Author : Keyikarus
[Chapter 22]
Yanzi melirik jam tangannya, ini sudah enam jam sejak Regalih pergi. Dia pikir seharusnya rombongan mereka sudah sampai ditempat mobil mereka berada. Itu jika mereka bisa keluar dari hutan gelap penuh kabut.
Meski Yanzi tak peduli, tapi beberapa orang tahu jika tuan muda kedua keluarga Wijaya itu pergi bersamanya. Itu berarti dia memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan pada keluarganya jika Regalih hilang.
Yanzi tidak berpikir hal seperti itu akan berakhir baik. Jadi dia berniat mencoba menghubungi ponsel Regalih. Ponsel tuan muda itu akan berfungsi normal saat keluar dari hutan.
Saat Yanzi beranjak akan keluar pondok, Juena menatapnya. Cahaya kunang-kunang berkelap-kelip di mata dengan pupil vertikal itu. Menghasilkan pemandangan yang terlalu cantik hingga nyaris bisa membuat Yanzi mabuk.
“Kau akan mencari temanmu?” Tanyanya dengan wajah dan nada polos yang menggelitik perasaan Yanzi.
“Hanya bermaksud menghubunginya melalui ponsel. Jika dia sudah berada diluar hutan maka seharusnya itu terhubung.” Yanzi tanpa sadar mengulurkan tangannya menyusup ke dalam helaian lembut Juena.
Ini tindakan tanpa permisi yang lancang. Yanzi sendiri terkejut melihat bagaimana impulsifnya dia. Namun karna Juena hanya berkedip polos tanpa memprotes, tentu saja dia juga dengan senang hati melanjutkan aksinya merasakan rambut lembut bocah itu ditelapak tangannya.
“Dia belum keluar hutan.” Juena menggeleng kecil. Membuat rambut lembutnya menggesek kulit tangannya, mengantarkan energi listrik hingga mencapai jantung Yanzi.
“Dia kurang beruntung jika begitu.” Sahut Yanzi ringan. Entah bagaimana dia merasa jika bukan masalah dirinya mengatakan apapun yang dia mau. Dia hanya memiliki perasaan bahwa Juena tidak sesederhana itu.
Juena sendiri tertawa jenaka mendengar ucapan Yanzi. Dia pikir mereka adalah teman. Tapi sepertinya bukan.
“Kamu tetaplah disini. Aku akan mengambil temanmu itu. Setidaknya dia tidak boleh mati diluar sana, karna salah satu hantuku menginginkannya.” Nada bicara Juena nyaris seperti bersenandung. Jelas suasana hati bocah itu sedang senang.
“Aku akan pergi bersamamu.” Sebagai pria, Yanzi merasa tidak bisa membiarkanJuena pergi sendiri. Atau dia akan menyesali saat terjadi sesuatu pada bocah itu. Mereka belum sampai pada bagian berguling diranjang. Jadi sebaiknya tidak ada yang terjadi padanya.
Sepertinya Yanzi lupa pada bagian bahwa Juena juga pria. Bahkan dia memiliki pengikutnya sendiri.
Juena mengibaskan tangannya dengan lucu. Dia tersenyum memamerkan gigi taringnya lalu berkata, “Di malam hari tempat teraman bagimu dan mereka adalah didalam teritoriku. Jangan khawatir, aku akan segera kembali.”
Wajah mungil itu terlihat riang. Bagaimanapun ini adalah pertama kalinya ada yang berniat melindunginya. Bahkan hantunya tak melakukan itu. Sebenarnya karna mereka tahu seberapa besar perbedaan kekuatan Juena dan mereka.
Melihat Yanzi masih menatapnya, Juena tertawa kecil. Tangannya melambai membuat mbah Gen menampakkan wujudnya. “Aku masih terlalu kuat untuk mengalami kekalahan.”
Kesombongan itu… siapa yang tahu jika akan sangat menggemaskan jika keluar dari bibir mungil dan merah Juena.
“Baiklah.” Ucap Yanzi pada akhirnya. Dengan satu gerakan, tangannya sudah menggosok rambut Juena dengan nyaman. Apa ini bisa dibilang kemajuan?
Mbah Gen meraih Juena dan membiarkannya duduk di lengannya, seperti seorang ayah yang menggendong putranya. Namun itu membuat Yanzi menggiling giginya, betapa dia sangat tidak menyukai Juena yang bermanja pada hantunya.
Setelah Juena pergi, Yanzi keluar dari pondok, dia pikir akan menggunakan waktunya saat tak ada Juena untuk memeriksa beberapa pekerjannya.
Dia masuk ke tenda yang dibuat pengawalnya, lalu mulai berkutat dengan pekerjaannya. Belum juga melewati satu halaman, dia mendengar dua pengawalnya bergosip.
“Kau melihat itu? Itu jelas hantu. Aku pernah melihat yang dibelakangnya di film. Itu pocong.” Ini suara Rory.
“Aku tahu.” Gumam Devin dengan lebih lirih. Namun Yanzi masih bisa mendengarnya.
“Kau tahu?” Rory bertanya dengan antusias, dia pikir Devon hanya menonton film aksi, tidak akan tertarik dengan film horror.
“Ya. Tentu saja. Aku tahu jika aku akan mengalami hal horror lagi saat datang ke sini. Mentalku sudah siap.” Desis Devon penuh percaya diri.
Rory: “….” Betapa bersemangatnya si bodoh ini.
