Author : Keyikarus

[Chapter 17]

 

Seorang pelayan membungkuk mengucapkan selamat datang saat Yanzi masuk dari pintu restoran. Karna dia sudah dikenal disini, dia mengatakan tujuannya bahkan sebelum pelayan itu menanyakan.

“Aku sudah ada janji dengan Daren.”

Pelayan itu dengan sopan mengantarkan Yanzi ke sebuah ruangan yang dipesan Daren. Lalu meninggalkannya.

Saat Yanzi masuk, dia melihat diruangan itu tidak hanya ada Daren saja, tapi juga orang lain. Seorang pelayan menuangkan wine untuk mereka.

“Yanzi, kau datang tepat waktu. Aku sudah memesankan makanan yang biasa kau makan.” Ucap Daren saat melihat Yanzi. Dia terkekeh mentertawakan ucapannya.

Dia tidak bisa menyebutnya makanan favorit Yanzi, karna dia tahu itu bukan. Dan Daren sama sekali tidak tahu apa makanan favorit sepupunya yang semakin hari semakin kaku menyerupai tiang listrik ini.

Yanzi menarik kursi diseberang sepasang manusia itu. Lalu dengan acuh meminum wine yang dituangkan pelayan.

“Aku tak menyangka kita akan bertemu dengan cara ini. Yanzi, kau masih mengingatku?”

Yanzi mengangkat sebelah alisnya menatap wanita disamping Daren. Tapi dia sama sekali tidak merasa kenal.

Wanita itu sedikit kecewa saat melihat Yanzi tidak mengatakan apapun meski sudah meletakkan kembali gelasnya.

Justru Daren yang berbicara dengan nada terkejut, “Kau mengenal Yanzi? Kenapa tidak mengatakannya sebelumnya?”

Wanita itu tertawa renyah dan mengalihkan tatapannya dari Yanzi pada Daren.

“Maaf. Sebelumnya aku tidak yakin apakah Yanzi yang ku kenal sama dengan yang kau kenal. Tapi siapa yang menyangka memang sama.” Ungkapnya dengan nada senang.

Daren melirik Yanzi yang hanya menatap mereka seperti menonton hiburan belaka. Seolah yang sedang dibicarakan bukanlah dirinya.

“Begitukah? Dimana kalian kenal?” Tanyanya ingin tahu. Pasalnya dia sama sekali tidak banyak tahu hubungan sepupunya itu dengan wanita semenjak dia meninggalkan keluarga besar mereka.

“Itu sudah cukup lama. Aku kakak kelasnya di sekolah menengah dulu. Kami memiliki sedikit kenangan bersama.” Ujar wanita yang Yanzi tak tahu namanya itu dengan malu-malu.

Daren menatap Yanzi dengan senyuman menggoda. “Kenapa kau tidak bilang jika pernah memiliki hubungan dengan Suyi?”

“Tidak ingat.” Sahut Yanzi singkat.

Daren hanya bisa tertawa kering mendengarnya. Sementara wajah Suyi berubah pucat pasi. Dia merasa sangat dipermalukan.

Daren yang mengetahui kesulitan Suyi berusaha meringankan suasana, “Jangan diambil hati. Ingatan Yanzi memang buruk.”

Suyi berusaha tersenyum maklum. Dia menata perasaan dan ekspresinya dengan baik. Lalu meraih gelas sebagai pengalihan.

Sementara Yanzi justru meletakkan gelas kosongnya. Lalu dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi dia berkata, “Jam makan siang sudah habis. Aku harus kembali ke kantor.”

Yanzi tidak berminat menyentuh makanannya dan berlama-lama disini. Dia memiliki banyak hal untuk diurus.

Daren menghela nafas. Sepupunya ini masih saja tidak tahu sopan santun. Daren hanya bisa tersenyum masam melihat wajah Suyi bertambah buruk karna Yanzi sama sekali tidak menatapnya.

Sebenarnya Yanzi tidak memiliki pikiran mempermalukan atau bagaimana. Dia sungguh tidak ingat siapa wanita bernama Suyi itu. Jadi dia tidak mau repot-repot bersikap baik padanya. Kecuali jika dia cukup penting.

Pekerjaan yang menumpuk membuat Yanzi baru tiba dirumahnya jam sebelas malam. Suasana sudah hening. Hanya terdengar obrolan samar sekuriti yang mendapat giliran jaga dipos depan.

Yanzi melepas semua pakaiannya dan menikmati siraman air hangat ditubuhnya. Dia mendesah melepaskan semua lelahnya.

Dia yang sedang menggosok tubuhnya terdiam, merasakan hawa samar yang mendekatinya. Membuat Yanzi mengerutkan dahinya.

Dia dengan hati-hati menoleh, mengamati sekitarnya yang tenang. Hanya terdengar bunyi gemericik air dari shower. Setelah berpikir sebentar, Yanzi memilih mengabaikan apapun itu dan melanjutkan kegiatannya.

Tapi baru satu gosokan, Yanzi kembali menghentikan gerakannya. Setiap manusia pasti memiliki insting merasakan bahaya. Dan insting Yanzi sepertinya sedang bekerja maksimal.

Dia merasa sangat tidak nyaman, seolah ada yang sedang mengamatinya dan bersiap melakukan sesuatu padanya. Yanzi kembali menoleh. Mengamati sekitar dengan waspada.

Kosong.

Dia masih sendirian dikamar mandi ini. Bahkan dikamarnya. Yanzi menghela nafas lalu membilas dirinya tanpa menggosoknya lebih lanjut.

Pagi harinya, Yanzi melihat ibunya sudah menunggu di meja makan. Dia mengucapkan selamat pagi dan mengecup pipinya.

Seorang pelayan membantu menarik kursi untuk Yanzi.

