Author : Keyikarus
[Chapter 30]
Pagi ini Jean bangun dengan lingkaran hitam dimatanya. Penyebabnya tentu saja Mio yang merecokinya dengan terus bertanya dimana bibinya tiap kali terbangun dari tidur. Putrinya itu sama sekali tak bisa tidur nyenyak yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak juga.
Yang kedua, Leihan meneleponnya di tengah malam dan mengatakan akan menuntut Vivian karna menganiayanya. Bahkan pria yang terlihat tenang namun tak masuk akal itu mengiriminya foto bukti. Dia bilang jika Vivian tak datang menemuinya hari ini maka kasus ini akan ditangani polisi. Terkadang selalu ada tuan muda merepotkan seperti ini.
Ini jelas kondisi yang tidak menguntungkan untuk Zigan.
Tapi, apa pria itu tidak berpikir jika kemungkinan dia hanya akan meruntuhkan harga dirinya dengan mengatakan kepada semua orang jika dia dianiaya oleh gadis kecil penyakitan? Ini akan menjadi ejekan yang ditanggungnya seumur hidup.
Pemikiran itu membuat Jean yakin Leihan tidak akan terlalu berlebihan.
Tapi tetap saja, bagaimana bisa meskipun sudah pergi Zino masih mengantarkan masalah ke depan wajahnya? Seberapa dalam dendam anak itu sebenarnya padanya?
“Tuan, nona Mio menolak keluar dari kamar nona Vivian.” Salah seorang pelayannya melapor.
Jean menghela nafas lelah. Ini sudah keterlaluan jika hanya disebut melekat. Zino itu seperti mantra jahat yang sengaja membuat hidupnya sulit.
“Biarkan saja, aku akan ke sana untuk membujuknya.” Jean melambaikan tangannya mengusir pelayan itu.
Sebelum ke kamar Vivian, dia menghubungi seseorang yang seharusnya bisa mengendalikan Leihan.
“Ya?”
Jean mendesah lega mendengar jawaban normal Zinan. Dia bisa meledak jika Zinan pun bertingkah saat ini.
“Leihan menuntut Vivian karna menganiaya dirinya. Tolong urus itu.”
“Penganiayaan? Apa kau bercanda?”
Jean mengerti ketidakpercayaan pria diseberang telepon. Dia juga tak akan percaya jika yang melakukannya adalah Vivian. Tapi ini Zino, dia justru tidak percaya jika pemuda itu tidak melakukannya.
“Bukti dan saksi sudah dimilikinya. Jika sampai nanti malam Vivian tidak datang dan meminta maaf padanya maka masalahnya akan dilimpahkan ke kepolisian.”
“Maksudnya datang dan naik ke ranjangnya?! Leihan ini sungguh melupakan batasannya.”
Mendengar Zinan menggeram jengkel, membuat Jean lega. Setidaknya pria itu akan mengurus Leihan dan dia mengurus Mio juga Vivian. Dia pikir sudah saatnya gadis itu kembali agar masalah yang ada tidak semakin memusingkan.
Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia terus memaksa Zino menjadi Vivian.
Setelah mengatakan beberapa hal lagi pada Zinan, Jean memutuskan sambungan.
Pria itu membuka pintu kamar Vivian dan melihat Mio meringkuk diranjang. Dia mendekati putrinya dan mengusap kepalanya dengan sayang.
“Sayang, kita mandi, oke. Ikut papa ke kantor.”
Jean menyesali ini. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya tapi juga tak bisa mengabaikan Mio.
Dia menyadari jika selama ini tidak banyak yang dilakukannya untuk gadis kecilnya selain memberinya uang dan kenyamanan. Mungkin Mio bahkan tak memiliki kenangan bagus tentangnya.
Jadi Jean pikir mulai sekarang akan selalu ada untuk gadis kecil ini. Sebisa mungkin berada didekatnya agar mereka memiliki kedekatan selayaknya ayah dan anak.
“Aku ingin bertemu bibi.”
Jean mengangguk dan memeluk putrinya.
“Tentu saja kita akan bertemu dengan bibimu. Bersabar untuk beberapa hari. Saat ini bibimu sedang melakukan sesuatu.”
“Tapi….”
“Jadilah patuh. Bibi mungkin tidak akan menyukaimu lagi jika kau menjadi anak nakal.”
Mio mengangguk dan menurut saat ayahnya memandikannya, mengajaknya sarapan sampai membawanya ke kantor.
Yang mencolok, Mio juga menyeret Mimi bersamanya.
*****
“Aku tidak menyangka kau datang. Kemana saja kau selama ini?” Tanya kakak Doni pada Zino tanpa menghentikan kegiatannya memakaikan baju pada Bima.
