My Dear Siren – Chapter 1-3

01 : Accidental Meeting

Semak belukar, pilar alam nan rindang, aroma lembab yang menusuk penciuman menambah kepeningan yang mendera kepala. Mata jernih bak permata itu mengedar, baginya tempat ini sama. Tumbuhan di mana-mana dan tak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Pemikiran buruk pun sempat terlintas di kepala, bahwa ini adalah tempat angker yang berpenghuni makhluk tak kasat mata.

“Sial!”

Wang Yue tidak tahu harus bagaimana sekarang. Pemuda berparas tampan itu sudah hampir seharian berjalan tak tentu arah. Tanpa senandung, tanpa raut keceriaan yang terpancar. Kaki panjangnya terasa lelah dan letih mendera tubuhnya yang sudah tak memiliki banyak tenaga. Namun, dia sama sekali tak dapat menemukan tempat untuk mengistirahatkan diri.

Hutan ini begitu luas dan lebat, hingga membuatnya tersesat jauh ke dalam tanpa bisa kembali lagi ke titik semula. Terlebih lagi, sial bagi Wang Yue karena terpisah dari rombongan dan beberapa barang yang dibutuhkan ada pada mereka. Wang Yue mengangkat kepala, manik hitam jernih menerawang hampa ke atas sana. Terlintas kembali kilasan memori sesaat sebelum ia dan timnya memasuki hutan ini.

Sebagai seorang mahasiswa, penelitian dan penjelajahan semacam ini sudah biasa dilakukan. Namun, ini kali pertama dia masuk ke dalam sebuah hutan terlarang. Warga setempat telah memperingatkan akan hal ini, bahwa siapapun yang masuk ke dalam hutan ini salah satunya tidak akan kembali.

Pada dasarnya jiwa muda para mahasiswa ini tengah bergelora, mereka tak mengindahkan peringatan tersebut. Menganggap remeh pepatah yang diterapkan penduduk selama turun temurun.

“Ah, yang seperti itu hanyalah dongeng.”

“Warga hanya menakuti kita supaya tak ada yang menjelajah ke dalam. Sudahlah, abaikan saja.”

“Benar. Tidak akan terjadi apa-apa, tenang saja.”

“Ayo, berangkat!”

Rasa ragu sebenarnya sudah hinggap di hati Wang Yue. Di saat teman-temannya bersikap santai dan tak acuh, di kepalanya justru terngiang kata-kata penuh makna yang diucapkan seorang kakek tua aneh.

“Anak muda, saat senandung kematian menyambut, senar dawai telah dipetik dan alunan nada memikat menghampiri. Butakan matamu, tulikan pendengaranmu, bisukan mulutmu … dan jika diperlukan, lumpuhkan hatimu. Maka, dia tidak akan bisa membawamu.”

“Bicara apa dia?! Aneh.”

“Benar! Hahaha!”

“Kakek tua, masuklah ke dalam gubuk reyotmu dan beristirahatlah. Tidak perlu mengurusi kami.”

Dia siapa? Itulah yang tersemat dalam benak Wang Yue.

Di sisi lain, teman-temannya justru tergelak hebat dan abai akan titah yang disampaikan oleh kakek tua tersebut. Mereka menganggap kakek itu gila, melontarkan omong kosong bak mendongeng di siang bolong.

Ketika tatapan tajam Wang Yue bertemu pandang dengan kakek itu, seulas senyuman tipis tertarik di sudut bibir kulit yang berkeriput. Tak kentara memang, tapi dia masih dapat melihatnya dengan jelas. Dan sebuah anggukan beradap diberikan padanya.

Wang Yue pun berpikir, kenapa kakek tersebut mengangguk sopan padanya?

Embusan napas panjang Wang Yue lontarkan tatkala kilasan tersebut menyapa. Gejolak emosi mulai menguasainya, rasanya dia ingin berteriak sekeras mungkin agar ada seseorang yang mendengar raungannya. Dia bawa kakinya untuk kembali melangkah, menginjak karpet hijau alami yang basah.

Terdengar suara gemericik air dari kejauhan, jernih dan menggema. Cukup aneh jika dipikir. Sejak beberapa saat yang lalu, kesunyian masih mengudara, bahkan kicauan burung dan serangga pun tak nampak dalam jarak pendengaran. Gemericik itu membuatnya tertarik untuk mendekat. Wang Yue melangkah dengan hati-hati sembari menyibak beberapa tumbuhan yang menghalangi jalannya.

Suara air mengalir itu semakin keras, keyakinan dalam dirinya pun meningkat. Wang Yue percaya jika di depan sana ada sebuah sumber mata air. Entah itu batang air, danau maupun air terjun. Dia tak peduli itu, yang Wang Yue inginkan saat ini adalah untuk segera sampai ke sumber suara tersebut dan melepaskan dahaga yang menyerangnya.

