Author : Keyikarus
[Chapter 10]
Yanzi sedang memeriksa beberapa file proyek akhir tahun saat mendengar suara pintu diketuk. Dia bergumam mempersilahkan seseorang diluar sana masuk.
“Tuan, lima menit lagi waktunya meeting, tapi…”
Yanzi mendongak melihat keraguan di wajah sekretarisnya.
Melihat Yanzi menunggu, Mira tak berani ragu dan mengatakan situasinya. “Tuan Louis Collins menghubungi beberapa saat yang lalu.”
Yanzi tidak terlalu terkejut. Kakek Alan itu pasti akan menghubunginya saat tidak menemukan cucunya. Wajar saja karna Yanzi adalah satu-satunya orang yang bertahan berteman dengan Alan selama lebih dari sepuluh tahun.
Dia berpikir sebentar lalu menyuruh Mira menghubungi Deril agar menggantikannya memimpin meeting. Itu penting tapi Kakek Alan lebih penting. Tanpa dia, Yanzi tidak akan mencapai posisinya sekarang.
Setelah Mira pergi, Yanzi menghubungi Kakek Alan. Dia segera turun saat orang tua itu mengatakan sudah berada di lobi.
“Tuan Louis.” Sapa Yanzi saat melihat pria berambut putih dan membawa tongkat.
Sebenarnya posturnya masih tegak, tapi Louis bersikeras memakai tongkat karna menurutnya itu simbol menjadi orang tua. Yanzi tidak akan terkejut jika pada akhirnya Louis menghasilkan keturunan seperti Alan.
“Anak nakal ini. Bagaimana kau masih tidak memanggilku Kakek?” Gerutunya.
“Anda bukan kakekku.” Sahut Yanzi kalem sambil mengarahkan mereka ke ruangan untuk menerima tamu.
Yanzi menelepon sekretaris keduanya selagi Mira menemani Deril meeting. Dia memintanya membawakan teh dan camilan.
“Apa kau tak tahu ucapanmu sungguh menyakitkan? Lain kali kau harus belajar menyenangkan orang dari Alan…”
“Baiklah.”
Jika Alan selalu penuh semangat keingintahuan, maka Louis penuh semangat menceramahi orang.
Sebagai Kakek dan cucu, mereka benar-benar memiliki banyak kesamaan. Sama-sama senang bicara, sama-sama akan semakin panjang bicaranya jika orang belum sependapat dengannya.
Dan Yanzi dengan bijaksana akan memilih setuju dengan apapun pembahasan mereka dan mendengarkan dengan tenang.
Namun, jangan menilainya karena hak itu. Louis pernah menjadi pebisnis handal sebelum menyerahkan kepemimpinan perusahaannya pada putranya. Louis jugalah yang mengajari Yanzi mejadi pebisnis yang baik.
“…jadi di mana cucuku?”
Sebelum Yanzi menjawab, Aini masuk membawakan teh dan camilan. Gadis itu tersenyum manis pada Yanzi sebelum keluar.
Pandangan Louis mengikuti goyangan pinggul Aini yang dibalut rok lebih dari satu jengkal di atas lutut. Wajah tua itu terlihat ceria hingga pintu tertutup dengan debam lembut.
“Bukankah semakin hari roknya semakin pendek?” Tanyanya dengan nada yang lebih ceria.
“Dia karyawanku, dimana anda memiliki waktu memperhatikannya?”
“Bagaimana aku tidak memperhatikan bunga tercantik di perusahaanmu itu. Sebulan yang lalu aku melihat roknya belum sependek itu. Tapi itu hal bagus, kau tidak perlu keluar mencari orang yang bisa diajak bermain saat lembur.”
Yanzi menatap wajah bangga orang tua didepannya, seolah dia telah memberi pencerahan paling mengesankan kepadanya.
“Tolong hanya ajarkan hal baik padaku.”
Louis tertawa keras mendengar ucapan Yanzi. Saking kerasnya sampai membuat orang tua itu terbatuk-batuk. Dengan baik hati Yanzi menuangkan teh untuknya.
Sebenarnya bukannya seperti Yanzi tidak mengetahui Aini yang berusaha menggodanya. Tapi gadis itu tidur dengan terlalu banyak pria di perusahaan ini. Nyaris setiap petinggi perusahaan pernah menjamahnya.
Yanzi tidak akan mau memakan wanita yang jelas-jelas bekas banyak orang. Dia lebih baik menahan diri daripada melakukannya dengan Aini.
Prilaku gadis itu memang sedikit mengganggu meski Yanzi mengacuhkannya, tapi selagi kinerjanya baik, Yanzi tidak akan mempermasalahkannya.
Lagipula hal seperti ini bukan hal aneh bagi Yanzi. Ini biasa dilakukan oleh seseorang entah karena alasan kesenangan semata atau sedikit keuntungan.