“Rasanya ibu kesepian tidak ada Yumi.” Gumam Marina.

“Anggap saja seperti saat ibu menginap dihotel.” Gumam Yanzi seraya memulai sarapannya.

Marina tersedak makanannya dan dengan buru-buru meminum air putih. Dia menatap Yanzi dengan raut terluka.

“Itu jangan disamakan dengan ini. Kondisi yang memaksaku melakukannya.” Bantah Marina.

Yanzi selalu tahu sikap ibunya yang satu ini. Saking lemahnya kepribadiannya, dia bahkan bisa berlari sendiri meninggalkan anak-anaknya. Namun dia akan menuntut anak-anaknya tetap mendukungnya.

Bersyukurlah Yanzi memilih keluar dari keluarga besar ayahnya sebelum kemungkinan ibunya yang lemah mengorbankan Yumi demi dirinya sendiri terjadi.

“Aku tahu. Makanlah ibu, Yumi akan pulang minggu depan. Bersabarlah.” Gumam Yanzi.

Tidak ada percakapan lagi selain Yanzi yang berpamitan pergi ke kantornya. Yanzi dengan cepat tenggelam dalam kesibukan pekerjaan. Melakukan meeting bulanan dan bertemu beberapa klien hingga jam menunjukkan sore hari.

Yanzi mengangkat telepon di mejanya yang berbunyi. Itu Mira. Dia mengatakan putra kedua Wijaya menghubungi, menanyakan kapan bisa memiliki waktu untuk bertemu.

Karna menurut sekretarisnya, Regalih ingin bertemu untuk membicarakan masalah pribadi yang mendesak, Yanzi mengatakan Regalih bisa makan malam dirumahnya.

Dia memilih membawa sebagian pekerjaannya pulang saat melihat sudah waktunya makan malam.

Saat sampai dirumah, dia melihat Regalih sudah duduk dimeja makan bersama ibunya. Mereka terlihat berbasa-basi dengan baik.

“Maaf, aku terlambat.” Gumam Yanzi.

Waktu makan malam sudah terlewat, ibunya dan Regalih sudah menyelesaikan makan mereka. Yanzi pun sedang tidak merasa lapar.

“Tidak masalah. Aku tahu kau sibuk.” Regalih tersenyum.

“Yanzi, bagaimana kau mengundang seseorang makan tapi kau terlambat?” Tegur Marina.

Sekali lagi Yanzi meminta maaf. Kali ini pada ibunya. Setelah itu dia mengajak Regalih ke ruang kerja untuk membicarakan keperluan pria itu.

“Kau tidak ingin makan malam dulu?” Ucap Regalih saat mereka duduk di sofa ruang kerja.

“Aku tidak lapar. Mengapa kau tidak mengatakan urusan pribadi apa yang membuatmu menemuiku?” Ucap Yanzi bersamaan dengan seorang pelayan yang mengetuk pintunya untuk mengantarkan teh.

Regalih membiarkan pelayan itu selesai menata teh dan biscuit di meja dan pergi sebelum bicara.

Dia menatap Yanzi ragu, lalu berkata: “Kau mungkin sulit mempercayai ini. Sesungguhnya aku juga. Adikku merasa diteror oleh sesuatu yang katanya hantu.”

Yanzi diam mendengarkan. Regalih sedikit tenang saat melihat tidak ada perubahan berarti pada wajah Yanzi. Sebenarnya dia khawatir orang yang rasional seperti Yanzi tidak akan mempercayainya. Lalu mengejeknya.

Jangankan orang lain, Regalih sendiri sangat meragukan hal ini saat adiknya pertama kali bercerita. Dia menganggapnya bermain-main. Tapi itu sudah nyaris sebulan dan kondisi mental adiknya semakin memburuk. Regalih tidak berani tidak mempercayainya lagi.

Sementara kedua orang tuanya dan kakaknya sibuk, hanya dia yang bisa memantau prilaku adiknya. Dan dia semakin khawatir menemukan adik perempuannya itu seperti nyaris gila.

Dia tidak bisa membiarkan orang tua mereka tahu kondisi adiknya dan menyalahkannya. Jadi dia bermaksud menemui teman dekat adiknya untuk mengetahui sedikit banyak penyebab perubahannya. Dia ingat keanehan adiknya dimulai sejak dia menginap dirumah keluarga ini.

“Aku tidak memintamu mempercayai ini begitu saja, aku hanya ingin menemui adikmu dan menanyakan apa yang mungkin dilakukan mereka dirumah ini hingga Arlene berubah seperti itu. Kondisi mental dan tubuhnya sangat memprihatinkan.” Keluh Regalih.

“Yumi sekarang tinggal diasrama sekolahnya.” Sahut Yanzi datar. Dia bukan orang yang menunjukkan simpati dengan mudah. Kebanyakan orang menyebutnya berhati dingin.

Regalih mengangguk mendengar ucapan Yanzi. “Aku tahu. Ibumu sudah mengatakannya. Tapi karna sudah sampai sini, aku tetap ingin bertanya padamu.”

Yanzi menatap Regalih beberapa saat lalu meraih cangkir tehnya. Dia menyesapnya sedikit sebelum bicara, “Kau tidak membicarakan kondisi Arlene pada ibuku?”

“Tentu saja tidak. Aku tidak perlu menyeret banyak orang untuk memikirkan masalah ini.” Tegas Regalih. Dia menunjukkan kebanggaan saat mengatakannya.

Yanzi mengangguk lalu berkata, “Kami juga mengalaminya.”

Ucapannya membuat Regalih tertegun. Pria itu merasa salah dengar, tapi jelas diruangan ini hanya ada dia dan Yanzi. Kemungkinan salah dengar itu kecil.

******


<< Juena 16

Recommended Articles

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!