Ketika Wang Yue berhasil menyibak sebuah daun pakis besar yang menghalanginya, dia dibuat terperangah. Di hadapannya tersaji pemandangan yang begitu menakjubkan, hingga membuatnya berdecak kagum. Sebuah danau yang begitu asri, air yang begitu bening dan jernih bak cermin yang terpampang luas. Wang Yue bahkan dapat melihat pantulan tubuhnya sendiri pada permukaan air itu.

Namun, dia menyadari sebuah keanehan lagi. Dia mengamati permukaan air yang tenang tanpa riak sekecil apa pun, lalu dari mana suara gemericik air tadi berasal?

Dan sekarang suara itu menghilang. Tergantikan oleh kesunyian yang begitu menyesakkan. Bak sebuah ilusi, hati dan pikirannya pun merasakan kepiluan yang tersembunyi itu.

“Apa mungkin di dalam danau ini ada monster yang mengerikan?” lirihnya, tapi segera dia tepis pemikirannya itu dan melanjutkan niat awalnya datang kemari.

Wang Yue berjongkok, menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau dan meminumnya. Dahaga yang mendera seketika hilang, air itu terasa sangat segar dan menyejukkan, membuat Wang Yue ingin meneguknya lagi dan lagi.

“Wah ….”

Beberapa kali Wang Yue meminum air danau tersebut, sebelum mengangkat kepalanya. Matanya menyipit—menajamkan penglihatannya—kala melihat seperti tubuh manusia yang mengambang. Namun, hanya wajahnya saja yang berada di atas permukaan air.

“Apa itu? Apakah itu mayat?”

Sial sekali Wang Yue jika benar itu mayat. Dia baru saja meminum air danau ini, itu artinya ia meminum air rendaman mayat.

“Sial!”

Wang Yue mengamati tubuh itu lekat-lekat. Rasa penasarannya begitu tinggi dan mengalahkan ketakutannya karena itu Wang Yue mendekati objek tersebut. Sebuah tangan terangkat seolah terulur padanya. Bak terhipnotis, Wang Yue masuk ke dalam danau—yang ternyata tak dalam—itu, menyambut uluran tangan tersebut.

Paras yang manis dan tampak bercahaya, bak berlian langka yang menjadi incaran dunia. Wang Yue belum pernah bertemu dengan sosok yang seperti ini dalam 21 tahun hidupnya, begitu indah dan menakjubkan. Kelopak mata cantik itu terbuka menampilkan mutiara perpaduan hitam dan hijau zamrud yang memesona.

Dari jernihnya netra itu Wang Yue sudah dapat menyimpulkan, jika yang berada di hadapannya ini bukanlah manusia tapi juga bukan makhluk astral.

Namun, mengapa Wang Yue tidak lari?

Haruskah?

Paras paripurna yang memikat menyebabkan Wang Yue menarik sudut bibirnya. Tubuhnya menunduk, mempersempit jarak mereka dan mengamati lekat wajah itu dengan penuh rasa kagum. “Kau … sangat indah,” kalimat pujian tanpa sadar terucap dari bibirnya.

Pandangan Wang Yue teralihkan ketika air di sekitarnya bergerak menampilkan getaran ringan. Sebuah gelombang pasang tercipta di belakang tubuhnya—gelombang air besar—dan menghantam punggungnya. Derai air yang terhempas ke udara jatuh kembali menampakkan rinai yang menghujam permukaan danau.

Wang Yue masih berdiri dengan kokoh. Tubuhnya basah, tetapi pancaran sorot matanya tampak cerah. Wang Yue membalik tubuhnya, mencari tahu apa yang baru saja terjadi. Seketika tubuh Wang Yue menegang. Ia merasa ada semacam tambang di dalam air yang menjerat erat kakinya, hingga membuat tubuhnya terpaku. Manik pekat sewarna eboni itu melebar terkejut, tapi raut wajahnya tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.

Banyak untaian kata terlintas dalam benaknya. Wang Yue ingin mengungkapkan atau memberikan selarik, dua larik kalimat indah untuk sosok di depannya.

Namun, akhirnya dia hanya berkata, “Wow!” sembari berdecak.

Itu terlihat seperti ekor ikan yang sangat besar dan indah. Didominasi warna hijau serta kilatan putih dan perak menjadikan ekor tersebut sangatlah cantik. Wang Yue kembali mengamati tubuh lelaki tersebut, dari atas hingga pinggang memang tubuh manusia; sedangkan pinggang hingga kaki berbentuk menyerupai ikan.

