CHAPTER 2
Kebiasaan
Ikhsan Pramudia, sosok sederhana dan tak memiliki kelebihan apapun dalam dirinya. Kelebihannya hanyalah mencintai Alvi setulus hati dan perasaannya.
Wajah yang tak nampak tampan maupun manis itu sedikit mengulum sebuah senyum ketika menatap jam di pergelangan tangan kirinya.
Kulit coklat eksotis miliknya hari ini dibalutnya menggunakan sebuah kaos berwarna putih dengan jaket hitam sebagai luaran.
Ia baru saja berganti pakaian dari seragam kerja part timenya. Dengan cepat ia membenarkan celana jeansnya dan membenarkan sepatu tali berwarna hitam yang selalu ia gunakan sehari hari.
Sebelum kaki panjangnya melangkah keluar dari ruang ganti, ia sempatkan mengirim sebuah pesan kepada kekasih tercintanya di sana.
Kekasih yang ia tahu sedang mengikuti kelas kuliahnya. Namun keadaan sebenarnya adalah Alvi yang sedang bersantai di kamarnya, mendengarkan musik melalui headphone kesayangannya sembari menggambar sosok Ikhsan yang sangat Alvi cintai.
——
Di dalam sebuah kamar kost, nampak sosok tampan Alvi yang sedang bersiap siap untuk menemui sang kekasih.
Setelah mendapat sebuah pesan singkat dari Ikhsan, ia segera membereskan pekerjaannya.
Dengan cepat ia mandi dan sekarang sudah berdandan layaknya seorang pangeran.
Alvi memang tampan. Tubuhnya juga tinggi dan tegap. Kulitnya berwarna putih cerah.
Sangat bertolak belakang dengan Ikhsan. Tetapi semua itu tak menjadi halangan bagi keduanya untuk saling mencintai.
Alvi tak hentinya tersenyum. Bahagianya penuh hanya karena Ikhsannya akan segera tiba di kostnya.
Malam ini mereka berjanji akan berkencan. Mungkin seperti biasa mereka hanya berputar putar menggunakan sepeda motor untuk menghabiskan waktu.
Saling bercerita dan memberikan rasa kasih juga luasnya perhatian.
Terkadang mereka pergi menonton di bioskop namun keduanya tidak begitu menyukai kegiatan tersebut. Sehingga lebih memilih menonton di kost Alvi.
Mereka juga tidak terlalu menyukai kencan kuliner. Alvi lebih menyukai dan mencintai rasa masakan yang dibuatkan Ikhsan daripada makanan di luaran sana.
Sembari mendengarkan musik melalui headphone, tangannya tak hentinya bergerak menggeser foto Ikhsan di layar ponselnya berulang kali.
Terus ia lakukan seperti itu dalam senyum bahagia dan rona merah di pipi.
Sedalam itu rasa cintanya pada Ikhsan.
Waktu tiga puluh menit tak terasa untuknya karena pikiran dan dunianya telah ia curahkah secara penuh kepada Ikhsan.
Ketika pada akhirnya sosok terkasihnya datang, hangat segera ia mengulurkan kedua tangannya ke depan.
Meminta agar Ikhsannya menghampiri dan masuk ke dalam peluknya.
Sebelum langkah Ikhsan terangkat, senyum cerianya terlebih dulu mengembang. Wajah itu merona bersama debar jantungnya karena Alvi.
Barulah ia melangkah. Membiarkan dirinya masuk ke dalam dekap hangat milik Alvi.
Seperti biasa harum selalu memenuhi diri Alvi. Menyejukkan penciumannya.
Hidung yang perlahan menyeruak masuk ke dalam sela leher milik Alvi. Mengusak usak hidungnya di sana. Lalu Ikhsan akan terkekeh.
Satu dari banyak hal yang terlihat begitu manis di mata Alvi.
“Tadi gimana kerjanya?” Pertanyaan lembut Alvi, sejenak menghentikan kegiatan Ikhsan yang sedang fokus pada sela leher Alvinya.
Manik sedikit coklat milik Ikhsan menatap manik hitam kelam Alvi untuk beberapa saat.
Lagi kekehannya terdengar. Tubuhnya yang berdiri, kini ia dudukkan di pangkuan Alvi.
Lagi lagi, Ikhsan terkekeh.
Tentu saja, hal itu sangat membuat Alvinya gemas. Tak tahan dengan kelakuan Ikhsannya.
Tanpa aba aba, ia bawa tubuh ramping Ikhsan terbaring di atas ranjang empuk miliknya.
Lagi lagi Ikhsan hanya terkekeh.
Sungguh. Alvi sangat tidak bisa menahan untuk tidak segera mencium bibir berisi di depannya itu.
“Heheheheh.”
