Sekarang adalah awal musim panas yang ke-5 bagi Guara dan Jeya. Tahun kelima yang ternyata membawa kejutan besar di dalam pernikahan mereka.

Jeya melangkahkan kaki pelan menuju ruang tamu. Masih dalam jarak yang lumayan jauh mata cantiknya melihat sosok laki-laki berambut coklat dengan warna kulit putih disana.

Tinggi tubuhnya mungkin hanya berbeda sedikit saja dengan Guara. Kelihatannya ia adalah sosok yang tegas. Jeya bisa melihat matanya yang tajam.

Selintas, sebuah pertanyaan datang dikepalanya.

Bagaimana mereka bisa saling mengenal?

Apakah Guara yang terlebih dulu mengulurkan tangan?

Ataukah laki-laki itu yang mendekati Guara?

Dan, apakah benar mereka sudah saling mencintai?

Hatinya kembali teriris, Jeya diam untuk beberapa waktu. Menetralisir nafasnya, menenangkan diri, barulah kembali berjalan menuju cinta baru milik Guara.

Ketika Jeya tiba, betapa terkejutnya lelaki bernama Oxa Bari itu. Manik matanya ternyata begitu terang bagai berisikan cahaya.

Jeya membungkukan tubuh sopan sebagai sapaan. Cepat dibalas Oxa dengan sapaan yang sama.

Keduanya berdiri canggung. Jeya yang bingung dan Oxa yang sepertinya tak enak hati terhadap Jeya.

Dimana Guara?

Ah, lelaki itu sedang menenangkan diri di taman kecil miliknya. Ada sebuah rumah kelinci disana. Di dalamnya terdapat dua ekor kelinci berwarna putih dan coklat. Guara membelinya baru-baru ini.

Saat melewati toko hewan, entah bagaimana ia terpikir untuk mempunyai dua ekor kelinci dengan warna putih dan coklat.

Hatinya damai saja ketika melihat, seakan ada sesuatu yang memang persis sama dengan dua ekor kelinci itu.

“Aku menamai kalian Jeya dan Oxa…” Guara berbisik pada dua kelinci yang sedang memakan beberapa wortel di depannya.

“Kau adalah Jeya…” begitu katanya dengan mengelus si kelinci putih.

“Dan, kau adalah Oxa…” lanjutnya mengelus si kelinci coklat.

“Jeya, aku begitu jatuh cinta padamu. Tapi, rasa kosong di hatiku menghilang begitu saja saat aku mengenal Oxa…”

Guara menatap langit, biru sekali disana.

“Bukankah aku adalah manusia paling buruk?…”

Pahit tidaknya hidup adalah pilihan. Dan, Guara telah memilih hitam dan putih dalam waktu bersamaan.

——-

“Duduklah…” Jeya mempersilahkan. Oxa menurut.

Keduanya cukup lama saling diam menatap dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Jeya mempersilahkan Oxa untuk duduk.

“Kupikir kau laki-laki yang cantik…”

“Ya?” Oxa refleks menatap Jeya. Suara Jeya yang lembut terasa nyaman sekali ditelinga.

“Ternyata kau sangat tampan melebihi Guara” Jeya terkekeh kecil. Oxa hanya menatap diam.

“Terimakasih…”

“Namamu Oxa Bari?”

Oxa mengiyakan. Begitu bertemu dan mengobrol langsung dengan Oxa, Jeya menjadi cukup tenang dengan keadaannya.

“Oxa, namamu seperti nama pasangan romantis yang melegenda. Oxa tahu?”

“Ya.”

“Nama Guara juga persis seperti nama istri dari pasangan yang melegenda itu”

“Ya. Jeya benar”

“Ah, Oxa sudah tahu siapa namaku?”

“Ya”

“Guara yang memberitahu?”

“Ya”

Balasan Oxa sangat singkat.

“Mengapa balasanmu sangat singkat? Apa kau tidak nyaman bersamaku? Guara mungkin sekarang berada di taman kecil rumah ka-“

“Tidak. Bukan seperti itu, Jeya. Maaf…”

“Jangan meminta maaf”

“Aku tidak ada hubungan apapun dengan Guara…”

Jeya malah tersenyum atas perkataan Oxa. Ucapannya seakan terburu-buru dan cemas.

Jeya tahu jika lelaki didepannya ini memang saling menyimpan rasa dengan suaminya.

“Aku tahu. Guara sudah memberitahuku. Oxa tidak perlu lagi berbohong seperti itu…”

“Aku memang tidak memiliki hubungan apapun dengan Guara, Jeya.”

“Bukankah kalian saling jatuh cinta?”

“Benarkah?”

“Seperti itulah yang Guara katakan padaku…”

“…..”

“Guara membawamu kesini karena hubungan kalian sudah terarah, bukan?”

Oxa terenyuh, bagaimana bisa perkataan seperti itu keluar dari mulut Jeya?

Sebersih apa hati Jeya hingga mampu menerima kehadiran Oxa?