Entah sudah berapa kali dia mengungkapkan kata ‘cantik dan indah’ tapi memang itulah kenyataan yang didapatnya. “Kau siluman? Atau duyung?” Dengan hati-hati Wang Yue melontarkan kalimat tersebut.

Lelaki itu tersenyum simpul. “Siren,” sahutnya.

Makhluk di hadapan Wang Yue memanglah sosok lelaki tapi tubuhnya mulus tanpa cela, paras wajahnya menawan, bahkan suaranya juga sangatlah indah. Benar-benar sempurna.

Masih dengan raut wajah terpesona, Wang Yue kembali bertanya, “Boleh aku tahu namamu?”

Siren tersebut terkekeh ringan sebelum menjawab permintaan Wang Yue. “Lu Xian, itu namaku. Apa yang membawa kemari, kau tidak takut ketika melihatku?”

Wang Yue menggeleng. “Aku tersesat di hutan ini, tidak tahu jalan untuk keluar. Sampai aku mendengar suara gemericik air dan mengikuti suara itu yang mengarah ke tempat ini.”

“Apa kau percaya jika akulah yang menuntunmu untuk sampai di sini?”

“Ya, aku percaya,” sahutan yang tegas dan tanpa ragu-ragu, membuat seulas senyuman menawan hadir di sudut bibir Lu Xian.

Manik jernih Lu Xian menatap Wang Yue dengan lembut. Tangan putih mulus dan indah itu terulur meraih pipi Wang Yue, mengusapnya perlahan. Jari lentiknya merambat, meraih belakang leher Wang Yue dan sebuah ciuman singkat mendarat di bibirnya.

Hanya sekejap, tapi dapat membuat tubuh Wang Yue membatu bak kehilangan kesadaran. Setelahnya, gelombang air besar tercipta kembali, ekor duyung cantik itu mengibas, jatuh menghempas ke dalam air, hingga membuat air danau tumpah ruah. Namun, selang beberapa detik perlahan tapi pasti ekor itu menghilang, tergantikan oleh sepasang kaki jenjang nan indah.

Kesadaran Wang Yue kembali ketika menyaksikan lelaki di depannya berusaha menyembunyikan tubuh polosnya ke dalam air. Namun, karena air danau ini terlampau jernih, bersembunyi pun kiranya tak ada guna. Pemandangan yang terlihat dari transparannya permukaan air itu membuat Wang Yue hampir gila. Rona kemerahan menghiasi pipinya, telinganya pun serasa panas bak terbakar.

Wang Yue berpaling. Segera Wang Yue ambil sebuah kaus dan celana dari dalam ranselnya, lalu mengulurkan setelan tersebut pada Lu Xian.

“Terima kasih,” ujar Lu Xian.

Setelah mengenakan pakaian yang Wang Yue berikan, Lu Xian keluar dari dalam air dan menghampiri Wang Yue. Pemuda tampan itu menyambutnya dengan senyuman yang menawan. Tangan Lu Xian kembali menapak di wajah Wang Yue, menatapnya dengan penuh rasa yang tak tergambarkan.

“Siapa namamu pemuda tampan?”

“Wang Yue.”

“Kau … mirip sekali dengannya,” menatap sendu, “aku bahkan tak tahu dia masih hidup atau tidak, tapi dia sudah berjanji akan menjemputku kembali suatu saat nanti, apakah ini kau?” ujar Lu Xian melanjutkan ucapannya.

My Lord ….

Note:

Bagian pertama cerita di awali dari era modern. Di chapter-chapter selanjutnya baru secara perlahan akan dikuak apa yang terjadi. Terima kasih, untuk semua yang sudah mengapresiasi karya ini.


 

02 : Bring to be Hidden

Wang Yue tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi. Namun, juga tidak tahu mengapa dirinya membiarkan sosok setengah manusia setengah ikan ini menempel padanya.

Jujur saja, Wang Yue masih berusaha mempercayai apa yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Di mana dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan, manusia setengah ikan itu mengubah diri. Lelaki berparas manis itu terus memanggilnya dengan sebutan ‘My Lord’, padahal Wang Yue bukanlah seorang raja atau pangeran.

Keduanya melangkah, membelah semak belukar yang tingginya hampir menyamai tinggi tubuh Lu Xian. Wang Yue ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus berkata apa. Semua kalimat yang dia rangkai berakhir menyangkut di tenggorokannya. Di dalam kepalanya saat ini timbul pertanyaan seperti, apakah dirinya bisa keluar dari hutan ini dengan selamat?