“Ada apa? Ikhsan bahagia banget hari ini….”
Ikhsannya mengangguk.
“Manisnyaaaa….” Batin Alvi. Ia sentuhkan jemarinya pada wajah Ikhsannya. Diusapnya pipi halus berwarna coklat kemerahan itu.
Matanya hangat menatap wajah Ikhsannya. Siapapun dapat melihat, hanya ada cinta di sana.
“Ada kejadian apa hari ini?” Senyumnya mengembang. Hanya untuk Ikhsannya seorang.
“Akhirnya ketemu Alvi lagi…”
“Cuma itu?”
Ikhsannya lagi lagi mengangguk.
Alvi terkekeh bahagia ketika Ikhsan nya menempelkan kening mereka menjadi satu.
Membiarkan keduanya dapat saling mendengar deru nafas. Bisa saling merasakan hangat karena begitu dekatnya jarak.
Keduanya saling menangkupkan tangan pada wajah. Saling memberikan senyum dan kekehan kekehan kecil yang begitu terdengar bahagia.
“Tadi Alvi selesai kelas jam berapa?”
“Kayak biasa.”
“Gimana kelasnya hari ini?”
“Biasa aja.”
“Alvi seneng masuk di jurusan seni?”
“Ya.”
“Alasannya?”
“Karena….”
Lama Alvi diam.
“Karena apa?” Ikhsan sudah tidak sabar.
Sebelum mulutnya terbuka, dikecupnya kening Ikhsan nya lembut.
“Karena Alvi jadi bisa gambar Ikhsan sepuas hati.”
Jawaban jujur. Jawaban tulus dari relung hati. Jawaban yang mampu memerahkan wajah Ikhsannya seketika.
Mempercepat degub jantungnya. Membuatnya menunduk malu. Tak berani menatap wajah tampan Alvi.
Inilah yang sangat Alvi sukai. Meski mereka sudah lama bersama, sikap Ikhsan masih sama seperti saat pertama kali menjalin hubungan.
Sikapnya tak sekalipun pernah berubah. Sikap polos layaknya remaja yang baru saja jatuh cinta.
Tidak berbeda dengan dirinya. Disaat Ikhsannya memuji atau melakukan hal yang mendebarkan perasaannya, sikapnya pun tak berbeda jauh dengannya.
Keduanya memang malu. Meski sudah saling mengetahui jati diri, sudah saling melihat polosnya diri tetap saja, rasa malu tak pernah menghilang dari dalam diri. Apalagi hati.
Hubungan terbuka dengan segala kerendahan diri.
Hubungan terbuka dengan segala kejujuran hati.
Mungkin itulah yang selalu membuat keduanya nampak seperti pasangan baru yang mengenal cinta kasih.
Pasangan merpati yang selalu mampu menjaga hati.
Pasangan merpati yang selalu mampu saling menghibur diri.
Kebiasaan sederhana yang telah terbukti mampu mempertahankan hubungan berat itu.
Keduanya saling menerima dan bisa saling memahami.
Tidak hanya sekedar mengerti dan simpati.
Keduanya hanya saling memiliki empati tinggi dalam manis pahitnya hubungan diatas tali mati masyarakat ini.
“Malam ini mau main?”
“Terserah Alvi. Tapi aku mau ke toko buku..”
“Oke.”
“Ada buku yang mau aku beli…”
“Beli Alvi aja.”
“Alvi nggak bisa dibeli.”
“Terus?”
“Tapi…”
Ikhsannya mendekatkan mulutnya pada telinga Alvi yang sudah tak lagi terpasang sebuah headphone.
Kekehannya lagi lagi terdengar sebelum akhirnya ia berbisik.
“Alvi itu untuk dicintai. Bukan untuk dibeli.”
Bisikan sederhana. Layaknya sebuah godaan untuk sang cinta. Godaan yang berhasil memerahkan seluruh bagian wajah Alvinya.
Ia berhasil menambah kecepatan denyut jantung milik sang kekasih dalam dekapnya.
Untuk yang kesekian kali, kekehannya kembali terdengar.
“Manisnyaa Alvi…”
Sesederhana itulah kisah mereka. Hal kecil yang selalu bisa dijadikan sebagai bahan pelengkap kisah cinta.
Masyarakat tak akan mengerti. Bagaimana cinta dengan buasnya berkembang dan tumbuh di dalam hati keduanya.
Sekalipun ini adalah sebuah cinta terlarang bagi sebagian manusia. Namun bisakah mereka menilik sedikit saja akan kedua anak manusia itu?
Menilik sedikit saja akan dalamnya kisah mereka.
Lalu mencoba sedikit saja pahami setiap maksud dan pergerakan yang mereka lakukan untuk saling melengkapi diri dalam hangatnya cinta.