“Hal baik itu tergantung bagaimana kau memandangnya. Baiklah, lupakan saja masalah ini. Jadi, dimana cucuku?” Louis mengulang pertanyaan utama yang membuatnya datang ke sini.
“Dia mendapatkan inspirasi dan memilih tinggal di tempat Juena.”
Louis menatap Yanzi curiga.
“Bagaimana bisa Alan mendapatkan inspirasi ditempat dukun tua seperti itu?”
Yanzi menggeleng.
“Tidak ada dukun tua. Juena berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun.”
Louis tertegun. Dia jelas ingat bahwa Juena yang diceritakan temannya dulu juga berusia sekitar itu. Namun bagaimana bisa saat ini juga berusia segitu?
“Apa itu cucu Juena yang dulu?” Gumam Louis.
Yanzi memilih meminum tehnya daripada menanggapi pertanyaan yang dia tidak tahu jawabannya.
Louis tiba-tiba teringat sesuatu.
“Apa masalah teror hantu di rumahmu sudah selesai?”
Yanzi mengangguk sebagai jawaban. Dan Louis melanjutkan pertanyaannya, “Menurut temanku dulu, dukun itu meminta imbalan aneh dan mahal. Jadi apa yang dia minta darimu?”
Yanzi menimbang-nimbang apakah dia harus mengatakan yang sesungguhnya atau sedikit berbohong untuk menutupi kebohongannya sebelumnya.
“Katakan. Katakan. Apa yang dimintanya? Apa permintaan anehnya berhubungan dengan Alan?”
Yanzi menghela nafas. Sudah sampai seperti ini, jadi kenapa dia harus berbohong lagi. Tidak ada gunanya.
“Ya.”
Wajah Louis merah padam. Dengan garang dia menatap Yanzi, bahkan menunjuk pria itu Dengan tongkatnya.
“Kau! Bagaimana kau begitu tega mengorbankan anak selucu Alan?! Bagaimana kau begitu tidak berperasaan?! Apa salah kami padamu?!”
Yanzi menatap datar emosi Louis yang berapi-api. Dia melupakan bagian ini. Louis lebih parah daripada Alan dalam hal membuat semua menjadi drama. Favorit pria itu selalu menjadi tokoh yang teraniaya hingga bisa melontarkan kutukan apapun yang dia mau.
“Aku membencimu! Kita bukan lagi Kakek dan cucu!”
“Kita memang bukan.”
Jawaban datar Yanzi membuat Louis terpaku. Matanya yang sudah pudar menatap nyalang pada Yanzi. Tubuhnya bergetar seolah siap meledak.
“Betapa tidak sopannya! Aku tidak mau tahu, kau harus membawa Alan tersayangku pulang!”
“Tentu saja. Tiga bulan yang akan datang aku akan melakukannya.”
Louis memegang dadanya. Dengan terengah-engah dia bersandar di sofa. Lalu perlahan memejamkan mata dan lengannya terkulai.
Yanzi menatap bosan pada orang tua itu. Semakin tua prilakunya semakin sulit diterima akal sehat.
“Baiklah, aku banyak pekerjaan. Silahkan tidur dengan nyaman.” Yanzi berniat pergi.
Namun sebelum dia bangun dari duduknya, Louis sudah menjerit dan memakinya.
“Tidak punya perasaan. Bagaimana bisa kau meninggalkan orang tua yang sedang pingsan?! Huh. Katakan kenapa harus menunggu tiga bulan untuk membawa Alan kecilku kembali?” Louis bersidekap menunjukkan sikap arogan sebagai tukang perintah.
“Itu syarat Juena.”
“Berani-beraninya dia. Apakah dia tidak tahu cucu siapa yang diperdayanya?”
Yanzi tidak mau orang tua ini menimbulkan masalah pada Juena. Sebenarnya yang lebih tepat dikhawatirkan tentu saja Louis, mengingat hantu yang dimiliki Juena, namun entah kenapa Yanzi tidak bisa melihat Juena yang senang tidur mengalami kesulitan sekecil apapun.
“Aku akan mengurusnya. Anda harus pulang dan istirahat cukup agar bisa menemani Alan bercerita saat dia pulang.”
Louis kembali mengacungkan tongkatnya ke arah Yanzi dengan tidak senang.
“Jangan menganggapku anak kecil. Kau pikir bujukanmu akan berpengaruh?”
“Itu tidak berpengaruh?”
“Berpengaruh jika kau memanggilku Kakek.”
“Tidak. Terima kasih.”
“Betapa mengecewakannya.” Louis mencibir mendengar jawaban tak berperasaan Yanzi.
Dengan bersungut-sungut dia pergi. Namun dia masih sempat meneriakkan pesannya agar Yanzi segera membawa pulang Alan sebelum dia terlalu merindukannya. Atau dia akan membuat Yanzi kesulitan.
******
[…] Chapter 10 […]
Wkwkwkwk… Kakek Alan sama seperti Alan…
Kakek Alan terlalu sangar
[…] << Juena 10 […]