Di kepalanya terlintas kilasan memori beberapa waktu jam yang lalu, saat kakek tua memberikan petuah sebelum memasuki hutan ini. Kakek itu mengatakan, ‘Saat senandung kematian menyambut, senar dawai telah dipetik dan alunan nada memikat menghampiri, lumpuhkan semua indera dan hati.’

Apa maksudnya itu? Aku tak mendengar senandung maupun suara musik apapun. Haruskah aku mulai bersikap waspada dengan Siren di sisiku ini? Tapi dia tak terlihat mengerikan.

“My Lord, kemana kau ingin pergi sebenarnya? Sejak tadi kita hanya berputar-putar dan telah melewati tempat ini beberapa kali.”

Kesadaran Wang Yue kembali. Dia memang berjalan tidak tentu arah sembari termenung. Banyak hal yang mengganggu pikirannya, baik itu positif maupun negatif. Tubuh Wang Yue tersentak ringan ketika Lu Xian Siren menepuk pundaknya. Kepalanya berpaling, seketika sudut bibirnya tertarik melengkung ke atas.

“Aku ingin pulang tapi,” Wang Yue menatap sekeliling, “aku tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari hutan ini. Mungkin aku tak akan pernah bisa keluar dari tempat ini.”

Keadaan sekitar menjadi temaram. Sinar sang surya tidak dapat lagi menembus lebatnya hutan, mungkin juga sang mentari telah tergantikan oleh senja. Wang Yue tidak tahu waktu saat ini menunjukkan pukul berapa? Salahkan dirinya yang tidak pernah menggunakan jam tangan ke mana pun ia pergi. Yang pasti, jika malam telah datang maka kesempatannya untuk keluar dari labirin alami yang menyesatkan ini semakin punah.

“Wang Yue.”

Alunan lembut Lu Xian menghentikan langkah Wang Yue. Ia meraih pipi pemuda tampan itu, mengusap lembut. Wajahnya mendekat, menyisakan jarak setipis lembaran kertas. Embusan napas pun dapat Wang Yue rasakan.

Di dalam benaknya, Wang Yue masih dapat memikirkan hal tidak penting seperti, ah, ternyata siren bernapas juga seperti manusia, aku pikir mereka tak bernapas.

“My Lord, akan kutunjukkan jalan untukmu agar kau dapat keluar dari tempat ini, tapi … dengan satu syarat,” Lu Xian memalingkan kepala dan berbisik lirih, “bawa aku juga.”

Semua terlihat gelap. Ketika Wang Yue berhasil menginjakkan kaki di jalanan sebuah perkampungan, tidak ada seorang pun yang tertangkap indra penglihatannya. Aneh, tapi Wang Yue juga tidak ingin memikirkan hal itu.

“Apa masih jauh?”

“Sangat jauh, sekitar dua jam.”

Di dalam sebuah bus yang tampak kosong—karena hanya ada sopir dan mereka berdua—Lu Xian terus menempel pada Wang Yue. Tidak ada perbincangan yang terjadi. Lu Xian menyandarkan kepala di pundak Yue sambil memejamkan mata.

Sedangkan Wang Yue, sejak tadi meruntuk dirinya sendiri dalam hati. Dia pikir, dirinya sudah gila, sudah tidak waras dan logikanya sudah hilang entah kemana. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika perjalanan yang dilakukan untuk sebuah penelitian justru pulang dengan membawa sosok Siren.

Wang Yue mengamati wajah elok itu, dari sudut pandangnya Lu Xian ini memang memiliki lekuk wajah yang sempurna. Bulu mata lentik, kontur dan garis wajah yang seimbang dan bibir yang terlihat berwarna merah muda alami. Wang Yue tidak tahu mengapa, tapi otaknya memerintahkan hati dan tubuhnya untuk bersikeras membawa sosok ini.

Faktanya, jantungnya berdebar kencang setiap kali kedua netranya bertemu pandang. “Mungkinkah aku jatuh cinta padanya? Mustahil.”

Apa pun itu, mulai saat ini Wang Yue akan menjaga Lu Xian. Bertanggung jawab karena telah membawanya ke dunia yang mungkin belum pernah Lu Xian ketahui. Memastikan tak ada seorang pun yang mengetahui identitasnya sebagai siren adalah hal yang harus Wang Yue lakukan. Mungkin ini tak akan mudah kedepannya, tapi jika dirinya berani membawa Lu Xian keluar dari sarangnya, itu artinya Wang Yue sudah siap untuk menanggung risiko dan konsekuensinya.

“Lu Xian, aku berjanji akan melindungimu,” bisik Wang Yue.

Kelopak mata Lu Xian terbuka. Hatinya tiba-tiba menghangat kembali setelah mendengar kalimat itu. Kalimat yang terdengar sangat familier untuknya, kalimat yang hampir serupa seperti yang diucapkan Pangeran Saint Vernus padanya ratusan tahun yang lalu.

