhsannya penasaran. Namun Alvi dengan sengaja diam untuk memperlama waktu. Dilihat Ikhsannya sudah sedikit kesal karena Alvinya dengan sengaja membuatnya penasaran.
“Cium dulu pipi ini, baru nanti aku kasih tau.” Pinta Alvi. Ikhsannya diam. Dengan lambat keningnya berkerut.
“Cium atau nggak aku kasih tau?”
“Itu namanya licik.” Jawab Ikhsan. Alvi terkekeh.
“Cium atau….”
Dan…
Cup.
Sebuah ciuman lembut mendarat di pipi kanan Alvi dari sang cinta.
Seharusnya Alvi tidak perlu merasa kaget namun laki-laki tampan itu menununjukkan ekspresi wajah kagetnya yang sangat menggemaskan bagi sang Ikhsan.
Lagi lagi Ikhsannya tergerak untuk mengecup sayang pipi Alvinya. Kekehannya terdengar begitu menyadari apabila detak jantung milik Alvi berdegub lebih cepat karenanya.
Keduanya memang seperti ini. Selalu nampak polos dengan segala perasaan yang ada. Cinta tulus mereka tak dapat dibandingkan dengan apapun.
Cacian dan makian hanya akan semakin memperbesar rasa cinta keduanya.
——-
Berada di luar sekalipun, Alvi tak akan pernah ragu apalagi malu untuk menggenggam jemari lentik Ikhsan. Malah Alvi merasa begitu bangga dengan hubungannya.
Ia selalu berpikir adakah manusia lain yang mencintai miliknya seperti dirinya yang begitu mencintai Ikhsannya?
Selama apa yang ia lihat, banyak diantara mereka ragu untuk menunjukkan perasaan dan hubungan mereka di masyarakat.
Dimana pada akhirnya mereka hanya bisa saling bersembunyi pada keadaan masyarakat. Tersiksa akibat diri yang tak memiliki mental baja sepertinya.
Ia tahu Ikhsannya juga terkadang seperti itu. Ikhsan beberapa kali pernah ragu untuk menunjukkan hubungan mereka di depan ranah publik.
Namun pada akhirnya Alvi dapat menguatkannya dengan baik.
Sosok yang saat ini sedang menggenggam jemarinya erat adalah sosok penting dan sangat berharga bagi diri Ikhsan.
Ikhsan sekalipun tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika suatu saat hubungan ini akan berakhir?
Atau salah satu diantara mereka akan pergi dan tak kembali.
Hal mengerikan yang terkadang menguasai pikirannya untuk beberapa lama.
Karena Ikhsan tahu, manusia tak akan pernah bisa bersanding bersama selamanya.
Ada saat dimana perpisahan datang dan menjemput keduanya.
Sungguh ia sanggup mencintai sebanyak apapun untuk Alvi tetapi ia sama sekali tak akan sanggup jika dihadapkan pada sebuah perpisahan.
“Sepi ya kalo harI jumat gini…” Lirih terdengar ucapan Alvi. Sepertinya Alvi sedang bermonolog dengan diri sendiri.
Ikhsan hanya mengulum senyum sembari mengeratkan dekapannya. Matanya ia arahkan ke sekeliling isi mall. Memang sepi. Hanya ada beberapa manusia yang berlalu lalang.
Mereka jarang keluar bersama disaat hari jumat seperti ini. Biasanya mereka akan keluar disaat malam minggu atau minggu malam untuk berkencan ala Alvi dan Ikhsan.
“Toko bukunya juga sepi.” Ikhsan berujar. Alvi mengangguk kemudian mengusak sayang rambut hitam Ikhsannya.
“Kamu jangan terlalu sering pakai headphone lho, bisa bahaya buat kesehatan.” Ikhsan memperingati. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk menyentuh headphone berwarna hitam yang sedari awal bertengger dengan indahnya di kepala Alvi.
Alvi memang sangat menyukai musik. Mendengarkan musik melalui headphone adalah hobinya yang tak dapat diganggu gugat bahkan oleh seorang Ikhsan sekalipun.
Dimanapun, headphone tak pernah terlepas dari dirinya. Jujur saja Ikhsan khawatir, meski tidak terlalu mengerti tapi Ikhsan tahu jika terlalu sering menggunakan headphone dapat membahayakan kesehatan. Bahkan bisa juga memicu kanker otak.
“Alvi…”
“Lagunya enak banget lho.”
“Iya, tapi sekarang dilepas dulu…”
Melihat raut wajah Ikhsannya yang terlihat cukup khawatir, kali ini Alvi menurut. Melepas headphone dari kepalanya, ia turunkan dan membiarkannya melingkar pada leher.
“Maaf.”
“Iya.”
“Alvi bantu cari bukunya ya.”
Ikhsannya mengangguk dalam senyum.
“Nah, senyum begitu lebih manis kan.”
Dikecupnya pipi Ikhsan sayang. Keduanya terkekeh pelan.
Tak mereka pedulikan beberapa orang di sekitar mereka yang menatap dan memerhatikan mereka dengan pandangan sebelah mata.
Bahagia mereka adalah milik mereka. Bukan milik orang lain.