Setelah itu hanya ada keheningan. Lalu suara sesuatu datang terdengar. Yanzi berniat mengacuhkan apapun itu jika bukan Juena.
Namun, Rory memanggilnya. Membuat Yanzi dengan enggan keluar dari tenda setelah menyimpan pekerjaannya.
“Bos, kamu harus memastikan yang ini hantu atau bukan. Sementara Devon berkeras dia manusia, tapi menurutku ia termasuk hantu.”
Yanzi menatap Rory yang memasang raut waspada dan curiga. Lalu dia keluar tenda, berniat menghampiri Devon yang berdiri didekat seorang bocah kisaran usia tiga belas tahun yang tak jauh darinya.
Dia pikir, jika bocah ini bukan hantu, bagaimana mungkin datang ke sini malam hari.
Tepat saat jarak Yanzi dan Rory semakin dekat, mereka mendengar Devon berbicara dengan bocah yang masih duduk di sepedanya itu. Terlihat sangat penuh adrenalin menyusuri jalan setapak dengan banyak akar pohon dimalam hari yang berkabut dengan kendaraan seperti itu. Tanpa headlamp.
“Siapa kau?” Tanya Devon. Pikiran lurusnya masih mengobrak-abrik otaknya berusaha menyusun logika tentang keberadaan bocah ini ditempat seperti ini.
Bocah itu menatap orang dewasa yang bertanya. Lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Melewati Yanzi dan Rory yang berjalan ke arahnya. Matanya menyala saat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dilihat Yanzi dan lainnya.
“Mas Kun!” Teriaknya lalu berlari melewati Yanzi dan Rory ke dekat tangga pondok Juena. Meninggalkan sepedanya yang didorong ke tangan Devon.
Rory bergidik melihat bocah yang bicara dengan ceria pada udara kosong. Seharusnya dia sadar jika ada hantu Juena dimana-mana dan tidak bergosip.
Akhirnya Devon mampu menarik kesimpulan setelah melihat itu, “Sepertinya itu bocah yang baru saja menderita gangguan jiwa. Sungguh malang.” Ucapnya dengan wajah serius.
Rory: “…..” apa orang ini sedang membodohi dirinya sendiri? Ditempat ini, jika mereka menganggap orang yang bicara dengan angin adalah gila, maka sebenarnya merekalah yang gila.
Sebenarnya mungkin pemikiran Devon itu bisa diterima jika dia bicara dengan orang lain di luaran sana.
Yanzi melirik Rory dan mendengus. Seharusnya dia dengan nyaman mengerjakan urusannya daripada mendengarkan pengawalnya yang satu ini. Dia berbalik dan bersiap masuk tenda.
“Bos, kita tidak akan mencari tahu itu siapa bocah aneh itu?”
“Kau bisa mengajak Devon melakukannya. Atau lebih baik bertanya langsung pada Kuntilanak itu.” Sahut Yanzi acuh tak acuh.
Dia kembali berkutat dengan laptopnya, mengabaikan apapun yang terjadi diluar sana.
Kurang dari lima belas menit kemudian, pintu tendanya lagi-lagi tersibak. Yanzi mengangkat pandangannya untuk melihat siapa pelakunya. Saat melihat wajah Juena yang menyembul masuk, aura gelap Yanzi langsung memudar. Dia dengan suka rela menyimpan pekerjaannya dan menatap bocah itu.
“Aku sudah membawa temanmu kembali. Bicaralah dengannya jika dia sudah sadar.” Juena akan berbalik setelah mengatakan itu. Namun ucapan Yanzi menghentikannya.
“Kau akan kemana?”
Juena menatap Yanzi bingung. Namun sebentar kemudian dia tersenyum manis.
“Moka datang. Itu temanku selama tiga tahun ini. Dia datang hanya setiap liburan sekolah, jadi aku tidak bisa melewatkan waktu bermain bersamanya. Kau keberatan?”
Yanzi nyaris melayang menabrak bagian atas tenda mendengar pertanyaan Juena. Apa itu berarti bocah ini sekarang menganggapnya cukup penting untuk dimintai pendapat?
“Tentu saja tidak. Kalian memiliki waktu terbatas. Aku akan bicara dengan Regalih.” Yanzi mulai tahu jika Juena akan bersemangat saat berbicara tentang teman-temannya. Mengingat mungkin ini adalah teman manusia satu-satunya sebelum dirinya datang, Yanzi pikir Juena akan lebih bersemangat.
Dia hanya bisa menekan rasa tidak sukanya melihat Juena bersama manusia lain dan menawarkan toleransinya agar menarik perhatian Juena lebih lagi.
“Ya. Moka hanya akan disini sampai fajar pertama muncul. Sangat disesalkan hari ini dia datang terlambat.”
Yanzi mengulurkan tangannya menggosok kepala Juena. Dia bahkan berharap Moka itu pergi lebih cepat. Tapi dia tak mengungkapkannya.
“Lalu bersenang-senanglah sebelum dia pergi.” Ucap Yanzi.
Juena memamerkan senyum cerianya dan melambaikan tangannya pada Yanzi saat dia pergi.
Yanzi terdiam memikirkan bagaimana cerianya Juena saat tidak tidur. Sepertinya energinya sedang penuh hingga tak ada sedikitpun kelesuan yang bisa dilihat.
Dia menyukai Juena yang seperti ini.
[…] Chapter 22 […]
[…] Juena 22 >> […]
[…] << Juena 22 […]