Tubuhnya bereaksi, jiwanya yang kesepian bergelora kembali. Tubuh Lu Xian terasa menghangat dari ujung kaki hingga ke kepala, mengantarkan rona kemerahan di kedua sisi pipinya.

Cintanya … apakah Wang Yue adalah sosok yang dicintainya dulu?

Lu Xian tersenyum simpul. Dia pun berucap dalam hati, My Lord … kaukah itu? Apa lelaki yang bernama Wang Yue ini adalah sosok reinkarnasimu? Jika itu benar, terima kasih. Terima kasih sudah kembali dan menjemputku.

Malam semakin larut. Bintang yang tadinya bertebaran dan dapat disaksikan dengan mata telanjang dari jendela kaca bus, kini tidak lagi menampakkan rupanya. Mungkin karena suasana daerah yang kini telah memasuki perkotaan, hingga sinar dan cahaya lampu yang menyala terang meredamkan pijaran sang bintang.

Wang Yue memberikan hoodie miliknya untuk Lu Xian kenakan. Langkahnya terlihat hati-hati sembari matanya melirik kanan-kiri menatap datar dan tak acuh pada pandangan orang-orang di sekelilingnya. Tangan kirinya yang kokoh melingkari punggung Lu Xian; sedangkan tangan kanannya berada di belakang lutut. Seolah ingin memberikan perlindungan pada sosok yang masih asing dengan keadaan sekitar. Ya, Wang Yue menggendong Lu Xian ala bridal dan di tengah keramaian.

Lu Xian tampak gelisah, dia terlihat tidak nyaman. “Wang Yue ….”

“Shhhh,” Wang Yue mendesis, “Lu Xian, jangan khawatir. Tidak ada sepeluh menit kita akan sampai di apartemenku,” ujarnya. Dengan susah payah, jari telunjuknya terulur berusaha menekan tombol angka di lift tersebut, tapi gagal.

Wang Yue sedikit khawatir. Pasalnya Lu Xian terlihat gelisah sejak turun dari bus yang mereka tumpangi. Wang Yue menebak jika itu terjadi karena Lu Xian tak terbiasa dengan keramaian seperti ini. Tubuhnya tiba-tiba lemah dan hampir tak sadarkan diri.

Jalan utama menuju apartemennya memang kawasan yang ramai pejalan kaki. Itu adalah wilayah taman dan berbagai toko, kafe, hingga lapak kecil yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Terutama saat malam hari seperti ini, banyak muda-mudi berkeliaran sehingga menambah kepadatan jalan.

“WANG YUE!!!”

Seruan itu berasal dari arah kanan. Dari kejauhan sosok lelaki berperawakan manis bertubuh tinggi ramping berlari ke arahnya. Tampak senyuman riang tersemat mengiringi setiap langkah yang dipijaknya. “Kenapa kau sudah sampai di sini?” tanyanya begitu lelaki tersebut sampai di hadapan Wang Yue.

“E … ceritanya panjang.”

Sebuah pukulan dilayangkan lelaki tersebut menghantam pundak kanan Wang Yue. Cukup keras karena tubuh Wang Yue sampai terdorong ke depan. “Membuatku khawatir saja. Aku pikir kau tidak akan kembali, mengingat kami tidak tahu di mana kelompok mulai terpisah. Jika sampai itu terjadi matilah aku. Namun, saat kami keluar dari hutan, kakek tua aneh itu memberitahu kami jika kau sudah keluar dari hutan sejak senja menjemput.”

Aneh, saat aku keluar dari hutan. Aku tidak menemukan seorang pun di perkampungan itu, seperti kampung tak berpenghuni. Namun, Liu Han mengatakan jika kakek tua itu melihatku keluar dari hutan. Ini aneh sekali.

Liu Han, dia adalah sahabat Wang Yue yang juga ikut dalam rombongan penelitian. Bisa dibilang Liu Han sudah seperti saudaranya. Mereka tumbuh besar bersama, jadi wajar jika Liu Han begitu khawatir ketika Wang Yue hilang di hutan.

“Oh, ya, bagaimana kau bisa keluar dari sana? Kami berusaha mencarimu, tapi kau seakan-akan hilang bak ditelan bumi. Tanpa ada jejak sama sekali yang menunjukkan keberadaanmu.”

“Aku berada di sekitar danau,” jawab Wang Yue.

“Danau?!” Liu Han berseru. Nada suaranya yang tinggi begitu jelas menggambarkan jika dia terkejut, raut wajahnya menunjukkan ekspresi bingung yang kentara. “Aneh, kenapa aku dan yang lain tidak melihat ada danau di dalam hutan, ya?” gumamnya.

