“Namanya Oxa Bari, dan aku jatuh cinta padanya, Jeya…”
Dari balik dekapan erat suaminya, terdengar bisikan sayu untuknya. Mulut itu seakan getir untuk melanjutkan. Wanita dalam dekapan itu pun tahu bagaimana hati sang suami sedang dalam kuatnya dilema.
“Jeya, maaf…”
Perihnya kata maaf, baru kali ini ia dengar dari mulut yang selalu memberikan kehangatan.
Ia tergugu untuk sesaat. Berpikir setelahnya. Rasa “nyess” di hatinya barusan, perlahan tertutup oleh kesadaran.
Jeya, wanita yang terjatuh ke dalam cinta milik Guara. Begitu pun sebaliknya, Guara terjatuh ke dalam cinta milik Jeya sejak pertama kali mengenal istrinya.
Guara adalah seorang lelaki biseksual, dan Jeya tahu itu. Sebelum memutuskan menikahi Jeya, begitu lama Guara berperang dengan diri. Berbagai pertanyaan yang berujung jawaban menyakitkan ada.
Namun, Jeya meyakinkan dirinya. Semua akan baik-baik saja.
Hampir setiap hari Jeya meyakinkan, tidak akan ada apapun yang terjadi di depan. Guara tidak perlu mengkhawatirkan hal yang belum tentu akan terjadi.
Tetapi, Jeya tidak mengerti. Bagaimana perasaan terdalam seorang biseksual seperti Guara.
Alasan mengapa Guara begitu lama tidak juga kunjung melamar Jeya.
Ketakutan selalu menyerangnya setiap malam.
Lelaki ini sangat takut apabila suatu waktu akan melukai Jeya.
Wanita terbaik yang pernah ia kenal.
Ketika,
“Aku mencintaimu, Jeya… tapi, rasanya masih ada sesuatu yang kosong disini…”
Guara menunjuk hati. Wajahnya menunjukan kekalutan pasti. Keraguannya sangat besar untuk berani mengulurkan tangan meraih jemari wanitanya.
Tidak lama, mulutnya terbuka. Lirih sekali kembali terdengar suaranya,
“Aku bahkan tidak bisa menjanjikan apapun…”
Kepalanya menunduk, sedih karena ia tahu setiap perkataannya pasti sangat menyakiti hati wanitanya.
Tidak ada balasan apapun, Guara sendiri tidak sanggup untuk sekadar menatap mata cantik Jeya.
“Jeya, maaf…”
Untuk yang kedua kali kata maaf menyakitkan itu kembali terdengar. Pelukannya semakin mengerat disetiap tarikan dalam nafasnya.
Jeya, menatap kosong langit-langit kamar mereka.
Beberapa tahun ini, kehidupan pernikahan mereka berjalan lancar-lancar saja.
Masalah tetap ada tapi, itu hanya sekadar masalah rumah tangga biasa pada umumnya.
Guara, suaminya, lelaki yang teramat dicintainya selalu memasang wajah lembut, selalu memberikan suara hangat dalam rumah kecil mereka.
Beberapa tahun ini Jeya sempat lupa akan jati diri Guara.
“Jeya, maaf…”
Kata maaf yang tak kunjung berhenti. Meremas hatinya disana. Remuklah perasaannya.
“Jeya,…”
“Apakah Guara sudah menemukan isinya?…”
Sedikitnya suara wanitanya bergetar. Mencoba bersikap biasa.
Tetapi, tidak mungkin Guara tidak tahu. Perasaan mana yang tidak akan sakit jika seseorang yang sangat dicintai mencintai yang lain?
“MAAF, JEYA!! MAAF!!”
Bukan Guara yang seharusnya menangis. Jeyalah yang seharusnya berteman dengan air mata.
Mengapa Guara seakan begitu menyesal?
“Apakah Guara sudah menemukan isinya?…”
Pertanyaan yang sama Jeya ajukan untuk Guara.
Pelan wanitanya melepaskan diri dari pelukan. Menatap Guara penuh kehangatan.
Guara memilih menunduk karena tidak berani berhadapan dengan mata lurus itu.
Wajah cantik nan lembut yang selama ini memberikan kenangan indah untuknya.
Wajah cantik yang terkadang menangis karena kekhawatirannya ketika dirinya terlambat pulang bekerja.
Dan sekarang, wajah cantik itu seakan kosong. Karena dirinya.
Karena pengakuannya yang tak tahu malu.
“Guara…”
Jeya tetaplah Jeya. Wanita miliknya yang tidak akan mampu memarahinya.
Jemari lentiknya bahkan ia ulurkan hanya untuk menangkup wajah Guara, membawa wajah lelakinya kembali tegap.