“Aku merantau.” Zino menjawab dengan bangga. Bukankah itu terdengar keren dan mandiri?
“Kau kelihatan lebih baik daripada dulu, tolong ajak Doni merantau juga. Anak itu kerjaannya hanya keluyuran bersama teman-teman berambut warna-warninya. Kelakuannya itu jadi gunjingan tetangga. Kan aku yang malu. Dia bahkan menggerutu hanya karena menjaga Bima setengah hari….”
Zino meringis mendengarkan omelan panjang lebar wanita beranak satu itu tentang Doni.
Dalam hati dia juga menggerutu, bagaimana bisa dia mengajak Doni, pekerjaannya ini masuk kategori sangat langka yang hanya dirinya yang bisa melakukannya.
“Nah, Bima main sama paman Zino. Jangan nakal.”
Zino refleks memegangi Bima saat ibu anak itu meletakkannya dipangkuan Zino dan berangkat kerja. Dia sama sekali tak memiliki rasa segan sedikitpun meski sudah lama tak bertemu.
Tapi itu bukan hal buruk.
Ayah Bima sudah pergi kerja lebih pagi karna jarak yang cukup jauh.
Setelah hanya ada dia, Bima dan orang yang sedang terkapar di kasur tipis, Zino menyeringai senang.
Dia membisiki Bima agar loncat dan menjadikan Doni sebagai landasan saat mendarat. Sungguh menyenangkan saat anak itu begitu menurut dan langsung menerjang Doni.
“Aaaarrrrrggghhhhh!” Doni berteriak kesakitan dan langsung melotot ganas.
Zino dan Bima bertos ria dan tertawa girang.
Doni berusaha duduk dengan susah payah karna nyawanya terkumpul mendadak. Belum lagi punggungnya berdenyut nyeri.
“Lu bisa gak sekali aja gak jadi perusuh?” Gerutu Doni.
“Ehe he he kan biar kita susah sama-sama.”
Zino yang menggelitik Bima tertawa tanpa dosa.
“Lu nganggep keponakan gue nyusahin?”
“Bukan. Tapi aku mau mendengar pendapatmu. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Bagaimana kalau aku tinggal disini lagi saja?”
Zino cemberut sembari mengelus-elus Bima yang kelelahan tertawa. Jika dia ingin tinggal disini lagi, paling tidak dia harus mengambil barang-barang berharganya dari rumah Zigan. Lalu apa yang harus dia katakan jika bertemu Jean?
“Tolong ya, gue bakalan cepet nyebrang ke alam laen kalo denger cara ngomong lu. Udahlah gak usah balik lagi ke sini dulu.”
“Nanti kalau sudah beberapa minggu disini lagi, cara bicara ku akan seperti kamu. Itu bukan hal yang bisa dijadikan alasan!”
Doni memutar matanya malas. Anak ini masih sama bodohnya seperti dulu. Dia selalu luput mendapatkan poin setiap ucapan orang.
“Lu balik lagi aja ke keluarga kaya itu. Ngomong baik-baik kalo lu mau berhenti dari kerjaan aneh itu. Lagian kerjaan nyopet emang jelek, jadi gak perlu terlalu sensitiflah. Gak pernah denger istilah ‘kalo marah berarti salah’ ya?”
Zino mencibir. Memangnya kalau dia tidak marah dia dianggap tidak bersalah? Mudah sekali. Tapi bukan itu yang dikhawatirkannya.
“Bagaimana kalau uang pembayarannya diminta lagi?”
Doni berdecak kesal. Si mata duitan ini…
“Ya tinggal lu balikin lah.”
“Tidak mau! Uang yang sudah masuk ke rekeningku ya uangku!”
“Ya terserah lu. Yang jelas lu harus ngomong baik-baik. Gak usah kabur-kaburan. Kayak cewek aja.”
Zino mengangguk meski enggan. Dia tidak mau disebut seperti cewek. Terlebih dia juga masih harus mengambil hartanya yang tak seberapa dirumah Zigan itu.
“Tapi aku tidak mau sekarang…” lirih Zino. Dia belum mau bertemu Jean. Dia masih marah, tapi juga takut dan merasa tidak enak.
Doni mengangguk lalu pergi ke kamar mandi. Dia membersihkan diri lalu mengambil dua piring sarapan dan membawanya ke kamar. Memberikan satu piring kepada Zino.
Hubungan mereka tidak dekat namun juga tidak jauh. Doni tidak pernah ikut campur masalah Zino meski dia selalu menjadi pendengar yang baik dan terkadang memberi saran. Begitu juga sebaliknya.
Tapi, mereka akan selalu memberi bantuan jika salah satunya membutuhkan. Tanpa kecuali.
*****
Doni ngg niat mau nyimpang atuh 😂
[…] Chapter 30 […]
[…] << PP 30 […]