Sebenarnya sejak tadi atensi Liu Han telah teralihkan, pada sosok lelaki berada dalam gendongan Wang Yue. Netra hitam polos itu memicing, menatap curiga sekaligus penasaran pada lelaki yang tertangkap indra penglihatannya itu.

“Wang Yue, dia siapa?” Liu Han menunjuk pada Lu Xian yang saat ini menyembunyikan wajahnya di dada Wang Yue.

“Dia … temanku. Yeah, temanku.”

“Huh? Temanmu? Kenapa aku tak pernah melihatnya selama ini?” ujar Liu Han.

Tidak tahu harus menjawab apa, Wang Yue hanya terdiam. Pasalnya jika dia menjawab, Liu Han pasti akan bertanya lebih lanjut dan lebih detail lagi. Wang Yue tahu betul tabiat sahabatnya itu.

“Liu Han,” panggil Wang Yue, kepalanya bergerak seolah menunjukkan sesuatu dengan gesture yang sulit dipahami oleh otak lemot Liu Han.

“Apa?” Liu Han berseru.

Dengan nada geram Wang Yue berujar, “Tekan tombol angkanya, bodoh!”

Jujur saja, Liu Han benar-benar tak paham dengan isyarat yang diberikan Wang Yue tadi. Sambil mendecih, tangannya terulur menekan angka sepuluh. Liu Han tidak habis pikir, bukankah Wang Yue punya mulut. Akan lebih mudah jika dia berbicara dengan jelas daripada memberikan isyarat seperti itu.

Cih!

Tidak sampai dua menit pintu lift terbuka. Liu Han, Wang Yue dan Lu Xian yang masih berada dalam gendongan terjebak keheningan. Bahkan, Liu Han yang biasanya cerewet pun mendadak menjadi pendiam. Mereka seperti tetap seperti itu, sampai pintu lift terbuka kembali dan mereka berpisah tanpa mengucap kata satu sama lain.

“Dia itu—”

“Abaikan. Dia temanku,” Wang Yue memotong kalimat yang akan Lu Xian ucapkan.

Jari jemari Lu Xian menyentuh wajah lelaki tampan yang masih mendekapnya, mengusap lembut, kemudian tersenyum. “My Lord, apa kalian seperti itu? Kalian terlihat canggung tadi, apa itu karena ada aku?”

Wang Yue menatap mutiara cantik itu dengan intens. Dapat dilihat ada sejuta rasa yang terpendam dalam sorot mata itu—rindu, sesak, sedih, dan cinta—yang terkunci dengan sangat rapat.


 

03 : Can I trust you?

Lu Xian menggerakkan kelopak matanya, mengejap beberapa kali. Dia terpesona akan ruangan indah yang baru pertama kali dia masuki.

Ini seperti istana.

Apartemen Wang Yue memang bukan apartemen biasa. Ruangannya dirancang dan didekorasi secara khusus. Tempatnya pun berada di lantai paling atas gedung, dimana di lantai ini hanya ada dua ruang apartemen yang dibangun.

Desain Klasik Mediteranian¹ dengan ukiran-ukiran indah menghiasi setiap sudutnya. Didominasi warna putih dan emas, membuat ruangan ini terlihat mewah. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah air mancur buatan, dikelilingi lima pilar cekung membentuk kuncup lotus berongga dan patung-patung makhluk Mitologi Yunani Kuno²—Pegasus, Siren, Griffin, Hydra, Empusa—di setiap sisinya.

Sangat menakjubkan!

Dilihat dari interior apartemen ini, sepertinya keluarga Wang Yue memang bukanlah orang sembarangan. Entah itu keturunan bangsawan atau seorang pecinta sejarah Yunani Kuno.

Masih dengan wajah terperangah, Lu Xian menapak di lantai marmer itu dengan kaki telanjang. Embusan hawa dingin yang terasa menusuk kulit membuatnya mengeryit.

Aneh, ini bukan di dalam laut tapi mengapa tempat ini terasa sangat dingin?

Dia bawa kakinya untuk melangkah, mengamati lebih detail lagi desain ruangan ini. Netra indahnya tertuju pada sebuah patung wanita berwajah menyeramkan—telinga lancip, gigi yang runcing, mata besar dan melotot—terlihat seperti, tubuh wanita itu hanya tulang belulang yang dibalut dengan kulit. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah bagian bawah tubuh wanita itu yang menyerupai ikan.

Lu Xian membalikkan tubuhnya, matanya bertemu tatap dengan Wang Yue yang tengah menarik sudut bibirnya ringan. “Ini—”

“Siren,” potong Wang Yue cepat.