Ini sama seperti kisah wanita yang dimadu. Hanya, Oxa laki-laki dan Jeya wanita.

“Kalau kau marah, marahlah Jeya. Berilah pelajaran untuk Guara”

Begitu Oxa berkata. Suaranya lantang dan jelas.

Jeya cukup terpaku karenanya.

“Aku tidak marah, aku hanya sedih…”

“Marahlah”

Oxa mengira Jeya akan membalas sesuatu, tetapi wanita cantik berparas lembut didepannya malah tersenyum. Kemudian meraih jemari tangannya. Menggenggamnya seolah istri pertama sedang memberikan petuah kepada istri kedua.

“Guara mencintai Oxa. Sesuatu didalam hatinya yang kosong sudah terisi…”

“Lalu kau begitu saja menerima?”

“Oxa…”

“Jeya, kau berhak marah. Kau berhak menolak jika kau memang tidak mau Guara bersikap seperti itu”

“Sudahlah, Oxa. Apa kau akan tinggal bersama dengan kami?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Jeya”

“Aku menerima apapun Guara, Oxa.”

Perdebatan mereka berakhir karena Jeya memilih meninggalkan Oxa. Wanita itu pergi ke arah taman dimana disana ada Guara.

Guara yang sedang bersama kelincinya, berpaling begitu tahu seseorang datang.

“Jeya,”

“Temani Oxa. Aku meninggalkannya sendiri di ruang tamu”

“Kalian sudah bertemu?”

Jeya mengangguk. Guara menghela nafas. Bangkit berdiri, mendekat pada Jeya.

“Boleh aku memelukmu?” Pinta Guara. Jeya mengangguk.

“Marahlah. Marahlah Jeya…”

Guara berbisik. Namun hanya usapan hangat di punggung yang ia dapat. Bukan amarah maupun makian.

“Lain kali, ayo kita pergi piknik bersama”

Guara tidak membalas apapun. Dari balik peluknya terdengar tawa renyah Jeya.

“Aku sudah tidak apa-apa, Guara. Lagipula aku suka pada Oxa heheh”

“Ya?”

Langsung ditatapnya wajah istrinya.

“Jeya suka Oxa?”

Jeya mengangguk.

“Jeya tidak boleh menyukai Oxa”

“Oxa jauh lebih tampan dari Guara”

“Iya tapi Jeya hanya boleh menyukaiku”

“Lalu kenapa Guara boleh menyukai Oxa?”

“Ah, itu karena…”

“Bagaimana kalau aku yang seorang heterosexual menyukai dua pria sekaligus?”

“Jeya. Aku serius”

“Aku juga serius Guara”

Guara terhenyak. Jeya menatap lurus matanya. Tanpa satu kedipan pun yang terjadi.

“Guara tahu, aku pikir Oxa adalah laki-laki yang cantik. Tapi, ternyata dia jauh dari apa yang terbayangkan”

“Jeya jangan katakan kau-“

“Aku pasti akan sangat menyayangi Oxa heheh”

——

Guara terhuyung, lemas sekali tubuhnya. Karena percakapannya tadi dengan Jeya.

Mengapa istrinya bisa menjadi berubah sikap seperti itu setelah bertemu dengan Oxa?

Apa yang telah Oxa lakukan padanya?

Atau mungkinkah memang benar jika istrinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Oxa?!

Argh. Guara menjadi lesu karenanya.

Ia memang tertarik dengan Oxa, tapi bukan berarti Jeya juga.

Jeya miliknya. Oxa sendiri belum resmi menjadi miliknya.

“Kau kenapa? Apa begitu caramu memperlakukan seorang istri?”

Ocehan yang familiar. Guara sudah sangat hafal dengan ocehannya. Tegas dan lantang.

Siapa lagi kalau bukan Oxa Bari. Laki-laki muda dengan usia 7 tahun dibawahnya. Sekarang sedang menatapnya penuh selidik.

Sedikit seringai Oxa berikan untuk Guara.

“Kau! Sejak kapan kau berubah menjadi tidak manis seperti itu?!”

Bentak Guara. Menuding Oxa yang hanya memutar bola mata.

“Kalau aku tahu pak direktur sudah beristri, aku tidak mungkin mau diajak begitu saja ke rumahmu”

“Kau!”

“Lancang sekali anda mengatakan pada istri anda jika kita sudah saling mencinta? Anda bermimpi?”

“Kau!” Guara mulai geram. Oxa yang biasanya ia lihat di kantor adalah pria muda yang manis. Ia akan langsung mempersembahkan senyum terbaik begitu Guara lewat didepannya.

“Anda sudah cukup tua, pak. Lebih baik pikirkan bagaimana kelangsungan rumah tangga bapak”

“Dimana sopan santunmu,Oxa?”

“Disini bukan kantor. Hubungan kita sekarang adalah orang lain. Bukan bawahan dan atasan, pak direktur Guara Reen”

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!