Chapter 1
Natanael Alavi & Ikhsan Pramudia
Sepasang merpati dengan jenis kelamin yang sama bertemu dan saling jatuh cinta. Keduanya memulai hari dengan segala rasa cinta yang ada.
Ya mereka, Natanael Alavi dan Ikhsan Pramudia. Dua insan yang memulai perjalanan cinta ketika seragam putih abu-abu masih melekat dengan gagahnya di tubuh mereka.
Alvi, panggilan untuk seorang Natanael Alavi. Sosok pendiam yang begitu mencintai Ikhsan. Baginya dunia hanya berisikan musik, alam dan Ikhsan.
Harinya tak pernah terlepas dari musik. Telinga itu selalu dipasangi sebuah headphone berwarna hitam di manapun ia berada. Tangannya selalu dengan sigap menangkap tubuh sekal Ikhsan setiap kali mereka sedang bersama.
Alvi bukan manusia yang tidak mau mengakui jati diri. Ia merupakan sosok berani karena dengan percaya diri mengakui jika ia adalah seorang gay dan milik Ikhsan.
Laki-laki tampan dengan kulit putih dan sebuah lesung pipi di wajahnya itu sering kali membuat Ikhsan merona malu dan bangga.
Masyarakat memang tidak selalu mendukung, ada saja yang mencaci dan mencemooh tetapi Alvi selalu mampu menenangkan Ikhsan.
Ikhsan sangat berbeda dengan Alvi. Ikhsan pemalu. Ia juga pendiam. Suaranya tak akan terdengar kecuali orang lain memulai obrolan terlebih dahulu dengannya dan itupun ikhsan akan menjawab seadanya.
Diamnya Alvi dan Ikhsan itu tak sama. Alvi diam karena malas mengakrabkan diri dengan orang di sekeliling. Sementara Ikhsan diam memang karena ia pendiam. Ikhsan sering kali bingung harus mengatakan apa jika dihadapkan pada sebuah situasi di khalayak ramai.
Teman yang mendukung hubungan mereka mengatakan jika mereka adalah pasangan serasi yang lucu.
Teman yang menentang hubungan mereka mengatakan jika keduanya sangat menjijikkan.
Dua hal yang tak sekalipun dipedulikan oleh Alvi. Ikhsan terkadang membahas tentang orang-orang yang menentang mereka dan jawaban Alvi selalu sama.
“Kalau memang Ikhsan bahagia denganku. Diam dan abaikan.”
Jawaban yang sama. Suara rendah yang selalu datang bersamaan dengan sebuah pelukan hangat dari Alvi.
Sosoknya selalu bisa menenangkan Ikhsan. Membuatnya nyaman dan merasa jika ia sangatlah berharga.
Bersama Alvi bukanlah waktu yang sebentar, mereka telah menjalin kasih selama kurang lebih 3 tahun. Dari kelas 2 sekolah menengah atas hingga saat ini mereka berada di fase menengah pendidikan mereka di bangku universitas.
Alvi mengambil jurusan seni sementara sang pujaan hati mengambil jurusan ekonomi. Bisa dikatakan, jurusan yang diambil Alvi sangatlah bertolak belakang dengan apa yang ia sukai.
Alvi sangat menyukai semua hal yang berkaitan dengan kimia dan Alvi juga merupakan siswa dengan otak cerdas, karena di mana ia selalu mampu menghasilkan prestasi terbaik di sekolah dulu. Kimia adalah hal sangat mudah baginya. Nilainya selalu sempurna tanpa satupun kesalahan. Ikhsan selalu berpikir jika Alvi sudah dipastikan akan mengambil jurusan ilmu kimia namun seni adalah pilihannya.
Alasannya cukup sederhana dan simple. Karena Alvi sudah tak mau lagi memecahkan segala hal seru dan menyenangkan yang berkaitan dengan kimia.
Aneh. Untuk masalah ini Ikhsan tak mengerti dengan cara berpikir Alvi. Dirinya mengambil jurusan ekonomi karena memang hanya itu yang pandai dilakukannya. Ikhsan berharap ia dapat lulus dengan baik dan mendapatkan pekerjaan terbaik.
Berbeda sekali dengan Alvi, anak itu sedikitpun tak pernah memikirkan akan menjadi apa ia nanti. Setelah masuk ke dalam jurusan seni, Alvi menjadi sangat sering menggambar dirinya. Menyimpannya dan memajangnya di dinding kamarnya.