“Jadi, kau sudah tahu tentang siren bukan, lalu kenapa kau bertanya padaku siang tadi?” Lu Xian menatap intens. Dia ingin mengetahui mengapa Wang Yue berpura-pura bodoh padanya, seolah tidak mengetahui siren seperti apa.

Lelaki tampan itu maju beberapa langkah, kini tubuh tingginya yang menjulang tepat berada di depan Lu Xian tanpa jarak. Kedua tangannya terangkat, menangkup pipi Lu Xian dan berucap lirih, “Hanya untuk memastikan saja. Karena … kau tidak terlihat seperti itu.”

Tatapan intens Lu Xian berubah menjadi tatapan lembut dan polos dalam sekejap. “My Lord, apa yang kau lakukan jika temanmu tadi ingin mengetahui siapa diriku?”

Wang Yue membalik badan. Melangkah mengelilingi pancuran di hadapannya. “Dia sahabatku. Sebenarnya Liu Han sudah tahu aku cukup tertarik tentang hal yang berbau mitologi seperti ini,” Wang Yue mengelus kepala patung siren, “tapi aku tak pernah menyangka jika siren benar-benar ada.”

Seulas senyum tipis hadir menambah kesan tampan pada wajah Wang Yue. Sambil menatap Lu Xian, Wang Yue berkata, “Dan jika dia ingin tahu siapa dirimu, aku akan ….”

Wang Yue memperhatikan raut Lu Xian yang biasa saja, bahkan bisa dikatakan tanpa ekspresi itu. Wang Yue kemudian terkekeh ringan, menertawai dirinya sendiri karena gagal membuat Lu Xian takut maupun waspada.

“Tenang saja, aku tidak akan pernah memberitahu siapa pun soal identitasmu.”

Lu Xian ikut menarik sudut bibirnya. Lengannya dengan lancang mengalung di leher Wang Yue, membuat jarak wajah kedua insan tersebut hanya beberapa inci saja. Lu Xian berbisik, “Bisakah aku mempercayaimu …?”

“Tentu.”

Keduanya tersenyum merekah, bak bunga yang baru saja mekar di awal musim semi. Suasana yang semula terasa dingin kini telah menghangat, bersamaan dengan dua insan yang tengah berbagi rasa. Entah siapa yang memulai kini Wang Yue dan Lu Xian sudah menautkan kedua belah bibir satu sama lain. Suara kecipak terdengar menggema dalam ruangan, mengantarkan getaran ringan di hati masing-masing.

Tanpa Wang Yue sadari, hatinya juga ikut tertaut pada Lu Xian.

“Lu Xian, bagaimana, kau suka?”

“Ini apa?”

Sebuah cairan coklat kental yang diletakkan dalam mug lucu dan menggemaskan berada di tangan Lu Xian. Ketika Wang Yue memintanya untuk meminum itu, dia langsung menyesap sedikit cairan tersebut. Maniknya melebar kala mengecap rasa manis dengan sedikit pahit yang menyeruak di lidahnya.

“Cokelat panas, itu sangat bagus diminum ketika kau merasa kedinginan.”

“My lord, ini rasanya aneh. Aku tidak suka, tapi karena kau yang sudah membuatnya untukku, maka akan aku habiskan.”

“Lu Xian, berhenti memanggilku my lord! Aku lebih suka kau memanggilku Wang Yue.”

Anggukan ringan dapat Wang Yue tangkap. Meskipun Lu Xian tak menjawab karena sibuk dengan minuman yang katanya tidak dia sukai itu, tapi Wang Yue tahu jika Lu Xian telah meresponnya.

Sekilas pikiran Wang Yue berkelana, mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Dalam satu hari ini saja dirinya sudah berciuman dengan Lu Xian sebanyak dua kali. Wang Yue tidak mengerti, kenapa dirinya begitu mudah lepas kendali? Mungkin benar apa yang tertulis dalam sebuah buku yang pernah dibacanya, jika siren adalah sosok penggoda. Buktinya, tanpa melakukan apa pun, dirinya sudah tergoda dengan siren indah di depannya ini.

Dahulu ayah Wang Yue pernah bercerita jika kakek buyutnya pernah bertemu dengan siren, tapi kala itu Wang Yue hanya menganggapnya sebagai omong kosong belaka.

Wang Yue tidak mempercayai penuturan sang ayah dikarenakan ayahnya adalah pecinta dan penggemar Mitologi Yunani Kuno juga. Contohnya saja, apartemen ini. Seluruh desain interior dalam ruangan ini adalah karya sang ayah. Sudah terlihat jelas, bukan?