“Tatap aku, Guara”
Hanya sebuah gelengan yang Jeya terima. Namun dengan sabar, wanitanya mengelus wajah tampan itu.
“Siapa tadi namanya? Oxa Bari?”
Bunyi “nyut” terasa langsung menyerang hati Guara begitu Jeya bertanya.
“Jeya…”
“Jelaskan padaku dengan baik, Guara. Aku akan mendengar. Jangan hanya memanggil namaku dan meminta maaf”
Keduanya saling menatap. Jeya mengusap sisa air mata di pipi Guara.
“Bawa saja dia kesini…”
“Aku sudah membawanya. Maaf…”
“Dia perempuan?…”
Guara menggeleng lemah. Jeya terdiam.
“Jeya,…”
“Biarkan aku mandi terlebih dahulu sebelum bertemu dengannya, ya.”
Wanitanya berlalu. Sosok cantik itu perlahan menghilang. Masuk ke dalam kamar mandi.
Dari sudut mata, Guara dapat melihat bagaimana rapuhnya punggung kecil itu.
Dan, ia dengan sangat berdosa membawa rasa sakit untuknya.
——-
” ini bukan sebuah kesalahan…”
Ya, ini bukan sebuah kesalahan.
Jeya terduduk lemas dibalik pintu. Menangis sendiri dengan sekuat tenaga meredam suaranya.
Guara seorang biseksual. Jeya sangat mengerti bagaimana perasaan seorang bi.
Jeya yang seorang lulusan ilmu psikologi, memahami setiap perbedaan manusia.
Yang terlahir normal maupun sebaliknya.
Biseksual yang merupakan sebuah penyimpangan, sama halnya seperti homoseksual dan lesbian.
Manusia pada dasarnya adalah seorang heteroseksual yang akan jatuh cinta pada lawan jenis. Namun terkadang ada yang jatuh cinta terhadap sesamanya atau bahkan keduanya.
Seperti itulah Guara. Sejak pertama mengenal Guara, lelaki itu telah menyimpang jauh dari kodratnya.
Masalah sosial yang kerap terjadi namun dengan sangat baik tertutupi.
Jeya jatuh cinta, pada Guara. Karena pribadi lembut dan bijaknya.
Karena sikap jujurnya mengenai dirinya.
Sekalipun Guara tidak pernah menutupi apabila dirinya adalah seorang bi.
Lelaki itu malah dengan tegas mengatakan orientasi seksualnya yang berbeda.
Namun ketika Jeya bertanya,
“Jadi Guara pernah berpacaran
dengan laki-laki dan perempuan?”
Dan ” tidak” adalah jawabannya.
“Lalu bagaimana Guara tahu kalau Guara seorang bi?”
Pertanyaan Jeya yang satu itu, dibalas Guara dengan tawa.
“Karena ketika aku melihat keduanya, rasanya sama-sama menarik”
Benar, Jeya. Sejak awal kau tahu kemungkinan besar yang akan terjadi di depan.
Hatinya mencoba menenangkan. Tetapi air mata tak juga mau berhenti.
Ia nyalakan shower. Membasahi diri. Membiarkan air matanya jatuh bersama tetesan air.
——-
Setelah menikah, Guara memutuskan membeli sebuah rumah berukuran tidak terlalu luas. Saat itu hanya ada dua kamar tidur. Niatnya satu kamar tidur yang tersedia untuk buah hati mereka nanti.
Selang setahun usia pernikahan, Jeya tak juga hamil. Wanita cantik itu malah meminta dibangunkan sebuah kamar.
Katanya untuk buah hati kedua mereka. Guara hanya terkekeh mendengar penjelasan Jeya.
Bagaimana ada buah hati yang kedua saat buah hati yang pertama saja belum terealisasi?
“Siapa sangka anak kita nanti kembar. Guara akan menyesal nanti”
Begitu ocehnya. Guara hanya mengangguk-angguk menyetujui.
Saat membahas seorang anak, Guara merasakan kerinduan yang teramat. Entah untuk apa.
Rasanya hanya rindu bercampur kesedihan.
Selepas itu, rumah kecil mereka bertambah satu lagi kamar.
Jadi, ada dua kamar kosong disana.
Sampai di usia pernikahan mereka yang ke-3, Jeya tak juga kunjung hamil.
Keduanya berpikir mungkinkah ada masalah?
Ketika pergi ke dokter kandungan dan anak, dokter menyatakan kondisi keduanya sehat.
Lalu mengapa Jeya tak kunjung hamil?
Berbagai saran dari dokter akhirnya datang. Mulai dari waktu yang tepat untuk berhubungan intim sampai makanan sehat yang wajib keduanya konsumsi.
Dan, hasil tetap nol.
Setahun kembali berlalu tanpa adanya janin dalam perut Jeya.