Meski sudah biasa, tetap saja Ikhsan malu. Bagaimana Alvi selalu mencintainya dengan caranya yang sederhana.
Dalam satu minggu, jadwal kuliah mereka hanya sama di hari rabu dan sabtu.
Selama tidak memiliki jadwal yang sama dengan Ikhsan, maka Alvi tidak akan pernah masuk dengan berbagai alasan.
Ikhsan tidak tahu itu. Hanya teman Alvi di sesama jurusan yang mengerti, bahwa dunia Alvi tak akan pernah bergerak tanpa seorang Ikhsan.
“Jadi hari ini lo juga nggak masuk? Mau alesan apa lagi lo?” Kristin, salah seorang teman paling dekat di sesama jurusannya yang begitu memahami kisah kasih Alvi dan Ikhsan.
Gadis itu menelphone Alvi, karena pecinta Ikhsan itu tak juga kunjung datang ke kelas. Sementara sebentar lagi sang dosen akan tiba dengan beragam tugas.
“Vi, lo jangan kayak gini lah. Masa cuma karena nggak ada Ikhsan lo jadi mageran gini. Nggak laki amat sih lo!”
Ocehan Kristin sepertinya tak di dengarkan. Dengan enteng Alvi mematikan sambungan telphone dan kembali pada kegiatannya menggambar sosok Ikhsan. Ingatannya begitu detail jika tentang Ikhsan.
Ia sudah rapi, sudah mandi dan wangi. Sebenarnya ia cukup menambah niat untuk segera berangkat ke kampus, namun ia lebih menyukai duduk di kursi belajarnya dan memulai menggambar sang pujaan hati.
Tak ia pedulikan Kristin yang sudah pasti mengamuk karenanya dan juga sang dosen yang akan mempertanyakan kemana saja ia?
Alvi selalu tertolong karena nilainya selalu menjadi yang terbaik. Ia juga beberapa kali memenangkan kompetisi dalam bidang seni yang tentu saja sangat membanggakan jurusannya.
Sejak adanya Alvi, jurusan mereka menjadi ramai dan banyak diminati. Para dosen serta teman-temannya berpikir jika Alvi memanfaatkan keadaan diri.
Padahal jika saja mereka tahu, Alvi hanya sangat tidak bersemangat ketika ia harus pergi tanpa ada sosok Ikhsan di sana
Tiba-tiba sebuah pesan masuk, nada pesan yang sangat ia rindukan. Pesan dari kekasihnya tercinta. Tanpa menunggu, ia langsung meraih handphone yang tergeletak di samping peralatan menggambarnya. Ia baru saja menyelesaikan sebuah lukisan indah dengan wajah Ikhsan di sana.
Senyumnya merekah lebar setiap kali membaca kalimat dari sang pujaan hati.
“Alvi sudah ke kampus? Jangan telat makan siang ya.”
Ia balas hanya dengan “Ya.”
Ikhsan tidak tahu, jika kekasihnya ini masih berada di dalam kamar kostnya dan tidak akan ke kampus hari ini.
“Kelas Alvi nanti selesai jam berapa? Aku jam empat sore sudah selesai kerja part time. Alvi mau main?”
“Ya.”
Ikhsan tersenyum bahagia di sana. Sementara Alvi lebih lebar mengembangkan senyumannya karena hari ini ia akan kembali bertemu dengan sang pujaan hati.
Satu detik tidak melihat Ikhsan saja adalah sebuah hal mengerikan baginya.
Karena Ikhsan itu candu. Candu bagi Alvi yang sudah sangat mencintai dan menyayangi Ikhsan.
Ia akan kehilangan semangat jika Ikhsannya tidak ada. Emosinya akan hilang jika Ikhsannya tak terlihat dalam waktu lama.
Namun apakah dia tahu? Sosoknya bagi Ikhsan bahkan melebihi candu.
Candu yang terus menerus menggeroti diri.
Candu yang selalu mampu menimbulkan sebuah perasaan takut akan kehilangan Alvi.
Layaknya sepasang merpati yang saling mencintai.
Keduanya akan mati jika salah satu pergi.
Mungkin seperti itulah ibarat kisah Ikhsan dan Alvi.