Tiba-tiba Wang Yue menjadi khawatir. Jika sampai ayahnya tahu dirinya menyembunyikan sosok siren dalam apartemennya, apakah dia akan membawa Lu Xian untuk penelitian. Sial! Kenapa Wang Yue bisa melupakan hal ini?

Suara ketukan mug yang beradu dengan meja menyadarkan Wang Yue dari lamunannya. Wang Yue beralih menatap Lu Xian yang sedang mengusap bibirnya, dia meneguk ludah karena tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.

“Sudah habis?” tanya Wang Yue berusaha mengalihkan atensinya sendiri.

Lu Xian mengangguk, tangannya menelusup—mengapit—pada lengan Wang Yue yang duduk di sisinya. “Wang Yue, sudah larut malam kau tidak tidur?”

“Kau mengantuk?” Wang Yue bertanya kembali pada Lu Xian.

“Belum. Kau tahu, siren itu tidak membutuhkan waktu tidur panjang seperti manusia. Mungkin hanya sekadar memejamkan mata sejenak, terkadang tidak benar-benar pulas. Namun, di saat-saat tertentu, kami juga dapat tertidur lama.”

Wang Yue mengangkat tangannya, mengelus lembut rambut panjang Lu Xian. Dengan tampilan seperti ini, orang yang melihatnya mungkin akan salah menyangka jika Lu Xian sosok wanita.

Rambut panjang sewarna salju, mutiara indah dan bulu mata yang panjang, hidung yang pas, wajah yang putih bak permata giok dan tubuh ramping yang tingginya mungkin … sekitar 174 sentimeter. Wang Yue baru menyadari satu hal, saat tatapannya mengarah pada leher mulus Lu Xian ternyata, ia juga tidak memiliki jakun layaknya seorang laki-laki.

Dahi Wang Yue mengernyit, apa memang semua siren tidak memiliki jakun?

Pemikiran yang bodoh, runtuk Wang Yue dalam hati. Untuk apa dirinya memikirkan hal yang tidak penting seperti itu. Wang Yue mengambil mug berisi cokelat miliknya yang belum tersentuh dan menyesapnya ringan.

“My lord … ah! Maksudku Wang Yue, malam ini kita tidur bersama, ‘kan?”

Suara batuk pun menggema. Wang Yue tiba-tiba tersedak cokelat yang diminumnya saat mendengar ucapan Lu Xian barusan. Tidur bersama? Eum, itu—

“Eh, Lu Xian, aku sudah menyiapkan kamar untukmu. Jadi, kita tidur di kamar masing-masing, oke.”

“Kenapa?”

“Ee, itu karena kita tidak mungkin tidur bersama. Kita baru saja saling mengenal, Lu Xian.” Dan juga, aku bisa lepas kendali jika tidur denganmu, lanjut Wang Yue dalam hati.

Tatapan tak suka dan dingin Lu Xian layangkan pada Wang Yue. “Baru saja saling mengenal?” tanya Lu Xian yang dijawab anggukan ringan oleh Wang Yue, “tapi kita bahkan sudah berciuman dua kali.”

Tepat!

Perkataan yang meluncur dari bibir Lu Xian itu tepat dan tak bisa disanggah lagi oleh Wang Yue. Baiklah ciuman pertama memang Lu Xian yang memulai dan itu pun hanya sebuah kecupan ringan. Namun, untuk yang kedua, itu murni Wang Yue dan Lu Xian sama-sama mengawalinya. Ciuman intens dan dalam yang membuat keduanya melayang, bahkan lupa akan tanah yang mereka pijak.

Seperti tak bisa mengelak lagi, Wang Yue akhirnya menghela napas pasrah. “Baiklah, kita tidur bersama.”

Tarikan di kedua sudut bibir Lu Xian seketika hadir menghiasi paras eloknya, membuat Wang Yue juga membalas dengan senyuman ringan. Dan sepertinya, malam ini akan menjadi malam berat penuh ujian untuk Wang Yue. Menguji ketahanan tubuhnya agar tak lepas kendali dan berakhir bertindak bodoh atau melakukan hal iya-iya pada Lu Xian.

Aihhh, Wang Yue, kau harus bertahan.

|

Desain Klasik Mediteranian¹ adalah desain yang mengacu pada gaya desain interior rumah-rumah di negeri sebelah selatan Eropa, seperti Yunani, Italia, dan juga Spanyol, gaya Mediterania sangat dipengaruhi unsur-unsur alam setempat.

Mitologi Yunani Kuno² adalah sekumpulan mitos dan legenda yang berasal dari Yunani Kuno dan berisi kisah-kisah mengenai dewa dan pahlawan, sifat dunia, dan asal usul serta makna dari praktik ritual dan kultus orang Yunani Kuno.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!